Suling Emas Naga Siluman Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 01
Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlomba megah menembus awan. Sinar matahari pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan sisa malam dan menyalakan segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya yang merah keemasan.

Salju yang menutupi puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma (Mount Everest), Kancen Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh dengan emas murni.

Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan.

Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah dan amat indah. Kata-kata tiada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi.

Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi mendahului sang surya hanyalah burung-burung, hewan-hewan, dan manusia-manusia petani yang miskin! Orang kaya di kota biasanya baru akan bangun dari kamar mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali!

Pegunungan Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling luas, dan paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang dari barat ke timur sebagai tapal batas yang sukar diukur dan ditentukan letaknya dari negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan.

Pegunungan Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi, yang tertinggi dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount Everest sebagai puncak tertinggi (8882 meter), dan Kancen (Kincin) Yunga. Itu adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan Himalaya. Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang amat curam, mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai Brahmaputera.

Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani Tibet, sungguh pun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruh buruh tani belaka karena semua sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping para pendeta yang memiliki kekuasaan besar sekali di negara ini.

Pagi itu, sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang aliran air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka bertiga memakai pakaian tebal karena hawa sangatlah dinginnya. Di sebelah tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang petani Tibet sedang bekerja mencangkul tanah.

Sepagi itu mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke atas mereka bertelanjang sehingga nampak otot-otot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk melempangkan pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang.

“Sudah lelah? Heh-heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan menambah semangat?” temannya menegur.

Laki-laki bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara sepenuh paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyiannya dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si Penyanyi ini menengadah seolah olah hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncak-puncak yang menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang amat disuka oleh para petani miskin.

Wahai Yolmo Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu Cangpo yang panjang!
Dapatkah kalian memberi jawaban?
Kedua tanganku kuat bekerja berat
namun tiada seperseratus yang di hasilkannya
menjadi bagianku untuk makan!
Aku punya hati
suaranya membeku di mulut,
telingaku disuruh tuli
mataku disuruh buta
nyawaku lebih murah dari pada seekor domba!
Wahai, Yolmo Lungma
sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi!
Ahaoi, Yalu Cangpo,
tenggelamkan aku di airmu yang dalam!


Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar jelas oleh mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak nampak dari perahu, maka terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan dinding batu gunung.

Akan tetapi tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka segera mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah Tibet karena lagu itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga hampir saja menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi, biar pun sekarang tidak ada lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih digemari oleh para petani.

Tiga orang dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai. Pegunungan Kun-lun memang terkenal sebagai satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak orang pandai, pertapa-pertapa gemblengan, sungguh pun yang paling terkenal tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan satu di antara partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong kepada aliran Im-yang.

Yang seorang berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan mulut yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih lebih muda, usianya empat puluh lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya sederhana dan di punggungnya tergantung sepasang pedang.

Dia pun seorang tosu dari aliran lain, tetapi merupakan sahabat baik dari Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di dunia kang-ouw dia terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Dari julukannya saja orang dapat menduga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan memiliki ginkang yang hebat. Dan memang demikianlah adanya.

Apakah yang menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar dan sejauh itu sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan hanya mereka bertiga saja yang pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya daerah Pegunungan Himalaya yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu yang menarik para tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta yang menarik para tokoh kang-ouw seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum halus itu, melainkan suatu berita yang datangnya dari kota raja tentang lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana kerajaan!

Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kota raja karena pedang pusaka kerajaan, satu di antara pusaka-pusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas dari dalam gudang pusaka yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling masuk, akan tetapi ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) itu telah hilang dari tempatnya!

Tentu saja kota raja menjadi geger. Pedang ini telah dianggap sebagai pusaka pelindung keagungan keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang orang pandai untuk mencari jejak pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan!

Koai-liong-pokiam merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa untuk melindungi keamanan atau keagungan keluarga Kaisar, tetapi di kalangan persilatan, di dunia kang-ouw, pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada desas-desus bahwa siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan karena pedang itu ampuh bukan kepalang!

Maka bukan hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari pencurinya dan mengembalikan pedang Koai-liong-pokiam ke Istana, akan tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang untuk dikembalikan kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri!

Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa pedang pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang menarik semua tokoh kang-ouw untuk berbondong-bondong pergi mengunjungi daerah Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib memperebutkan pedang pusaka itu. Atau setidaknya, mereka akan mendapat tambahan pengalaman. Daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia persilatan!

Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Ada pun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat!

Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih, bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali.

Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan pembunuhan dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaikat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka.

Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka mereka pun datang berkunjung melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Akan tetapi, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing.

Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tak asing dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia bisa sampai berada di situ pun karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia menarik napas panjang.

“Siancai....!” kata tosu muda ini. ”Agaknya di ujung dunia yang mana pun, kita selalu akan bertemu dengan manusia-manusia yang selalu berkeluh kesah karena merasa hidupnya sengsara!” Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.

“Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno,” kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.

“Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja,“ Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang cukup kuat.

Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan puas!
Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?


“Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?” Hok Keng Cu bertanya.

Ciok Kam tosu menarik napas panjang “Sebagian juga mencela kita sendiri, Toheng. Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?”

Sebelum kedua orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan yang bergema ke bawah, “Ahooii.... kalian yang berada di bawah!”

Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet.

Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu segera berteriak dengan mengerahkan khikang sehingga suaranya bergema sampai ke atas tebing, “Sobat, kau mau apakah?”

Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan sekarang dia berkata lagi, “Hati-hati, jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya!”

Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu menjawab nyaring, “Terima kasih atas pemberitahuanmu....”

Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandangan mata petani yang masih menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.

“Ahhh, apakah yang dikatakan orang itu tadi?” tanya Ciok-tosu kepada kedua orang sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut.

“Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu?” tanyanya, “Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita bertiga membasminya!”

“Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki tangan kita!” kata Hok Keng Cu.

“Hemm, kalau begitu dia iblis?” tanya Ciok-tosu dengan heran.

“Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis, melainkan seekor makhluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan yang mukjijat, tidak masuk akal!”

“Ehhh.... ?” Tosu muda itu makin kaget.

“Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi Kongmaa La itu, sungguh pun sebenarnya paling baik jika mengambil jalan dari gunung itu, di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui,” kata pula Hok Keng Cu.

“Toheng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?” tanya Ciok Kam.

Yang ditanya menggeleng kepala. “Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti.”

“Kalau begitu, mengapa Ji-wi Toheng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya!”

“Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandai pun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi makhluk seperti itu?”

Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena hatinya tertarik sekali. “Seperti apa macamnya, Toheng? Aku ingin sekali melihatnya.”

“Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti beruang, ada pula yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!”

Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Ahh, jangan-jangan mayat mayat yang kita lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia!”

Dua orang sahabatnya termenung, kemudian mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka.

“Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To-yu.”

“Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata tajam,” Ciok-tosu membantah.

“Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang mana pun juga!” kini Hok Ya Cu ikut bicara.

Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka.

Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan dan salju. Hawa masih dingin sungguh pun sinar matahari cukup cerah di pagi itu.

Di sebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.

“Gunung apakah itu?” Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.

“Itulah Kongmaa La....,“ jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jeri.

Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, melainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan sikap yang demikian takut dan pengecut? Sikap kedua orang temannya itu tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.

“Pinto mau mendarat di sana!” tiba-tiba dia berkata.

“Ehh....?” Hok Keng Cu berseru.

“Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!” seru Hok Ya Cu menyambung.

“Kalau Ji-wi Toheng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La!” Melihat dua orang sahabatnya itu hanya saling pandang dan ragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu kemudian menyambung. “Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud untuk mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka!”

Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut dan saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Kemudian Hok Keng Cu berkata. “Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!”

Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suheng-nya. Mereka kemudian mendayung perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak.

“Ini namanya Lembah Arun!” berkata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah Himalaya itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas.

“Betapa hebatnya kekuasaan To!” dia menggumam karena takjub dan terpesona oleh keindahan itu.

Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tiada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu hening! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabadikannya di dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan!

Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemukjijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib.

Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoritis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta kehilangan cahaya dan apinya itu!


Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air kecil yang amat jernih.

Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur, merupakan lembah sungai yang paling curam di dalam dunia ini. Suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia.

Di depan adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang.

“Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dahulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini!” kata Hok Keng Cu yang sudah berpengalaman di tempat itu.

Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau muncul kembali bayangan makhluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu.

“Toheng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?”

Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan makhluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan makhluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab, “Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya makhluk. Jadi Yeti dinamakan makhluk dari daerah berbatu oleh bangsa Tibet.”

Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi. “Mengapa dinamakan makhluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?”

“Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!” Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat.

“Tidak mengapa,” Hok Keng Cu berkata. “Ciok-toyu bukanlah bermaksud menghina melainkan karena memang ingin sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas! Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa makhluk itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan.”

Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju.

Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biar pun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat baying-bayang pendek di belakang mereka.

Mereka berjalan beriring-iringan karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali. Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sute-nya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak pernah tertinggal, karena dalam hal ginkang dia lebih unggul dari pada dua orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dua orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu (pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang.

“Lihat ini....!” Ciok-tosu berseru.

Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka telah mengambil pedang dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan rusak!

Mereka bertiga saling pandang. Sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti!

“Mari kita melanjutkan perjalanan!” akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar dan tidak lancar.

“Tapi.... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini....,“ kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua mayat itu.

“Ahh, kita tidak ada waktu, Toyu, jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!” Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan seperti itu tak terurus.

Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega.

“Kita sudah hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat!” Biar pun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak ada makhluk mengerikan itu mengganggu mereka.

Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru, “Siancai....!”

Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tidak jauh dari situ, tertutup rumput yang agak tinggi, nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di mana mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas.

Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu.

suling emas naga siluman jilid 01


Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-po-kiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk?

“Hei, manusia atau makhluk jahat, lekas keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!” teriaknya.

Dua orang sahabatnya terkejut sekali. “Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu sebelum terlambat!” seru Hok Keng Cu.

“Toheng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini!” kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh.

“Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau suka menurut dan tidak usah menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!” kata Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah.

Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu adalah orang-orang pandai, dan kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.

“Baiklah, Toheng, mari kita pergi!” katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur.

Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua teman seperjalanannya itu ke dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah goa yang tertutup oleh sebuah batu besar.

“Bantu pinto menggeser pintu batu ini!” katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang goa.

Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan lahan batu bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang goa yang cukup lebar. Mereka segera memasuki goa itu. Goa itu luas dan nampak burung-burung walet berseliweran di sebelah dalam.

“Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya menutup lagi dan kita aman sudah,” kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega. “Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.”

Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu goa, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam goa itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Mereka bertiga lalu duduk di dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih memasuki goa dari pintu yang terbuka itu.

“Besok pagi kita ke manakah?” Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya.

“Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu.”

“Masih jauhkah dari sini?”

“Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak sebuah lereng di sebelah timur. Di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah.”

“Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana?”

“Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayur-sayuran.”

Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur. Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu goa batu. Tidak lama kemudian api unggun itu padam, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking lelahnya.

Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup lubang goa ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor makhluk yang menakutkan! Akan tetapi dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu bangkit duduk dan menggaruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil.

“Hemmm, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya,” gerutunya.

Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan goa itu menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia memperhatikan.

Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup goa itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar goa. Cepat dia menghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang.

“Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah!”

Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak.

“Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!” Hok Keng Cu berkata dan tangannya meraba sakunya.

Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, sama sekali tak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam goa batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup goa, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar.

Hok Keng Cu berteriak. “Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!”

Mereka berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung kekuatan sinkang yang besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan tetapi ada kekuatan dahsyat dari luar yang menentang dan yang mendorong pintu itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat, dilakukan dengan diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan dan menegangkan.

Terdengar suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga suara itu menggetarkan bumi sampai ke dalam goa. Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga yang mendorong batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong ke kanan! Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak!

“Lepaskan dan terjang ke luar! Di dalam tidak leluasa!” Hok Keng Cu tiba-tiba berseru setelah mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu mempertahankan batu besar yang didorong terbuka dari luar itu.

Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat terdorong ke kanan dan terbukalah goa itu. Mereka agak silau oleh masuknya sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka sudah berloncatan keluar goa dan telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan membalik, mereka bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat makhluk yang berdiri di depan mereka.

Makhluk itu tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya yang kasar itu agak panjang di bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut, seperti muka monyet besar yang lebih mirip manusia dari pada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia bentuknya, tidak bersiung. Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang sampai ke lutut, kedua pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar.

Akan tetapi makhluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia dari pada monyet atau beruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat seperti batu gunung! Akan tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan makhluk ini. Sebatang pedang pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan itu sampai ke belakang. Tidak nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah agak lama pedang itu menancap di paha makhluk aneh ini.

“Yetiiii!” Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan.

Makhluk ini melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher makhluk itu.

“Aurgghhhh....!” Yeti itu mendengus dari tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok Ya Cu menebas ke arah lengan yang diangkat itu.

“Trakkkk!” Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar, membuat orangnya terhuyung ke belakang.

