Istana Pulau Es Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 12

Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.

Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga.



Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!

Betapa pun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula. Terdengar keluhnya, “Lan-moi... isteriku...!”

Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu. Tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.

“Kwi Lan...!” Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesadarannya.

“Subo...!” Can Ji Kun berseru sambil menangis.

“Subo...!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!”

“Aku juga!” Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar rombongan pasukan Mongol.

“Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti...!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”

Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. “Subo telah mereka bunuh...!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.

“Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”

Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam. Dengan wajah pucat, pipi basah air mata, namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu.

Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang prajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!

Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam.’ Demikian penutup surat yang panjang lebar itu. ‘Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.’

“Kwi Lan...!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu.

Wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram. Tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.

Setelah lewat sebulan dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata, “Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”

“Jangan khawatir, Taihiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”

“Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”

“Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasehat kepada Taihiap. Hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Taihiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Taihiap.”

Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “Andai kata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.”

Biar pun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!” Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.

******************


Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri goa besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu. Ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu itu, akan dapat ia temukan di dalam goa keramat yang terlarang itu.

Biar pun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat, sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu. Kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?

Goa itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki goa itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Goa itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, goa itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor.

Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.

“Inilah yang kucari!” serunya girang.

Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.

Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.

Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu. Para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.

Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah mala-petaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua!

Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!

Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apa bila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguh pun ilmu silat mereka amat lihai!

Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.

Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalanya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas.

Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.

“Trik-cringgg...!”

“Ayaaa...!” Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.

Kini di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada para penghuni Pulau Nelayan.

Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena berbeda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, orang kembar itu kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Han Ki tidak dapat bergerak leluasa di dalam goa yang gelap karena lilin di atas peti terguling, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.

“Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh...!” Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari.

Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.

Tiba-tiba seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, “Mataku... ahhh... silaunya...!”

Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan sering kali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!

“Aduh... silau...!”

“Tak dapat melihat...!”

Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya.

Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran tadi.

Akan tetapi ketika ia tiba di luar goa, tempat di luar goa itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan goa. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoi-nya itu dibelenggu!

“Eh... aku... aku tidak melakukan apa-apa...,” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoi-nya kalau mereka itu berniat buruk.

“Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.

“Akan tetapi... dia... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk.... Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!”

Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami tidak mengerti apa yang kau katakan itu. Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan mala-petaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”

“Akan tetapi mereka... lihai sekali!”

“Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoi-mu harus meninggalkan pulau ini!”

“Akan tetapi...!” Han Ki membantah.

“Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?”

Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak mungkin di bantah. “Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”

“Sekarang juga!”

“Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”

Han Ki mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!”

Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoi-nya, menggunakan tenaga saktinya untuk sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, kemudian menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki, perempuan, juga kanak-kanak menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu melepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang sumoi-nya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek botak.

“Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di goa yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam goa. Ada pun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kepandaian mereka itu hebat sekali. Kalau kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”

Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sampai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai. Obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.

Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apa lagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apa lagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.

Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.

”Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.

Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain dari pada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana, ujung bangunan itu tentu disangka puncak sebuah bukit karang.

“Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.

“Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.

“Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”

Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang, dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja.

Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat besar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguh pun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.

“Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru, gembira dan kagum.

“Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!”

“Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.

Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya tentu akan menderita sekali, karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sinkang yang kuat.

“Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”

Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.

“Mari kita masuk!” Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoi-nya.

Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya, “ Suheng... jangan-jangan ada orangnya di....”

“Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andai kata ada penghuninya sekali pun kita takut apa?” Maya mencela dengan suara nyaring.

“Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah!” Han Ki menggandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoi-nya itu.

Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali. Selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.

Ruangan yang lebar, lantainya dari batu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat dari pada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!

Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak lagi benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana.

Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan di situ terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdapat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.

Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat dari pada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi-nya lebih baik dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.

Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhu-nya yang agaknya telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es.

“Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci,” Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada suci-nya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.

“Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke mana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.

“Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.

“Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali hawa di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”

Melihat betapa kedua orang sumoi-nya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata, “Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi perut,” dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoi-nya melupakan perbantahan mereka.

Kemudian mereka berdua kembali berlomba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoi-nya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoi-nya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguh pun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap suci-nya.

Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah dan saling lomba antara kedua orang anak perempuan itu, yaitu ketika mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan sehingga amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoi-nya merupakan ‘murid-murid’ yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapa pun lelahnya seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, maka akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh.

Keduanya sama tekun dan sama cerdik. Kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka ‘sikat’ satu demi satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoi-nya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu-nya. Dengan dasar yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.

Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoi-nya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apa lagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.

“Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”

Karena maklum bahwa sumoi-nya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk. “Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”

Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat suci-nya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, “Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingga hendak kau basmi semua?”

“Musuh-musuhku?” Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum.

Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!

“Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!”

Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoi-nya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoi-nya ini akan lebih ‘ngotot’ lagi, maka dia diam saja.

Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau ‘kalah’ begitu saja dan ia langsung mencela, “Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!”

“Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?” Biar pun Maya menyebut ‘sumoi yang manis’, namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat.

Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoi-nya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan kedua orang sumoi-nya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.

“Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoi-nya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban. Ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kaki-tangannya.”

“Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam keluarga dan juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak pasti akan kubalas.”

Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi, dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”

Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suheng-nya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia yang selalu patuh kepada suheng-nya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka!”

Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?” Pertanyaan itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama!

Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab. “Masih bergema di telingaku nasehat dan wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhu-nya ‘Siansu’. “Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapa pun juga. Kalau toh ada mala-petaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Di luar kehendak-Nya, takkan ada terjadi sesuatu!”

“Akan tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia. Dalam hal mala-petaka yang menimpamu, sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”

Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. “Sungguh pun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”

Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suheng-nya itu. “Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputus-asaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!”

Han Ki tersenyum memandang sumoi-nya yang penuh semangat itu. “Ucapanmu benar, Sumoi. Memang manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapa pun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, ada pun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”

“Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan mala-petaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa mala-petaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang panglima yang setia! Aku sendiri tertimpa mala-petaka. Ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”

Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. “Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguh pun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri....”

“Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.”

“Ah, mana mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa mala-petaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”

Han Ki menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andai kata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biar pun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biar pun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”

Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.

“Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.

“Maaf, Suheng. Betapa pun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!” Siauw Bwee berkata.

Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoi-nya akan sia-sia belaka....

Kesadaran datang bukan oleh pelajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran, dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Namun semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna.

Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoi-nya ini tidak terlalu pahit.

“Sudahlah, dari pada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sinkang sehingga dapat bertahan bersemedhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sinkang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sinkang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih.”

Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi. Untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.

Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi suci-nya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biar pun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda.

Dalam hal mempelajari sinkang, jelas bahwa Maya melampaui sumoi-nya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoi-nya. Akan tetapi dalam hal ginkang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui suci-nya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.

Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlomba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini.

Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee.

Setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kau latih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi.”

Maya mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidak-puasan hatinya.

“Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoi-nya yang ke dua.

”Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca. Jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi.

Setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata, “Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sinkang di ujung jarimu agar setiap totokan pada tubuh manusia akan berhasil baik.”

Melihat betapa Han Ki, memuji sumoi-nya, Maya meloncat ke depan dan berkata, “Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!” Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat

“Krakkk!” Dada arca itu retak-retak dan Maya menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.

“Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!” Han Ki berseru marah.

Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl

Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata, ”Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman....”

Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang?

Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apa lagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.”

Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoi-nya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlomba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!

“Arca ini peninggalan Suhu, kini telah menjadi rusak. Kita harus dapat membuatkan penggantinya.”

Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali!

Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik. Bentuknya menyerupai manusia benar dan biar pun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini, Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya.

Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoi-nya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apa lagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apa lagi sekarang! Namun di samping ketekunan mereka yang bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa.

Han Ki adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apa lagi di depan Han Ki!

Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?

Han Ki selalu merasa kagum ketika sedang melatih silat kepada dua orang sumoi-nya. Selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoi-nya itu merupakan dua orang gadis remaja yang cantik jelita. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam.

Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat dari pada serangkaian peristiwa yang amat hebat.....

"Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!" Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya.

Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana...


