Istana Pulau Es Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 35

Coa Leng Bu menghela napas panjang. “Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan... ahh, aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!”

Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya.

“Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas, tidakkah dapat dilawan dengan tenaga Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannya. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?”

Coa Leng Bu menggeleng kepala. “Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak boleh digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat penting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh dilakukan!”

“Habis, bagaimana...?” Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! “Eh, Coa-supek, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?”

“Kam Bu Sin...? Ayahku...? Nona, apa yang kau katakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin...?” Han Ki berkata bingung.

Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan. “Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mukjizat dan sungguh pun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersemedhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biar pun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk.”

Kam Han Ki menghela napas panjang. “Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku.”

“Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andai kata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara.”

“Suheng, mari kau bantu kami...!” Siauw Bwee menarik tangan Han Ki dengan wajah berseri. Kini hatinya penuh harapan dan kegirangan,.

“Nona, harap kau hentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja.”

“Aihhh, engkau memang suheng-ku! Habis disuruh menyebut apa?” Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.



Biar pun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam dari pada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suheng-nya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,

“Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!” Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.

“Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!”

“Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu.”

“Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua dari pada aku!”

”Banyak lebih tua!” kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. “Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!”

”Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?”

Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. “Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...”

“Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan banyak rewel!”

“Engkau gadis yang manis, dan nakal!” Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. “Akan tetapi... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi... ehh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...”

“Aku kenapa?” Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supek-nya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.

“Kau bicara tentang... cinta... Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!”

”Siapa yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?”

Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biar pun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini.

Apa artinya semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?

“Eh, Suheng... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?” Siauw Bwee sudah berlutut dekat suheng-nya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.

Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biar pun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapa pun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!

“Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya... ahh, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi. Engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...”

Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suheng-nya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing. “Suheng... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka? Kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kau dukakan?”

Han Ki menggeleng kepala. “Aku tidak menyusahkan apa-apa.”

“Apakah engkau khawatir?”

“Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku.”

“Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?”

Kembali Han Ki menggeleng. “Sepanjang yang teringat olehku... tidak.”

Hati Siauw Bwee-lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.

“Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?” Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.

“Ah, kenapa kau sebut permainan pikiran, Lopek?” Han Ki bertanya.

“Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kau katakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?” Siauw Bwee yang membantah.

Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh, “Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapa pun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?”

Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu? Biar pun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.

Akan tetapi pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biar pun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya.

Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Ada pun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu.

Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyalah permainan pikiran saja yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain
.

Siauw Bwee juga mengangguk-angguk karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak, “Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?”

Kakek itu tersenyum maklum. “Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suheng-mu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suheng-mu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?”

“Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...”

“Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih.”

“Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!” Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. “Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!”

Kakek itu tersenyum. “Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apa pun juga.”

“Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga dari pada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...” Han Ki berseru, penuh kagum.

Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan, tanpa ingatan. Akan tetapi kalau ada terselip keinginan dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu untuk memperoleh kebebasan, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan bebas di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepa pun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apa pun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!”

Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.

Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun. Gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu.

Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sinkang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu. Namun Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu yang sudah bertahun-tahun berlatih sinkang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin dari pada bersemedhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sinkang.

Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan semedhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.

Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan!

Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apa lagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!

Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suheng-nya duduk di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap.

Sudah seminggu lebih Han Ki berobat, namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biar pun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.

Han Ki menggeleng kepala. “Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua.”

“Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kau lihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan ini?” Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suheng-nya.

“Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!” Han Ki berseru girang.

’’Jadi kau mengenalnya?”

“Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal.”

“Apa nama ilmu silat itu?”

“Ini... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu.”

“Hemm... dan kau lihat ini, Koko!” Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!

“Aku tahu...! Pukulan sinkang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!” seru Han Ki.

“Dan ini...!” Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.

“Ini pukulan mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!”

“Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?” suara Siauw Bwee agak gemetar.

“Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu.”

“Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...”

“Suci?”

Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suheng-nya di Istana Pulau Es. “Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suci-ku Maya...”

“Hemmm, aku tidak ingat.”

“Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?”

Han Ki menggeleng kepala.

“Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?”

Kembali pemuda itu menggeleng kepala.

“Koko...” Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. “Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?”

Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, “Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi.”

Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.

“Moi-moi...”

“Siauw Bwee menoleh. “Hemmm...?”

“Kasihan engkau...!”

“Mengapa kasihan?”

“Dengan susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?”

Siauw Bwee menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat mengecewakannya.

“Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!”

“Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?”

“Apakah untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andai kata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta.”

“Tidak mungkin!”

“Bagaimana tidak mungkin?”

“Cinta timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta? Betapa janggalnya!”

“Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?”

Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!

“Eh, hal ini... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan... dan aku kasihan kepadamu. Aku... aku senang sekali berkenalan denganmu.”

“Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?”

“Mengapa tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku lancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!”

“Kam-koko, memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk, cacat cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacat-celanya. Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah kau lupakan.”

“Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu.”

Siauw Bwee ingin mencoba ‘rasa suka’ pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suheng-nya yang dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada dia mau pun kepada Maya. Akan tetapi suheng-nya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang diceritakannya tadi.

“Mendiang ayahku adalah Khu Tek San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong, kakak sepupumu yang kau lupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang setia dan berjasa besar untuk kerajaan....”

Dengan singkat Siauw Bwee kemudian menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.

“Akan tetapi sungguh menyedihkan. Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat....”

Siauw Bwee menceritakan pula sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.

Berkerut alis Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. “Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!”

Mendengar bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suheng-nya. “Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?”

Sementara itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang berusaha mengingatkan Han Ki.

“Koko, engkau marah mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatang-kara. Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko.”

Wajah Han Ki menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik jelita dari dekat. “Mungkin... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia... Betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau.”

“Kam-Suheng..., Kam-koko... ternyata engkau hanya mencinta aku seorang...!” dengan hati penuh keharuan dan kebahagiaan Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki!

Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.

“Hanya aku yang kau cinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci Maya...”

“Maya...?”

Siauw Bwee cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat suheng-nya meragu lagi. Kini setelah jelas bahwa suheng-nya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan suheng-nya. Dia sudah menduga bahwa dengan sinkang tenaga Inti Es dia dan suheng-nya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan suheng-nya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu, maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan berbahaya bagi keselamatan Han Ki.

“Suheng, engkau tidak ingat tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini.” Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur dari telapak tangannya.

“Ihhh! Bukan main kuatnya sinkang-mu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!”

Siauw Bwee menghentikan saluran Im-kang-nya dan tersenyum manja. “Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar dari pada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek.”

Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suheng-nya, kemudian dia menggandeng tangan suheng-nya. Tanpa malu-malu dia menjumpai supek-nya yang sedang menjemur akar dan daun obat.

“Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!”

“Eh?” Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.

“Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng.”

“Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan dapat membahayakan kalau tersalur memasuki kepala!”

“Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?” Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.

“Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barang kali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang mampu.”

“Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?”

“Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali.”

“Begitukah? Coa-supek, kau lihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!”

Siauw Bwee menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik tangannya dan... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik ke luar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam panci!

“Moi-moi, kau mengagumkan sekali!” Han Ki berseru gembira.

Dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!

Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, “Ya Tuhan..., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat...!”

Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. “Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?”

Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa.”

“Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan.”

“Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...”

“Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?”

Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak. “Murid-murid... manusia dewa itu...? Dan aku telah membiarkan diri kau sebut supek? Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh... setua ini masih tolol...!”

“Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko.”

Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu, apa sih bahayanya?

Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang. Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,

“Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kau kendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?”

Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, “Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini? Kalau kau anggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?”

Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimana pun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!

“Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?”

“Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko.”

Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta!

Siauw Bwee maklum bahwa biar pun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya. Karena itu dia kemudian berkata, “Setelah aku menyalurkan Im-kang, kau sambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau kumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kau salurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko, dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!”

Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersemedhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas.

Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan semedhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kang-nya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.

Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca. Akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemukjizatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.

Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suheng-nya.

Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran, bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.

Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!

“Celaka...!” keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.

Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, “Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu.”

Bu-koksu tertawa, “Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!”

“Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!”

“Orang sakit?” Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?”

Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. “Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya.”

“Ha-ha-ha, kau maksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!”

“Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?” Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.

“Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!”

“Bu-koksu, harap kau tunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?”

“Jangan banyak cakap! Minggirlah!”

“Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kau tangkap dan kau seret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apa lagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!”

Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa, “Siapa pun mereka, harus kami tawan!”

Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.

“Jangan bergerak!” Coa Leng Bu berseru marah. “Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!”

“Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!” Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram.

Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Coa Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang.

“Desss!” Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sinkang yang jauh lebih lihai dan kuat.

“Engkau bosan hidup!” Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.

Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau jubahnya tidak disambar oleh Bu-koksu.

Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.

“Terimalah ini!” Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai).

Tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis.

Dia tahu bahwa betapa pun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apa lagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.

Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa dia tentu akan roboh kalau terkena hawa dorongan ini, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.

“Dessss!”

Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sinkang yang dimiliki Coa Leng Bu. Akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.

“Cring-cring... singggg...!” Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu.

Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.

“Crakk!” pundak Coa Leng Bu terbabat putus!

Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu. Dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!

Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.

“Crott!” Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.

Biar pun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini, bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.

Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata, “Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku.” Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.

“Biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka,” katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.

Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring, “Kam-siauwte, aku datang!”

Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suheng-nya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi suheng-nya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suheng-nya yang tercinta!

Pintu pondok terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.

“Aihhh...!” Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat.

Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguh pun dia sendiri memiliki sinkang yang kuat. Kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!

Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, “Engkau... Siauw Bwee... Khu-sumoi...!” Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!

Mendengar teriakan suheng-nya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suheng-nya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biar pun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!

Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.

“Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,” katanya.

Tiga orang itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu mengeluarkan jerit tertahan ketika melihat mayat supek-nya yang tewas dalam keadaan mengerikan. Ia menggigit bibir, tidak mengeluarkan kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.

“Nona Khu,” Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, “Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan negara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi harus di kesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suheng-mu.”

Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, “Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara. Akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!”

Bu Kok Tai menghela napas panjang. “Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah memusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!” katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya.

Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota.

Betapa pun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.

Ketika rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah....


BERSAMBUNG KE JILID 36


Istana Pulau Es Jilid 35

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 35

Coa Leng Bu menghela napas panjang. “Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan... ahh, aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!”

Siauw Bwee terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum percaya sepenuhnya.

“Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas, tidakkah dapat dilawan dengan tenaga Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannya. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?”

Coa Leng Bu menggeleng kepala. “Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak boleh digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat penting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh dilakukan!”

“Habis, bagaimana...?” Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! “Eh, Coa-supek, dahulu Suheng pernah bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?”

“Kam Bu Sin...? Ayahku...? Nona, apa yang kau katakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu Sin...?” Han Ki berkata bingung.

Akan tetapi wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia bertepuk tangan. “Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin sejuk yang mukjizat dan sungguh pun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan bersemedhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biar pun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk.”

Kam Han Ki menghela napas panjang. “Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja kalian tidak mempermainkan aku.”

“Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andai kata engkau seorang lain, mana aku berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara.”

“Suheng, mari kau bantu kami...!” Siauw Bwee menarik tangan Han Ki dengan wajah berseri. Kini hatinya penuh harapan dan kegirangan,.

“Nona, harap kau hentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja.”

“Aihhh, engkau memang suheng-ku! Habis disuruh menyebut apa?” Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.



Biar pun Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam dari pada hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suheng-nya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,

“Khu-lihiap, Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!” Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.

“Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!”

“Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu.”

“Ehh, aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua dari pada aku!”

”Banyak lebih tua!” kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini. “Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!”

”Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?”

Kam Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. “Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...”

“Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan banyak rewel!”

“Engkau gadis yang manis, dan nakal!” Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. “Akan tetapi... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi... ehh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...”

“Aku kenapa?” Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supek-nya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.

“Kau bicara tentang... cinta... Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!”

”Siapa yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?”

Han Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biar pun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini.

Apa artinya semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?

“Eh, Suheng... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?” Siauw Bwee sudah berlutut dekat suheng-nya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.

Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biar pun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapa pun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!

“Tidak apa-apa, Moi-moi, hanya... ahh, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi. Engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...”

Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suheng-nya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing. “Suheng... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka? Kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kau dukakan?”

Han Ki menggeleng kepala. “Aku tidak menyusahkan apa-apa.”

“Apakah engkau khawatir?”

“Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku.”

“Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?”

Kembali Han Ki menggeleng. “Sepanjang yang teringat olehku... tidak.”

Hati Siauw Bwee-lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.

“Ha-ha-ha, memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?” Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.

“Ah, kenapa kau sebut permainan pikiran, Lopek?” Han Ki bertanya.

“Benar, Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kau katakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?” Siauw Bwee yang membantah.

Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh, “Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapa pun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan Lihiap?”

Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu? Biar pun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.

Akan tetapi pada dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biar pun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya.

Marah timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Ada pun takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu.

Orang takut sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu hanyalah permainan pikiran saja yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain
.

Siauw Bwee juga mengangguk-angguk karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak, “Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?”

Kakek itu tersenyum maklum. “Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya suheng-mu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang. Suheng-mu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang mengkhawatirkan, bukan?”

“Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...”

“Nah, nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih.”

“Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!” Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. “Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!”

Kakek itu tersenyum. “Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apa pun juga.”

“Ahh, Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga dari pada mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...” Han Ki berseru, penuh kagum.

Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan, tanpa ingatan. Akan tetapi kalau ada terselip keinginan dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu untuk memperoleh kebebasan, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan bebas di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepa pun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apa pun juga karena kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!”

Han Ki dan Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.

Mulai hari ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun. Gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu.

Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sinkang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu. Namun Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu yang sudah bertahun-tahun berlatih sinkang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin dari pada bersemedhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sinkang.

Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan semedhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.

Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan ingatan!

Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apa lagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!

Setelah minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suheng-nya duduk di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap.

Sudah seminggu lebih Han Ki berobat, namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biar pun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.

Han Ki menggeleng kepala. “Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua.”

“Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kau lihat ini, masih kenalkah engkau akan gerakan-gerakan ini?” Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari suheng-nya.

“Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!” Han Ki berseru girang.

’’Jadi kau mengenalnya?”

“Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal.”

“Apa nama ilmu silat itu?”

“Ini... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu.”

“Hemm... dan kau lihat ini, Koko!” Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!

“Aku tahu...! Pukulan sinkang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!” seru Han Ki.

“Dan ini...!” Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.

“Ini pukulan mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!”

“Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?” suara Siauw Bwee agak gemetar.

“Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu.”

“Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...”

“Suci?”

Siauw Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suheng-nya di Istana Pulau Es. “Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suci-ku Maya...”

“Hemmm, aku tidak ingat.”

“Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?”

Han Ki menggeleng kepala.

“Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?”

Kembali pemuda itu menggeleng kepala.

“Koko...” Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. “Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?”

Han Ki mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, “Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi.”

Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.

“Moi-moi...”

“Siauw Bwee menoleh. “Hemmm...?”

“Kasihan engkau...!”

“Mengapa kasihan?”

“Dengan susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?”

Siauw Bwee menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat mengecewakannya.

“Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!”

“Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?”

“Apakah untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andai kata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta.”

“Tidak mungkin!”

“Bagaimana tidak mungkin?”

“Cinta timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta? Betapa janggalnya!”

“Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?”

Bukan main, pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!

“Eh, hal ini... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan... dan aku kasihan kepadamu. Aku... aku senang sekali berkenalan denganmu.”

“Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?”

“Mengapa tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku lancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!”

“Kam-koko, memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk, cacat cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacat-celanya. Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah kau lupakan.”

“Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu.”

Siauw Bwee ingin mencoba ‘rasa suka’ pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suheng-nya yang dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada dia mau pun kepada Maya. Akan tetapi suheng-nya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang diceritakannya tadi.

“Mendiang ayahku adalah Khu Tek San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong, kakak sepupumu yang kau lupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang setia dan berjasa besar untuk kerajaan....”

Dengan singkat Siauw Bwee kemudian menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.

“Akan tetapi sungguh menyedihkan. Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat....”

Siauw Bwee menceritakan pula sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.

Berkerut alis Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. “Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!”

Mendengar bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suheng-nya. “Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?”

Sementara itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang berusaha mengingatkan Han Ki.

“Koko, engkau marah mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatang-kara. Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko.”

Wajah Han Ki menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik jelita dari dekat. “Mungkin... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia... Betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau.”

“Kam-Suheng..., Kam-koko... ternyata engkau hanya mencinta aku seorang...!” dengan hati penuh keharuan dan kebahagiaan Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki!

Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.

“Hanya aku yang kau cinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci Maya...”

“Maya...?”

Siauw Bwee cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat suheng-nya meragu lagi. Kini setelah jelas bahwa suheng-nya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan suheng-nya. Dia sudah menduga bahwa dengan sinkang tenaga Inti Es dia dan suheng-nya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan suheng-nya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu, maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan berbahaya bagi keselamatan Han Ki.

“Suheng, engkau tidak ingat tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini.” Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur dari telapak tangannya.

“Ihhh! Bukan main kuatnya sinkang-mu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!”

Siauw Bwee menghentikan saluran Im-kang-nya dan tersenyum manja. “Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar dari pada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek.”

Dengan wajah berseri Siauw Bwee bangkit dan menarik tangan suheng-nya, kemudian dia menggandeng tangan suheng-nya. Tanpa malu-malu dia menjumpai supek-nya yang sedang menjemur akar dan daun obat.

“Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!”

“Eh?” Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.

“Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng.”

“Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan dapat membahayakan kalau tersalur memasuki kepala!”

“Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?” Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.

“Tentu saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barang kali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang mampu.”

“Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?”

“Sukar dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali.”

“Begitukah? Coa-supek, kau lihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!”

Siauw Bwee menghampiri sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik tangannya dan... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik ke luar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam panci!