“Dia kebal!” kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah dilolosnya tadi dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti seekor ular, dibarengi suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata makhluk itu secara bertubi-tubi!

Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika ujung sabuk putih itu mematuk-matuk.

“Tak-tuk-tak-tuk!” terdengar suara dan seperti juga pedang tadi, seolah-olah ujung sabuk yang sudah menjadi kaku karena digerakkan dengan sinkang itu bertemu dan menotok benda-benda keras melebihi baja!

Yeti menjadi marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu terpaksa menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah menyelamatkan senjatanya itu.

Sementara itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun pedangnya menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga tosu ini menjadi sangat jeri. Ada pun Ciok Kam setelah melihat keadaan dua orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan panjang dan dia pun menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga membentuk sinar sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan sinar berkilauan yang menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang pedang) dari tosu muda Kun-lun-pai ini!

Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua tangannya dan setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi dan terpaksa meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh makhluk ini kebal dan keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat seperti kawat-kawat baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian telapak tangannya yang pecah dan berdarah!

Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha kanan makhluk ini ditembus pedang yang masih menancap, berarti bahwa makhluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu dapat menancap di paha makhluk itu, mengapa kedua pedangnya tidak? Dia menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung mengarah paha makhluk itu.

“Trak-trak, tringgg....!”

“Aihhhh....!” Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan kanannya yang telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang paha kanan makhluk itu dan tanpa disengaja, makhluk itu menggerakkan kaki dan pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di paha makhluk itu dan.... pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di tangan kiri yang menusuk paha kiri makhluk itu terpental kembali!

“Dia kebal dan lihai, mari kita lari!” Hok Keng Cu berseru.

Akan tetapi Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh Kun-lun-san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor binatang aneh yang sudah terluka paha kanannya ini tidak mampu menang?

Tiba-tiba Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Biar pun pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia menyerang dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala makhluk itu! Jurusnya ini adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.

Yeti itu menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian kerasnya sehingga ketika pedang itu menusuk, pedang dan orangnya kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai beberapa meter jauhnya, menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus menggelundung masuk ke dalam jurang!

Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang dengan pedang dan sabuk sutera.

“Crattt!” Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan makhluk itu.

Makhluk ini mengaum. Tangan kanannya yang panjang berbulu itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu pundak Hok Keng Cu karena dicengkeram. Kuku-kuku yang amat panjang, kuat tajam dan runcing melengkung itu meremukkan tulang pundak dan betapa pun tosu itu meronta, dia tak mampu melepaskan diri.

“Tidaaaak.... jangaaaaannn.....!” Tosu itu menjerit dan matanya terbelalak, akan tetapi makhluk itu sudah menggerakkan lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur menusuk dan menggurat. Terdengar kain robek dan kukunya telah merobek kain berikut kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati sampai ke pusar sehingga terobeklah perutnya dan isinya berantakan! Ketika dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa lagi dan mandi darah.

Hok Ya Cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan makhluk itu, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, dengan sekali lompat saja, makhluk yang kelihatannya lamban itu sudah mengejarnya. Sekali tangannya bergerak, jari-jari tangan yang kuat itu sudah menampar ke arah leher.

“Krekkkkk!” Tubuh Hok Ya Cu terpelanting dan roboh dengan tulang leher patah-patah. Tentu saja dia pun tewas seketika!

Yeti itu masih marah. Sepasang matanya kini menjadi kemerahan dan beringas. Dia mendengus-dengus, kemudian melangkah, terpincang-pincang dan kaku karena paha kanannya tertembus pedang, memasuki goa. Di dalam goa dia mengamuk, mengobrak abrik kayu-kayu bakar dan melempar-lemparkan batu-batu. Setelah puas mengamuk lalu dia keluar dan biar pun terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan cepat mendaki lereng yang berbatu-batu, kemudian menuruni jurang dan lenyap ditelan semak-semak belukar.

Suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu. Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah terbawa angin yang lalu, bercampur dengan bau daun-daun yang dihidupkan oleh sinar matahari pagi. Burung-burung yang tadinya seperti bersembunyi ketakutan, mulai menampakkan diri. Hanya beberapa macam burung yang tahan hidup di daerah dingin seperti Lembah Arun ini.

Mayat Hok Keng Cu telentang mengerikan. Matanya terbelalak dan perutnya terbuka. Mayat Hok Ya Cu rebah miring, kepalanya terputar dan matanya juga terbelalak seperti ketakutan.

Kurang lebih dua jam kemudian, nampak sesosok tubuh merangkak-rangkak keluar dari dalam jurang. Itulah Ciok Kam Tosu! Ternyata dia belum tewas dan ketika dia terguliing ke dalam jurang dalam keadaan pingsan, ada semak-semak yang kebetulan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh ke dalam jurang yang seolah-olah tidak berdasar saking dalamnya itu. Dan karena dia pingsan, maka makhluk aneh itu tidak mendengar dia bergerak lagi dan mengira dia sudah mati maka meninggalkannya.

Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu terbelalak, menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati penuh duka dia lalu menguburkan dua mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan menguburkan mayat kedua orang tosu dari Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir kehabisan tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam goa, tanpa menutupkan batu bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu malam itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu telah berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal tinju dan mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.

“Makhluk biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku!” Setelah berkata demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki lereng itu menuju ke barat, membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi pedangnya sehingga kini dia memiliki lagi sepasang pedang, sungguh pun ukuran dan beratnya tidak sama.

Alam di sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan Ciok-tosu, sama sekali tidak berubah. Keindahan alam yang tadinya mempesona itu kini baginya berubah menjadi keadaan yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan sinar mata penuh dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar.

Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri pengunjung yang terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik dari golongan bersih mau pun golongan sesat. Berbondong-bondong mereka datang mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang dari timur dan langsung mendaki pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki dari selatan, dan ada pula yang datang dari utara.

Pada suatu pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang berlapis pasir, berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan. Mereka terdiri dari belasan orang dan melihat gerak-gerik mereka, kebanyakan dari mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan bahaya.

Memang demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal-pengawal bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok (Perusahaan Pengawalan Baju Putih). Baju mereka semua memang berwarna putih, dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to (pisau terbang) di dada kiri, sungguh pun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu bukan sekedar hiasan belaka karena memang semua anggota Pek-i-piauw-kiok mempunyai keahlian melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan tepat.

Di antara dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan seorang yang telah memiliki banyak pengalaman. Piauwsu ini adalah pemimpin dari Pek-i-piauw-kiok sendiri bernama Lauw Sek, dan julukannya adalah Toat-beng Hui-to (Pisau Terbang Pencabut Nyawa) karena memang dia seorang ahli yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak buahnya sehingga mereka semua mahir melontarkan pisau terbang.

Sebelas orang anak buahnya itu merupakan anggota piauw-kiok pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan tugas yang amat penting. Dia bersama sebelas orang anak buahnya bertugas mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang pedagang dari Katmandu di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul oleh para anggota piauw-kiok.

Barang-barang berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu di Nepal dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar membayar mahal sekali kepada Lauw-piauwsu. Perjalanan itu amat jauh, sukar dan juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu seperti yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu.

Di dalam rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang telah tua namun yang juga memiliki kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini jelas memiliki kepandaian silat yang kuat, dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki jalan-jalan yang sukar dan mendaki, dan kadang-kadang dia masih harus menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua.

Gadis kecil itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis, lincah jenaka dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka dia tidak membantah kalau kakeknya memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggota rombongan dan disebut Siauw Goat (Bulan Kecil). Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya, membuat dia seperti menjadi sang bulan yang menerangi kegelapan malam dan mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring, nyanyiannya yang merdu, tariannya yang gemulai dan gerak-geriknya yang lincah jenaka.

Tiada seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si Bulan Kecil. Mereka mendengar kakek itu menyebut ‘Goat’ kepada anak perempuan itu, maka mereka lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau ada yang iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya ‘Goat’.

Kakek itu pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu huruf, yaitu ‘Kun’. Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun! Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik riwayat kakek ini.

Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam seperti kakek itu dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia sama sekali tidak mau menerangkan namanya! Akan tetapi tidak ada orang yang berani mendesak untuk bertanya kepadanya, karena diam-diam Lauw-piauwsu, kepala rombongan pengawal bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan kepada semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian amat tinggi dan agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang-ouw yang datang ke Pegunungan Himalaya untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang.

Maka semua orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu dengan segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun sastrawan itu tidak peduli, dia seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan sikapnya gagah biar pun gerak geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering kali muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan lebar. Dugaan Lauw-piauwsu dan sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam rombongan itu tidak berani banyak bicara dengan dia.

Selain Kakek Kun, Siauw Goat dan sastrawan ini, masih terdapat pula beberapa orang pedagang, yang karena mendengar akan adanya orang-orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya, tidak berani melakukan perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar uang jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu, rombongan mereka semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang!

Tiga orang pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka sudah mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga sudah kempas-kempis. Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat air mereka, akan tetapi karena minum ini pula keringat mereka menjadi semakin membanjir keluar.

“Ahh.... kami telah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?” seorang di antara mereka mengeluh.

“Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja!” tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda.

Pedagang gendut itu pura-pura melotot. “Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak lelah!”

Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, kemudian mengangkat dada dan bertolak pinggang. “Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayolah kita berlomba lari!” tantangnya.

Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi diajak berlomba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit.

“Sedikit lagi,” kata Lauw-piauwsu. “Kita mengaso di hutan depan sana itu.” Dia menuding ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat.

Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus sejak tadi memang amat melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang.

Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu, Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, sebab dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah semenjak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan.

“Hati-hatilah, Goat!” Kakek Kun berkata, tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari mendahului semua rombongan itu.

Siauw Goat menoleh, tertawa manis kepada kakeknya.

“Jangan khawatir, Kongkong!” katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke depan.

Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu memandang ke arah gadis cilik yang berlarian ke depan, alisnya berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia berkata kepada kakek di sebelahnya itu dengan suara tenang dan halus, “Lopek salah sekali membawa cucu yang demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini!” Suara itu tenang dan halus, juga lirih, akan tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak menentang pandang mata sastrawan muda itu.

Dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu melihat sinar mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek yang biasanya bermuram durja dan termenung saja itu, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda sastrawan itu, jelas membayangkan pandang mata seorang yang ‘berisi’. Memang keduanya, dalam sikap mereka yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa masing-masing adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan, sungguh pun keduanya kelihatan seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek yang keduanya lemah.

Sastrawan itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah karena malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu menjawabnya dengan teguran. “Kau peduli apa?”

Akan tetapi karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang mungil dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan pertanyaan yang nadanya menegur, dia merasa kepalang tanggung dan sastrawan itu melanjutkan kata-katanya dengan lirih tanpa terdengar orang lain, kini dengan sebuah pertanyaan. “Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya?”

Kembali mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya melanjutkan langkahnya satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengar dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan pertanyaan pula. “Dan ke mana engkau hendak pergi, orang muda?”

Sastrawan muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan angkuhnya, karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira, dia sekarang bertemu ‘batu’ dan kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya! Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih dulu, tanda bahwa kakek itu tidak akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu!

“Baiklah,” katanya lirih. “Jangan kau kira bahwa aku datang ke sini untuk mencari pedang kerajaan. Sama sekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku yang pergi!”

Sepasang mata yang tadinya mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya, dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan sastrawan muda tadi. “Aku membawa cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain aku!”

Sekarang sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak perempuan itu. Ia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan gembira, hampir tiba di hutan.

“Mengapa diajak ke tempat seperti ini?” Dia mendesak.

“Untuk mencari musuh kami!” Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat langkahnya, sengaja menjauh.

Sastrawan itu kembali terkejut. Dia semakin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan, biar pun sama sekali tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya.

Siauw Goat sudah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun lebat, hijau segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal.

Kakek ini seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek robek di sana-sini. Di dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat bambu butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan butut, dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak pinggirnya. Jelas dia adalah seorang pengemis tua yang sedang tidur.

Melihat seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar dan sunyi tiada orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran. Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di kota-kota di mana terdapat banyak orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi mengapa jembel tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa?

Siauw Goat adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah tertawa, mudah marah, mudah kasihan, pendeknya segala macam perasaan mudah sekali menguasai hatinya. Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri, dengan maksud memberi sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat seperti itu, apakah gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jajan karena di sepanjang jalan tidak ada orang berjualan apa pun.

“Kakek tua, bangunlah, kuberi derma padamu!” katanya lirih.

Dia melihat betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu melihat sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan tetapi hanya sebentar mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali! Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan tetapi hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur!

“Hei, Lo-kai....!” teriak Siauw Goat sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu untuk membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan sekarang terdengar dia mendengkur!

“Lo-kai (Pengemis Tua), kau tidak tidur, jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela dan terus mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya.

“Hemm, kau sengaja mempermainkan aku, ya?” Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya yang jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang putih menggigit bibir bawah. Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan kakek pengemis itu sudah lenyap sama sekali, terganti oleh perasaan gemas dan marah karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini sudah memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang mempermainkannya.

