Selir Raja - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Selir Raja
Karya: Teguh Suprianto
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Pendekar pulau neraka Episode selir raja

SATU


Siang itu keadaan di Kotaraja Balungan tampak lain dari biasanya. Hampir semua orang berbondong-bondong datang ke sebuah lapangan di depan Istana Balungan. Lapangan luas yang disebut alun-alun itu seakan-akan tidak mampu menampung orang yang terus berdatangan memadatinya. Kedatangan mereka adalah untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman bakar yang akan dilakukan siang ini di sana. Dan memang, di tengah-tengah lapangan luas itu terlihat sebatang tonggak kayu yang berdiri tegak di tengah-tengah tumpukan kayu bakar. Pada tonggak kayu, tampak terikat seorang wanita cantik mengenakan baju hitam ketat, dari bahan sutra halus.

Begitu ketatnya, sehingga tubuhnya yang indah dan ramping membentuk lekuk-lekuk yang menggairahkan. Dia terikat di tonggak dengan tangan ke belakang. Sekitar tiga puluh prajurit bersenjata lengkap mengelilingi tonggak kayu itu. Tampak seorang laki-laki bertubuh tegap berada di atas punggung kuda hitam. Sedangkan enam orang berpakaian prajurit tengah memegang obor menyala di kanan kirinya. Mata laki-laki itu menatap tajam wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak. Sedangkan yang ditatap malah mengarahkan pandangannya ke bangunan istana yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh.

"Sebelum hukuman ini dilaksanakan, apa permintaanmu yang terakhir, Nini Anjar?" terdengar lantang suara laki-laki di atas punggung kuda hitam yang mengenakan pakaian panglima itu.

Perempuan berbaju hitam yang dipanggil Nini Anjar hanya menyunggingkan senyuman saja, seakan-akan tidak peduli kalau sebentar lagi akan mati dibakar. Di-balasnya tatapan panglima itu dengan tajam pula.

"Gusti Prabu Wijaya akan mengabulkan permintaan terakhirmu, Nini Anjar," tegas panglima itu lagi.

"Terima kasih. Sebaiknya sampaikan saja pada Gusti Prabu untuk memperhatikan kata-kataku, Panglima Pangkar," lembut sekali suara Nini Anjar, namun terasa hambar dan datar.

Laki-laki di atas punggung kuda hitam yang bernama Panglima Pangkar itu hanya tersenyum saja. Ketika tangannya memberikan isyarat, maka enam orang yang membawa obor bergerak maju. Mereka mengelilingi wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak kayu.

"Dengar, Nini Anjar. Kau akan diampuni jika mencabut kembali kata-katamu itu. Tidak ada seorang pun yang sudi mempercayainya. Bahkan kau telah membuat Gusti Prabu Wijaya murka. Jika kata-katamu tidak mau dicabut, maka kau harus rela menerima hukuman ini," tegas Panglima Pangkar, bernada membujuk.

"Kalian akan menyesal. Percayalah...," kata Nini Anjar datar.

"Bakar...!" perintah Panglima Pangkar lantang.

Tanpa diperintah dua kali, enam orang yang memegang obor langsung melemparkan obornya ke tumpukan kayu itu. Seketika api berkobar membesar, melahap kayu bakar. Lidah-lidah api mulai menjilati tubuh wanita itu. Namun Nini Anjar tetap tersenyum dingin, disertai sorot mata tajam. Api terus berkobar semakin besar. Dan tubuh Nini Anjar benar benar tertutup api. Namun, tak sedikit pun terdengar keluhan. Apalagi jeritan kesakitan. Hal ini membuat Panglima Pangkar dan semua orang yang menyaksikan jadi keheranan. Pada saat seluruh kayu-kayu terbakar, mendadak saja....

Glarrr!

Satu ledakan keras tiba-tiba terdengar bagai letusan gunung berapi. Dan itu jelas berasal dari api yang berkobar semakin besar. Bunga-bunga api memercik, membumbung tinggi ke angkasa. Semua orang yang memadati alun-alun terbengong kaget. Dan sebelum hilang keterkejutan mereka....

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa terbahak-bahak.
Bagaikan ada yang memberi perintah, semua orang yang memadati alun-alun berserabutan pergi. Jerit ketakutan terdengar membahana. Akibatnya suasana yang semula sunyi, mendadak jadi gaduh. Bahkan para prajurit mulai kelihatan gelisah. Mereka mulai bergerak mundur perlahan-lahan. Saat itu semua orang sudah meninggalkan lapangan luas ini. Tinggal Panglima Pakar dan para prajuritnya yang masih bertahan pada tempatnya.

Glarrr?.!

Satu ledakan keras kembali terdengar menggelegar, membuat Panglima Pangkar dan para prajuritnya terperanjat kaget. Mereka semakin terkejut, begitu tiba-tiba kobaran api mendadak padam. Tonggak kayu yang menghitam hangus masih tetap terpancang tegak. Namun, disana tidak ada lagi Nini Anjar.

"Ehh! Ke mana dia?" desis Panglima Pangkar keheranan. Dan sebelum panglima itu memperoleh jawaban, mendadak saja berkelebat cepat sebuah bayangan hitam. Panglima Pangkar cepat melompat dari punggung kuda, maka terjangan bayangan hitam tidak sampai menghantamnya. Namun pada saat yang sama, terdengar jeritan melengking tinggi saling sambut. Itu pun masih di susul bergelimpangannnya para prajurit yang belum bisa menyadari, apa yang terjadi. Bayangan hitam itu terus berkelebat cepat, menghajar para prajurit, tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bisa melakukan sesuatu.

"Celaka...," desis Panglima Pangkar.

Bagaikan kilat, Panglima Pangkar melompat keatas punggung kudanya. Dan secepat itu pula kudanya digebah menuju pintu gerbang istana.

"Aku harus melaporkan kejadian ini pada Gusti Prabu. Hiya! Hiyaaa...!"

Sementara bayangan hitam itu masih saja berkelebat menghajar para prajurit. Jeritan dan pekikan menyayat terus terdengar saling sambut. Dalam waktu sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras di tubuh-tubuh yang koyak, seperti terkena cakaran binatang buas.

"Hiya! Buka pintu..,! Yeaaah...!" teriak Panglima Pangkar keras menggelegar.

Pintu gerbang yang sejak tadi tertutup, perlahan-lahan terbuka. Tanpa memperlambat lari kudanya, panglima itu terus menerobos masuk. Pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal kembali bergerak menutup begitu Panglima Pangkar melewatinya. Tepat pada saat itu, semua prajurit yang berada dialun-alun sudah tewas bersimbah darah. Tak ada seorang pun yang tersisa. Sedangkan bayangan hitam itu juga lenyap, entah ke mana. Tak ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya. Suasana di alun-alun depan istana kini mendadak jadi sunyi senyap. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan. Tak ada seorang pun terlihat di sana.

Sementara Panglima Pangkar sudah mendekati bagian depan istana. Dia langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu sampai di depan tangga istana. Gerakannya sangat ringan,.pertanda kepandaiannya cukup tinggi. Begitu kakinya menjejak undakan pertama, panglima itu langsung berlari cepat menaiki anak-anak tangga yang berjumlah dua puluh. Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan segera membungkuk memberi hormat. Namun Panglima Pangkar tidak mempedulikan sama sekali, dan malah terus melangkah cepat setengah berlari menerobos masuk. Dia langsung menuju Balai Sema Agung, tempat Prabu Wijaya tengah berbincang-bincang bersama pembesar-pembesarnya.

Mereka semua terkejut melihat kedatangan Panglima Pangkar yang begitu tergesa-gesa. Terlebih lagi, seluruh wajahnya terlihat pucat bersimbah keringat. Panglima Pangkar cepat berlutut di depan Prabu Wijaya yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun.

"Ada apa, Panglima Pangkar? Kenapa kelihatan begitu tergesa-gesa?" tanya Prabu Wijaya langsung.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba... hamba...," jawab Panglima Pangkar terbata-bata.

"Ada apa?! Bukankah kau bertugas melaksanakan hukuman mati bagi Nini Anjar?" agak keras suara Prabu Wijaya.

Sebentar Panglima Pangkar terdiam, lalu menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Sedangkan Prabu Wijaya kelihatan tidak sabar menunggu. Dari raut wajah dan sorot matanya, sudah bisa diduga-duga, apa yang akan dikatakan panglimanya ini.

"Hamba memang bertugas untuk melakukan hukuman bagi Nini Anjar, Gusti Prabu. Semua sudah dilaksanakan sesuai perintah. Tapi...," laporan Panglima Pangkar terputus.

"Tapi kenapa, Panglima? Teruskan...," desak Prabu Wijaya semakin terlihat gelisah.

"Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia..., dia bisa lolos sewaktu api membakar tubuhnya," dengan suara perlahan dan terputus-putus, Panglima Pangkar melaporkan kejadian sebenarnya di alun-alun istana tadi.

"Apa...?!" sentak Prabu Wijaya terkejut. "Mustahil.... Tidak Mungkin...!"

Begitu terkejutnya, sampai-sampai Prabu Wijaya terlonjak berdiri dari singgasana. Wajahnya seketika memerah. Meskipun sejak semula sudah menduga akan menerima laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati, tapi saat mendengar laporan itu tetap saja Raja Kerajaan Balungan ini terkejut. Bukan hanya Prabu Wijaya yang terperanjat. Bahkan semua orang yang berada di dalam Balai Sema Agung ini juga tersentak kaget begitu menerima laporan Panglima Pangkar. Mereka memandangi panglima itu, seakan-akan ingin mendengar lagi laporan yang sangat mengejutkan tadi.

"Panglima! Jelaskan semua kejadiannya," pinta Prabu Wijaya setelah duduk kembali di singgasananya.

