Mutiara Hitam Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

MUTIARA HITAM

JILID 16

ONG TOAN LIONG atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang) mengelus kepala dan pundak murid keponakannya, "Aku sudah tua dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul urusan kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan kepadaku bahwa ia ingin sekali melihat puteranya menjadi seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai pengemis. Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat menjadi pangcu."

Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat itu, di antara para penonton meloncat naik seorang pemuda yang langsung berlutut di depan Suling Emas sambil berseru, "Suhu...!"

Suling Emas memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya seperti diremas dan kembali dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya, “Liong-ji..., (Anak Liong...), mengapa kau menyusulku...?”

Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini suhu-nya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar seperti itu. Tidak biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia merasa kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya. Kiang Liong memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah. Maka kini dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan hatinya dan betapa pun ia menggigit bibir, tetap saja air matanya jatuh berderai.

“Suhu... Suhu... teecu..., ahhh...“

Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah terjadi peristiwa yang amat hebat maka muridnya yang biasanya tenang ini sampai menangis. Ia cepat membalikkan tubuh menjura ke arah Ong Toan Liong dan berkata, “Cukuplah, Ong-twako. Maafkan semua kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kau turutlah semua petunjuk supek mu. Hayo Liong-ji, kita pergi!” Ia menarik tangan Kiang Liong dan mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.

Sepeninggalan Suling Emas dan muridnya, Yu Siang Ki lalu membubarkan pertemuan, kemudian ia mempersilakan supek nya masuk ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu menceritakan pengalaman masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan ayahnya agar ia tidak menuntut penghidupan pengemis, Siang Ki mohon kepada supeknya agar sudi membimbing Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri ingin merantau memperluas pengetahuannya.

Ong Toan Liong yang tahu pula bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat menyanggupi, maka secara resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi ketua Khong-sim Kai-pang. Beberapa hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul Song Goat, tunangannya!

Ada pun Suling Emas membawa muridnya keluar kota. Mereka berhenti di tempat sunyi jauh di luar kota, duduk di pinggir jalan. Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia mengejar Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.

“Tidak sekali-kali teecu hendak memberontak terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan merobohkan para prajurit, kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung dan terpaksa lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertimbangan. Teecu dianggap pemberontak dan tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang juga teecu akan berangkat ke kota raja.”

Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku bicara tentang hal itu, lebih dulu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu. Liong-li, ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku sendiri.”

“Suhu...!” Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.

Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia berhadapan dengan puteranya ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan, baik manis mau pun pahit. Orang tidak bisa lari dari pada pertanggungan-jawab perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani menanggung risiko, betapa pun beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah tidak seberat kalau dijadikan ganjalan hati.

"Bukan suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu adalah cinta kasih yang murni, yang diputuskan orang karena paksa. Dahulu sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta..." Suling Emas lalu menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong.

"Demikianlah, cinta kasih antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu telah mengandung engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga ayah bundamu, maka engkau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu maka dia membiarkan engkau menjadi muridku.”

Makin lama mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia menubruk kaki Suling Emas sambil mengeluh, "Ayahhh.....!"

Cerita silat Karya Kho Ping Hoo serial Bu Kek Siansu episode Mutiara Hitam


“Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi, kau sebut ayah padaku, jangan suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu berpaling lagi dari kenyataan.”

“Ayah..., kiranya Ayah demikian menderita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah.”

Merah wajah Suling Emas. Ah, Anakku engkau tidak tahu, aku belum bercerita tentang Ratu Yalina! Akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata, “Ada terjadi apakah, Liong-ji?”

“Ayah, terus terang saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar menganggap aku pemberontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku... aku... mohon Ayah sudi melamarkan....“

“Ah, engkau mempunyai pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah cukup dewasa.”

“Dia bukan orang lain, masih anak keponakan Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam,” kata Kiang Liong sambil menundukkan muka.

Untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu akan melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar. Harus diakui bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang sudah menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam menghadapi bahaya maut sekali pun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta dan minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan!

Timbul penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi mukanya, tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan semua peristiwa dahulu, semua perbuatannya, karena hal-hal ini timbul sebagai akibat dari pada perbuatannya dahulu. Akan tetapi mengakui sekarang di depan Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidak tega. Ia sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri, namun mengingat puteranya, ia tidak sampai hati.

Dengan suara halus ia berkata, “Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota raja. Dan tentang perjodohan, marilah kau ikut bersamaku ke Khitan.” Hanya sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup bicara panjang karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak kuasa membendung pertahanan hatinya.

********************


SEPERTI juga mendiang ibunya, betapa pun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan Kiang Liong, Suma Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan! Ia tidak berani untuk kembali ke kota raja, karena ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!

Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.

“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya!” Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri dibawa ke istana menghadap Ratu Khitan.

Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. “Aduh, Bibi... keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat.”

Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara, “Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”

“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”

“Ahhh...!” Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biar pun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan, apa lagi seperti orang muda itu.

Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya inikah puteranya?

“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.

“Nama saya Suma Kiat....”

Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.

“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”

“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba... yang sudah sebatang-kara ini.”

“Heh? Ke mana Ibumu?”

“Ibu... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”

“... puteriku? Siapa...?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.

“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan si Mutiara Hitam?”

Berdebar jantung Ratu Yalina. Jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?

“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.

“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”

“Ceritakan semua..., lekas ceritakan semua, anakku!” Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam.

Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!

Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata, “Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi...”

“Untung mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?”

“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”

Ratu Yalina mengangguk-angguk, “Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”

“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apa lagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi!”

Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biar pun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. “Kasihan engkau, Enci Sian Eng,” demikian keluh hatinya.

“Lanjutkan, anakku,” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.

“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya... uuh-huk-huk... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.

Ratu Yalina menjadi terheran. “Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”

“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”

“Aahh... begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”

“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”

Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.

“Kau... kalah olehnya? Bukankah kau suheng-nya?”

“Sumoi lihai sekali, dan saya... saya tidak tega untuk melawannya...”

Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.

“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.”

Ratu Yalina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami kesengsaraan.

Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan.

Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya di mana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan, dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja.

Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan istana, di sebelah kiri di mana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya. Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga.

Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan. “Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri...!”

Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok.

Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok, di ruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga emas yang aneh bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata.

Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!

Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan. Tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalikkan tubuh.

“Eh, kau... Mutiara Hitam...!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.

Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap, “Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu...? Mari kuantar kau menghadap....”

“Tidak perlu! Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku...!” Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk. Memang ia akan mengamuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan! Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke istana.

“Sumoi...!”

Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.

“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu...!”

“Kau...? Di sini...?” Kwi Lan akhirnya dapat menegur.

Wajah Suma Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi Ratu menerimaku dan... dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku! Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku. Dan aku akan menjadi pangeran mantu!”

Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya tentang perjodohan dan Ibunya... ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.

“Keparat...!” Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.

“Eh... eh, Sumoi... eh...!” Suma Kiat mengelak dan menangkis.

Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan! Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat Pangeran Talibu.

Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya begitu buruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia, kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi cinta asmara! Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam.

Akan tetapi, pada saat mereka hendak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi ketika ia berkata.

“Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan!” Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.

Kwi Lan berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang, akan tetapi gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah. Pengawal dalam sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang di antara mereka, mengerahkan lweekang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergulingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.

“Tangkap penjahat...!” para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal yang mencabut senjata.

“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun kalau menghalangi akan mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.

Pada saat itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.

“Engkau Mutiara Hitam...?”

“Engkau Ratu Khitan...?”

Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua lengan dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.

Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya, “Kau... kau... telah belasan tahun menyiksa hatiku... kau...“ Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya bercucuran.

Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada. “Siapa yang menyakitkan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti orang membuang sampah?”

“Haaahhh...!” Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya terbelalak memandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan... Mutiara Hitam... mari kita bicara....” Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar.

Akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila macam Suma Kiat!

Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk, mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.

“Kau anakku... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kau dengarkan penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka. Kini kau datang... Anakku, kenapa kau bersikap begini...? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku... betapa rinduku... ah, Anakku...“

Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir ke luar melalui celah-celah jarinya.

Ratu Yalina bangkit berdiri, menghampiri anaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapa pun inginnya ia memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati puterinya lebih dahulu.

“Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?”

“Ibu... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah. Kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu... menjodohkan aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu kepadaku?”

Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata, “Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapa pun juga. Tentang perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun Ibumu takkan melarang...”

Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata, “Aku tidak mau menikah dengan siapa pun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Talibu!”

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti berdetik, kepalanya pening.

Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru memanggil, “Ibu...!” Dan melompat menghampiri.

Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil, “Talibu... dia... dia cinta padamu... dia... ingin menikah denganmu... oohh, Anakku...!”

Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. Ia menubruk dan memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata ibunya.

“Kwi Lan... Anakku... aduhhh, kasihan sekali kau... ketahuilah, Anakku... dahulu kau terlahir kembar... engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian Eng... dan... dan kakakmu... kakak kembarmu... dia Pangeran Talibu...”

Terdengar suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya, pingsan! Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar, Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya kembang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.

“...Anakku... Kwi Lan anakku...,” Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.

“...Adikku... Kwi Lan...,“ suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya dengan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.

“Plak-plak...!” Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyung-huyung.

“Kwi Lan...!” Ratu Yalina menjerit.

Kwi Lan membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis meraung-raung seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk, maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih, penuh rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.

Pangeran Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata lirih, suaranya menggetar, “Adikku... sudah selayaknya kau pukul aku... kalau belum puas pukullah lagi... aku seperti mempermainkanmu... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu. Akan tetapi, kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi... dan tentang... tentang peristiwa itu... kau tahu kita keracunan... Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu...?”

Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu melepaskan pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda Talibu... kaulah yang harus memaafkan adikmu...!”

Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya, “Adikku sayang, ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak terpatahkan oleh apa pun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang...!” Mereka berpelukan.

Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menubruk ibunya dengan penuh kasih sayang. “Anak-anakku..., anak kembarku..., ah, betapa kalian sudah menderita. Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri.... Ini semua akibat dosaku...“

Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan, “Tidak, Lin-moi... tidak... bukan kau yang salah. Aku yang berdosa... ya, aku yang berdosa...!”

Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalina tadi. Ia melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan di belakangnya ikut masuk pula seorang pemuda yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas, sungguh pun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani melarang.

Melihat Suling Emas, Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih, “Anakku... Kwi Lan..., beri hormatlah kepadanya... ini dia... ayah kandungmu...!”

Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya, begitu malu, dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih. “Ayahku...!”

Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas merangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata berlinang-linang, “Dosaku... semua dosaku, laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab... menyembunyikan dosa dan noda... sampai anak-anak sendiri saling cinta..., ya Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba...?” Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk-batuk.

Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah, “...kau adikku..., adikku...“

Setelah keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka oleh asmara gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara sendiri! Hari itu merupakan hari di mana sekeluarga menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk ini, Panglima Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak berunding.