Dia tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa, kemudian dia mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon itu. Dengan berjingkat-jingkat dia menghampiri lagi kakek pengemis yang kelihatan masih tidur mendengkur itu. Dengan menggunakan rumput ilalang yang panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang runcing. Siauw Goat merasa yakin bahwa siapa pun juga, kalau dikilik seperti itu, tentu akan merasa geli dan pasti akan terbangun, apalagi kakek yang hanya pura-pura tidur ini.

“Ehhh....?” Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut.

Sampai lelah tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput itu memasuki lubang hidungnya, dia tetap tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu tidak hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin.

Makin kesallah hati anak perempuan itu. “Ihhh, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan terbangun kalau disiram air!”

Teringat air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat memaksa kakek ini bangun sebelum kongkong-nya dekat karena tentu kongkong-nya akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat batang pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci masih ada araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua malas itu bangun, pikirnya. Maka dia lalu mendekati kakek jembel itu dan menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua!

Tiba-tiba terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti ada tenaga yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci, arak itu secara aneh meluncur tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu minum arak yang memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak itu meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat langsung memasuki mulut!

“Wah, kau habiskan arakku, bocah setan!” Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan kakek pengemis yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci araknya yang sudah kosong karena memang araknya tinggal tidak banyak lagi dan semua telah diminumnya secara aneh tadi.

Siauw Goat menjadi marah. “Apa?! Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau menuduh orang sembarangan, ya? Tidak tahu malu, engkau sendirilah yang minum habis arak itu, sekarang menuduh aku yang menghabiskan. Hihh!”

“Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan cilik ini yang mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahu-tahu sekarang kau habiskan!” Kakek jembel itu marah-marah dan bersikap seperti anak kecil.

“Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap ya? Aku tidak suka padamu!” Siauw Goat kemudian membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan kakek pengemis itu. Tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah, tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghalangnya untuk melangkah maju terus.

“Aha, kau hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu mau pergi begitu saja. Engkau harus mengganti arakku!”

Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini semenjak kecil sudah banyak melihat keanehan-keanehan yang diperbuat oleh orang orang pandai ilmu silat, oleh karena itu dia tidak merasa heran dan dia dapat menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan yang sengaja mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya.

“Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain yang disuruh bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku punya arak? Aku tidak pernah minum arak!” teriaknya sambil membalikkan tubuh dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang jernih tajam.

“Ha, kulihat engkau tidak datang sendirian. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti arakku!”

“Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kau minum sendiri!” Siauw Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak.

“Huh, kalau begitu, harus kau ganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis itu berkata.

Akan tetapi kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu. Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah. “Aihhh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali dan suka minum darah manusia! Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau!”

Kembali Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri saja ke arahnya dalam jarak tiga meter!

Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu. Empat orang piauwsu yang berada paling depan terkejut melihat Siauw Goat berdiri seperti patung dan meronta-ronta seperti tertahan sesuatu itu dan seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke arah anak itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga bahwa tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel sungguh pun mereka tidak tahu secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw Goat, maka serentak empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat.

“Kau kenapakah, Siauw Goat?”

“Kakek jembel itu.... dan aku.... aku tidak dapat bergerak maju!” kata Siauw Goat yang meronta-ronta, seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya.

Empat orang itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya, akan tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa pun empat orang piauwsu itu mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan jatuh tunggang-langgang seperti daun-daun kering tertiup angin keras.

Melihat ini, terkejutlah Lauw-piauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya mendorong tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat orang menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini sekarang banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu kakek itu merupakan seorang tokoh kaum sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi melihat betapa Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya itu masing-masing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang sehingga secara berturut-turut ada enam buah pisau terbang menyambar nyambar ke arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari kakek jembel itu!

Sepasang mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar sekali. Tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang pohon di belakangnya dan begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang menyambar. Terdengar suara nyaring dan pisau-pisau terbang itu meluncur kembali sehingga menyerang pemiliknya dengan kecepatan yang luar biasa!

Tentu saja Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut sepasang siang-to (golok sepasang) yang kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan sinar golok itu menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya kembali ke pinggangnya.

Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, “Tahan semua, jangan mencampuri urusan cucuku!” Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang tentu saja sudah menjadi marah dan siap untuk mengeroyok.

Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena ketika dia menangkis pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu dengan pisau-pisau kecil itu, dia merasa betapa kedua tangannya kesemutan, tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisau-pisaunya itu amatlah kuatnya. Padahal kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu!

Kakek Kun kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang matanya yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk sambil tersenyum itu. Kemudian Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan terhadapmu, anggaplah saja itu kelancangan anak-anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius? Kalau hendak berurusan, baiklah engkau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang bertanggung jawab!”

Lauw-piauwsu dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh keheranan. Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu kakek ini mengeluarkan suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang kang-ouw yang menghadapi segala bahaya dan ancaman dengan tenang dan dingin. Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam kekuasaan tenaga sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan melarang orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat membahayakan cucunya.

Pengemis itu membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan tangan kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap diluruskan ke arah Siauw Goat yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia berkata dengan suara bernada mengejek. “Kalau berada di dunia bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak kecil. Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit dihabiskan oleh anak lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan kubebaskan dia!” Suaranya penuh tantangan ditujukan kepada semua orang yang berdiri di depannya.

“Bohong! Dia bohong, Kongkong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis!” teriak Siauw Goat dengan marah.

Kakek Kun mengerutkan alisnya yang sudah putih semua dan matanya yang mencorong menyambar kepada wajah pengemis itu. “Cucuku tidak pernah membohong!” bentaknya.

Pengemis tua itu memandang kepada Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kau katakan siapa yang mengambil guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis!”

“Memang aku yang mengambil, aku pula yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan semua ke dalam mulutmu! Hayo kau sangkal kalau berani!” bentak Siauw Goat dengan sikap menantang.

“Tetap saja perbuatanmu itu membuat arakku habis, baik masuk perut atau pun masuk tanah. Engkau atau orang lain harus mengganti arakku!” kakek jembel itu bersikeras dengan sikap kukuh.

Tiba-tiba terdengar suara yang halus tenang. “Locianpwe, semua omongan baru benar kalau ada buktinya. Apakah Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah kosong?” Semua orang menoleh, juga pengemis tua itu dan yang bicara dengan tenang itu bukan lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapi pengemis tua itu.

“Tentu saja!” Pengemis tua itu berteriak. “Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!” Dia mengangkat guci arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan.

Tiba-tiba nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau arak wangi. Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu adalah arak yang muncrat keluar dari dalam guci arak yang dipegang oleh tangan kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan, tepat sekali memasuki guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga suasana menjadi sunyi dan yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak dan tersenyum lebar. Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya dan sinar kuning emas itu pun lenyap.

“Saya telah mengganti arakmu, Locianpwe!” katanya tenang.

Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh girang. “Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan dia pun meneguk sekali, mengecap-ngecap bibirnya. “Hebat, arak tua yang lezat. Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang.” Dia menurunkan tangan kirinya dan Siauw Goat pun dapat bergerak.

Anak ini lalu berlari mendekati kongkong-nya. “Kongkong, kau bunuhlah siluman jahat ini!” katanya merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu sudah merebahkan diri lagi, meringkuk miring seperti orang hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua!

Tentu saja Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpandangan luas, dia tahu bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan kesalahannya terhadap cucunya tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw Goat menjauhi pengemis itu.

Siauw Goat yang bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh kemarahan, tertarik pergi menjauh.

“Kongkong, katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa Kongkong tidak menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala!”

Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tak ingin mencari perkara dengan kakek jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu akan memandang rendah kepadanya, dan dia akan menjadi buah tertawaan orang-orang lain.

“Sudahlah, perlu apa layani dia?” Akhirnya dia berkata.

Ucapan ini membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang tidak teratur itu bergerak-gerak.

“Ha-ha-ha-ha!” Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu. “Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal itu, coba kau ambil daun ini apakah dapat sebelum bicara tentang bunuh-membunuh!” Sambil berkata demikian, jembel tua itu mengambil sehelai daun pohon yang gugur.

Daun yang sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang naik. Akan tetapi kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya, dan tangan itu seperti ketika dia ‘menahan’ Siauw Goat tadi, diangkat dengan telapak tangan ke arah daun itu dan.... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang di udara seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang ke arah Kakek Kun!

Kakek Kun sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu memamerkan tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu, sungguh pun penyerangan itu hanya merupakan suatu ujian belaka.

“Hemm, cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak kecil pula yang bertubuh tua bangka!” kata Kakek Kun dan dia pun lalu meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun yang melayang-layang ke arah dirinya itu.

Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan oleh tenaga lain yang datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah kakek pengemis. Akan tetapi kakek pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang kakek. Mereka tidak bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara seperti terjepit di antara dua kekuatan dahsyat!

Makin lama dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar, makin lama makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih! Inilah tanda bahwa keduanya saling mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu!

Semua piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan muka penuh ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah mencapai setinggi itu, tetapi mereka semua mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini. Baru sekarang Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar merupakan orang orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali!

Diam-diam sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan pandang mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggota rombongan itu, di samping dua orang kakek yang saling bertanding tenaga sinkang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang amat hebat antara dua orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka ke alam baka!

Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga sinkang mereka sudah terlanjur saling melekat dan sukar untuk ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu akan terancam bahaya dorongan hawa sinkang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya karena mereka memiliki tingkat tenaga sinkang yang berimbang, dan kalau dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat terluka sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang bersamaan, agaknya mereka masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan tidak ada yang mau mengalah!

“Ji-wi seperti dua orang anak kecil sedang berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba terdengar sastrawan itu berseru. Dari samping dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke depan, mengarah tengah-tengah antara kedua orang kakek itu, yaitu ke arah daun yang masih mengambang di udara.

Dua orang kakek itu berseru kaget dan daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan melayang ke bawah. Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang sama ketika keduanya merasa terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan mereka terhindar dari mala petaka. Kini mereka dengan mata terbelalak memandang kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek Kun sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya, sungguh pun dia sudah tahu bahwa sastrawan itu bukan orang sembarangan.

Kakek pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang saja, tangan kanan memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak. Ujung tongkat bambunya kini menyentuh mangkok retak di bawah pohon dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja mangkok itu menyambar turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya.

Tiba-tiba sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan akan tetapi pandang matanya yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu.

“Arak untuk menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul anjing. Kalau arak untuk mabok-mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi makanan dan tongkat digunakan untuk memukul orang baik-baik, itu namanya menyeleweng dan tidak pantas menjadi pengemis!”

Mendengar ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu berkata, “Bukankah itu ajaran terkenal dari Khong-sim Kai-pang?”

“Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi,” jawab sastrawan itu.

Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) adalah sebuah perkumpulan yang paling terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di antara perkumpulan pengemis lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia pengemis.

“Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir, yaitu Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu Kai-ong?”

“Beliau pernah menjadi guruku.”

Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu menunjukkan bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka jawabannya adalah ‘pernah menjadi guruku’.

“Aihh, kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong yang amat kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa, benar benar merupakan pertemuan yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah meninggalkan kedudukan pengemis untuk berubah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah salah memukul orang!” Kakek kurus itu tertawa.

Sastrawan itu memandang tajam. Tentu saja ia juga pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai Bhok Sun, seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum pengemis di dunia selatan di samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura dengan hormat.

“Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe tidak pernah salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang tidak menyenangkan antara teman segolongan sendiri.” Sastrawan muda itu berani menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal nama kakek pengemis itu sebagai seorang tokoh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biar pun belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat.

Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, semua gara-gara kekerasan hati, dan dibandingkan dengan kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat lagi!” Dia lalu menjura kepada Kakek Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan kesalah fahaman tadi. Engkau sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu siapakah julukanmu?”

Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba tiba Siauw Goat berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. “Kongkong, hati-hati, di balik air tenang ada ikan buasnya, di balik kulit halus ada ulatnya!”

Semua orang tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak memperingatkan kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena dia masih saja merasa penasaran dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu.

“Hei, anak nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk berkenalan dengan orang-orang gagah seperti murid Sai-cu Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau dia tidak merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang jembel tua bangka seperti aku!”

Ucapan dan sikap kakek pengemis itu membayangkan ketinggian hatinya, sungguh tidak sesuai sama sekali dengan keadaan pakaiannya seperti seorang pengemis! Dan Kakek Kun sejenak memandang dengan sinar mata tajam dan mukanya berubah pucat, akan tetapi hal ini hanya dapat ditangkap oleh pandang mata sastrawan itu yang mengerutkan alisnya karena sastrawan ini dapat melihat bahwa kakek ini seperti merasa terpukul dan agaknya kakek ini menderita sekali.

Padahal dia tahu bahwa dalam adu tenaga tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi. Akan tetapi sekarang kakek itu menunjukkan gejala-gejala seperti orang yang menderita luka dalam yang amat hebat, sungguh pun hal itu agaknya hendak disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan keangkuhan kakek ini, Si Sastrawan juga mengambil sikap tidak peduli.