Tanpa diminta dua kali, Panglima Pangkar menjelaskan semua peristiwa yang terjadi di alun-alun tadi dengan hati-hati dan suara pelan. Sedapat mungkin Panglima Pangkar mencoba untuk tetap tenang saat memberikan penjelasan. Semua yang ada di dalam Balai Sema Agung ini mendengarkan penuh perhatian. Tak seorang pun membuka suara, sampai Panglima Pangkar menyelesaikan laporannya. Untuk beberapa saat, keadaan jadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang membuka mulut. Semua kepala tertunduk dengan kening berkerut.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hukumlah hamba, karena telah gagal melaksanakan titah," ucap Panglima Pangkar seraya memberi sembah.

Prabu Wijaya hanya diam merenung saja. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Entah, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya saat ini. Yang jelas, Prabu Wijaya kelihatan begitu gelisah.

"Hm.... Perempuan itu harus ditangkap hidup atau mati. Dia bisa menjadi ancaman terbesar bagi seluruh rakyat negeri ini," tegas Prabu Wijaya. Suaranya terdengar bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?" tanya Panglima Pangkar.

"Tidak ada," sahut Prabu Wijaya pelan.

Panglima Pangkar memandangi Prabu Wijaya, seakan-akan tidak mempercayai jawaban yang didengarnya barusan. Persoalan ini memang tidak seperti biasanya. Walaupun hanya seorang wanita yang harus mereka hadapi, tapi dia bisa menghancurkan seluruh negeri ini. Kata-kata yang diucapkannya begitu berbisa, dan berbahaya sekali.

"Ampun, Gusti Prabu...," tiba-tiba seorang laki-laki tua berjubah kuning, dan berkepala gundul menyelak.

Laki-laki tua berjubah kuning yang selalu menggenggam tasbih batu hitam itu membungkuk memberi hormat Prabu Wijaya dan semua orang yang berada diruangan Balai Sema Agung memandang ke arah laki-laki tua berjubah kuning ini. Sedangkan yang dipandangi tampak tidak peduli. Bahkan malah bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke depan. Setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah di depan Prabu Wijaya, dia berhenti. Kembali tubuhnya membungkuk memberi hormat.

"Ada apa, Paman Suratmaja?" tanya Prabu Wijaya.

"Ampun, Gusti Prabu. Menurut hamba, pencegahan lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan yang bakal terjadi nanti. Hamba merasa yakin, peristi-wa ini akan berbuntut panjang. Dan sudah pasti akan merugikan sekali. Kita tidak boleh menganggap remeh Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia bukan wanita sembarangan. Di samping kutukannya yang terkenal, kepandaiannya pun sangat tinggi. Sukar untuk dicari tandingannya."

"Hm...," Prabu Wijaya menggumam sambil mengelus-elus janggutnya yang hanya sedikit ditumbuhi rambut halus.

Agak lama juga Prabu Wijaya terdiam, memikirkan saran yang diajukan Pendeta Suratmaja. Memang dalam keadaan seperti ini, Nini Anjar tidak bisa dipandang remeh. Tapi bukan watak Prabu Wijaya yang begitu saja mudah menyerah. Terlebih lagi, mereka hanya menghadapi seorang wanita berkepandaian tinggi. Sedangkan ratusan prajurit asing saja sanggup mereka hadapi.

"Akan ku pikirkan saran mu, Paman Pendeta," ujar Prabu Wijaya, tidak ingin mengecewakan Pendeta Suratmaja.

"Hamba, Gusti Prabu," ucap Pendeta Suratmaja seraya memberi hormat.

Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu kembali ke tempat semula. Sementara suasana kembali menjadi sunyi. Tanpa berbicara lagi, Prabu Wijaya bangkit berdiri dari singgasana, kemudian melangkah perlahan meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini. Semua orang yang berada di ruangan itu bergegas berdiri, dan membungkuk memberi hormat. Sepeninggal Prabu Wijaya, ruangan besar dan indah itu bagaikan dipenuhi lebah. Suara-suara menggumam terdengar memenuhi ruangan Balai Sema Agung. Pendeta Suratmaja mendekati Panglima Pangkar. Sementara satu persatu orang-orang yang berada di ruangan itu beranjak pergi.

"Kau bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya secara jelas padaku, Panglima Pangkar?" pinta Pendeta Suratmaja.

Panglima Pangkar tidak langsung menjawab. Dipandanginya laki-laki tua berkepala gundul itu, seakan-kan sedang mempertimbangkan permintaan Pendeta Suratmaja barusan.

"Aku rasa, persoalan ini bukan urusan para panglima saja, Panglima Pangkar. Biar bagaimanapun, aku juga merasa bertanggung jawab atas keselamatan kerajaan ini," tegas Pendeta Suratmaja lagi.

"Aku sudah jelas menceritakannya, Paman Pendeta," ujar Panglima Pangkar.

"Aku yakin ada yang kau sembunyikan, Panglima Pangkar," Pendeta Suratmaja tidak mau percaya. Memang tadi Panglima Pangkar sudah mengatakan semua peristiwa di alun-alun. Dan semua orang sudah mendengarnya. Demikian pula Pendeta Suratmaja. Panglima Pangkar semakin dalam memandangi pendeta gundul berjubah kuning ini. Ada terselip sedikit kecurigaan atas desakan Pendeta Suratmaja. Tapi dia tidak tahu, apa yang membuatnya mempunyai perasaan curiga.

"Baiklah, bila kau tidak ingin mengatakannya padaku, Panglima Pangkar. Tapi aku yakin, kau menyembunyikan sesuatu. Dan yang pasti, aku bisa mengetahuinya," kata Pendeta Suratmaja, bernada seolah-olah menyerah.

Tidak ada yang bisa ku sembunyikan, Paman Pendeta," tegas Panglima Pangkar.

"Mungkin kau bisa memberikan kepercayaan pada orang lain. Bahkan mungkin Prabu Wijaya sendiri mempercayaimu. Tapi, kulihat ada sesuatu yang kau sembunyikan, Panglima Pangkar. Dan itu menjadi rahasiamu sendiri," Pendeta Suratmaja tetap tidak percaya.

"Apa maksudmu berkata demikian, Paman Pendeta?" Panglima Pangkar mulai tidak senang.

Pendeta Suratmaja hanya tersenyum saja, kemudian melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini. Sementara Panglima Pangkar masih berdiri tegak memandangi kepergian laki-laki tua gundul berjubah kuning itu. Ruangan ini kembali sepi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Perlahan-lahan Panglima Pangkar mengayunkan kakinya, meninggalkan ruangan besar yang indah ini. Hatinya masih tidak mengerti akan sikap Pendeta Suratmaja barusan.

"Apa sebenarnya keinginan Pendeta Suratmaja? Aku tidak menyembunyikan apa-apa, tapi kenapa dia terus mendesak ku...?"

Panglima Pangkar berbicara sendiri dalam hati. Memang dalam keadaan seperti ini, kecurigaan seseorang cepat sekali timbul. Dan itu kini disadari oleh Panglima Pangkar. Namun dalam hati, Panglima Pangkar bertekad untuk membuktikan kalau dirinya tidak terlibat dalam kemelut ini.

***

DUA

Malam sudah demikian larut. Sejak siang tadi setelah pertemuan di Balai Sema Agung, Prabu Wijaya mengurung diri dalam kamar pribadinya. Tidak ada seorang pun di dalam kamar ini, kecuali dirinya sendi-ri. Laki-laki setengah baya itu berdiri mematung di depan jendela. Matanya lurus tidak berkedip memandangi sang rembulan yang bersinar penuh. Begitu cantik dan indah. Namun semua kecantikan dan keindahan malam ini tidak dapat dirasakan Prabu Wijaya. Hati dan pikirannya begitu kacau, setelah mendengar laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati Nini Anjar. Terlebih lagi, seluruh prajurit yang mengawal pelaksanaan hukuman itu tewas. Tak seorang pun yang diberi kesempatan hidup. Hanya Panglima Pangkar saja yang berhasil lolos dari maut. Prabu Wijaya sendiri hampir tidak percaya, kalau seseorang yang sudah terbakar masih bisa lolos. Bahkan sempat membunuh puluhan prajurit sebelum menghilang.

"Heh...! Uts!"

Prabu Wijaya tersentak kaget, ketika tiba-tiba melihat sebuah benda berwarna kuning keemasan tiba-tiba meluruk deras ke arahnya. Cepat tubuhnya ditarik ke kanan, maka benda berwarna kuning keemasan itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya dan langsung menancap di dinding. Prabu Wijaya cepat melompat, menjauhi jendela.

"Keris emas...," desis Prabu Wijaya begitu melirik ke arah benda kuning keemasan yang menancap didinding. Benda itu memang berbentuk keris kecil berwarna kuning keemasan. Hanya ujungnya saja yang menancap di dinding, tapi kelihatannya begitu kuat. Prabu Wijaya menjulurkan tangan, untuk meraih keris kecil itu. Dicobanya mencabut benda berwarna kuning keemasan itu, tapi sia-sia. Bahkan bergerak saja tidak sama sekali.

"Hih...!"

Prabu Wijaya terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk mencabut keris kecil keemasan itu. Baru setelah tenaga dalamnya dikerahkan, benda berkeluk tujuh itu bisa tercabut Prabu Wijaya mengamati sebentar, kemudian memandang ke arah jendela yang masih terbuka lebar.

"Nyai Legok..? Tidak mungkin...!" desis Prabu Wijaya.
"Apa yang tidak mungkin bisa saja terjadi, Prabu Wijaya...!"

"Heh...?!"

Prabu Wijaya tersentak kaget. Dan belum lagi keterkejutannya hilang, mendadak dari jendela meluncur masuk sebuah bayangan hitam. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan laki-laki setengah baya itu telah berdiri seseorang mengenakan baju hitam longgar dan panjang. Rambutnya yang panjang, meriap tidak teratur. Sebagian wajahnya tertutup rambut. Prabu Wijaya sedikit bergidik begitu melihat wajah orang itu. Begitu mengerikan Karena, sebelah pipinya terkelupas, sehingga menampakkan tulang pipinya yang dihiasi tulang gigi. Dan pipi sebelahnya lagi berwarna hitam bagai terbakar hangus. Tidak ada sebuah benda pun yang tergenggam di tangannya. Juga tidak ada satu senjata melekat di tubuhnya.