********************

Pesta-pora diadakan di seluruh Kerajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Ada pun yang dirayakan adalah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu, dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak mengundurkan diri.

Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas di depan istana yang biasanya dipergunakan untuk berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang disediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.

Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina memakai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik dari pada biasa karena kebahagiaan... hatinya bersinar-sinar pada wajahnya, membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang.

Di sampingnya berjalan Suling Emas dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di dada, suling emas terselip di pinggangnya. Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu.

Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang Liong, wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati, namun yang ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Panglima Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang Khitan.

Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sri Paduka Ratu yang mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak gegap-gempita menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung.

Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ tidak ada orang, seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan suara ratu mereka.

“Rakyatku sekalian,” terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khikang, “Kalian semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambil keputusan untuk bicara dengan kalian, untuk menceritakan keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”

Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepadanya.

“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena di selatan saya pernah bersuami, dan suami saya adalah dia ini...“ Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri.

Pendekar ini tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua orang tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton pertandingan sepak bola!

“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan...!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin menggema.

Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati dari pada yang mereka khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat dengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.

“Kami mengaku telah melakukan kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak. Yang pertama sejak kecil diam-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat, dan yang kemudian kami angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”

Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersuka-cita mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.

“Ada pun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terkenal dengan julukan Mutiara Hitam...!”

Kwi Lan meloncat dan berdiri di samping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan

“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam...!”

Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya. Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!

“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini. Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia dengan pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan mendengar akan keadaan kami. Betapa pun juga, aku merasa bersalah telah menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”

Kini sorak-sorai yang terdengar menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri. Ratu Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan. Menurut tradisi dan kepercayaan turun-temurun, saudara kembar laki wanita harus dljodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat masing-masing.

Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan pertalian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di dekatnya.

“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.

Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwi Lan. Akan tetapi mereka segera berangkulan dan keduanya menangis! Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti kasih sayang antara saudara yang mesra.

Dan dimulailah pesta itu. Musik dimainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu demonstrasi pasukan Khitan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang menghampiri tempat kehormatan ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling Emas sebagaimana mestinya. Setelah para tamu yang memberi selamat habis, tampak seorang pemuda yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari rombongan tamu menghampiri tempat kehormatan itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek cebol berkepala besar.

“Bibi Bi Li...!” Kwi Lan bangkit dan lari menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah dia Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”

Nyonya itu memang Phang Bi Li, dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh Yalina ia ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan terharu dan halus Ratu Yalina berkata.

“Kakak yang baik. Karena engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau adalah keluarga sendiri. Duduklah di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan betapa pun juga, nyonya itu kelihatan sungkan dan malu-malu karena duduk di lingkungan keluarga besar.

“Hauw Lam, kau Berandal!” Pangeran Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut pemuda itu. Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu memberi hormat kepada Ratu Yalina dengan berlutut.

Ratu Yalina tertawa. “Baiklah, Berandal. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau merupakan tuan penolong anakku. Bangkit dan duduklah, kita di antara orang sendiri!”

Hauw Lam bangun dan menjura kepada Talibu, “Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”

“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera ayahku dan kakakku sendiri, kenapa kau menyebut Kiang-kongcu.”

“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu...!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat dua orang pemuda bangsawan itu tertawa.

Sementara itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas yang menjura dan berkata, “Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan kehormatan besar.”

Kakek itu longak-longok, bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak orang tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi terkejut, mereka berbisik-bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatan-perbuatan yang lucu dan mengagumkan.

“Heh-heh-heh, tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu Yalina tampak makin maju saja. Heh-heh-heh!”

Melihat kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”

Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata, “Rejekimu besar, Ratu Yalina. Suamimu pendekar sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak memandang rendah muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu si Mutiara Hitam yang galak itu agar menjadi isteri Tang Hauw Lam.”

Kata-kata yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap. Suasana hening, bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke arah Kwi Lan. Suling Emas dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan ini harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam memang tidak mengecewakan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani memutuskan, apa lagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang menimpa diri Kwi Lan, yang pernah mencinta kakak kembar dan dicinta kakak tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu menoleh ke arah Kwi Lan.

Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan puteri Ratu Khitan! Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara, ia terpaksa mau diajak serta. Kini melihat keadaan di situ dan mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi ketakutan dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ratu Yalina.

“Mohon Paduka sudi mengampuni kelancangan kami....”

Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li. “Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan keputusannya kepada anak kami sendiri.”

Kwi Lan yang kini menjadi pusat perhatian bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak, sebentar memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si Berandal meminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia membuat perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan pilih andai kata bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong. Setelah ternyata bahwa kedua orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia tidak tahu siapa yang berkenan di hatinya.

Yu Siang Ki juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat, dan ia tidak suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li, entah bagaimana jadinya pemuda itu yang dahulu terseret ke dalam dunia sesat. Ia memandang Hauw Lam, teringat akan semua pengalamannya dengan pemuda ini, teringat betapa pemuda ini menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam, dan ia teringat kepada pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat. Pemuda yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan padanya, bahkan yang lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan tertawa bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina sekarang.

Hauw Lam yang menanti dengan tegang, melihat Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada gadis itu, “Mutiara Hitam, dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara Hitam, keadaan kita dahulu sederajat. Akan tetapi sekarang, engkau seorang puteri kerajaan dan aku... tetap Berandal maka kalau engkau tidak setuju terus terang sajalah.”

Kwi Lan menjawab, “Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”

“Jadi...?”

“Jadi... apa...?”

“Jadi kau setuju...?”

Kwi Lan menggigit bibir, lalu mengangguk! Hauw Lam saking girangnya hanya melongo!