BERSAMBUNG KE JILID 13


Istana Pulau Es Jilid 12

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 12

Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.

Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga.



Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!

Betapa pun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula. Terdengar keluhnya, “Lan-moi... isteriku...!”

Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu. Tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.

“Kwi Lan...!” Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesadarannya.

“Subo...!” Can Ji Kun berseru sambil menangis.

“Subo...!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!”

“Aku juga!” Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar rombongan pasukan Mongol.

“Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti...!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”

Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. “Subo telah mereka bunuh...!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.

“Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”

Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam. Dengan wajah pucat, pipi basah air mata, namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu.

Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang prajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!

Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam.’ Demikian penutup surat yang panjang lebar itu. ‘Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.’

“Kwi Lan...!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu.

Wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram. Tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.

Setelah lewat sebulan dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata, “Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”

“Jangan khawatir, Taihiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”

“Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”

“Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasehat kepada Taihiap. Hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Taihiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Taihiap.”

Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “Andai kata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.”

Biar pun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!” Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.

******************


Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri goa besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu. Ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu itu, akan dapat ia temukan di dalam goa keramat yang terlarang itu.

Biar pun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat, sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu. Kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?

Goa itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki goa itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Goa itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, goa itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor.

Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.

“Inilah yang kucari!” serunya girang.

Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.

Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.

Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu. Para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.

Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah mala-petaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua!

Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!

Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apa bila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguh pun ilmu silat mereka amat lihai!

Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.

Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalanya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas.

Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.

“Trik-cringgg...!”

“Ayaaa...!” Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.

Kini di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada para penghuni Pulau Nelayan.

Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena berbeda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, orang kembar itu kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Han Ki tidak dapat bergerak leluasa di dalam goa yang gelap karena lilin di atas peti terguling, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.

“Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh...!” Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari.

Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.

Tiba-tiba seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, “Mataku... ahhh... silaunya...!”

Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan sering kali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!

“Aduh... silau...!”

“Tak dapat melihat...!”

Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya.

Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran tadi.

Akan tetapi ketika ia tiba di luar goa, tempat di luar goa itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan goa. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoi-nya itu dibelenggu!

“Eh... aku... aku tidak melakukan apa-apa...,” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoi-nya kalau mereka itu berniat buruk.

“Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.

“Akan tetapi... dia... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk.... Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!”

Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami tidak mengerti apa yang kau katakan itu. Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan mala-petaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”

“Akan tetapi mereka... lihai sekali!”

“Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoi-mu harus meninggalkan pulau ini!”

“Akan tetapi...!” Han Ki membantah.

“Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?”

Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak mungkin di bantah. “Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”

“Sekarang juga!”

“Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”

Han Ki mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!”

Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoi-nya, menggunakan tenaga saktinya untuk sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, kemudian menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki, perempuan, juga kanak-kanak menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu melepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang sumoi-nya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek botak.

“Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di goa yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam goa. Ada pun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kepandaian mereka itu hebat sekali. Kalau kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”

Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sampai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai. Obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.

Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apa lagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apa lagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.

Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.

”Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.

Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain dari pada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana, ujung bangunan itu tentu disangka puncak sebuah bukit karang.

“Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.

“Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.

“Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”

Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang, dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja.

Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat besar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguh pun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.

“Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru, gembira dan kagum.

“Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!”

“Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.

Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya tentu akan menderita sekali, karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sinkang yang kuat.

“Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”

Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.

“Mari kita masuk!” Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoi-nya.

Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya, “ Suheng... jangan-jangan ada orangnya di....”

“Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andai kata ada penghuninya sekali pun kita takut apa?” Maya mencela dengan suara nyaring.

“Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah!” Han Ki menggandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoi-nya itu.

Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali. Selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.

Ruangan yang lebar, lantainya dari batu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat dari pada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!

Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak lagi benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana.

Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan di situ terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdapat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.

Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat dari pada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi-nya lebih baik dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.

Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhu-nya yang agaknya telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es.

“Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci,” Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada suci-nya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.

“Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke mana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.

“Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.

“Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali hawa di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”

Melihat betapa kedua orang sumoi-nya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata, “Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi perut,” dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoi-nya melupakan perbantahan mereka.