"Siapa kau?" tanya Prabu Wijaya setelah dapat menguasai diri.

"Wajahku memang sudah berubah, Prabu Wijaya. Tapi aku yakin kau masih dapat mengenali suaraku, sahut orang itu. Dari nada suaranya, jelas kalau dia adalah wanita. Suaranya begitu lembut dan halus, tidak sesuai dengan raut wajahnya yang mengerikan bagai sosok mayat hidup. Prabu Wijaya tertegun beberapa saat. Suara wanita berwajah bagai mayat hidup itu memang di kenalinya. Tapi...

"Tidak...! Tidak Mungkin...!" desis Prabu Wijaya dalam hati. Kepala Prabu Wijaya bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Tatapan matanya begitu tajam menyelidik sosok tubuh di depannya. Meskipun wajah wanita itu rusak bagai mayat hidup, tapi kulit tangan dan kakinya nampak putih mulus bagai kulit putrid bangsawan.

"Kau pasti bukan Nyai Legok! Siapa kau sebenarnya...?!" agak bergetar suara Prabu Wijaya.

"Dua puluh tahun lebih kita tidak berjumpa lagi, Prabu Wijaya. Tidak heran jika kau tidak lagi mengenaliku. Apalagi sekarang wajahku sudah demikian rusak. Apa kau masih ingat, siapa yang membuat wajahku seperti ini, Prabu Wijaya...?" tetap terdengar lembut suara wanita itu. Kembali Prabu Wijaya tertegun. Ingatannya kembali ke masa silam, saat dia masih muda dan gagah. Tapi ingatan itu cepat dihilangkannya. Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah bagai mayat hidup ini adalah Nyai Legok, yang juga pernah mengisi kehidupannya. Wanita yang wajahnya pernah dirusak, dan pernah dihanyutkan ke sungai setelah diyakini sudah tidak bernyawa lagi.

"Aku tidak percaya kalau Nyai Legok masih bisa hidup," desis Prabu Wijaya perlahan, seakan-akan berbicara sendiri.

"Tapi kenyataannya demikian, Prabu Wijaya,? wanita berwajah bagai mayat hidup itu menyahuti. "Dan keris itulah yang kau gunakan untuk menyayat wajahku, dan menikam dadaku. Kau bakar wajahku hingga hangus, lalu kau buang aku ke dalam sungai. Tapi, rupanya Dewata belum berkenan memanggilku, Prabu Wijaya. Maka hingga sampai sekarang aku masih tetap hidup."

'Tidak..! Kau bukan Nyai Legok..!" bentak Prabu Wijaya.

"Aku Nyai Legok, Prabu Wijaya. Dan sekarang datang hendak menuntut balas atas perbuatanmu padaku!" kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin.

Prabu Wijaya melangkah mundur sejauh empat tindak. Sedangkan kedua tangan wanita yang mengaku bernama Nyai Legok sudah terkepal erat. Mereka.tidak berbicara lagi, dan saling menatap tajam.

"Bersiaplah menerima pembalasanku, Prabu Wijaya...!"

***

Prabu Wijaya terperangah sesaat ketika tiba-tiba saja Nyai Legok melompat menerjang dengan ganas sekali. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dan jari-jari tangannya terkembang kaku bagai sepasang cakar burung elang.

"Uts...!"

Namun sebelum jari-jari tangan yang menegang kaku itu sempat menyentuh wajah, Prabu Wijaya cepat mengegoskan kepala ke kanan. Maka terkaman Nyai Legok lewat sedikit saja di samping kepala Prabu Wijaya. Bergegas laki-laki setengah baya itu melompat ke samping beberapa tindak. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Nyai Legok sudah cepat berbalik. Langsung dilakukannya serangan berikut.

"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"

Tak ada lagi kesempatan bagi Prabu Wijaya untuk berkelit menghindar. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan, untuk menyambut uluran tangan Nyai Legok yang meregang kaku. Tak pelak lagi, satu benturan dua pasang telapak tangan pun terjadi.

"Akh...!" Prabu Wijaya terpekik.

Laki-laki setengah baya itu keras sekali terlempar kebelakang. Punggungnya menghantam dinding sangat keras, sehingga bergetar bagai diguncang gempa. Belum lagi dia sempat berbuat banyak, Nyai Legok sudah kembali melompat menerjang.

"Hiyaaat?!"

Prabu Wijaya cepat membanting tubuh ke lantai, lalu bergulingan beberapa kali. Hasilnya, jari-jari tangan Nyai Legok menghantam dinding hingga melesak masuk. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu menggeram sambil mencabut jari tangannya yang menembus dinding. Tubuhnya berputar, menatap tajam Prabu Wijaya yang kini sudah bersiap. Sebilah pedang sudah tergenggam di tangan laki-laki setengah baya itu.

"Dulu kau boleh mencampakkan aku seperti binatang, Prabu Wijaya. Tapi sekarang..., kau akan merasakan bagaimana terhinanya mati seperti binatang!" dingin sekali suara Nyai Legok.

"Majulah, jika ingin mati dua kali!" dengus Prabu Wijaya.

Wanita berwajah buruk itu menyeringai sinis. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Kakinya bergeser perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya tetap meregang kaku, dengan kuku-kukunya yang panjang berwarna hitam. Perlahan sekali kedua tangannya digerakkan, membuat lingkaran di depan dada. Tampak dari kuku-kuku yang panjang hitam itu mengepulkan asap tipis berwarna hitam.

"Aku ingin tahu, sampai di mana kau mampu bertahan menghadapi jurus 'Cakar Beracun," sindir Nyi Legok dingin.

"Hm...," Prabu Wijaya hanya menggumam kecil.

Pedangnya dilintangkan di depan dada. Pandangannya semakin tajam, mengamati gerakan-gerakan perlahan tangan Nyai Legok. Untuk beberapa saat mereka saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Hiyaaat?!"
"Yeaaah...!"

Hampir bersamaan, mereka sama-sama melompat menyerang. Prabu Wijaya cepat mengibaskan pedangnya secara beruntun. Sedangkan tangan Nyai Legok bergerak-gerak cepat, diimbangi liukan tubuh yang indah mengagumkan. Serangan yang mereka lakukan secara bersamaan demikian cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Ah...!"

Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Tampak tubuh Prabu Wijaya deras sekali terpental ke belakang. Punggungnya menghantam dinding, hingga seluruh kamar ini bergetar bagai terguncang gempa. Dan sebelum Prabu Wijaya sempat melakukan sesuatu, Nyai Legok sudah melompat disertai rentangan tangan kanan yang lurus ke depan.

"Hiyaaat..!"
Bres!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat memecah kesunyian malam ini. Prabu Wijaya terbeliak, seakan akan tidak percaya melihat tangan Nyai Legok menembus dadanya. Tubuh laki-laki setengah baya itu langsung jatuh tersungkur begitu Nyi Legok menarik tangannya. Dalam genggaman tangan wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu terdapat jantung yang berlumuran darah. Nyai Legok melompat mundur. Matanya berbinar memandangi jantung yang berhasil dikeluarkan dari dalam dada Prabu Wijaya. Sedangkan laki-laki setengah baya itu sudah tidak berkutik lagi. Darah langsung mengucur deras dari dada yang berlubang cukup besar.

Brakkk..!

Baru saja Nyai Legok hendak melompat dari kamar ini, mendadak pintu kamar yang tertutup rapat terdobrak dari luar. Beberapa orang berpakaian prajurit berhamburan masuk, mengikuti Pendeta Suratmaja, Panglima Pangkar, serta beberapa orang patih dan panglima lainnya.

Mereka memang datang terlambat, setelah mendengar suara ribut-ribut seperti orang bertempur. Sebenarnya hal ini memang kesalahan Prabu Wijaya sendiri yang tidak menempatkan beberapa prajurit depan pintu kamarnya. Tapi, dia memang punya alasan tersendiri. Dia berpikir kalau kamar pribadinya tak perlu dijaga, karena selama ini aman-aman saja. Mereka terkejut setengah mati melihat Prabu Wijaya tergeletak berlumuran darah, dan seorang wanita berwajah buruk bagai mayat hidup yang sudah bersiap hendak pergi.

"Hup...?"

Dan sebelum ada yang menyadari lebih lanjut Nyai Legok sudah melesat pergi cepat sekali. Panglima Pangkar yang lebih dahulu tersadar, langsung berteriak memerintahkan para prajurit untuk mengejar. Dia sendiri cepat melompat menerobos jendela, mengejar wanita berbaju hitam dan berwajah buruk bagai mayat hidup. Sedangkan Pendeta Suratmaja dan beberapa orang pembesar kerajaan ini mendekati Prabu Wijaya.

"Cakar Beracun...," desis Pendeta Suratmaja setelah memeriksa luka di dada Prabu Wijaya. Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu mendesah panjang. Kepalanya terangkat, menatap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela itu. Sementara beberapa orang mulai memberesi mayat Prabu Wijaya.

"Apakah mungkin dia masih hidup...?" Pendeta Suratmaja bergumam perlahan, bertanya pada dirinya sendiri.

***

Seluruh rakyat Kerajaan Balungan berselimut duka atas kematian Prabu Wijaya. Mereka semua marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, pembunuh raja mereka tidak ketahuan di mana rimbanya. Suasana duka lebih tersirat di dalam Istana Kerajaan Balungan. Sejak kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Ratna Nawangsih selalu saja mengurung diri dalam kamar. Bahkan sama sekali tidak ingin ditemui kedua putranya, Raden Prayoga dan Putri Dian Lestari. Hal ini membuat kedua putra Prabu Wijaya itu semakin di-rundung duka.