Akhirnya terdengar kakek itu menggumam, “Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan aku tidak ingin mencari musuh baru atau sahabat baru.” Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya membelakangi pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk kecil lalu menggandeng tangan cucunya dan pergi dari situ.

Sejenak kakek pengemis itu memandang dengan mata terbelalak, mukanya lalu menjadi merah dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, aku pun tidak ingin berdekatan dengan rombongan orang-orang tinggi hati dan besar kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu berkelebat dan sekali meloncat dia pun lenyap dari situ.

Semua orang terkejut, termasuk Lauw Sek. Kepala piauwsu ini sudah banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh, maka mengertilah dia bahwa pengemis tua itu benar-benar seorang yang pandai sekali dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak bermaksud mengganggu barang-barang kawalannya. Juga dia merasa beruntung bahwa ada orang-orang sakti seperti Kakek Kun dan juga sastrawan muda itu dalam rombongannya.

“Kita mengaso di sini dulu,” katanya, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang saudagar gendut itu. “Malam nanti kita dapat melewatkan malam di dalam hutan bambu, dan besok pagi-pagi kita menuruni lembah di depan itu dan tiba di dusun Lhagat, dari mana kita akan melanjutkan pendakian ke Pegunungan Himalaya.”

Sambil mengeluarkan napas lega tiga orang saudagar itu mencari tempat teduh di bawah pohon, melepaskan beberapa kancing baju bagian atas lalu mengebut-ngebutkan kipas yang mereka bawa untuk mengeringkan peluh yang membasahi leher dan dada. Para pemikul barang kawalan rombongan piauwsu itu pun menurunkan pikulan mereka dan para piauwsu membuka buntalan mengeluarkan bekal makanan dan minuman.

Sastrawan itu menyendiri agak jauh, duduk melamun dengan wajah seperti biasanya, agak sayu dan muram. Demikian pula Kakek Kun membawa cucunya menjauh sedikit, duduk bersila dan seperti orang bersemedhi, sedangkan cucunya nampak makan bekal mereka roti kering sambil minum air jernih dari guci. Agaknya kakek itu mengomeli cucunya, sebab tidak seperti biasa, Siauw Goat juga menjadi pendiam dan agak murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak seperti biasa lincah dan tak pernah mau diam.

Setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek Kun terpaksa memperlihatkan ilmu mereka yang tinggi, rombongan piauwsu itu menjadi jeri dan sungkan, tidak berani sembarangan menegur, apalagi bersikap sebagai sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka bahkan mempunyai perasaan segan dan takut-takut. Agaknya Kakek Kun dan sastrawan itu juga merasa lebih senang kalau didiamkan saja, lebih senang tenggelam dalam lamunan mereka sendiri!

Setelah makan minum dan beristirahat, Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi rombongannya. “Kita tidak boleh terlambat, sebelum gelap harus dapat tiba di hutan bambu di lembah itu karena sekeliling daerah ini hanya hutan bambu itulah tempat yang paling baik untuk melewatkan malam,” katanya dan semua orang tidak ada yang membantah, biar pun dari wajah mereka, tiga orang saudagar gendut itu mengeluh. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita, hal itu karena mereka mengharapkan keuntungan berlipat ganda dari batu-batu permata di saku-saku baju mereka, yang akan mereka jual di Nepal atau Bhutan.

Memang amat luar biasa. Betapa manusia dapat menahan segala kesukaran, segala derita kalau dia sedang mengejar sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan! Perjalanan itu amat melelahkan, jalannya naik turun dan kadang-kadang melalui daerah yang berbatu dan batu-batu yang runcing itu seperti hendak menembus sepatu, terasa oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi menjelang senja, akhirnya dengan tubuh yang amat letih bagi tiga orang saudagar itu, tibalah mereka di hutan bambu yang dirmaksudkan oleh Lauw-piauwsu. Para piauwsu juga letih. Apalagi orang-orang yang memikul barang bawaan mereka itu, mereka mandi keringat ketika menurunkan barang barang itu, menumpuknya di dekat rumpun bambu yang tinggi melengkung.

Tanah di hutan itu penuh dengan daun bambu kering sehingga enak diduduki, seperti duduk di atas kasur saja.

“Hati-hati kalau malam nanti membuat api unggun,” kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun harus dibersihkan dari daun kering agar tidak menjalar dan menimbulkan kebakaran dalam hutan, walau pun hal itu agaknya tidak mungkin karena kurasa malam ini hawanya akan dingin dan lembab. Sebaiknya membuat satu api unggun besar dan kita duduk di sekelilingnya, agar lebih hangat dan lebih aman, dapat saling menjaga.”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang mengejutkan dan seorang di antara para piauwsu yang tadi mencari ranting-ranting kering agak jauh dari situ berlari mendatangi dengan muka pucat dan napas yang memburu, kelihatan ketakutan sekali, kemudian terdengar dia berteriak dengan suara gagap. “Ada.... ada mayat....!”

Semua orang lalu memburu ke arah piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang gemetar dan setelah tiba di tempat itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu itu, seorang yang biasa dalam pertempuran dan sudah sering kali melihat orang terbunuh, kelihatan begitu gugup dan ketakutan. Memang amat mengerikan sekali apa yang mereka lihat itu. Mayat-mayat berserakan, dalam keadaan menyedihkan karena tidak ada tubuh mereka yang utuh! Tubuh itu seperti ‘dirobek-robek’, bahkan ada yang kaki tangannya putus atau terlepas dari badan! Dan melihat betapa tempat itu masih berceceran darah yang mulai membeku dapat diduga bahwa pembunuhan itu terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat itu.

Tentu saja para piauwsu menjadi ribut, dan tiga orang saudagar gendut itu hampir saja pingsan, lari menjauhi dan muntah-muntah. Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang tetap tenang, walau pun kakek itu melarang cucunya mendekat, kemudian membawa cucunya kembali dan menjauh dari tempat yang menyeramkan itu.

Lauw-piauwsu lalu mengajak anak buahnya untuk menggali sebuah lubang besar dan menguburkan lima mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada sinar mata kagum pada mata Kakek Kun yang mencorong itu dan dia mulai merasa suka kepada kepala piauwsu itu yang ternyata, dalam keadaan seperti itu, meski dia seorang yang biasa menggunakan kekerasan dan menghadapi tantangan hidup dengan golok di tangan, namun masih memiliki peri kemanusiaan dan suka mengurus dan mengubur mayat orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Dengan adanya lima mayat di dekat tempat itu, tentu saja suasana menjadi seram dan semua orang merasa amat tidak enak hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi termenung, kini bangkit berdiri dan melangkah pergi.

“Taihiap, engkau hendak ke manakah?” Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya dan bertanya sambil menghampiri sastrawan yang agaknya hendak pergi itu. Dia menyebut taihiap karena dia maklum bahwa sastrawan itu adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya. Sebelum peristiwa dengan kakek pengemis itu, dia selalu menyebutnya kongcu (tuan muda). Sastrawan muda itu berhenti melangkah dan menoleh.

“Pembunuh kejam itu tentu berada di sekitar sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu melanjutkan langkahnya.

Lauw-piauwsu tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena memang tadi pun dia sudah merasa curiga. Pembunuhan kejam itu belum lama terjadi dan memang kemungkinan besar pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa pun makhluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan makanan setelah melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur para anak buahnya untuk melakukan penjagaan secara bergilir.

Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya diciptakan oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang terasa amat menyeramkan, dengan bunyi daun-daun bambu terhembus angin, bergesekan dan diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang saling bergosokan, seperti tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng, melainkan terutama sekali disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu.

Lewat tengah malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggota rombongan sudah tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat sunyi melengang, tiba-tiba terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang. Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di antara empat orang pemikul barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi, sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka namun masih mempertahankan diri melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!

Ketika semua orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar, akan tetapi mereka terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan mereka memakai semacam sarung tangan yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah jari tangan yang melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang piauwsu itu sudah luka luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu meloncat, dua orang piauwsu itu roboh dengan perut terbuka karena dicengkeram dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan berkelojotan!

Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar sinar berkilauan menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.

“Tring-tring-cring....!”

Dua orang itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam batang hui-to yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada saat itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan menjadi terang.

“Kalian....!?” Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah dua orang tinggi besar itu yang tertimpa sinar api unggun.

Semua orang pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan lain adalah dua di antara empat orang pemikul barang-barang dalam rombongan mereka! Dua di antara para pemikul barang-barang yang mereka tadinya hanya anggap sebagai orang--orang kasar yang mengandalkan tenaga kasar untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!

“Kalian anggota Eng-jiauw-pang...?” Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih mencekam hatinya.

“Ha-ha-ha!” Seorang di antara dua orang ‘kuli’ itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami hanya menghendaki satu peti ini saja!” katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru merupakan benda yang paling berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu intan besar.

“Pek-i-piauw-kiok tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan tidak mengganggu. Pada suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lauw Sek dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya.

Diam-diam ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa bisa sampai ‘kebobolan’ dan tidak tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang paling ganas di Se-cuan menyamar sebagai dua orang kuli angkut barang! Memang dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun dengan perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang anggota Eng-jiauw-pang.

Dia segera mengenal dua orang anggota Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua tangan itu, yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggota Eng-jiauw-pang yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan dengan fihak Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah merampok barang barang yang tidak berharga.

“Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani main sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail! Sudahlah, kami sudah bersusah payah memangguli barang-barang ini, dan peti ini adalah upah kami!”

“Tidak mungkin kalian dapat melarikan peti itu tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu membentak dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak buahnya yang hanya tinggal sembilan orang saja karena yang dua orang sudah terluka parah.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang membesar kadang-kadang mengecil itu. Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar api ini sungguh menambah seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari kegirangan di antara mereka yang bertempur mati matian.

Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang merupakan sarung tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biar pun mereka berdua dikeroyok oleh sepuluh orang piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar sepasang goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil mendesak dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara mereka membentak keras, terdengar ledakan dan nampak asap kehijauan mengepul tebal.

“Awas asap beracun!” Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur.

Dengan sendirinya kepungan itu menjadi berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan mereka melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun yang berdiri dengan wajah bengis.

“Tinggalkan peti itu!” bentaknya.

“Kun-locianpwe, harap engkau jangan mencampuri urusan antara Eng-jiauw-pang dan Pek-i-piauw-kiok!” seorang di antara mereka berseru marah.

“Hemm, aku tak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat kalian melakukan kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan kutentang!”

Dua orang itu membentak keras dan mereka menubruk dari kanan kiri. Kakek Kun cepat menangkis dan balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat dielakkan dan ditangkis oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya, sebaliknya kini mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak hebat. Setiap tamparan yang keluar dari tangan kakek itu demikian ampuhnya sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa menangkisnya, mereka tentu terdorong dan terhuyung-huyung!

Betapa pun juga, dua orang perampok itu menjadi nekat oleh karena tempat itu sudah dikepung lagi oleh Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau mereka berdua hendak melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matian. Namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali mengadu tenaga mereka dengan sinking, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan mengaduh aduh, sukar untuk bangkit kembali!

Lauw-piauwsu merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh. Akan tetapi Kakek Kun berseru, “Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!”

Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jeri terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka!

Melihat sinar mata dua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya terdengar lirih sekali. “Pergilah.... pergilah....!”

Kedua orang itu kemudian mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat, “Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih....”

“Kongkong....!” Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lainnya terkejut melihat kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.

“Kun-locianpwe....!” Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguh pun wajahnya masih amat pucat.

“Kongkong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kongkong telah terluka parah, masih melayani segala jembel dan perampok busuk!” terdengar Siauw Goat mengomel.

“Kongkong....!” Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa kakeknya amat menderita.

Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidak senangan hatinya.

“Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?” Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya, sedangkan para anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas.

Kakek itu tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat gosok panas itu.

Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, dan menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh serta memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.

“Lauw-piauwsu....,” katanya lemah.

“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?”

“Dekatkan telingamu....,“ katanya semakin lemah.

Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut.

Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!

“Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!”

Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya. “Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari Kun-locianpwe saat ini.”

Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.

“Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?”

“Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apa pun juga.” ,

“Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantunya sampai dia dapat bertemu dengan orang tuanya....“

“Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya.”

“Aku tidak minta tolong secara cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku bajuku, Goat-ji (Anak Goat)....”

Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik bisik dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Sekarang dia lalu memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.

“Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup....“ Dia menyerahkan kantung kain hitam itu.

“Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!”

“Terimalah.... dan bukalah....” Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw Sek tidak berani membantah lagi.

Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.

“Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?” katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.

“Kau.... mengenalnya....?”

Lauw Sek mengangguk. “Bukankah ini mutiara biru India yang hanya....”

“Sudahlah.... laksanakan permintaanku....” Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila.

Tangannya masih mampu menangkis saat Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya. Akhirnya dia dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri.

Ini adalah cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang!