“Tapi terus terang saja, biar pun aku suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”

Luar biasa percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang bicara tentang cinta seperti orang bicara tentang pakaian atau topi saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh pengakuan ini. Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewajarnya.

“Orang macam aku mana boleh banyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena ingin kau cinta. Aku mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin membikin hidupmu cemerlang penuh kegembiraan. Aku ingin seperti matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap kau ingat atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu, melindungimu, menghiburmu, melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar kebahagiaanku.”

Hebat pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan petuah yang amat menusuk hati.

Memang sebagian besar orang muda kalau bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta dan meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk memberi! Cinta itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia yang dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.

“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”

“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu berusaha menyenangkan hatimu, tak usah kau tinggal, kau minta saja aku pergi sendiri.”

“Kalau aku mati?”

“Aku akan ikut! Aku takut kau di sana akan kesepian dan susah....”

Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin, “Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada pencinta seperti muridku? Mutiara Hitam, kalau engkau tidak menerima dia, engkau akan kehilangan! Ha-ha-ha!”

“Aku suka sekali mempunyai adik ipar si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada pemuda ini berkata.

“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.

Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak suka tinggal di dalam istana, terikat oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung dan kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti burung. Sepasang burung terbang di angkasa, bercumbu dengan angin.

“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil duduk kembali.

“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin berseri-seri.

Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apa lagi melihat peminangan dan penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu dijamu oleh Suling Emas. Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan membalas Kwi Lan dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan cekikikan sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua calon pengantin itu.

Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang, diam-diam menaruh kasihan kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang amat tidak patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda yang baik dan perbekalan yang cukup, ditambah sekantung emas.

“Ah, kalau saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula, sebagai anggota keluarga,” hati Kam Liong menerawang.

Gembirakah dia? Entah, dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah merupakan hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin dapat seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta wanita!

Selagi semua orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang aneh bersama seorang pemuda yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan, juga rambutnya awut-awutan seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang kedua bermuka merah.

Hauw Lam dan Kwi Lan segera mengenal pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah manusia-manusia sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li! Suling Emas juga mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti Bu-tek Lo-jin. Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat, adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah perbuatan mereka termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan menjura.

“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”

“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan. Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan Pek-bin-twako ini datang hanya karena ditangisi murid kami, Siangkoan Li ini. Kami datang hendak meminang Mutiara Hitam!” kata Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut ke arah keluarga tuan rumah.

Suling Emas terkejut. Benar saja dugaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang benar mereka baru datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah dijodohkan dengan Hauw Lam, namun cara mereka datang ini jelas menantang keributan. Biar pun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun pendekar sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.

“Mutiara Hitam adalah puteriku. Banyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi Sian-ong dan kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru saja anakku ini telah dljodohkan dengan pemuda lain.”

Siangkoan Li mengangkat muka, memandang ke arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam Kwi Lan merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biar pun masih pendiam dan serius, namun matanya liar!

“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali, mengerikan.

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak, tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek itu. Dia sendiri masih minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.

“Mutiara Hitam gadis galak telah menjadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho, kita tua sama tua, mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta lagu apa kuturuti. Hayoh...!” Bu-tek Lo-jin memang terkenal mempunyai hobby (kegemaran) berkelahi. Ia senang berkelahi, baik saling maki mau pun saling gasak!

“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan jodoh adalah di tangan Thian. Harap tidak menimbulkan keributan,” kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya halus, namun di balik kata-katanya mengandung peringatan.

Dua orang kakek saling pandang. Mereka tentu saja tidak gentar biar pun berada di negara orang. Akan tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu yang memiliki tingkat lebih tinggi dari pada mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan dapat mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ hadir pula Suling Emas yang lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu Yalina yang kabarnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid orang-orang sakti.

“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sungkan membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita bereskan. Suling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo, Siangkoan Li, kau bocah sial dangkalan. Pergi!” Lam-kek Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ tanpa pamit lagi.

Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan meriah.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu dengan Mimi dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan. Setelah menikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di Khitan. Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan, seperti burung di angkasa. Ada pun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami Ratu Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari Pegunungan Go Bi San. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan di mana ia hidup tenteram dan melayani Mimi dengan kasih sayang.

Kam Liong meninggalkan Khitan, pergi merantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia melayani kasih sayang seorang wanita cantik di mana saja, hanya sebagai keisengan belaka, bukan karena dorongan asmara. Namun, kesenangan ini pun tidak membuatnya menyeleweng dari pada kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia tidak pernah lupa untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah mendapat pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh Ratu Yalina sehingga namanya terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat bebas menengok ibunya di kota raja.

Bagaimana dengan Yu Siang Ki? Pemuda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan Song Yok San Jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai berhasil membujuk dan mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda ini pun menikah. Siang Ki yang sudah menyerahkan urusan kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.

Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari Song Goat akhirnya mendapat kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa andai kata ia menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping Song Goat yang lemah lembut dan halus ini.

Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi, entah ke mana perginya pemuda yang bernasib malang itu. Banyak orang yang suka mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memlliki kepandaian tinggi itu akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak Tai-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu berdua dan gelisah kalau teringat akan adik mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya Kam Han Ki? Seperti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti setengah dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan terluka parah dan bagaimana nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai pengarang cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!

Sampai di sini cerita MUTIARA HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain cerita! Salam damai!!!