Dan setelah tiga hari lewat setelah kematian Prabu Wijaya, Raden Prayoga berhasil membujuk ibunya untuk bicara. Mereka bicara di dalam kamar semalaman penuh. Baru pada pagi harinya, terlihat Raden Prayoga keluar dari kamar ibunya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu tidak langsung menuju kamarnya sendiri, tapi menuju ke kaputren, begitu melihat sekilas adiknya berada di sana.

"Rayi Dian...."
"Oh...!" Dian Lestari tampak terkejut.

Cepat gadis itu memberi senyuman tipis begitu melihat kakaknya tahu-tahu sudah berada dalam taman keputren ini. Sedapat mungkin dukanya berusaha disembunyikan, namun sama sekali tidak bisa lenyap dari wajah dan sinar matanya. Raden Prayoga kemudian duduk di samping gadis ini.

"Sudah lama kau berada di sini, Rayi?" tanya Raden Prayoga lembut.

"Sejak semalam," sahut Dian Lestari pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.

"Tidak tidur?"

Dian Lestari menggeleng perlahan. Matanya memandang lurus ke depan, seakan-akan ingin menyembunyikan sesuatu dari pengamatan kakaknya ini.

"Semalaman aku juga tidak tidur," kata Raden Prayoga.

"Aku tahu."
"Kau tahu...?"

Dian Lestari menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Perlahan kemudian, gadis itu mengarahkan pandangan ke arah lain.

"Apa saja yang kau bicarakan dengan ibu, Kakang?" tanya Dian Lestari.

"Banyak," sahut Raden Prayoga.
"Ibu pasti masih membenci ku," lirih sekali suara Dian Lestari.

"Tidak. Bahkan ibu ingin berbicara denganmu."

Gadis itu menggelengkan kepala. Sinar matanya terlihat semakin redup.

"Seharusnya aku yang mati, Kakang. Bukan ayah...," terasa sendu nada suara Dian Lestari.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Rayi. Kalau pembunuh itu sudah tertangkap, pasti semuanya akan jelas," hibur Raden Prayoga.

"Kau tidak tahu, Kakang. Semua ini salahku. Maka sudah sepantasnya kalau aku mendapatkan hukuman. Bahkan seharusnya akulah yang dibunuh. Aku tidak menyalahkan, jika ibu membenci ku seumur hidup."

"Tapi ibu tidak membenci mu, Rayi. Ibu ingin bicara denganmu."

"Kau hanya menghibur ku saja, Kakang."

"Tidak Aku bicara yang sebenarnya. Ibu banyak bertanya tentang keadaanmu. Ibu sangat rindu padamu, Rayi. Temuilah, dan bicara padanya."

Dian Lestari menggelengkan kepala. Bibirnya tersenyum, namun begitu tipis dan hambar. Sama sekali tidak dipercaya kalau ibunya merindukan, dan ingin bicara dengannya. Dia tahu kalau ibunya begitu membenci dan menyalahkan dirinya yang telah menyebabkan ayah mereka dibunuh seseorang yang tidak dikenal.

"Aku akan mengantarkanmu menemui ibu, Rayi!" bujuk Raden Prayoga lagi.

"Untuk apa bersusah payah, Kakang? Tidak ada gunanya," tolak Dian Lestari.

"Percayalah padaku, Rayi."

Dian Lestari terdiam. Kata-kata kakaknya dipertimbangkannya. Meskipun hatinya tetap berpendirian kalau Raden Prayoga hanya menghibur saja tapi melihat kesungguhan itu, dia jadi berpikir juga. Mungkinkah ibunya rindu dan ingin bicara dengannya...? Atau ini hanya rencana Raden Prayoga saja untuk mempertemukannya dengan ibu?

Dian Lestari tidak dapat melupakan. Malam ini saat mereka diberi tahu tentang kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Retna Nawangsih langsung memarahi putrinya ini. Dian Lestari langsung dituduh sebagai penyebab kematian Prabu Wijaya. Bahkan Permaisuri Ratna Nawangsih bersumpah, tidak akan mengakui Dian Lestari sebagai putrinya lagi. Pedih hati gadis ini. Tapi, semua itu memang sudah diduga. Dan dia hanya dapat menerima dengan lapang dada.

"Ayo, Rayi. Aku rasa ibu sedang menunggu, desak Raden Prayoga.

"Nanti saja, Kakang," tolak Dian Lestari.

"Tidak perlu kalian repot menemuiku...."

Kakak beradik itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara lembut dari arah belakang. Mereka sama-sama menoleh, dan langsung beranjak bangkit dari duduk. Sebentar kemudian, mereka berlutut memberi sembah. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun. Garis ketuaan memang sudah membayangi wajahnya. Namun dia masih kelihatan cantik dan anggun. Meskipun, sorot matanya nampak mendung terselimut duka.

"Ibu..., terimalah sembah kami," ucap Raden Prayoga.

"Duduklah. Tidak perlu kalian bersikap begitu padaku," kata Permaisuri Retna Nawangsih lembut. Wanita hampir separuh baya yang masih kelihatan cantik dan anggun itu duduk di kursi taman. Sedangkan Raden Prayoga dan adiknya duduk di kursi lain. Tampak Dian Lestari terus menundukkan kepala, seakan-akan tidak sanggup memandang wajah wanita didepannya ini.

"Aku sudah bicara pada Pendeta Suratmaja dan pembesar lainnya, untuk mempersiapkan penobatanmu sebagai raja, Prayoga," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.

"Ibu.... Apakah itu tidak terlalu cepat? Belum lagi empat puluh hari Ayahanda Prabu mangkat," Raden Prayoga terkejut mendengar pemberitahuan itu.

"Singgasana tidak baik dibiarkan kosong terlalu lama, Prayoga. Semua sudah ibu atur."

'Tapi...," suara Raden Prayoga tercekat di tenggorokan. Pemuda itu ingin menolak, tapi tidak sanggup mengatakannya. Dia tidak ingin mengecewakan hati wanita ini. Sementara Permaisuri Retna Nawangsih menatap Dian Lestari yang masih tetap tertunduk.

"Dan kau, Dian. Selesai hari penobatan nanti, akan dikirim kepada Eyang Wanari," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.

"Nanda bersedia, Ibu," sahut Dian Lestari perlahan. Dia memang sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dan baginya, segala keputusan yang telah diambil ibunya harus dituruti tanpa dapat dibantah lagi. halnya Raden Prayoga. Dia seperti tidak senang adiknya harus bersama Eyang Wanari. Dian Lestari harus tinggal di tempat yang sunyi, di puncak gunung. Tanpa ada kawan yang menemani. Hanya seorang pertapa tua yang akan menempa gadis ini dengan keras.

Tapi Raden Prayoga juga tidak bisa membantah. Dia hanya diam saja, sambil memandangi adinya penuh iba. Dia tidak tahu, kenapa semua musibah ini harus dipikul Dian Lestari. Kenapa bukan dirinya saja yang pasti lebih mampu dan kuat menanggungnya? Raden Prayoga merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini. Namun itu tidak bisa dikatakannya sekarang. Masih terlalu gelap, dan sukar diduga-duga. Kakak beradik itu masih tetap duduk di tempatnya meskipun Permaisuri Retna Nawangsih sudah meninggalkan tempat itu. Agak lama juga mereka berdiam sampai Permaisuri Retna Nawangsih sudah tidak terlihat lagi di taman keputren ini.

"Rayi Dian...," panggil Raden Prayoga perlahan. Kepala Dian Lestari terangkat perlahan. Tampak titik air bening menggulir jatuh di pipinya yang halus, putih agak kemerahan. Terasa sesak dada Raden Prayoga melihat air mata menggulir di pipi gadis ini. Ingin dihapus dan diberikannya kata-kata manis untuk menghibur. Tapi semua itu terasa sulit dilakukannya. Hingga mereka hanya bisa diam dan saling pandang.

Dian Lestari bangkit berdiri. Perlahan kakinya diayunkan meninggalkan taman itu. Sedangkan Raden Prayoga hanya dapat memandangi, tanpa mampu melakukan sesuatu. Keputusan yang diambil ibu mereka memang sangat berat, dan sangat tidak adil. Namun itu sudah terjadi, dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk membatalkannya. Mungkin sudah takdir kalau mereka harus berpisah untuk jangka waktu yang sulit ditentukan.

"Maafkan aku, Rayi. Tapi aku berjanji, akan sering datang mengunjungimu," ucap Raden Prayoga pelan.

***

TIGA

Mendung yang menyelimuti Kerajaan Balungan, sudah benar-benar terusir. Seluruh rakyat di kerajaan itu kini terlihat cerah dan gembira. Wajah Kotaraja Balungan juga benar-benar cerah, dihiasi umbul-umbul yang menyemaraki di setiap sudut kota. Suasana meriah, sangat terasa di Istana Kerajaan Balungan. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan, karena Raden Prayoga akan dinobatkan menjadi raja. Pemuda itu menggantikan ayahnya yang sudah meninggal, karena dibunuh seseorang yang tidak dikenal. Semua orang, baik pembesar, prajurit, punggawa, patih, panglima dan kerabat keluarga mendiang Prabu Wijaya sudah berkumpul di Balai Sema Agung. Mereka semua ingin menyaksikan penobatan Raden Prayoga. Namun pemuda itu sendiri masih berada dalam kamarnya, bersama Raden Ayu Dian Lestari.

"Semua sudah menunggu di Balai Sema Agung, Kakang," jelas Dian Lestari.

"Iya, sebentar lagi," sahut Raden Prayoga tanpa membalikkan tubuhnya.

Pemuda itu berdiri di depan jendela, menghadap ke luar. Sejak pagi buta tadi, dia terus berdiri di sana tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Dian Lestari sudah kelima kalinya memberi tahu kalau semua orang sudah menunggu di Balai Sema Agung. Dan jawaban Raden Prayoga selalu sama. "Sebentar lagi."

"Ada apa, Kakang? Kenapa Kakang tidak mau keluar...?" tanya Dian Lestari.