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 02


Suling Emas Naga Siluman Jilid 01

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 01
Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlomba megah menembus awan. Sinar matahari pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan sisa malam dan menyalakan segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya yang merah keemasan.

Salju yang menutupi puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma (Mount Everest), Kancen Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh dengan emas murni.

Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan.

Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah dan amat indah. Kata-kata tiada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi.

Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi mendahului sang surya hanyalah burung-burung, hewan-hewan, dan manusia-manusia petani yang miskin! Orang kaya di kota biasanya baru akan bangun dari kamar mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali!

Pegunungan Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling luas, dan paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang dari barat ke timur sebagai tapal batas yang sukar diukur dan ditentukan letaknya dari negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan.

Pegunungan Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi, yang tertinggi dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount Everest sebagai puncak tertinggi (8882 meter), dan Kancen (Kincin) Yunga. Itu adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan Himalaya. Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang amat curam, mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai Brahmaputera.

Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani Tibet, sungguh pun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruh buruh tani belaka karena semua sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping para pendeta yang memiliki kekuasaan besar sekali di negara ini.

Pagi itu, sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang aliran air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka bertiga memakai pakaian tebal karena hawa sangatlah dinginnya. Di sebelah tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang petani Tibet sedang bekerja mencangkul tanah.

Sepagi itu mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke atas mereka bertelanjang sehingga nampak otot-otot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk melempangkan pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang.

“Sudah lelah? Heh-heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan menambah semangat?” temannya menegur.

Laki-laki bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara sepenuh paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyiannya dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si Penyanyi ini menengadah seolah olah hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncak-puncak yang menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang amat disuka oleh para petani miskin.

Wahai Yolmo Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu Cangpo yang panjang!
Dapatkah kalian memberi jawaban?
Kedua tanganku kuat bekerja berat
namun tiada seperseratus yang di hasilkannya
menjadi bagianku untuk makan!
Aku punya hati
suaranya membeku di mulut,
telingaku disuruh tuli
mataku disuruh buta
nyawaku lebih murah dari pada seekor domba!
Wahai, Yolmo Lungma
sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi!
Ahaoi, Yalu Cangpo,
tenggelamkan aku di airmu yang dalam!


Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar jelas oleh mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak nampak dari perahu, maka terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan dinding batu gunung.

Akan tetapi tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka segera mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah Tibet karena lagu itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga hampir saja menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi, biar pun sekarang tidak ada lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih digemari oleh para petani.

Tiga orang dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai. Pegunungan Kun-lun memang terkenal sebagai satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak orang pandai, pertapa-pertapa gemblengan, sungguh pun yang paling terkenal tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan satu di antara partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong kepada aliran Im-yang.

Yang seorang berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan mulut yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih lebih muda, usianya empat puluh lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya sederhana dan di punggungnya tergantung sepasang pedang.

Dia pun seorang tosu dari aliran lain, tetapi merupakan sahabat baik dari Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di dunia kang-ouw dia terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Dari julukannya saja orang dapat menduga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan memiliki ginkang yang hebat. Dan memang demikianlah adanya.

Apakah yang menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar dan sejauh itu sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan hanya mereka bertiga saja yang pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya daerah Pegunungan Himalaya yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu yang menarik para tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta yang menarik para tokoh kang-ouw seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum halus itu, melainkan suatu berita yang datangnya dari kota raja tentang lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana kerajaan!

Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kota raja karena pedang pusaka kerajaan, satu di antara pusaka-pusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas dari dalam gudang pusaka yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling masuk, akan tetapi ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) itu telah hilang dari tempatnya!

Tentu saja kota raja menjadi geger. Pedang ini telah dianggap sebagai pusaka pelindung keagungan keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang orang pandai untuk mencari jejak pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan!

Koai-liong-pokiam merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa untuk melindungi keamanan atau keagungan keluarga Kaisar, tetapi di kalangan persilatan, di dunia kang-ouw, pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada desas-desus bahwa siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan karena pedang itu ampuh bukan kepalang!

Maka bukan hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari pencurinya dan mengembalikan pedang Koai-liong-pokiam ke Istana, akan tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang untuk dikembalikan kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri!

Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa pedang pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang menarik semua tokoh kang-ouw untuk berbondong-bondong pergi mengunjungi daerah Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib memperebutkan pedang pusaka itu. Atau setidaknya, mereka akan mendapat tambahan pengalaman. Daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia persilatan!

Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Ada pun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat!

Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih, bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali.

Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan pembunuhan dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaikat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka.

Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka mereka pun datang berkunjung melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Akan tetapi, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing.

Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tak asing dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia bisa sampai berada di situ pun karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia menarik napas panjang.

“Siancai....!” kata tosu muda ini. ”Agaknya di ujung dunia yang mana pun, kita selalu akan bertemu dengan manusia-manusia yang selalu berkeluh kesah karena merasa hidupnya sengsara!” Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.

“Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno,” kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.

“Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja,“ Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang cukup kuat.

Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan puas!
Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?


“Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?” Hok Keng Cu bertanya.

Ciok Kam tosu menarik napas panjang “Sebagian juga mencela kita sendiri, Toheng. Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?”

Sebelum kedua orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan yang bergema ke bawah, “Ahooii.... kalian yang berada di bawah!”

Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet.

Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu segera berteriak dengan mengerahkan khikang sehingga suaranya bergema sampai ke atas tebing, “Sobat, kau mau apakah?”

Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan sekarang dia berkata lagi, “Hati-hati, jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya!”

Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu menjawab nyaring, “Terima kasih atas pemberitahuanmu....”

Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandangan mata petani yang masih menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.

“Ahhh, apakah yang dikatakan orang itu tadi?” tanya Ciok-tosu kepada kedua orang sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut.

“Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu?” tanyanya, “Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita bertiga membasminya!”

“Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki tangan kita!” kata Hok Keng Cu.

“Hemm, kalau begitu dia iblis?” tanya Ciok-tosu dengan heran.

“Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis, melainkan seekor makhluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan yang mukjijat, tidak masuk akal!”

“Ehhh.... ?” Tosu muda itu makin kaget.

“Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi Kongmaa La itu, sungguh pun sebenarnya paling baik jika mengambil jalan dari gunung itu, di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui,” kata pula Hok Keng Cu.

“Toheng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?” tanya Ciok Kam.

Yang ditanya menggeleng kepala. “Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti.”

“Kalau begitu, mengapa Ji-wi Toheng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya!”

“Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandai pun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi makhluk seperti itu?”

Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena hatinya tertarik sekali. “Seperti apa macamnya, Toheng? Aku ingin sekali melihatnya.”

“Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti beruang, ada pula yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!”

Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Ahh, jangan-jangan mayat mayat yang kita lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia!”

Dua orang sahabatnya termenung, kemudian mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka.

“Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To-yu.”

“Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata tajam,” Ciok-tosu membantah.

“Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang mana pun juga!” kini Hok Ya Cu ikut bicara.

Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka.

Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan dan salju. Hawa masih dingin sungguh pun sinar matahari cukup cerah di pagi itu.

Di sebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.

“Gunung apakah itu?” Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.

“Itulah Kongmaa La....,“ jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jeri.

Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, melainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan sikap yang demikian takut dan pengecut? Sikap kedua orang temannya itu tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.

“Pinto mau mendarat di sana!” tiba-tiba dia berkata.

“Ehh....?” Hok Keng Cu berseru.

“Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!” seru Hok Ya Cu menyambung.

“Kalau Ji-wi Toheng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La!” Melihat dua orang sahabatnya itu hanya saling pandang dan ragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu kemudian menyambung. “Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud untuk mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka!”

Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut dan saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Kemudian Hok Keng Cu berkata. “Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!”

Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suheng-nya. Mereka kemudian mendayung perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak.

“Ini namanya Lembah Arun!” berkata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah Himalaya itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas.

“Betapa hebatnya kekuasaan To!” dia menggumam karena takjub dan terpesona oleh keindahan itu.

Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tiada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu hening! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabadikannya di dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan!

Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemukjijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib.

Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoritis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta kehilangan cahaya dan apinya itu!


Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air kecil yang amat jernih.

Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur, merupakan lembah sungai yang paling curam di dalam dunia ini. Suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia.

Di depan adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang.

“Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dahulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini!” kata Hok Keng Cu yang sudah berpengalaman di tempat itu.

Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau muncul kembali bayangan makhluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu.

“Toheng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?”

Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan makhluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan makhluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab, “Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya makhluk. Jadi Yeti dinamakan makhluk dari daerah berbatu oleh bangsa Tibet.”

Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi. “Mengapa dinamakan makhluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?”

“Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!” Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat.

“Tidak mengapa,” Hok Keng Cu berkata. “Ciok-toyu bukanlah bermaksud menghina melainkan karena memang ingin sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas! Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa makhluk itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan.”

Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju.

Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biar pun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat baying-bayang pendek di belakang mereka.

Mereka berjalan beriring-iringan karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali. Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sute-nya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak pernah tertinggal, karena dalam hal ginkang dia lebih unggul dari pada dua orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dua orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu (pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang.

“Lihat ini....!” Ciok-tosu berseru.

Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka telah mengambil pedang dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan rusak!

Mereka bertiga saling pandang. Sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti!

“Mari kita melanjutkan perjalanan!” akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar dan tidak lancar.

“Tapi.... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini....,“ kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua mayat itu.

“Ahh, kita tidak ada waktu, Toyu, jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!” Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan seperti itu tak terurus.

Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega.

“Kita sudah hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat!” Biar pun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak ada makhluk mengerikan itu mengganggu mereka.

Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru, “Siancai....!”

Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tidak jauh dari situ, tertutup rumput yang agak tinggi, nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di mana mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas.

Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu.

suling emas naga siluman jilid 01


Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-po-kiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk?

“Hei, manusia atau makhluk jahat, lekas keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!” teriaknya.

Dua orang sahabatnya terkejut sekali. “Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu sebelum terlambat!” seru Hok Keng Cu.

“Toheng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini!” kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh.

“Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau suka menurut dan tidak usah menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!” kata Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah.

Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu adalah orang-orang pandai, dan kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.

“Baiklah, Toheng, mari kita pergi!” katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur.

Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua teman seperjalanannya itu ke dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah goa yang tertutup oleh sebuah batu besar.

“Bantu pinto menggeser pintu batu ini!” katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang goa.

Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan lahan batu bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang goa yang cukup lebar. Mereka segera memasuki goa itu. Goa itu luas dan nampak burung-burung walet berseliweran di sebelah dalam.

“Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya menutup lagi dan kita aman sudah,” kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega. “Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.”

Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu goa, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam goa itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Mereka bertiga lalu duduk di dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih memasuki goa dari pintu yang terbuka itu.

“Besok pagi kita ke manakah?” Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya.

“Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu.”

“Masih jauhkah dari sini?”

“Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak sebuah lereng di sebelah timur. Di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah.”

“Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana?”

“Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayur-sayuran.”

Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur. Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu goa batu. Tidak lama kemudian api unggun itu padam, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking lelahnya.

Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup lubang goa ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor makhluk yang menakutkan! Akan tetapi dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu bangkit duduk dan menggaruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil.

“Hemmm, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya,” gerutunya.

Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan goa itu menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia memperhatikan.

Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup goa itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar goa. Cepat dia menghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang.

“Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah!”

Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak.

“Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!” Hok Keng Cu berkata dan tangannya meraba sakunya.

Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, sama sekali tak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam goa batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup goa, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar.

Hok Keng Cu berteriak. “Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!”

Mereka berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung kekuatan sinkang yang besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan tetapi ada kekuatan dahsyat dari luar yang menentang dan yang mendorong pintu itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat, dilakukan dengan diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan dan menegangkan.

Terdengar suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga suara itu menggetarkan bumi sampai ke dalam goa. Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga yang mendorong batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong ke kanan! Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak!

“Lepaskan dan terjang ke luar! Di dalam tidak leluasa!” Hok Keng Cu tiba-tiba berseru setelah mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu mempertahankan batu besar yang didorong terbuka dari luar itu.

Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat terdorong ke kanan dan terbukalah goa itu. Mereka agak silau oleh masuknya sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka sudah berloncatan keluar goa dan telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan membalik, mereka bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat makhluk yang berdiri di depan mereka.

Makhluk itu tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya yang kasar itu agak panjang di bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut, seperti muka monyet besar yang lebih mirip manusia dari pada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia bentuknya, tidak bersiung. Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang sampai ke lutut, kedua pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar.

Akan tetapi makhluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia dari pada monyet atau beruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat seperti batu gunung! Akan tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan makhluk ini. Sebatang pedang pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan itu sampai ke belakang. Tidak nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah agak lama pedang itu menancap di paha makhluk aneh ini.

“Yetiiii!” Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan.

Makhluk ini melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher makhluk itu.

“Aurgghhhh....!” Yeti itu mendengus dari tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok Ya Cu menebas ke arah lengan yang diangkat itu.

“Trakkkk!” Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar, membuat orangnya terhuyung ke belakang.