Kemudian mereka berdua kembali berlomba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoi-nya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoi-nya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguh pun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap suci-nya.

Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah dan saling lomba antara kedua orang anak perempuan itu, yaitu ketika mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan sehingga amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoi-nya merupakan ‘murid-murid’ yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapa pun lelahnya seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, maka akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh.

Keduanya sama tekun dan sama cerdik. Kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka ‘sikat’ satu demi satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoi-nya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu-nya. Dengan dasar yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.

Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoi-nya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apa lagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.

“Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”

Karena maklum bahwa sumoi-nya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk. “Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”

Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat suci-nya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, “Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingga hendak kau basmi semua?”

“Musuh-musuhku?” Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum.

Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!

“Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!”

Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoi-nya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoi-nya ini akan lebih ‘ngotot’ lagi, maka dia diam saja.

Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau ‘kalah’ begitu saja dan ia langsung mencela, “Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!”

“Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?” Biar pun Maya menyebut ‘sumoi yang manis’, namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat.

Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoi-nya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan kedua orang sumoi-nya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.

“Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoi-nya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban. Ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kaki-tangannya.”

“Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam keluarga dan juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak pasti akan kubalas.”

Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi, dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”

Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suheng-nya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia yang selalu patuh kepada suheng-nya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka!”

Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?” Pertanyaan itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama!

Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab. “Masih bergema di telingaku nasehat dan wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhu-nya ‘Siansu’. “Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapa pun juga. Kalau toh ada mala-petaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Di luar kehendak-Nya, takkan ada terjadi sesuatu!”

“Akan tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia. Dalam hal mala-petaka yang menimpamu, sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”

Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. “Sungguh pun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”

Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suheng-nya itu. “Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputus-asaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!”

Han Ki tersenyum memandang sumoi-nya yang penuh semangat itu. “Ucapanmu benar, Sumoi. Memang manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapa pun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, ada pun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”

“Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan mala-petaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa mala-petaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang panglima yang setia! Aku sendiri tertimpa mala-petaka. Ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”

Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. “Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguh pun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri....”

“Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.”

“Ah, mana mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa mala-petaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”

Han Ki menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andai kata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biar pun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biar pun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”

Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.

“Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.

“Maaf, Suheng. Betapa pun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!” Siauw Bwee berkata.

Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoi-nya akan sia-sia belaka....

Kesadaran datang bukan oleh pelajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran, dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Namun semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna.

Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoi-nya ini tidak terlalu pahit.

“Sudahlah, dari pada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sinkang sehingga dapat bertahan bersemedhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sinkang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sinkang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih.”

Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi. Untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.

Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi suci-nya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biar pun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda.

Dalam hal mempelajari sinkang, jelas bahwa Maya melampaui sumoi-nya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoi-nya. Akan tetapi dalam hal ginkang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui suci-nya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.

Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlomba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini.

Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee.

Setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kau latih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi.”

Maya mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidak-puasan hatinya.

“Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoi-nya yang ke dua.

”Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca. Jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi.

Setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata, “Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sinkang di ujung jarimu agar setiap totokan pada tubuh manusia akan berhasil baik.”

Melihat betapa Han Ki, memuji sumoi-nya, Maya meloncat ke depan dan berkata, “Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!” Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat

“Krakkk!” Dada arca itu retak-retak dan Maya menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.

“Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!” Han Ki berseru marah.

Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl

Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata, ”Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman....”

Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang?

Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apa lagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.”

Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoi-nya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlomba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!

“Arca ini peninggalan Suhu, kini telah menjadi rusak. Kita harus dapat membuatkan penggantinya.”

Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali!

Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik. Bentuknya menyerupai manusia benar dan biar pun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini, Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya.

Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoi-nya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apa lagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apa lagi sekarang! Namun di samping ketekunan mereka yang bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa.

Han Ki adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apa lagi di depan Han Ki!

Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?

Han Ki selalu merasa kagum ketika sedang melatih silat kepada dua orang sumoi-nya. Selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoi-nya itu merupakan dua orang gadis remaja yang cantik jelita. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam.

Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat dari pada serangkaian peristiwa yang amat hebat.....

"Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!" Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya.

Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana...


BERSAMBUNG KE JILID 13