Gadis ini merasakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan kakaknya, sehingga tidak juga mau keluar dari dalam kamarnya. Sedangkan yang ditanya hanya menghembuskan napas panjang saja. Perlahan tubuhnya diputar, lalu menatap adiknya dalam-dalam. Dian Lestari tercenung sesaat mendapat tatapan yang begitu dalam dan penuh arti. Kemudian kepalanya tertunduk tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda ini.

"Apa sebenarnya yang Kakang pikirkan...?" tanya Dian Lestari lagi. Kali ini suaranya terdengar pelan sekali.

"Entahlah, Rayi. Aku merasa seperti akan terjadi sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan semua orang," sahut Raden Prayoga, bernada ragu-ragu.

"Memang akan terjadi sesuatu yang besar dan bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan, Kakang. Untuk pertama kalinya mereka akan mendapat seorang raja muda yang belum mempunyai pendamping," sambut Dian Lestari mencoba berseloroh.

"Kau cepat sekali melupakan duka yang belum terhapus, Rayi," pancing Raden Prayoga yang merasa heran atas perubahan sikap adiknya yang begitu cepat.

Dian Lestari tidak lagi kelihatan bersedih. Bahkan tampak riang. Sering dia melontarkan kata-kata yang dapat memancing orang tersenyum geli. Bahkan dalam dua hari ini, Raden Prayoga selalu mengamati kalau adiknya ini sering berpenampilan lain dari biasanya. Suatu perubahan yang sangat menyolok pada diri Dian Lestari. Perubahan itu terlihat sehari setelah Permaisuri Retna Nawangsih menemui mereka di taman keputren.

"Aku tidak ingin memikirkan semua itu, Kakang. Aku sudah mencoba untuk menerima semua kenyataan ini dengan lapang dada dan senyuman di bibir," sahut Dan Lestari kalem.

"Benar begitu?" Raden Prayoga tidak percaya.
"Sumpah...."

Raden Prayoga mengangkat bahunya. Pemuda itu masih belum percaya, tapi tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Kembali matanya memandang ke luar melalui jendela.

"Keluar sekarang, Kakang. Mereka sudah menunggu," ajak Dian Lestari setengah merengek manja.

Kemanjaan inilah yang dalam beberapa hari sempat hilang, namun sekarang muncul lagi. Kerinduan Raden Prayoga pada kemanjaan adiknya ini berangsur lenyap. Tapi jika teringat kalau mereka akan berpisah untuk jangka waktu yang lama dan tidak ditentukan, kepedihan terukir di hatinya.

"Kau tampak bingung sekali, Kakang. Apa yang kau pikirkan?" tanya Dian Lestari agak mendesak.

Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dia benar-benar tidak tahu, apa yang sedang dirasakan hatinya saat ini. Begitu dekat dan terasa jelas sekali, namun sukar diungkapkan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa merasa enggan hadir di Balai Sema Agung. Perasaannya mengatakan, kalau sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Hanya saja dia tidak tahu, peristiwa apa yang akan terjadi nanti. Raden Prayoga melangkah menghampiri adiknya. Kedua tangannya dijulurkan, dan diletakkan di bahu gadis itu. Untuk beberapa saat mereka saling bertatapan, dengan sinar mata yang mengandung arti sangat dalam. Dan hanya mereka sendiri yang bisa mengetahui artinya.

"Rayi! Seandainya terjadi sesuatu, kau harus tetap bersamaku. Jangan sekali-sekali terpisah dariku, walau hanya satu langkah," ujar Raden Prayoga.

"Ada apa sebenarnya, Kakang?" tanya Dian Lestari semakin tidak mengerti.

"Terus terang, aku sendiri belum tahu. Tapi perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu, yang mungkin bisa memisahkan kita berdua. Kau dan aku, atau ibu," jelas Raden Prayoga agak mendesah.

"Maksud, Kakang..?" Dian Lestari meminta penjelasan lagi.

"Kau masih ingat kutukan Nini Anjar, Rayi...?" Raden Prayoga seperti mengingatkan.

Dian Lestari terdiam, namun wajahnya mendadak saja memucat. Tidak mungkin kutukan yang dijatuhkan Nini Anjar padanya bisa terlupakan. Dan kabar kutukan itu akhirnya meluas sampai ke seluruh wilayah Kerajaan Balungan ini. Memang dalam hari-hari belakangan ini, tepatnya setelah kematian Prabu Wijaya tidak pernah terjadi sesuatu yang bisa mengingatkan orang akan kutukan Nini Anjar. Bahkan tampaknya semua orang sudah melupakan kejadian itu. Dian Lestari sendiri, sebenarnya sudah tidak ingin mengingat-ingat lagi. Bahkan kutukan itu dianggapnya tidak pernah ada, dan tidak akan terjadi pada dirinya. Namun begitu kembali diingatkan kakaknya, wajahnya langsung pucat pasi. Dian Lestari benar-benar tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Lidahnya terasa keluh.

"Kau mau dengar cerita ku, Rayi...?" pelan sekali suara Raden Prayoga, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar.

"Cerita apa?" tanya Dian Lestari.
"Semalam aku seperti didatangi seseorang. Seperti mimpi, tapi yakin kalau aku sadar...," Raden Prayoga memulai ceritanya.

Dian Lestari mendengar penuh perhatian.

"Dia mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan wajahnya pun hitam, seperti hangus terbakar...."

"Ah...!" Dian Lestari terpekik kaget.
"Ada apa, Rayi?"

"Tidak..., Tidak apa-apa. Teruskan, Kakang."

"Orang itu mengatakan, kalau bukan aku yang seharusnya jadi raja. Tapi, ada orang lain yang lebih pantas dan berhak menduduki tahta, menggantikan Ayahanda Prabu. Kalau aku menerima dan sampai dinobatkan, maka satu persatu orang-orang yang berhubungan dengan penobatan ini akan mati. Terutama pihak keluarga dan para kerabat," lanjut Raden Prayoga.

Dian Lestari terdiam membisu. Pikirannya jadi kalut. Terlebih lagi setelah mendengar Raden Prayoga mengatakan orang yang datang menemuinya memakai baju hitam, dan berwajah hangus seperti terbakar. Bayangan gadis itu langsung tertuju pada Nini Anjar.

"Kakang.... Apa tidak mungkin kalau orang itu...," Dian Lestari tidak melanjutkan kata-katanya.

"Itulah sebabnya, kenapa aku tadi mengingatkan mu, Rayi," Raden Prayoga sudah bisa mengerti.

Lalu, bagaimana sekarang?"

"Entahlah...," sahut Raden Prayoga mendesah. Aku belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin mempercayai mimpi itu. Tapi setiap kali hendak ke Balai Sema Agung, kembali terlintas bayangan orang itu, Rayi. Dan setiap kali itu pula, perasaanku selalu menyatakan kalau akan terjadi sesuatu."

"Apa tidak sebaiknya hal ini dibicarakan pada ibu, Kakang?" saran Dian Lestari.

"Aku tidak ingin membuat hati ibu kecewa."

"Tapi kau harus memutuskan sekarang juga, Kakang. Atau sebaiknya kau tetap dinobatkan menjadi raja. Biarlah semua itu kita hadapi bersama," kembali Dian Lestari memberi saran.

Raden Prayoga terdiam merenung. Agak lama juga saran yang diajukan adiknya ini dipikirkan. Perlahan wajahnya berpaling memandang ke arah pintu. Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Belum juga Raden Prayoga dan Dian Lestari membuka suara, pintu kamar ini sudah terbuka. Dan mendadak saja...

"Heh...?!"
Slap!

Raden Prayoga belum juga bisa melakukan sesuatu, ketika tiba-tiba dari pintu yang terbuka melesat sebuah bayangan hitam. Langsung disambarnya Dian Lestari. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak, tahu-tahu sudah kembali berkelebat ke luar melalui jendela sambil membawa gadis itu.

"Kakang, tolooong...!" jerit Dian Lestari.

"Rayi...!" Raden Prayoga tersentak dari keterkejutannya.

Namun begitu tubuhnya diputar ke arah jendela, bayangan hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Bergegas Raden Prayoga berlari ke jendela. Bayangan hitam itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas sama sekali. Pemuda itu cepat berlari ke pintu, lalu tersentak kaget. Ternyata empat orang prajurit yang bertugas menjaga di depan pintu sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Dari dada dan leher mengucurkan darah segar.

"Pengawal..!" teriak Raden Prayoga sekeras-kerasnya.

***

Upacara penobatan Raden Prayoga terpaksa dibatalkan akibat menghilangnya Raden Ayu Dian Lestari. Separuh prajurit, semua jawara, serta panglima-panglima andalan, langsung menyebar ke seluruh pelosok negeri, untuk mencari Raden Ayu Dian Lestari. Namun hingga siang berganti malam, belum juga ada yang menemukan gadis itu. Sementara Raden Prayoga semakin kelihatan gelisah saja dalam kamarnya.

"Aku tidak bisa diam menunggu saja. Apa pun yang akan terjadi, Dian harus kucari," gumam Raden Prayoga.

Pemuda itu menghampiri lemari yang terbuat dari kayu jati berukir. Perlahan dibukanya pintu lemari yang cukup besar itu. Dari dalam lemari ini, dikeluarkan sebuah pedang bergagang penuh batu-batu mutiara. Pedang peninggalan ayahnya. Sebentar pedang itu diamati kemudian dipasangnya di pinggang. Namun belum juga melangkah keluar dari kamar, pintu sudah terbuka. Kini muncul Permaisuri Retna Nawangsih, yang langsung tertegun melihat putranya seperti sudah siap hendak pergi. Lebih tertegun lagi, saat melihat di pinggang pemuda itu sudah tersampir pedang pusaka peninggalan Prabu Wijaya.

"Akan ke mana dengan pedang itu?" Tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Aku harus mencari Rayi Dian, Bu," sahut Raden Prayoga.

"Hampir seluruh prajurit sudah mencarinya, Prayoga. Tunggu saja laporan mereka."

"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa diam dan menunggu di sini. Aku harus mencari Rayi Dian," tegas Prayoga menolak.