“Dia kebal!” kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah dilolosnya tadi dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti seekor ular, dibarengi suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata makhluk itu secara bertubi-tubi!

Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika ujung sabuk putih itu mematuk-matuk.

“Tak-tuk-tak-tuk!” terdengar suara dan seperti juga pedang tadi, seolah-olah ujung sabuk yang sudah menjadi kaku karena digerakkan dengan sinkang itu bertemu dan menotok benda-benda keras melebihi baja!

Yeti menjadi marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu terpaksa menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah menyelamatkan senjatanya itu.

Sementara itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun pedangnya menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga tosu ini menjadi sangat jeri. Ada pun Ciok Kam setelah melihat keadaan dua orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan panjang dan dia pun menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga membentuk sinar sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan sinar berkilauan yang menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang pedang) dari tosu muda Kun-lun-pai ini!

Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua tangannya dan setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi dan terpaksa meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh makhluk ini kebal dan keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat seperti kawat-kawat baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian telapak tangannya yang pecah dan berdarah!

Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha kanan makhluk ini ditembus pedang yang masih menancap, berarti bahwa makhluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu dapat menancap di paha makhluk itu, mengapa kedua pedangnya tidak? Dia menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung mengarah paha makhluk itu.

“Trak-trak, tringgg....!”

“Aihhhh....!” Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan kanannya yang telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang paha kanan makhluk itu dan tanpa disengaja, makhluk itu menggerakkan kaki dan pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di paha makhluk itu dan.... pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di tangan kiri yang menusuk paha kiri makhluk itu terpental kembali!

“Dia kebal dan lihai, mari kita lari!” Hok Keng Cu berseru.

Akan tetapi Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh Kun-lun-san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor binatang aneh yang sudah terluka paha kanannya ini tidak mampu menang?

Tiba-tiba Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Biar pun pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia menyerang dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala makhluk itu! Jurusnya ini adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.

Yeti itu menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian kerasnya sehingga ketika pedang itu menusuk, pedang dan orangnya kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai beberapa meter jauhnya, menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus menggelundung masuk ke dalam jurang!

Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang dengan pedang dan sabuk sutera.

“Crattt!” Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan makhluk itu.

Makhluk ini mengaum. Tangan kanannya yang panjang berbulu itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu pundak Hok Keng Cu karena dicengkeram. Kuku-kuku yang amat panjang, kuat tajam dan runcing melengkung itu meremukkan tulang pundak dan betapa pun tosu itu meronta, dia tak mampu melepaskan diri.

“Tidaaaak.... jangaaaaannn.....!” Tosu itu menjerit dan matanya terbelalak, akan tetapi makhluk itu sudah menggerakkan lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur menusuk dan menggurat. Terdengar kain robek dan kukunya telah merobek kain berikut kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati sampai ke pusar sehingga terobeklah perutnya dan isinya berantakan! Ketika dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa lagi dan mandi darah.

Hok Ya Cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan makhluk itu, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, dengan sekali lompat saja, makhluk yang kelihatannya lamban itu sudah mengejarnya. Sekali tangannya bergerak, jari-jari tangan yang kuat itu sudah menampar ke arah leher.

“Krekkkkk!” Tubuh Hok Ya Cu terpelanting dan roboh dengan tulang leher patah-patah. Tentu saja dia pun tewas seketika!

Yeti itu masih marah. Sepasang matanya kini menjadi kemerahan dan beringas. Dia mendengus-dengus, kemudian melangkah, terpincang-pincang dan kaku karena paha kanannya tertembus pedang, memasuki goa. Di dalam goa dia mengamuk, mengobrak abrik kayu-kayu bakar dan melempar-lemparkan batu-batu. Setelah puas mengamuk lalu dia keluar dan biar pun terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan cepat mendaki lereng yang berbatu-batu, kemudian menuruni jurang dan lenyap ditelan semak-semak belukar.

Suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu. Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah terbawa angin yang lalu, bercampur dengan bau daun-daun yang dihidupkan oleh sinar matahari pagi. Burung-burung yang tadinya seperti bersembunyi ketakutan, mulai menampakkan diri. Hanya beberapa macam burung yang tahan hidup di daerah dingin seperti Lembah Arun ini.

Mayat Hok Keng Cu telentang mengerikan. Matanya terbelalak dan perutnya terbuka. Mayat Hok Ya Cu rebah miring, kepalanya terputar dan matanya juga terbelalak seperti ketakutan.

Kurang lebih dua jam kemudian, nampak sesosok tubuh merangkak-rangkak keluar dari dalam jurang. Itulah Ciok Kam Tosu! Ternyata dia belum tewas dan ketika dia terguliing ke dalam jurang dalam keadaan pingsan, ada semak-semak yang kebetulan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh ke dalam jurang yang seolah-olah tidak berdasar saking dalamnya itu. Dan karena dia pingsan, maka makhluk aneh itu tidak mendengar dia bergerak lagi dan mengira dia sudah mati maka meninggalkannya.

Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu terbelalak, menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati penuh duka dia lalu menguburkan dua mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan menguburkan mayat kedua orang tosu dari Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir kehabisan tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam goa, tanpa menutupkan batu bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu malam itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu telah berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal tinju dan mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.

“Makhluk biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku!” Setelah berkata demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki lereng itu menuju ke barat, membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi pedangnya sehingga kini dia memiliki lagi sepasang pedang, sungguh pun ukuran dan beratnya tidak sama.

Alam di sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan Ciok-tosu, sama sekali tidak berubah. Keindahan alam yang tadinya mempesona itu kini baginya berubah menjadi keadaan yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan sinar mata penuh dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar.

Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri pengunjung yang terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik dari golongan bersih mau pun golongan sesat. Berbondong-bondong mereka datang mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang dari timur dan langsung mendaki pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki dari selatan, dan ada pula yang datang dari utara.

Pada suatu pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang berlapis pasir, berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan. Mereka terdiri dari belasan orang dan melihat gerak-gerik mereka, kebanyakan dari mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan bahaya.

Memang demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal-pengawal bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok (Perusahaan Pengawalan Baju Putih). Baju mereka semua memang berwarna putih, dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to (pisau terbang) di dada kiri, sungguh pun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu bukan sekedar hiasan belaka karena memang semua anggota Pek-i-piauw-kiok mempunyai keahlian melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan tepat.

Di antara dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan seorang yang telah memiliki banyak pengalaman. Piauwsu ini adalah pemimpin dari Pek-i-piauw-kiok sendiri bernama Lauw Sek, dan julukannya adalah Toat-beng Hui-to (Pisau Terbang Pencabut Nyawa) karena memang dia seorang ahli yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak buahnya sehingga mereka semua mahir melontarkan pisau terbang.

Sebelas orang anak buahnya itu merupakan anggota piauw-kiok pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan tugas yang amat penting. Dia bersama sebelas orang anak buahnya bertugas mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang pedagang dari Katmandu di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul oleh para anggota piauw-kiok.

Barang-barang berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu di Nepal dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar membayar mahal sekali kepada Lauw-piauwsu. Perjalanan itu amat jauh, sukar dan juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu seperti yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu.

Di dalam rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang telah tua namun yang juga memiliki kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini jelas memiliki kepandaian silat yang kuat, dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki jalan-jalan yang sukar dan mendaki, dan kadang-kadang dia masih harus menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua.

Gadis kecil itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis, lincah jenaka dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka dia tidak membantah kalau kakeknya memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggota rombongan dan disebut Siauw Goat (Bulan Kecil). Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya, membuat dia seperti menjadi sang bulan yang menerangi kegelapan malam dan mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring, nyanyiannya yang merdu, tariannya yang gemulai dan gerak-geriknya yang lincah jenaka.

Tiada seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si Bulan Kecil. Mereka mendengar kakek itu menyebut ‘Goat’ kepada anak perempuan itu, maka mereka lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau ada yang iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya ‘Goat’.

Kakek itu pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu huruf, yaitu ‘Kun’. Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun! Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik riwayat kakek ini.

Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam seperti kakek itu dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia sama sekali tidak mau menerangkan namanya! Akan tetapi tidak ada orang yang berani mendesak untuk bertanya kepadanya, karena diam-diam Lauw-piauwsu, kepala rombongan pengawal bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan kepada semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian amat tinggi dan agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang-ouw yang datang ke Pegunungan Himalaya untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang.

Maka semua orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu dengan segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun sastrawan itu tidak peduli, dia seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan sikapnya gagah biar pun gerak geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering kali muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan lebar. Dugaan Lauw-piauwsu dan sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam rombongan itu tidak berani banyak bicara dengan dia.

Selain Kakek Kun, Siauw Goat dan sastrawan ini, masih terdapat pula beberapa orang pedagang, yang karena mendengar akan adanya orang-orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya, tidak berani melakukan perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar uang jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu, rombongan mereka semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang!

Tiga orang pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka sudah mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga sudah kempas-kempis. Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat air mereka, akan tetapi karena minum ini pula keringat mereka menjadi semakin membanjir keluar.

“Ahh.... kami telah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?” seorang di antara mereka mengeluh.

“Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja!” tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda.

Pedagang gendut itu pura-pura melotot. “Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak lelah!”

Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, kemudian mengangkat dada dan bertolak pinggang. “Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayolah kita berlomba lari!” tantangnya.

Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi diajak berlomba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit.

“Sedikit lagi,” kata Lauw-piauwsu. “Kita mengaso di hutan depan sana itu.” Dia menuding ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat.

Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus sejak tadi memang amat melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang.

Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu, Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, sebab dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah semenjak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan.

“Hati-hatilah, Goat!” Kakek Kun berkata, tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari mendahului semua rombongan itu.

Siauw Goat menoleh, tertawa manis kepada kakeknya.

“Jangan khawatir, Kongkong!” katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke depan.

Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu memandang ke arah gadis cilik yang berlarian ke depan, alisnya berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia berkata kepada kakek di sebelahnya itu dengan suara tenang dan halus, “Lopek salah sekali membawa cucu yang demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini!” Suara itu tenang dan halus, juga lirih, akan tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak menentang pandang mata sastrawan muda itu.

Dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu melihat sinar mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek yang biasanya bermuram durja dan termenung saja itu, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda sastrawan itu, jelas membayangkan pandang mata seorang yang ‘berisi’. Memang keduanya, dalam sikap mereka yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa masing-masing adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan, sungguh pun keduanya kelihatan seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek yang keduanya lemah.

Sastrawan itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah karena malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu menjawabnya dengan teguran. “Kau peduli apa?”

Akan tetapi karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang mungil dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan pertanyaan yang nadanya menegur, dia merasa kepalang tanggung dan sastrawan itu melanjutkan kata-katanya dengan lirih tanpa terdengar orang lain, kini dengan sebuah pertanyaan. “Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya?”

Kembali mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya melanjutkan langkahnya satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengar dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan pertanyaan pula. “Dan ke mana engkau hendak pergi, orang muda?”

Sastrawan muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan angkuhnya, karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira, dia sekarang bertemu ‘batu’ dan kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya! Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih dulu, tanda bahwa kakek itu tidak akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu!

“Baiklah,” katanya lirih. “Jangan kau kira bahwa aku datang ke sini untuk mencari pedang kerajaan. Sama sekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku yang pergi!”

Sepasang mata yang tadinya mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya, dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan sastrawan muda tadi. “Aku membawa cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain aku!”

Sekarang sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak perempuan itu. Ia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan gembira, hampir tiba di hutan.

“Mengapa diajak ke tempat seperti ini?” Dia mendesak.

“Untuk mencari musuh kami!” Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat langkahnya, sengaja menjauh.

Sastrawan itu kembali terkejut. Dia semakin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan, biar pun sama sekali tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya.

Siauw Goat sudah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun lebat, hijau segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal.

Kakek ini seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek robek di sana-sini. Di dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat bambu butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan butut, dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak pinggirnya. Jelas dia adalah seorang pengemis tua yang sedang tidur.

Melihat seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar dan sunyi tiada orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran. Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di kota-kota di mana terdapat banyak orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi mengapa jembel tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa?

Siauw Goat adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah tertawa, mudah marah, mudah kasihan, pendeknya segala macam perasaan mudah sekali menguasai hatinya. Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri, dengan maksud memberi sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat seperti itu, apakah gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jajan karena di sepanjang jalan tidak ada orang berjualan apa pun.

“Kakek tua, bangunlah, kuberi derma padamu!” katanya lirih.

Dia melihat betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu melihat sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan tetapi hanya sebentar mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali! Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan tetapi hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur!

“Hei, Lo-kai....!” teriak Siauw Goat sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu untuk membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan sekarang terdengar dia mendengkur!

“Lo-kai (Pengemis Tua), kau tidak tidur, jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela dan terus mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya.

“Hemm, kau sengaja mempermainkan aku, ya?” Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya yang jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang putih menggigit bibir bawah. Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan kakek pengemis itu sudah lenyap sama sekali, terganti oleh perasaan gemas dan marah karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini sudah memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang mempermainkannya.