T A M A T


EPISODE SELANJUTNYA ISTANA PULAU ES


Mutiara Hitam Jilid 16

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

MUTIARA HITAM

JILID 16

ONG TOAN LIONG atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang) mengelus kepala dan pundak murid keponakannya, "Aku sudah tua dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul urusan kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan kepadaku bahwa ia ingin sekali melihat puteranya menjadi seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai pengemis. Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat menjadi pangcu."

Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat itu, di antara para penonton meloncat naik seorang pemuda yang langsung berlutut di depan Suling Emas sambil berseru, "Suhu...!"

Suling Emas memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya seperti diremas dan kembali dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya, “Liong-ji..., (Anak Liong...), mengapa kau menyusulku...?”

Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini suhu-nya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar seperti itu. Tidak biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia merasa kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya. Kiang Liong memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah. Maka kini dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan hatinya dan betapa pun ia menggigit bibir, tetap saja air matanya jatuh berderai.

“Suhu... Suhu... teecu..., ahhh...“

Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah terjadi peristiwa yang amat hebat maka muridnya yang biasanya tenang ini sampai menangis. Ia cepat membalikkan tubuh menjura ke arah Ong Toan Liong dan berkata, “Cukuplah, Ong-twako. Maafkan semua kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kau turutlah semua petunjuk supek mu. Hayo Liong-ji, kita pergi!” Ia menarik tangan Kiang Liong dan mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.

Sepeninggalan Suling Emas dan muridnya, Yu Siang Ki lalu membubarkan pertemuan, kemudian ia mempersilakan supek nya masuk ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu menceritakan pengalaman masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan ayahnya agar ia tidak menuntut penghidupan pengemis, Siang Ki mohon kepada supeknya agar sudi membimbing Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri ingin merantau memperluas pengetahuannya.

Ong Toan Liong yang tahu pula bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat menyanggupi, maka secara resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi ketua Khong-sim Kai-pang. Beberapa hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul Song Goat, tunangannya!

Ada pun Suling Emas membawa muridnya keluar kota. Mereka berhenti di tempat sunyi jauh di luar kota, duduk di pinggir jalan. Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia mengejar Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.

“Tidak sekali-kali teecu hendak memberontak terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan merobohkan para prajurit, kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung dan terpaksa lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertimbangan. Teecu dianggap pemberontak dan tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang juga teecu akan berangkat ke kota raja.”

Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku bicara tentang hal itu, lebih dulu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu. Liong-li, ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku sendiri.”

“Suhu...!” Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.

Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia berhadapan dengan puteranya ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan, baik manis mau pun pahit. Orang tidak bisa lari dari pada pertanggungan-jawab perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani menanggung risiko, betapa pun beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah tidak seberat kalau dijadikan ganjalan hati.

"Bukan suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu adalah cinta kasih yang murni, yang diputuskan orang karena paksa. Dahulu sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta..." Suling Emas lalu menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong.

"Demikianlah, cinta kasih antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu telah mengandung engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga ayah bundamu, maka engkau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu maka dia membiarkan engkau menjadi muridku.”

Makin lama mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia menubruk kaki Suling Emas sambil mengeluh, "Ayahhh.....!"

Cerita silat Karya Kho Ping Hoo serial Bu Kek Siansu episode Mutiara Hitam


“Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi, kau sebut ayah padaku, jangan suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu berpaling lagi dari kenyataan.”

“Ayah..., kiranya Ayah demikian menderita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah.”

Merah wajah Suling Emas. Ah, Anakku engkau tidak tahu, aku belum bercerita tentang Ratu Yalina! Akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata, “Ada terjadi apakah, Liong-ji?”

“Ayah, terus terang saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar menganggap aku pemberontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku... aku... mohon Ayah sudi melamarkan....“

“Ah, engkau mempunyai pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah cukup dewasa.”

“Dia bukan orang lain, masih anak keponakan Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam,” kata Kiang Liong sambil menundukkan muka.

Untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu akan melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar. Harus diakui bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang sudah menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam menghadapi bahaya maut sekali pun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta dan minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan!

Timbul penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi mukanya, tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan semua peristiwa dahulu, semua perbuatannya, karena hal-hal ini timbul sebagai akibat dari pada perbuatannya dahulu. Akan tetapi mengakui sekarang di depan Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidak tega. Ia sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri, namun mengingat puteranya, ia tidak sampai hati.

Dengan suara halus ia berkata, “Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota raja. Dan tentang perjodohan, marilah kau ikut bersamaku ke Khitan.” Hanya sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup bicara panjang karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak kuasa membendung pertahanan hatinya.

********************


SEPERTI juga mendiang ibunya, betapa pun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan Kiang Liong, Suma Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan! Ia tidak berani untuk kembali ke kota raja, karena ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!

Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.

“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya!” Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri dibawa ke istana menghadap Ratu Khitan.

Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. “Aduh, Bibi... keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat.”

Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara, “Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”

“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”

“Ahhh...!” Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biar pun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan, apa lagi seperti orang muda itu.

Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya inikah puteranya?

“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.

“Nama saya Suma Kiat....”

Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.

“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”

“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba... yang sudah sebatang-kara ini.”

“Heh? Ke mana Ibumu?”

“Ibu... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”

“... puteriku? Siapa...?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.

“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan si Mutiara Hitam?”

Berdebar jantung Ratu Yalina. Jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?

“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.

“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”

“Ceritakan semua..., lekas ceritakan semua, anakku!” Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam.

Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!

Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata, “Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi...”

“Untung mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?”

“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”

Ratu Yalina mengangguk-angguk, “Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan ceritamu, anakku!”

“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apa lagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi!”

Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biar pun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. “Kasihan engkau, Enci Sian Eng,” demikian keluh hatinya.

“Lanjutkan, anakku,” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.

“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya... uuh-huk-huk... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.

Ratu Yalina menjadi terheran. “Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”

“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”

“Aahh... begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”

“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”

Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.

“Kau... kalah olehnya? Bukankah kau suheng-nya?”

“Sumoi lihai sekali, dan saya... saya tidak tega untuk melawannya...”

Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.

“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.”

Ratu Yalina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami kesengsaraan.

Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan.

Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya di mana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan, dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja.

Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan istana, di sebelah kiri di mana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya. Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga.

Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan. “Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri...!”

Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok.

Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok, di ruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga emas yang aneh bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata.

Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!

Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan. Tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalikkan tubuh.

“Eh, kau... Mutiara Hitam...!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.

Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap, “Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu...? Mari kuantar kau menghadap....”

“Tidak perlu! Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku...!” Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk. Memang ia akan mengamuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan! Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke istana.

“Sumoi...!”

Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.

“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu...!”

“Kau...? Di sini...?” Kwi Lan akhirnya dapat menegur.

Wajah Suma Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi Ratu menerimaku dan... dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku! Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku. Dan aku akan menjadi pangeran mantu!”

Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya tentang perjodohan dan Ibunya... ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.

“Keparat...!” Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.

“Eh... eh, Sumoi... eh...!” Suma Kiat mengelak dan menangkis.

Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan! Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat Pangeran Talibu.

Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya begitu buruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia, kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi cinta asmara! Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam.

Akan tetapi, pada saat mereka hendak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi ketika ia berkata.

“Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan!” Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.

Kwi Lan berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang, akan tetapi gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah. Pengawal dalam sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang di antara mereka, mengerahkan lweekang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergulingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.

“Tangkap penjahat...!” para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal yang mencabut senjata.

“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun kalau menghalangi akan mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.

Pada saat itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.

“Engkau Mutiara Hitam...?”

“Engkau Ratu Khitan...?”

Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua lengan dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.

Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya, “Kau... kau... telah belasan tahun menyiksa hatiku... kau...“ Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya bercucuran.

Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada. “Siapa yang menyakitkan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti orang membuang sampah?”

“Haaahhh...!” Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya terbelalak memandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan... Mutiara Hitam... mari kita bicara....” Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar.

Akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila macam Suma Kiat!

Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk, mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.

“Kau anakku... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kau dengarkan penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka. Kini kau datang... Anakku, kenapa kau bersikap begini...? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku... betapa rinduku... ah, Anakku...“

Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir ke luar melalui celah-celah jarinya.

Ratu Yalina bangkit berdiri, menghampiri anaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapa pun inginnya ia memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati puterinya lebih dahulu.

“Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?”

“Ibu... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah. Kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu... menjodohkan aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu kepadaku?”

Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata, “Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapa pun juga. Tentang perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun Ibumu takkan melarang...”

Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata, “Aku tidak mau menikah dengan siapa pun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Talibu!”

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti berdetik, kepalanya pening.

Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru memanggil, “Ibu...!” Dan melompat menghampiri.

Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil, “Talibu... dia... dia cinta padamu... dia... ingin menikah denganmu... oohh, Anakku...!”

Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. Ia menubruk dan memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata ibunya.

“Kwi Lan... Anakku... aduhhh, kasihan sekali kau... ketahuilah, Anakku... dahulu kau terlahir kembar... engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian Eng... dan... dan kakakmu... kakak kembarmu... dia Pangeran Talibu...”

Terdengar suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya, pingsan! Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar, Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya kembang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.

“...Anakku... Kwi Lan anakku...,” Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.

“...Adikku... Kwi Lan...,“ suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya dengan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.

“Plak-plak...!” Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyung-huyung.

“Kwi Lan...!” Ratu Yalina menjerit.

Kwi Lan membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis meraung-raung seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk, maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih, penuh rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.

Pangeran Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata lirih, suaranya menggetar, “Adikku... sudah selayaknya kau pukul aku... kalau belum puas pukullah lagi... aku seperti mempermainkanmu... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu. Akan tetapi, kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi... dan tentang... tentang peristiwa itu... kau tahu kita keracunan... Adikku, maukah engkau memaafkan kakakmu...?”

Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu melepaskan pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda Talibu... kaulah yang harus memaafkan adikmu...!”

Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya, “Adikku sayang, ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak terpatahkan oleh apa pun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang...!” Mereka berpelukan.

Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menubruk ibunya dengan penuh kasih sayang. “Anak-anakku..., anak kembarku..., ah, betapa kalian sudah menderita. Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri.... Ini semua akibat dosaku...“

Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan, “Tidak, Lin-moi... tidak... bukan kau yang salah. Aku yang berdosa... ya, aku yang berdosa...!”

Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalina tadi. Ia melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan di belakangnya ikut masuk pula seorang pemuda yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas, sungguh pun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani melarang.

Melihat Suling Emas, Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih, “Anakku... Kwi Lan..., beri hormatlah kepadanya... ini dia... ayah kandungmu...!”

Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya, begitu malu, dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih. “Ayahku...!”

Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas merangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata berlinang-linang, “Dosaku... semua dosaku, laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab... menyembunyikan dosa dan noda... sampai anak-anak sendiri saling cinta..., ya Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba...?” Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk-batuk.

Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah, “...kau adikku..., adikku...“

Setelah keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka oleh asmara gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara sendiri! Hari itu merupakan hari di mana sekeluarga menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk ini, Panglima Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak berunding.