“Moi-moi, kau mengagumkan sekali!” Han Ki berseru gembira.

Dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!

Kedua kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, “Ya Tuhan..., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat...!”

Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. “Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?”

Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kalau aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa.”

“Aku ingin Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan.”

“Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...”

“Coa-supek, kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?”

Sepasang mata Coa Leng Bu terbelalak. “Murid-murid... manusia dewa itu...? Dan aku telah membiarkan diri kau sebut supek? Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh... setua ini masih tolol...!”

“Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko.”

Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu, apa sih bahayanya?

Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang. Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan sungguh-sungguh dan berkata,

“Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kau kendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu itu. Maukah engkau?”

Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, “Demi cintaku kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh melakukan usaha ini? Kalau kau anggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk membahagiakan hatiku. Maukah?”

Hati Han Ki menjadi terharu. Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimana pun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!

“Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?”

“Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko.”

Han Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta!

Siauw Bwee maklum bahwa biar pun ilmu kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori-teorinya. Karena itu dia kemudian berkata, “Setelah aku menyalurkan Im-kang, kau sambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kau kumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kau salurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko, dan jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!”

Hati Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya, bersemedhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai menyalurkannya ke atas.

Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati. Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan semedhi karena dia tidak menghendaki pengerahan Im-kang-nya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya.

Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang arca. Akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemukjizatan karena dua tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.

Karena maklum bahwa dia sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan pondok. Dia pun prihatin dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil menyembuhkan suheng-nya.

Melihat kekuatan Im-kang mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran, bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.

Tiba-tiba Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!

“Celaka...!” keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.

Coa Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, “Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang dahulu.”

Bu-koksu tertawa, “Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!”

“Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!”

“Orang sakit?” Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?”

Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. “Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya.”

“Ha-ha-ha, kau maksudkan sedang berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!”

“Bu-koksu, apakah kesalahan mereka?” Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.

“Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum pula!”

“Bu-koksu, harap kau tunggu sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?”

“Jangan banyak cakap! Minggirlah!”

“Bu-koksu, harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup menaruh kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kau tangkap dan kau seret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apa lagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!”

Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa kagetnya dan tertawa, “Siapa pun mereka, harus kami tawan!”

Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.

“Jangan bergerak!” Coa Leng Bu berseru marah. “Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!”

“Manusia sombong, kalau begitu mampuslah engkau!” Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram.

Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Coa Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang.

“Desss!” Tubuh Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sinkang yang jauh lebih lihai dan kuat.

“Engkau bosan hidup!” Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.

Injakan maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau jubahnya tidak disambar oleh Bu-koksu.

Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang mereka.

“Terimalah ini!” Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai).

Tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan menangkis.

Dia tahu bahwa betapa pun dia berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apa lagi menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.

Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa dia tentu akan roboh kalau terkena hawa dorongan ini, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.

“Dessss!”

Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan tenaga Jit-goat-sinkang yang dimiliki Coa Leng Bu. Akan tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri terhuyung ke belakang.

“Cring-cring... singggg...!” Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu.

Kakek ahli obat ini terkejut sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.

“Crakk!” pundak Coa Leng Bu terbabat putus!

Namun Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu. Dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!

Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar dari belakang.

“Crott!” Lengan kiri Coa Leng Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.

Biar pun kedua lengannya telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah perkasa ini, bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi. Dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan mengerikan.

Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata, “Seorang yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku.” Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.

“Biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka,” katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada gunanya.

Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring, “Kam-siauwte, aku datang!”

Tidak ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suheng-nya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi suheng-nya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati, dia rela mati bersama suheng-nya yang tercinta!

Pintu pondok terdorong terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.

“Aihhh...!” Bu-koksu menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat.

Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguh pun dia sendiri memiliki sinkang yang kuat. Kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!

Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, “Engkau... Siauw Bwee... Khu-sumoi...!” Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!

Mendengar teriakan suheng-nya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa suheng-nya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biar pun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!

Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi merasa kagum dan mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.

“Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,” katanya.

Tiga orang itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu mengeluarkan jerit tertahan ketika melihat mayat supek-nya yang tewas dalam keadaan mengerikan. Ia menggigit bibir, tidak mengeluarkan kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.

“Nona Khu,” Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, “Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan negara dalam bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi harus di kesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suheng-mu.”

Dengan mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, “Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara. Akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!”

Bu Kok Tai menghela napas panjang. “Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku tidak pernah memusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!” katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya.

Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau meninggalkan kota.

Betapa pun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.

Ketika rombongan empat orang yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa memerintah....


BERSAMBUNG KE JILID 36