Dia tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa, kemudian dia mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon itu. Dengan berjingkat-jingkat dia menghampiri lagi kakek pengemis yang kelihatan masih tidur mendengkur itu. Dengan menggunakan rumput ilalang yang panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang runcing. Siauw Goat merasa yakin bahwa siapa pun juga, kalau dikilik seperti itu, tentu akan merasa geli dan pasti akan terbangun, apalagi kakek yang hanya pura-pura tidur ini.

“Ehhh....?” Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut.

Sampai lelah tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput itu memasuki lubang hidungnya, dia tetap tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu tidak hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin.

Makin kesallah hati anak perempuan itu. “Ihhh, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan terbangun kalau disiram air!”

Teringat air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat memaksa kakek ini bangun sebelum kongkong-nya dekat karena tentu kongkong-nya akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat batang pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci masih ada araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua malas itu bangun, pikirnya. Maka dia lalu mendekati kakek jembel itu dan menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua!

Tiba-tiba terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti ada tenaga yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci, arak itu secara aneh meluncur tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu minum arak yang memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak itu meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat langsung memasuki mulut!

“Wah, kau habiskan arakku, bocah setan!” Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan kakek pengemis yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci araknya yang sudah kosong karena memang araknya tinggal tidak banyak lagi dan semua telah diminumnya secara aneh tadi.

Siauw Goat menjadi marah. “Apa?! Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau menuduh orang sembarangan, ya? Tidak tahu malu, engkau sendirilah yang minum habis arak itu, sekarang menuduh aku yang menghabiskan. Hihh!”

“Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan cilik ini yang mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahu-tahu sekarang kau habiskan!” Kakek jembel itu marah-marah dan bersikap seperti anak kecil.

“Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap ya? Aku tidak suka padamu!” Siauw Goat kemudian membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan kakek pengemis itu. Tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah, tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghalangnya untuk melangkah maju terus.

“Aha, kau hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu mau pergi begitu saja. Engkau harus mengganti arakku!”

Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini semenjak kecil sudah banyak melihat keanehan-keanehan yang diperbuat oleh orang orang pandai ilmu silat, oleh karena itu dia tidak merasa heran dan dia dapat menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan yang sengaja mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya.

“Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain yang disuruh bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku punya arak? Aku tidak pernah minum arak!” teriaknya sambil membalikkan tubuh dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang jernih tajam.

“Ha, kulihat engkau tidak datang sendirian. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti arakku!”

“Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kau minum sendiri!” Siauw Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak.

“Huh, kalau begitu, harus kau ganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis itu berkata.

Akan tetapi kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu. Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah. “Aihhh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali dan suka minum darah manusia! Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau!”

Kembali Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri saja ke arahnya dalam jarak tiga meter!

Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu. Empat orang piauwsu yang berada paling depan terkejut melihat Siauw Goat berdiri seperti patung dan meronta-ronta seperti tertahan sesuatu itu dan seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke arah anak itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga bahwa tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel sungguh pun mereka tidak tahu secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw Goat, maka serentak empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat.

“Kau kenapakah, Siauw Goat?”

“Kakek jembel itu.... dan aku.... aku tidak dapat bergerak maju!” kata Siauw Goat yang meronta-ronta, seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya.

Empat orang itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya, akan tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa pun empat orang piauwsu itu mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan jatuh tunggang-langgang seperti daun-daun kering tertiup angin keras.

Melihat ini, terkejutlah Lauw-piauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya mendorong tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat orang menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini sekarang banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu kakek itu merupakan seorang tokoh kaum sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi melihat betapa Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya itu masing-masing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang sehingga secara berturut-turut ada enam buah pisau terbang menyambar nyambar ke arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari kakek jembel itu!

Sepasang mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar sekali. Tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang pohon di belakangnya dan begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang menyambar. Terdengar suara nyaring dan pisau-pisau terbang itu meluncur kembali sehingga menyerang pemiliknya dengan kecepatan yang luar biasa!

Tentu saja Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut sepasang siang-to (golok sepasang) yang kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan sinar golok itu menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya kembali ke pinggangnya.

Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, “Tahan semua, jangan mencampuri urusan cucuku!” Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang tentu saja sudah menjadi marah dan siap untuk mengeroyok.

Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena ketika dia menangkis pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu dengan pisau-pisau kecil itu, dia merasa betapa kedua tangannya kesemutan, tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisau-pisaunya itu amatlah kuatnya. Padahal kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu!

Kakek Kun kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang matanya yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk sambil tersenyum itu. Kemudian Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan terhadapmu, anggaplah saja itu kelancangan anak-anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius? Kalau hendak berurusan, baiklah engkau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang bertanggung jawab!”

Lauw-piauwsu dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh keheranan. Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu kakek ini mengeluarkan suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang kang-ouw yang menghadapi segala bahaya dan ancaman dengan tenang dan dingin. Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam kekuasaan tenaga sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan melarang orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat membahayakan cucunya.

Pengemis itu membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan tangan kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap diluruskan ke arah Siauw Goat yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia berkata dengan suara bernada mengejek. “Kalau berada di dunia bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak kecil. Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit dihabiskan oleh anak lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan kubebaskan dia!” Suaranya penuh tantangan ditujukan kepada semua orang yang berdiri di depannya.

“Bohong! Dia bohong, Kongkong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis!” teriak Siauw Goat dengan marah.

Kakek Kun mengerutkan alisnya yang sudah putih semua dan matanya yang mencorong menyambar kepada wajah pengemis itu. “Cucuku tidak pernah membohong!” bentaknya.

Pengemis tua itu memandang kepada Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kau katakan siapa yang mengambil guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis!”

“Memang aku yang mengambil, aku pula yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan semua ke dalam mulutmu! Hayo kau sangkal kalau berani!” bentak Siauw Goat dengan sikap menantang.

“Tetap saja perbuatanmu itu membuat arakku habis, baik masuk perut atau pun masuk tanah. Engkau atau orang lain harus mengganti arakku!” kakek jembel itu bersikeras dengan sikap kukuh.

Tiba-tiba terdengar suara yang halus tenang. “Locianpwe, semua omongan baru benar kalau ada buktinya. Apakah Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah kosong?” Semua orang menoleh, juga pengemis tua itu dan yang bicara dengan tenang itu bukan lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapi pengemis tua itu.

“Tentu saja!” Pengemis tua itu berteriak. “Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!” Dia mengangkat guci arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan.

Tiba-tiba nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau arak wangi. Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu adalah arak yang muncrat keluar dari dalam guci arak yang dipegang oleh tangan kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan, tepat sekali memasuki guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga suasana menjadi sunyi dan yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak dan tersenyum lebar. Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya dan sinar kuning emas itu pun lenyap.

“Saya telah mengganti arakmu, Locianpwe!” katanya tenang.

Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh girang. “Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan dia pun meneguk sekali, mengecap-ngecap bibirnya. “Hebat, arak tua yang lezat. Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang.” Dia menurunkan tangan kirinya dan Siauw Goat pun dapat bergerak.

Anak ini lalu berlari mendekati kongkong-nya. “Kongkong, kau bunuhlah siluman jahat ini!” katanya merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu sudah merebahkan diri lagi, meringkuk miring seperti orang hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua!

Tentu saja Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpandangan luas, dia tahu bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan kesalahannya terhadap cucunya tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw Goat menjauhi pengemis itu.

Siauw Goat yang bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh kemarahan, tertarik pergi menjauh.

“Kongkong, katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa Kongkong tidak menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala!”

Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tak ingin mencari perkara dengan kakek jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu akan memandang rendah kepadanya, dan dia akan menjadi buah tertawaan orang-orang lain.

“Sudahlah, perlu apa layani dia?” Akhirnya dia berkata.

Ucapan ini membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang tidak teratur itu bergerak-gerak.

“Ha-ha-ha-ha!” Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu. “Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal itu, coba kau ambil daun ini apakah dapat sebelum bicara tentang bunuh-membunuh!” Sambil berkata demikian, jembel tua itu mengambil sehelai daun pohon yang gugur.

Daun yang sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang naik. Akan tetapi kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya, dan tangan itu seperti ketika dia ‘menahan’ Siauw Goat tadi, diangkat dengan telapak tangan ke arah daun itu dan.... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang di udara seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang ke arah Kakek Kun!

Kakek Kun sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu memamerkan tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu, sungguh pun penyerangan itu hanya merupakan suatu ujian belaka.

“Hemm, cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak kecil pula yang bertubuh tua bangka!” kata Kakek Kun dan dia pun lalu meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun yang melayang-layang ke arah dirinya itu.

Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan oleh tenaga lain yang datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah kakek pengemis. Akan tetapi kakek pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang kakek. Mereka tidak bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara seperti terjepit di antara dua kekuatan dahsyat!

Makin lama dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar, makin lama makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih! Inilah tanda bahwa keduanya saling mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu!

Semua piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan muka penuh ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah mencapai setinggi itu, tetapi mereka semua mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini. Baru sekarang Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar merupakan orang orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali!

Diam-diam sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan pandang mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggota rombongan itu, di samping dua orang kakek yang saling bertanding tenaga sinkang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang amat hebat antara dua orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka ke alam baka!

Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga sinkang mereka sudah terlanjur saling melekat dan sukar untuk ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu akan terancam bahaya dorongan hawa sinkang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya karena mereka memiliki tingkat tenaga sinkang yang berimbang, dan kalau dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat terluka sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang bersamaan, agaknya mereka masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan tidak ada yang mau mengalah!

“Ji-wi seperti dua orang anak kecil sedang berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba terdengar sastrawan itu berseru. Dari samping dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke depan, mengarah tengah-tengah antara kedua orang kakek itu, yaitu ke arah daun yang masih mengambang di udara.

Dua orang kakek itu berseru kaget dan daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan melayang ke bawah. Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang sama ketika keduanya merasa terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan mereka terhindar dari mala petaka. Kini mereka dengan mata terbelalak memandang kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek Kun sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya, sungguh pun dia sudah tahu bahwa sastrawan itu bukan orang sembarangan.

Kakek pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang saja, tangan kanan memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak. Ujung tongkat bambunya kini menyentuh mangkok retak di bawah pohon dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja mangkok itu menyambar turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya.

Tiba-tiba sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan akan tetapi pandang matanya yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu.

“Arak untuk menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul anjing. Kalau arak untuk mabok-mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi makanan dan tongkat digunakan untuk memukul orang baik-baik, itu namanya menyeleweng dan tidak pantas menjadi pengemis!”

Mendengar ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu berkata, “Bukankah itu ajaran terkenal dari Khong-sim Kai-pang?”

“Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi,” jawab sastrawan itu.

Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) adalah sebuah perkumpulan yang paling terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di antara perkumpulan pengemis lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia pengemis.

“Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir, yaitu Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu Kai-ong?”

“Beliau pernah menjadi guruku.”

Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu menunjukkan bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka jawabannya adalah ‘pernah menjadi guruku’.

“Aihh, kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong yang amat kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa, benar benar merupakan pertemuan yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah meninggalkan kedudukan pengemis untuk berubah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah salah memukul orang!” Kakek kurus itu tertawa.

Sastrawan itu memandang tajam. Tentu saja ia juga pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai Bhok Sun, seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum pengemis di dunia selatan di samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura dengan hormat.

“Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe tidak pernah salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang tidak menyenangkan antara teman segolongan sendiri.” Sastrawan muda itu berani menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal nama kakek pengemis itu sebagai seorang tokoh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biar pun belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat.

Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, semua gara-gara kekerasan hati, dan dibandingkan dengan kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat lagi!” Dia lalu menjura kepada Kakek Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan kesalah fahaman tadi. Engkau sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu siapakah julukanmu?”

Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba tiba Siauw Goat berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. “Kongkong, hati-hati, di balik air tenang ada ikan buasnya, di balik kulit halus ada ulatnya!”

Semua orang tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak memperingatkan kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena dia masih saja merasa penasaran dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu.

“Hei, anak nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk berkenalan dengan orang-orang gagah seperti murid Sai-cu Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau dia tidak merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang jembel tua bangka seperti aku!”

Ucapan dan sikap kakek pengemis itu membayangkan ketinggian hatinya, sungguh tidak sesuai sama sekali dengan keadaan pakaiannya seperti seorang pengemis! Dan Kakek Kun sejenak memandang dengan sinar mata tajam dan mukanya berubah pucat, akan tetapi hal ini hanya dapat ditangkap oleh pandang mata sastrawan itu yang mengerutkan alisnya karena sastrawan ini dapat melihat bahwa kakek ini seperti merasa terpukul dan agaknya kakek ini menderita sekali.

Padahal dia tahu bahwa dalam adu tenaga tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi. Akan tetapi sekarang kakek itu menunjukkan gejala-gejala seperti orang yang menderita luka dalam yang amat hebat, sungguh pun hal itu agaknya hendak disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan keangkuhan kakek ini, Si Sastrawan juga mengambil sikap tidak peduli.