"Ke mana akan mencarinya?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

Raden Prayoga tidak menjawab. Dia memang tidak tahu, ke mana harus mencari adiknya. Yang ada dalam pikirannya, dia tidak mungkin bisa tinggal di istana ini sambil menunggu laporan saja. Hatinya sudah mantap. Ke manapun, dia harus mencari Dian Lestari. Entah kenapa, hatinya begitu cemas mengkhawatirkan keselamatan gadis itu.

"Aku harus pergi, Bu," pamit Raden Prayoga.

"Tunggu!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih.

Raden Prayoga mengurungkan ayunan kakinya.

"Kau tidak boleh meninggalkan istana ini. Dian Lestari sedang menjalani kutukannya. Kau harus merelakannya pergi," tegas dan mantap sekali suara wanita separuh baya ini.

Raden Prayoga jadi tersentak mendengar kata-kata ibunya. Belum pernah terdengar ibunya berkata macam demikian. Dan sepertinya, Permaisuri Retna Nawangsih tidak peduli atas hilangnya Dian Lestari. Raden Prayoga kini percaya kalau wanita separuh baya ini sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi pada anak gadisnya.

"Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanya Raden Prayoga ingin tahu.
"Adikmu sudah mendapat kutukan. Dan kutukan itu tidak akan bisa dilawan oleh apa pun juga. Tidak ada gunanya kau mencarinya, Prayoga," tetap tegas nada suara Permaisuri Retna Nawangsih.

Tapi, Bu...."
"Cukup!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih cepat, memotong ucapan anaknya.

Raden Prayoga langsung terdiam. Hatinya semakin heran atas sikap ibunya. Sebelum ini, wanita separuh baya itu kelihatan begitu sayang dan mencintai Dian Lestari. Tapi, mengapa tiba-tiba saja jadi berubah tidak peduli? Keheranan Raden Prayoga semakin bertambah, karena memang belakangan ini sikap ibunya selalu berubah-ubah. Bahkan gampang sekali marah. Namun pemuda itu tidak ingin berpikir yang bukan-bukan.

"Aku hanya mengatakan sekali saja, Prayoga. Jika kau tetap tidak mau menuruti kata-kataku, terserah. Segala akibatnya tanggunglah sendiri," tegas Permaisuri Retna Nawangsih. Suaranya tetap tegas. Bahkan terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.

Setelah berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar ini. Tinggal Raden Prayoga yang kelihatan bingung. Benaknya jadi kacau, dan terus bertanya-tanya tentang sikap Ibunya yang dirasakan sangat aneh.

"Kenapa ibu jadi seperti itu...?" Raden Prayoga bertanya-tanya sendiri. Pemuda ini jadi ragu ragu. Kini tubuhnya dihenyakkan di kursi dekat jendela. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang berpikir keras. Sungguh sulit dipahami sikap ibunya yang begitu tidak peduli akan nasib Dian Lestari saat ini.

"Belakangan ini ibu selalu memanjakan Rayi Dian. Segala apa keinginannya selalu dituruti. Tapi, kenapa sekarang jadi berbalik begini...? Aku benar-benar tidak mengerti sikap ibu. Cepat sekali berubah, dan selalu mengambil keputusan tiba-tiba," Raden Prayoga berbicara sendiri.

Pemuda itu terus merenung setelah cukup lama duduk diam sambil berpikir, perlahan dia bangkit berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Tangannya menepuk-nepuk gagang pedang yang tersampir dipinggang. Sebentar kemudian kakinya melangkah keluar dari kamar ini dengan hati mantap.

"Tampaknya ada suatu rahasia yang tersembunyi, dan aku harus memecahkannya. Dan yang terpenting, menemukan kembali Rayi Dian. Aku tidak peduli apa-pun yang akan terjadi," tekad hati Raden Prayoga.

Pemuda itu terus mengayunkan kakinya dengan mantap, semakin jauh meninggalkan kamarnya. Dia terus berjalan menuju bagian belakang bangunan istana ini. Beberapa prajurit yang berpapasan, memberi hormat. Tapi dari sorot mata, mereka jelas bertanya-tanya. Karena, tidak biasanya Raden Prayoga menuju istal sambil membawa pedang. Sementara itu tanpa sepengetahuannya, tampak dari balik sebuah jendela seorang perempuan separuh baya memperhatikan Raden Prayoga. Dia terus memperhatikan tanpa tidak berkedip.

"Anak ini benar-benar tidak bisa dipisahkan dari Dian. Aku jadi khawatir...," wanita itu berbicara sendiri. Begitu pelan suaranya, dan hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar.

Sementara Raden Prayoga sudah keluar dari bangunan bagian belakang istana, dan terus menuju sebuah bangunan yang cukup besar. Bangunan tempat merawat kuda. Ayunan kakinya begitu mantap, semantap hatinya.

***

Raden Prayoga memacu cepat kudanya, bagaikan dikejar setan saja. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat kudanya digebah. Arah yang dituju jelas, ke Gunung Watujajar. Memang hanya ada satu tujuan di kepalanya, yaitu Pertapaan Lebak Garing yang berada di Puncak Gunung Watujajar. Tidak ada lagi tempat untuknya mengadu, selain Eyang Wanari. Laki-laki tua itu berusia sekitar seratus tahun. Dia dulu menjadi guru Prabu Wijaya, juga yang mengajarkan ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan pada Raden Prayoga.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Raden Prayoga terus menggebah kudanya agar berlari lebih kencang lagi. Kuda putih tinggi tegap dan berotot itu, mendengus-dengus kelelahan. Namun binatang itu terus berlari kencang.

"Berhenti..!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Raden Prayoga terkejut mendengarnya. Bentakan itu seakan-akan berada tepat di depan telinganya. Bahkan juga sempat mengejutkan kuda putih yang ditungganginya, sehingga meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Kalau saja Raden Prayoga tidak cepat melompat, pasti sudah terlempar dari punggung kuda putih itu. Dan begitu kaki Raden Prayoga menjejak tanah, kuda putih itu langsung berlari kabur.

"Hei...! Tunggu...!" teriak Raden Prayoga.

Namun kuda putih itu terus berlari kencang, tidak mempedulikan teriakan majikannya. Raden Prayoga hanya berdiri memandangi saja. Kuda putih itu sudah demikian jauh, tak mungkin terkejar lagi. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Hm..., siapa tadi yang berteriak mengejutkan...? gumam Raden Prayoga, bertanya pada dirinya sendiri.

Belum sempat Raden Prayoga berpikir lebih jauh lagi, mendadak dari arah samping kanannya berkelebat sebuah bayangan hitam. Pemuda itu tersentak kaget, namun cepat melompat ke belakang. Dia berputaran di udara dua kali, sebelum menjejakkan kakinya dengan manis di tanah.

"Siapa kau...?!" bentak Raden Prayoga.
"Ha ha ha...!"

Raden Prayoga terhenyak, begitu tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang mengenakan baju warna hitam dari kain sutra halus. Matanya lebih terbeliak lebar, saat melihat wajah orang itu bagaikan hangus terbakar. Dari bentuk tubuh dan suara tawanya, jelas kalau orang itu adalah wanita.

"Untuk apa kau meninggalkan istana, Prayoga?" terdengar dingin suara orang serba hitam itu.

"Itu bukan urusanmu!" dengus Raden Prayoga. Pemuda itu langsung meraba gagang pedangnya yang tergantung di pinggang. Dia tahu, kalau kini sedang berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Seorang wanita yang diduga sebagai Nini Anjar. Raden Prayoga tidak lagi bersikap hormat. Apalagi bermanis-manis. Dan dia sudah yakin kalau orang ini yang menculik Dian Lestari dari depan hidungnya.

"Di mana kau sembunyikan adikku?" bentak Raden Prayoga.

"Adikmu yang mana, Prayoga?" orang serba hitam itu malah balik bertanya.

"Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu, Nini Anjar!" sentak Raden Prayoga, langsung menyebut nama orang itu.

"Ha ha ha...! Kenapa kau berpikir kalau aku ini Nini Anjar Prayoga? Apakah aku mirip gadis itu?"

Raden Prayoga menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan matanya begitu tajam menusuk mengamati wajah yang hitam hangus. Kemudian seluruh tubuh wanita itu diamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Kau tidak bisa menipuku, Nini Anjar. Katakan di mana kau sembunyikan adikku?!" dengus Raden Prayoga. Sama sekali pemuda itu tidak melihat adanya perbedaan, dan tidak percaya kalau wanita ini bukan Nini Anjar. Bentuk tubuh dan pakaiannya sama persis dengan Nini Anjar. Hanya saja, wajah dan seluruh tangan serta kakinya berwarna hitam pekat seperti arang. Terlebih lagi jika memandang wajahnya. Sungguh tidak sedap sekali. Wajah yang hitam, dengan bintik-bintik seperti bisul, membuat bentuk wajahnya tidak lagi beraturan.

"Kenapa kau menuduhku menculik adikmu, yoga?" wanita itu malah balik bertanya. Namun suaranya masih saja terdengar datar.

"Kau membunuh ayahku! Lalu kau menculik adikku, di depan hidungku sendiri. Sungguh memalukan. Masih juga mau mungkir," dengus Raden Prayoga.

"Ketahuilah, Prayoga. Aku bukan Nini Anjar. Dan aku tidak membunuh ayahmu. Apalagi menculik adikmu. Aku bernama Rara Ireng. Dan biasanya orang selalu memanggilku Gadis Hitam," wanita serba hitam ini memperkenalkan dirinya.

"Kau mau membela diri rupanya, Nisanak," tegas Raden Prayoga sinis.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Dan lebih baik kau kembali lagi ke istana. Kau akan menyesal jika meninggalkan istana, Prayoga," kali ini suara wanita itu terdengar tenang.