********************

Pesta-pora diadakan di seluruh Kerajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Ada pun yang dirayakan adalah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu, dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak mengundurkan diri.

Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas di depan istana yang biasanya dipergunakan untuk berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang disediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan suasana.

Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina memakai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik dari pada biasa karena kebahagiaan... hatinya bersinar-sinar pada wajahnya, membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang.

Di sampingnya berjalan Suling Emas dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, dengan gambar suling dan bulan di dada, suling emas terselip di pinggangnya. Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu.

Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang Liong, wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati, namun yang ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Panglima Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang Khitan.

Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sri Paduka Ratu yang mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak gegap-gempita menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung.

Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ tidak ada orang, seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan suara ratu mereka.

“Rakyatku sekalian,” terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khikang, “Kalian semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambil keputusan untuk bicara dengan kalian, untuk menceritakan keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”

Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepadanya.

“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena di selatan saya pernah bersuami, dan suami saya adalah dia ini...“ Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri.

Pendekar ini tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua orang tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton pertandingan sepak bola!

“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan...!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin menggema.

Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati dari pada yang mereka khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat dengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.

“Kami mengaku telah melakukan kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak. Yang pertama sejak kecil diam-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat, dan yang kemudian kami angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”

Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersuka-cita mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.

“Ada pun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terkenal dengan julukan Mutiara Hitam...!”

Kwi Lan meloncat dan berdiri di samping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan

“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam...!”

Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya. Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!

“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini. Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia dengan pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan mendengar akan keadaan kami. Betapa pun juga, aku merasa bersalah telah menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”

Kini sorak-sorai yang terdengar menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri. Ratu Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan. Menurut tradisi dan kepercayaan turun-temurun, saudara kembar laki wanita harus dljodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukannya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat masing-masing.

Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan pertalian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di dekatnya.

“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.

Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwi Lan. Akan tetapi mereka segera berangkulan dan keduanya menangis! Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti kasih sayang antara saudara yang mesra.

Dan dimulailah pesta itu. Musik dimainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu demonstrasi pasukan Khitan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang menghampiri tempat kehormatan ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling Emas sebagaimana mestinya. Setelah para tamu yang memberi selamat habis, tampak seorang pemuda yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari rombongan tamu menghampiri tempat kehormatan itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek cebol berkepala besar.

“Bibi Bi Li...!” Kwi Lan bangkit dan lari menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah dia Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”

Nyonya itu memang Phang Bi Li, dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh Yalina ia ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan terharu dan halus Ratu Yalina berkata.

“Kakak yang baik. Karena engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau adalah keluarga sendiri. Duduklah di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan betapa pun juga, nyonya itu kelihatan sungkan dan malu-malu karena duduk di lingkungan keluarga besar.

“Hauw Lam, kau Berandal!” Pangeran Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut pemuda itu. Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu memberi hormat kepada Ratu Yalina dengan berlutut.

Ratu Yalina tertawa. “Baiklah, Berandal. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau merupakan tuan penolong anakku. Bangkit dan duduklah, kita di antara orang sendiri!”

Hauw Lam bangun dan menjura kepada Talibu, “Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”

“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera ayahku dan kakakku sendiri, kenapa kau menyebut Kiang-kongcu.”

“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu...!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat dua orang pemuda bangsawan itu tertawa.

Sementara itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas yang menjura dan berkata, “Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan kehormatan besar.”

Kakek itu longak-longok, bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak orang tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi terkejut, mereka berbisik-bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatan-perbuatan yang lucu dan mengagumkan.

“Heh-heh-heh, tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu Yalina tampak makin maju saja. Heh-heh-heh!”

Melihat kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”

Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata, “Rejekimu besar, Ratu Yalina. Suamimu pendekar sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak memandang rendah muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu si Mutiara Hitam yang galak itu agar menjadi isteri Tang Hauw Lam.”

Kata-kata yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap. Suasana hening, bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke arah Kwi Lan. Suling Emas dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan ini harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam memang tidak mengecewakan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani memutuskan, apa lagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang menimpa diri Kwi Lan, yang pernah mencinta kakak kembar dan dicinta kakak tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu menoleh ke arah Kwi Lan.

Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan puteri Ratu Khitan! Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara, ia terpaksa mau diajak serta. Kini melihat keadaan di situ dan mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi ketakutan dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ratu Yalina.

“Mohon Paduka sudi mengampuni kelancangan kami....”

Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li. “Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan keputusannya kepada anak kami sendiri.”

Kwi Lan yang kini menjadi pusat perhatian bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak, sebentar memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si Berandal meminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia membuat perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan pilih andai kata bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong. Setelah ternyata bahwa kedua orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia tidak tahu siapa yang berkenan di hatinya.

Yu Siang Ki juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat, dan ia tidak suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li, entah bagaimana jadinya pemuda itu yang dahulu terseret ke dalam dunia sesat. Ia memandang Hauw Lam, teringat akan semua pengalamannya dengan pemuda ini, teringat betapa pemuda ini menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam, dan ia teringat kepada pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat. Pemuda yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan padanya, bahkan yang lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan tertawa bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina sekarang.

Hauw Lam yang menanti dengan tegang, melihat Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada gadis itu, “Mutiara Hitam, dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara Hitam, keadaan kita dahulu sederajat. Akan tetapi sekarang, engkau seorang puteri kerajaan dan aku... tetap Berandal maka kalau engkau tidak setuju terus terang sajalah.”

Kwi Lan menjawab, “Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”

“Jadi...?”

“Jadi... apa...?”

“Jadi kau setuju...?”