Akhirnya terdengar kakek itu menggumam, “Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan aku tidak ingin mencari musuh baru atau sahabat baru.” Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya membelakangi pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk kecil lalu menggandeng tangan cucunya dan pergi dari situ.

Sejenak kakek pengemis itu memandang dengan mata terbelalak, mukanya lalu menjadi merah dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, aku pun tidak ingin berdekatan dengan rombongan orang-orang tinggi hati dan besar kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu berkelebat dan sekali meloncat dia pun lenyap dari situ.

Semua orang terkejut, termasuk Lauw Sek. Kepala piauwsu ini sudah banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh, maka mengertilah dia bahwa pengemis tua itu benar-benar seorang yang pandai sekali dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak bermaksud mengganggu barang-barang kawalannya. Juga dia merasa beruntung bahwa ada orang-orang sakti seperti Kakek Kun dan juga sastrawan muda itu dalam rombongannya.

“Kita mengaso di sini dulu,” katanya, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang saudagar gendut itu. “Malam nanti kita dapat melewatkan malam di dalam hutan bambu, dan besok pagi-pagi kita menuruni lembah di depan itu dan tiba di dusun Lhagat, dari mana kita akan melanjutkan pendakian ke Pegunungan Himalaya.”

Sambil mengeluarkan napas lega tiga orang saudagar itu mencari tempat teduh di bawah pohon, melepaskan beberapa kancing baju bagian atas lalu mengebut-ngebutkan kipas yang mereka bawa untuk mengeringkan peluh yang membasahi leher dan dada. Para pemikul barang kawalan rombongan piauwsu itu pun menurunkan pikulan mereka dan para piauwsu membuka buntalan mengeluarkan bekal makanan dan minuman.

Sastrawan itu menyendiri agak jauh, duduk melamun dengan wajah seperti biasanya, agak sayu dan muram. Demikian pula Kakek Kun membawa cucunya menjauh sedikit, duduk bersila dan seperti orang bersemedhi, sedangkan cucunya nampak makan bekal mereka roti kering sambil minum air jernih dari guci. Agaknya kakek itu mengomeli cucunya, sebab tidak seperti biasa, Siauw Goat juga menjadi pendiam dan agak murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak seperti biasa lincah dan tak pernah mau diam.

Setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek Kun terpaksa memperlihatkan ilmu mereka yang tinggi, rombongan piauwsu itu menjadi jeri dan sungkan, tidak berani sembarangan menegur, apalagi bersikap sebagai sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka bahkan mempunyai perasaan segan dan takut-takut. Agaknya Kakek Kun dan sastrawan itu juga merasa lebih senang kalau didiamkan saja, lebih senang tenggelam dalam lamunan mereka sendiri!

Setelah makan minum dan beristirahat, Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi rombongannya. “Kita tidak boleh terlambat, sebelum gelap harus dapat tiba di hutan bambu di lembah itu karena sekeliling daerah ini hanya hutan bambu itulah tempat yang paling baik untuk melewatkan malam,” katanya dan semua orang tidak ada yang membantah, biar pun dari wajah mereka, tiga orang saudagar gendut itu mengeluh. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita, hal itu karena mereka mengharapkan keuntungan berlipat ganda dari batu-batu permata di saku-saku baju mereka, yang akan mereka jual di Nepal atau Bhutan.

Memang amat luar biasa. Betapa manusia dapat menahan segala kesukaran, segala derita kalau dia sedang mengejar sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan! Perjalanan itu amat melelahkan, jalannya naik turun dan kadang-kadang melalui daerah yang berbatu dan batu-batu yang runcing itu seperti hendak menembus sepatu, terasa oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi menjelang senja, akhirnya dengan tubuh yang amat letih bagi tiga orang saudagar itu, tibalah mereka di hutan bambu yang dirmaksudkan oleh Lauw-piauwsu. Para piauwsu juga letih. Apalagi orang-orang yang memikul barang bawaan mereka itu, mereka mandi keringat ketika menurunkan barang barang itu, menumpuknya di dekat rumpun bambu yang tinggi melengkung.

Tanah di hutan itu penuh dengan daun bambu kering sehingga enak diduduki, seperti duduk di atas kasur saja.

“Hati-hati kalau malam nanti membuat api unggun,” kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun harus dibersihkan dari daun kering agar tidak menjalar dan menimbulkan kebakaran dalam hutan, walau pun hal itu agaknya tidak mungkin karena kurasa malam ini hawanya akan dingin dan lembab. Sebaiknya membuat satu api unggun besar dan kita duduk di sekelilingnya, agar lebih hangat dan lebih aman, dapat saling menjaga.”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang mengejutkan dan seorang di antara para piauwsu yang tadi mencari ranting-ranting kering agak jauh dari situ berlari mendatangi dengan muka pucat dan napas yang memburu, kelihatan ketakutan sekali, kemudian terdengar dia berteriak dengan suara gagap. “Ada.... ada mayat....!”

Semua orang lalu memburu ke arah piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang gemetar dan setelah tiba di tempat itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu itu, seorang yang biasa dalam pertempuran dan sudah sering kali melihat orang terbunuh, kelihatan begitu gugup dan ketakutan. Memang amat mengerikan sekali apa yang mereka lihat itu. Mayat-mayat berserakan, dalam keadaan menyedihkan karena tidak ada tubuh mereka yang utuh! Tubuh itu seperti ‘dirobek-robek’, bahkan ada yang kaki tangannya putus atau terlepas dari badan! Dan melihat betapa tempat itu masih berceceran darah yang mulai membeku dapat diduga bahwa pembunuhan itu terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat itu.

Tentu saja para piauwsu menjadi ribut, dan tiga orang saudagar gendut itu hampir saja pingsan, lari menjauhi dan muntah-muntah. Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang tetap tenang, walau pun kakek itu melarang cucunya mendekat, kemudian membawa cucunya kembali dan menjauh dari tempat yang menyeramkan itu.

Lauw-piauwsu lalu mengajak anak buahnya untuk menggali sebuah lubang besar dan menguburkan lima mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada sinar mata kagum pada mata Kakek Kun yang mencorong itu dan dia mulai merasa suka kepada kepala piauwsu itu yang ternyata, dalam keadaan seperti itu, meski dia seorang yang biasa menggunakan kekerasan dan menghadapi tantangan hidup dengan golok di tangan, namun masih memiliki peri kemanusiaan dan suka mengurus dan mengubur mayat orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Dengan adanya lima mayat di dekat tempat itu, tentu saja suasana menjadi seram dan semua orang merasa amat tidak enak hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi termenung, kini bangkit berdiri dan melangkah pergi.

“Taihiap, engkau hendak ke manakah?” Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya dan bertanya sambil menghampiri sastrawan yang agaknya hendak pergi itu. Dia menyebut taihiap karena dia maklum bahwa sastrawan itu adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya. Sebelum peristiwa dengan kakek pengemis itu, dia selalu menyebutnya kongcu (tuan muda). Sastrawan muda itu berhenti melangkah dan menoleh.

“Pembunuh kejam itu tentu berada di sekitar sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu melanjutkan langkahnya.

Lauw-piauwsu tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena memang tadi pun dia sudah merasa curiga. Pembunuhan kejam itu belum lama terjadi dan memang kemungkinan besar pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa pun makhluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan makanan setelah melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur para anak buahnya untuk melakukan penjagaan secara bergilir.

Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya diciptakan oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang terasa amat menyeramkan, dengan bunyi daun-daun bambu terhembus angin, bergesekan dan diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang saling bergosokan, seperti tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng, melainkan terutama sekali disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu.

Lewat tengah malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggota rombongan sudah tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat sunyi melengang, tiba-tiba terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang. Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di antara empat orang pemikul barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi, sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka namun masih mempertahankan diri melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!

Ketika semua orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar, akan tetapi mereka terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan mereka memakai semacam sarung tangan yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah jari tangan yang melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang piauwsu itu sudah luka luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu meloncat, dua orang piauwsu itu roboh dengan perut terbuka karena dicengkeram dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan berkelojotan!

Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar sinar berkilauan menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.

“Tring-tring-cring....!”

Dua orang itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam batang hui-to yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada saat itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan menjadi terang.

“Kalian....!?” Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah dua orang tinggi besar itu yang tertimpa sinar api unggun.

Semua orang pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan lain adalah dua di antara empat orang pemikul barang-barang dalam rombongan mereka! Dua di antara para pemikul barang-barang yang mereka tadinya hanya anggap sebagai orang--orang kasar yang mengandalkan tenaga kasar untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!

“Kalian anggota Eng-jiauw-pang...?” Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih mencekam hatinya.

“Ha-ha-ha!” Seorang di antara dua orang ‘kuli’ itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami hanya menghendaki satu peti ini saja!” katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru merupakan benda yang paling berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu intan besar.

“Pek-i-piauw-kiok tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan tidak mengganggu. Pada suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lauw Sek dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya.

Diam-diam ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa bisa sampai ‘kebobolan’ dan tidak tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang paling ganas di Se-cuan menyamar sebagai dua orang kuli angkut barang! Memang dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun dengan perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang anggota Eng-jiauw-pang.

Dia segera mengenal dua orang anggota Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua tangan itu, yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggota Eng-jiauw-pang yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan dengan fihak Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah merampok barang barang yang tidak berharga.

“Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani main sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail! Sudahlah, kami sudah bersusah payah memangguli barang-barang ini, dan peti ini adalah upah kami!”

“Tidak mungkin kalian dapat melarikan peti itu tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu membentak dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak buahnya yang hanya tinggal sembilan orang saja karena yang dua orang sudah terluka parah.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang membesar kadang-kadang mengecil itu. Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar api ini sungguh menambah seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari kegirangan di antara mereka yang bertempur mati matian.

Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang merupakan sarung tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biar pun mereka berdua dikeroyok oleh sepuluh orang piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar sepasang goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil mendesak dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara mereka membentak keras, terdengar ledakan dan nampak asap kehijauan mengepul tebal.

“Awas asap beracun!” Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur.

Dengan sendirinya kepungan itu menjadi berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan mereka melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun yang berdiri dengan wajah bengis.

“Tinggalkan peti itu!” bentaknya.

“Kun-locianpwe, harap engkau jangan mencampuri urusan antara Eng-jiauw-pang dan Pek-i-piauw-kiok!” seorang di antara mereka berseru marah.

“Hemm, aku tak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat kalian melakukan kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan kutentang!”

Dua orang itu membentak keras dan mereka menubruk dari kanan kiri. Kakek Kun cepat menangkis dan balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat dielakkan dan ditangkis oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya, sebaliknya kini mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak hebat. Setiap tamparan yang keluar dari tangan kakek itu demikian ampuhnya sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa menangkisnya, mereka tentu terdorong dan terhuyung-huyung!

Betapa pun juga, dua orang perampok itu menjadi nekat oleh karena tempat itu sudah dikepung lagi oleh Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau mereka berdua hendak melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matian. Namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali mengadu tenaga mereka dengan sinking, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan mengaduh aduh, sukar untuk bangkit kembali!

Lauw-piauwsu merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh. Akan tetapi Kakek Kun berseru, “Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!”

Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jeri terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka!

Melihat sinar mata dua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya terdengar lirih sekali. “Pergilah.... pergilah....!”

Kedua orang itu kemudian mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat, “Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih....”

“Kongkong....!” Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lainnya terkejut melihat kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.

“Kun-locianpwe....!” Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguh pun wajahnya masih amat pucat.

“Kongkong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kongkong telah terluka parah, masih melayani segala jembel dan perampok busuk!” terdengar Siauw Goat mengomel.

“Kongkong....!” Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa kakeknya amat menderita.

Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidak senangan hatinya.

“Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?” Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya, sedangkan para anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas.

Kakek itu tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat gosok panas itu.

Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, dan menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh serta memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.

“Lauw-piauwsu....,” katanya lemah.

“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?”

“Dekatkan telingamu....,“ katanya semakin lemah.

Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut.

Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!

“Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!”

Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya. “Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari Kun-locianpwe saat ini.”

Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.

“Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?”

“Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apa pun juga.” ,

“Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantunya sampai dia dapat bertemu dengan orang tuanya....“

“Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya.”

“Aku tidak minta tolong secara cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku bajuku, Goat-ji (Anak Goat)....”

Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik bisik dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Sekarang dia lalu memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.

“Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup....“ Dia menyerahkan kantung kain hitam itu.

“Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!”

“Terimalah.... dan bukalah....” Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw Sek tidak berani membantah lagi.

Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.

“Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?” katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.

“Kau.... mengenalnya....?”

Lauw Sek mengangguk. “Bukankah ini mutiara biru India yang hanya....”

“Sudahlah.... laksanakan permintaanku....” Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila.

Tangannya masih mampu menangkis saat Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya. Akhirnya dia dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri.

Ini adalah cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang!


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 02