Raden Prayoga kembali memandangi wanita itu. Namun bibirnya tersenyum sinis. Sama sekali tidak di-percayainya kata-kata wanita serba hitam ini. Sudah jelas kalau yang membunuh Prabu Wijaya adalah wanita berbaju hitam yang mukanya menghitam hangus. Dan dia sendiri melihat, kalau yang menculik Dian Lestari adalah orang berbaju hitam. Walaupun, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat cepat.

"Kau pikir aku akan percaya begitu saja, Nisanak," dengus Raden Prayoga dingin.

Sret!

Raden Prayoga mencabut pedangnya. Wanita serba hitam yang mengaku bernama Rara Ireng langsung melangkah mundur dua tindak. Kedua matanya menyorot tajam melihat pedang yang berada di tangan Raden Prayoga.

"Kau terlalu gegabah menggunakan pedang itu, Prayoga," desis Rara Ireng tajam.

"Ha ha ha.... Rupanya kau sudah gentar hanya melihat pedangku ini, Nisanak."
"Jangan main-main dengan pedang itu, Prayoga. Masukkan kembali ke warangkanya."

"Pedang ini akan masuk kembali ke warangka setelah meminum darahmu."

"Masukkan, kataku!" bentak Rara Ireng keras.

Raden Prayoga malah tersenyum tipis. Pedangnya dimain-mainkan di depan dada. Mata pedang itu berkilat keperakan menyilaukan mata. Rara Ireng kembali menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Mulutnya mendesis bagai ular, melihat Raden Prayoga malah melangkah maju dengan pedang direntangkan lurus kedepan.

"Katakan, di mana kau sembunyikan adikku. Atau pedang ini yang akan berbicara," geram Raden Prayoga dingin menggetarkan.

"Sudah kukatakan, aku tidak menculik Dian Lestari!" bentak Rara Ireng.
"Kau menginginkan pedang ini yang bicara, heh! Baik, terimalah seranganku ini. Hiyaaat..!"

Raden Prayoga tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang wani-ta berbaju hitam yang seluruh wajah dan tubuhnya berwarna hitam legam itu.

"Hup! Yeaaah...!"

Rara Ireng bergegas melentingkan tubuh ke udara lalu melesat cepat melewati kepala Raden Prayoga. Namun tanpa diduga sama sekali, Raden Prayoga cepat mengibaskan pedangnya, menebas ke arah perut wanita serba hitam itu.

Bet!
"Uts!"

Cepat Rara Ireng memutar tubuhnya, lalu berjumpalitan di udara untuk menghindari tebasan pedang bergagang penuh batu mutiara itu. Dan setelah berputaran beberapa kali di udara, kakinya mendarat turun ditanah dengan manis sekali.

"Hiyaaa...!"

Tapi sebelum wanita serba hitam itu melakukan sesuatu, Raden Prayoga sudah kembali memberi serangan dengan pedangnya. Terpaksa Rara Ireng harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dengan cepat dan dahsyat. Pedang di tangan Raden Prayoga seperti memiliki mata saja. Kemana pun Rara Ireng berusaha menghindar, selalu diburu dengan cepat. Rara Ireng seperti tidak menyangka kalau jurus-jurus yang dimainkan Raden Prayoga begitu dahsyat dan berbahaya. Beberapa kali matanya terbeliak, karena hampir terbabat oleh pedang itu. Namun karena kelincahan gerak dan ketajaman matanya, dia masih mampu menghindar. Meskipun dengan susah payah.

***

EMPAT

Jurus demi jurus berlalu cepat, dan silih berganti. Tanpa terasa, Raden Prayoga sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus, namun belum juga mendesak lawan yang mengaku bernama Rara Ireng atau berjuluk Gadis Hitam. Sedangkan sampai sejauh ini, Rara Ireng belum juga memberi serangan berarti. Dia seperti sengaja, tidak menyerang Raden Prayoga.

"Cukup, Prayoga. Tidak ada gunanya menyerangku...!" bentak Rara Ireng.

Tapi peringatan itu tidak dipedulikan Raden Prayoga. Pemuda itu terus menyerang lewat jurus-jurusnya yang cepat dan berbahaya. Sedangkan Rara Ireng masih saja berkelit, menghindari setiap serangan.

"Kau benar-benar keras kepala, Prayoga!" desis Rara Ireng mulai tidak sabar.

Pada saat itu, Raden Prayoga mengibaskan pedang ke arah kepala. Tapi manis sekali, Rara Ireng menarik kepalanya ke belakang. Maka tebasan pedang pemuda itu tidak sampai mengenai kepalanya.

"Maaf, aku harus menghentikan mu!" ujar Rara Ireng agak tersengal.

Setelah berkata demikian, Rara Ireng langsung memberi serangan-serangan tangan kosong yang cepat. Begitu mendapat serangan, Raden Prayoga jadi kewalahan. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha menghindari serangan-serangan yang dilancarkan perempuan serba hitam itu. Akibatnya, dia tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan kembali.

"Lepas...!" tiba-tiba saja Rara Ireng berseru lantang. Dan seketika itu juga tangan kirinya dihentakkan menyampok pergelangan tangan kanan Raden Prayoga. Begitu cepat sampokan itu, sehingga Raden Prayoga tidak punya kesempatan mengelak lagi.

Plak!
"Akh...!"

Raden Prayoga terpekik tertahan. Cepat pemuda itu menarik tangannya, tapi tidak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang langsung mencelat lepas. Pedang itu melayang tinggi ke angkasa. Rara Ireng cepat melompat mengejar pedang itu, sebelum Raden Prayoga bertindak. Namun begitu tangan Rara Ireng hampir saja mencapai pedang yang melayang itu, mendadak saja....

Slap!
"Heh...?!"

Rara Ireng tersentak kaget begitu tiba-tiba sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menyambar pedang itu. Cepat tubuhnya meluruk turun lalu manis sekali mendarat di tanah. Kedua matanya terbeliak lebar begitu tahu-tahu di depannya berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya dari kulit harimau, dan di tangannya kini terdapat pedang Raden Prayoga yang terpental ke udara tadi.

"Huh!" dengus Rara Ireng.

Cepat dia memutar tubuhnya, dan secepat itu pula melesat pergi. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuh wanita serba hitam itu sudah lenyap dari pandangan. Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri Raden Prayoga.

"Terima kasih," ucap Raden Prayoga seraya menerima pedangnya yang disodorkan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Kau terluka?" tanya pemuda itu.
"Hanya nyeri sedikit di pergelangan," sahut Raden Prayoga.

"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam kecil, lalu berpaling menatap ke arah Rara Ireng pergi.

"Kalau boleh aku tahu, siapa Kisanak ini?" tanya Raden Prayoga meminta.
"Aku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau ini memperkenalkan diri.

Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Bayu kembali berpaling, menatap Raden Prayoga. Langsung ditanyakannya nama pemuda putra mahkota ini. Tentu saja Raden Prayoga tidak memperkenalkan siapa dirinya sebenarnya. Dia memang memperkenalkan dirinya dengan nama Prayoga, tapi tidak ditambah raden di depan namanya.

"Bagaimana kau bisa berada di sini, dan membantuku?" tanya Raden Prayoga.

"Kebetulan lewat saja, dan melihatmu tampaknya membutuhkan pertolongan," sahut Bayu.

"Oh, ya, Siapa orang yang bertarung denganmu tadi?"

"Pembunuh ayahku. Dan sekarang dia telah menculik adik perempuanku satu-satunya," sahut Raden Prayoga.

"Hm, jadi kau sedang mencari adikmu?"
"Benar."

"Tampaknya kau tidak akan mampu menandinginya," terdengar pelan suara Bayu, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

"Kuakui itu. Tapi aku harus menyelamatkan adik-ku," sahut Raden Prayoga berterus terang.

"Bagaimana caranya?"

"Entahlah. Sedangkan...," Raden Prayoga tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau tahu, di mana adikmu disembunyikan?" tanya Bayu seakan bisa mengerti arti pandangan Raden Prayoga.

"Itulah sulitnya. Aku tidak tahu, di mana adikku disembunyikan. Sedangkan dia tidak mau mengakui perbuatannya," terdengar lirih suara Raden Prayoga.

"Tidak ada maling teriak maling, Prayoga," Bayu tersenyum.
"Kau benar."

"Hm.... Bagaimana orang itu bisa membunuh ayahmu, dan sekarang menculik adikmu?" Bayu jadi ingin tahu.

Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dipandanginya Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam, seperti menyelidik. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau Raden Prayoga memandang curiga. Mereka memang baru kali ini berjumpa, jadi memang tidak salah jika satu sama lain saling curiga. Tapi di hati Bayu, tidak terselip sedikit pun perasaan curiga. Bahkan merasa simpati atas perbuatan Raden Prayoga yang begitu gigih mencari adiknya. Padahal disadari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan mampu.

"Ceritakan saja padaku kejadiannya. Mungkin aku bisa menolongmu menemukan adikmu," kata Bayu diiringi senyum manis.

"Kau sungguh-sungguh ingin membantuku, Bayu?"

Raden Prayoga masih ragu-ragu.

Saat ini Raden Prayoga memang membutuhkan bantuan seseorang. Itu sebabnya dia berada di sini. Sedangkan tujuannya tadi hendak ke Pertapaan Lebak Garing, untuk minta bantuan Pertapa Eyang Wanari. Dan sekarang, muncul seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya dengannya. Dan ternyata dia bersedia membantu. Namun Raden Prayoga tidak ingin terburu-buru. Dia harus tahu dulu, siapa sebenarnya pemuda yang baru saja menolongnya ini.

"Bayu! Apakah kau seorang pendekar kelana tanya Raden Prayoga, bernada menyelidik.

"Aku hanya seorang pengembara yang tidak tentu arah tujuannya," sahut Bayu merendah.

Raden Prayoga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tahu, Bayu adalah seorang tokoh rimba persilatan. Dan sudah menjadi watak orang rimba persilatan untuk tidak menyebutkan dirinya pada orang lain yang belum dikenal. Raden Prayoga tidak ingin sembarangan memilih teman perjalanan dari kalangan persilatan. Eyang Wanari seringkali menasihatkan untuk berhati-hati bila bertemu orang kaum persilatan. Karena batas antara golongan hitam dengan golongan putih tipis sekali.