Kwi Lan menggigit bibir, lalu mengangguk! Hauw Lam saking girangnya hanya melongo!

“Tapi terus terang saja, biar pun aku suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”

Luar biasa percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang bicara tentang cinta seperti orang bicara tentang pakaian atau topi saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh pengakuan ini. Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewajarnya.

“Orang macam aku mana boleh banyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena ingin kau cinta. Aku mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin membikin hidupmu cemerlang penuh kegembiraan. Aku ingin seperti matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap kau ingat atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu, melindungimu, menghiburmu, melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar kebahagiaanku.”

Hebat pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan petuah yang amat menusuk hati.

Memang sebagian besar orang muda kalau bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta dan meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk memberi! Cinta itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia yang dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.

“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”

“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu berusaha menyenangkan hatimu, tak usah kau tinggal, kau minta saja aku pergi sendiri.”

“Kalau aku mati?”

“Aku akan ikut! Aku takut kau di sana akan kesepian dan susah....”

Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin, “Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada pencinta seperti muridku? Mutiara Hitam, kalau engkau tidak menerima dia, engkau akan kehilangan! Ha-ha-ha!”

“Aku suka sekali mempunyai adik ipar si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada pemuda ini berkata.

“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.

Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak suka tinggal di dalam istana, terikat oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung dan kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti burung. Sepasang burung terbang di angkasa, bercumbu dengan angin.

“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil duduk kembali.

“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin berseri-seri.

Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apa lagi melihat peminangan dan penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu dijamu oleh Suling Emas. Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan membalas Kwi Lan dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan cekikikan sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua calon pengantin itu.

Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang, diam-diam menaruh kasihan kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang amat tidak patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda yang baik dan perbekalan yang cukup, ditambah sekantung emas.

“Ah, kalau saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula, sebagai anggota keluarga,” hati Kam Liong menerawang.

Gembirakah dia? Entah, dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah merupakan hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin dapat seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta wanita!

Selagi semua orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang aneh bersama seorang pemuda yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan, juga rambutnya awut-awutan seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang kedua bermuka merah.

Hauw Lam dan Kwi Lan segera mengenal pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah manusia-manusia sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li! Suling Emas juga mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti Bu-tek Lo-jin. Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat, adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah perbuatan mereka termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan menjura.

“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”

“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan. Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan Pek-bin-twako ini datang hanya karena ditangisi murid kami, Siangkoan Li ini. Kami datang hendak meminang Mutiara Hitam!” kata Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut ke arah keluarga tuan rumah.

Suling Emas terkejut. Benar saja dugaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang benar mereka baru datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah dijodohkan dengan Hauw Lam, namun cara mereka datang ini jelas menantang keributan. Biar pun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun pendekar sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.

“Mutiara Hitam adalah puteriku. Banyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi Sian-ong dan kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru saja anakku ini telah dljodohkan dengan pemuda lain.”

Siangkoan Li mengangkat muka, memandang ke arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam Kwi Lan merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biar pun masih pendiam dan serius, namun matanya liar!

“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali, mengerikan.

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak, tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek itu. Dia sendiri masih minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.

“Mutiara Hitam gadis galak telah menjadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho, kita tua sama tua, mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta lagu apa kuturuti. Hayoh...!” Bu-tek Lo-jin memang terkenal mempunyai hobby (kegemaran) berkelahi. Ia senang berkelahi, baik saling maki mau pun saling gasak!

“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan jodoh adalah di tangan Thian. Harap tidak menimbulkan keributan,” kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya halus, namun di balik kata-katanya mengandung peringatan.

Dua orang kakek saling pandang. Mereka tentu saja tidak gentar biar pun berada di negara orang. Akan tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu yang memiliki tingkat lebih tinggi dari pada mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan dapat mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ hadir pula Suling Emas yang lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu Yalina yang kabarnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid orang-orang sakti.

“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sungkan membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita bereskan. Suling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo, Siangkoan Li, kau bocah sial dangkalan. Pergi!” Lam-kek Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ tanpa pamit lagi.

Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan meriah.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu dengan Mimi dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan. Setelah menikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di Khitan. Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan, seperti burung di angkasa. Ada pun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami Ratu Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari Pegunungan Go Bi San. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan di mana ia hidup tenteram dan melayani Mimi dengan kasih sayang.

Kam Liong meninggalkan Khitan, pergi merantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia melayani kasih sayang seorang wanita cantik di mana saja, hanya sebagai keisengan belaka, bukan karena dorongan asmara. Namun, kesenangan ini pun tidak membuatnya menyeleweng dari pada kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia tidak pernah lupa untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah mendapat pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh Ratu Yalina sehingga namanya terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat bebas menengok ibunya di kota raja.

Bagaimana dengan Yu Siang Ki? Pemuda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan Song Yok San Jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai berhasil membujuk dan mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda ini pun menikah. Siang Ki yang sudah menyerahkan urusan kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.

Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari Song Goat akhirnya mendapat kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa andai kata ia menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping Song Goat yang lemah lembut dan halus ini.

Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi, entah ke mana perginya pemuda yang bernasib malang itu. Banyak orang yang suka mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memlliki kepandaian tinggi itu akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak Tai-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu berdua dan gelisah kalau teringat akan adik mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya Kam Han Ki? Seperti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti setengah dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan terluka parah dan bagaimana nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai pengarang cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!

Sampai di sini cerita MUTIARA HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain cerita! Salam damai!!!


T A M A T


EPISODE SELANJUTNYA ISTANA PULAU ES