"Apa arti sebuah gelar bagimu, Prayoga?" Bayu malah balik bertanya.
"Penting sekali. Karena sebuah gelar akan menunjukkan, apakah orang itu jahat atau tidak," Raden Prayoga, jujur.

Bayu terdiam. Kali ini dia benar-benar bingung dan merasa terpojok. Karena disadari, gelar yang didapatnya bisa menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya sendiri. Meskipun begitu, Bayu sangat menyukai julukan yang dimilikinya.

"Katakan, Bayu. Apa julukanmu?" desak Raden Prayoga lagi.

"Aku yakin, kau akan menyangka buruk padaku setelah mendengar julukanku, Prayoga," kata Bayu mencoba menjelaskan.

"Tidak sedikit kaum pendekar memiliki julukan yang dapat membuat orang merinding mendengarnya. Julukan memang bisa sebagai cermin watak pemiliknya. Tapi kadangkala bertentangan."

Bayu tersenyum kagum mendengar penuturan Raden Prayoga. Sungguh tidak disangka kalau pemuda ini mempunyai pandangan luas tentang dunia persilatan. Bahkan bisa mengambil hikmah dan tidak memandang dari sebelah mata saja.

"Baiklah," akhirnya Bayu menyerah juga. "Orang-orang sering memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Karena, aku memang berasal dari Pulau Neraka, yang berada di dekat Pantai Selatan."

"Pendekar Pulau Neraka...," Raden Prayoga menggumamkan julukan Bayu dengan suara perlahan. Raden Prayoga kembali memandangi Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, dengan kening berkerut. Dia seperti tengah menyelidiki pemuda berbaju kulit harimau ini. Atau mungkin juga tengah mengingat-ingat sesuatu yang berhubungan dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan perlahan kemudian, bibirnya tersenyum. Semakin lama, senyumnya semakin lebar. Melihat perubahan ini, Bayu jadi heran juga.

"Ada apa, Prayoga?" tanya Bayu jadi ingin tahu.

"Aku ingat sekarang. Cerita tentang seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka memang pernah kudengar. Tidak kusangka, ternyata aku akan bertemu seorang pendekar besar yang menjadi buah bibir," ucap Raden Prayoga.

"Ah! Kau jangan terlalu mendengar omongan orang," Bayu merendah agak tersipu.

"Mari. Sebaiknya kita cari tempat yang nyaman, agar enak berbincang-bincang," ajak Raden Prayoga, Bayu tidak bisa lagi menolak. Apalagi Raden Prayoga sudah menggamit lengannya dan mengajak meninggalkan tempat berdebu yang berantakan ini. Mereka terus berjalan, namun tidak menyadari ada sepasang mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.

***

Sementara itu di Istana Balungan. Permaisuri Ret-na Nawangsih tengah duduk sendiri di dalam keputren. Entah sudah berapa lama berada di taman istana itu, sampai-sampai dia tidak tahu kalau seorang penjaga pintu keputren menghampirinya. Dia baru tahu setelah mendengar suara penjaga itu.

"Ada apa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Ampun, Gusti Permaisuri. Eyang Wanari hendak bertemu," sahut prajurit penjaga itu memberi tahu. Si-kapnya penuh hormat.

"Eyang Wanari...?" Permaisuri Retna Nawangsih tampak terkejut mendengar guru mendiang suaminya hendak bertemu.

"Benar, Gusti Permaisuri"
"Di mana sekarang?"

"Menunggu di depan pintu keputren ini, Gusti."

"Kenapa tidak kau suruh ke sini saja...?"

"Ampun, Gusti Eyang Wanari meminta hamba untuk menanyakan kesediaan Gusti."

"Suruh dia ke sini."
"Hamba laksanakan, Gusti Permaisuri."

Setelah memberikan sembah, prajurit penjaga itu segera berlalu. Namun sepeninggal prajurit itu, Permaisuri Retna Nawangsih jadi tercenung. Sepengetahuannya, Eyang Wanari tengah melakukan semadi. Itulah sebabnya dia tidak datang pada hari penobatan Raden Prayoga. Hari penobatan yang gagal, karena Dian Lestari menghilang diculik di depan hidung kakaknya. Permaisuri Retna Nawangsih bangkit berdiri ketika seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih panjang, datang menghampiri. Wanita separuh baya itu berlutut dan memberikan hormat. Laki-laki tua berjubah putih itu membangunkannya, dan meminta Permaisuri Retna Nawangsih kembali duduk di kursi taman. Sedangkan dia sendiri duduk di depannya.

"Apakah Eyang sudah selesai bersemadi, sehingga datang ke istana ini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih. "Terpaksa semadi ku kuhentikan," sahut Eyang Wanari.

"Kenapa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Anakku, Nawangsih. Kenapa tidak kau ceritakan saja apa yang telah terjadi di sini. Dan kini kau justru menanyakan tentang diriku?" Eyang Wanari malah bertanya.

"Maaf, Eyang," ucap Permaisuri Retna Nawangsih.

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi, Anakku?" desak Eyang Wanari.

"Aku tidak tahu, Eyang Semua yang terjadi begitu cepat. Aku sendiri bingung...," sahut Permaisuri Retna Nawangsih pelan.

"Hm..., kau tahu siapa yang menculik Dian?" tanya Eyang Wanari, setengah bergumam suaranya.

"Nini Anjar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Gadis yang mengutuk Dian?"
Permaisuri Retna Nawangsih mengangguk.

"Aneh.... Untuk apa dia menculik?" Eyang Wanari seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam saja.

"Suamimu tidak pernah menceritakan, kenapa Dian sampai kena kutukan begitu? Dan aku sendiri sampai sekarang tidak tahu, kutukan apa yang dijatuhkan pada Dian. Kau bisa menceritakannya padaku?" pinta Eyang Wanari.

"Aku juga tidak tahu, Eyang," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
"Tidak tahu..? Kau kan, ibunya. Masa tidak tahu?" Eyang Wanari tidak percaya.

"Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu, Eyang."

"Lalu, apa saja yang kau ketahui?"
"Yang ku tahu, gadis itu tiba-tiba saja datang menemui Kanda Prabu. Aku sendiri tidak tahu, apa yang dikatakannya. Kanda Prabu kemudian menahannya, dan menuduh gadis itu mengutuk Dian. Entah apa kutukannya. Aku tidak tahu, Eyang. Hanya itu saja yang kuketahui."

"Benar gadis itu dijatuhi hukuman bakar?"

"Benar. Tapi gadis itu menghilang setelah dibakar. Kemudian, muncul seseorang yang tidak dikenal. Orang itu membunuh Kanda Prabu. Semua orang mengira kalau dia adalah Nini Anjar. Dialah yang juga menculik Dian di depan Prayoga."

"Hm, lalu di mana Prayoga sekarang?"
"Pergi."
"Pergi...?"

"Prayoga ingin mencari adiknya sendiri. Aku sudah mencoba melarang, tapi tetap saja dia pergi."

Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam saja.

"Prayoga tidak mengatakan, ke mana dia pergi?" tanya Eyang Wanari lagi.
"Tidak"

Kembali Eyang Wanari terdiam. Kepalanya menggeleng-geleng. Beberapa kali mulutnya mendesah berdecak. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih juga terdiam membisu. Dia tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan laki-laki tua pertapa ini. Tapi dia yakin kalau Eyang Wanari sedang berpikir keras. Atau mungkin juga sedang merangkai semua kejadian dalam istana ini.

"Aneh...," desah Eyang Wanari perlahan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih, seraya menatap laki-laki tua pertapa itu dalam-dalam.

"Aku tidak percaya bila seseorang melontarkan kutukan, kemudian melakukan pembunuhan dan penculikan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah dibakar. Hm.... Aku merasakan ada yang ganjil...," pelan sekali suara Eyang Wanari.

Sementara Permaisuri Retna Nawangsih masih saja diam.

"Retna, apa ada orang lain yang mendengar gadis itu melontarkan kutukan?" tanya Eyang Wanari.
"Hampir semua pembesar. Bahkan Paman Pendeta Suratmaja juga mendengar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Kau tahu, apa bunyi kutukannya?"

"Dian akan meruntuhkan Kerajaan Balungan, jika tidak segera dilenyapkan," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Dilenyapkan...? Apa maksudnya?"
"Dibunuh."
"Apa...?!"

***

Kalau saja ada guntur di siang bolong begini, mungkin tidak akan mengejutkan bila dibanding jawaban Permaisuri Retna Nawangsih. Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan tidak percaya bunyi kutukan yang didengarnya barusan. Laki-laki tua pertapa itu semakin yakin, kalau ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jelas sekali, kalau itu bukan kutukan. Tapi, lebih tepat dikatakan sebuah tuntutan. Hanya saja dia belum bisa menemukan hubungan antara satu dengan lainnya. Eyang Wanari tidak kenal gadis yang bernama Nini Anjar. Juga tidak tahu, apa hubungannya antara Nini Anjar dengan Dian Lestari, sehingga menjatuhkan satu kutukan. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih sendiri kelihatannya tidak tahu banyak semua kejadian ini.

Eyang Wanari tidak bisa lagi mendesak Permaisuri Retna Nawangsih untuk membeberkan semuanya. Meskipun didesak dengan cara apa saja, perempuan separuh baya itu kelihatannya memang hanya tahu sedikit peristiwanya. Eyang Wanari menyayangkan sikap Prabu Wijaya yang tidak menceritakan awal peristiwa ini sejak semula, hingga sampai mati terbunuh. Padahal, Eyang Wanari sudah menganggap seperti anak sendiri, walaupun Prabu Wijaya hanya seorang murid yang belajar ilmu olah kanuragan padanya.

Setelah pembicaraannya dengan Permaisuri Retna Nawangsih di keputren, Eyang Wanari menanyai satu-persatu orang-orang yang mengetahui persis semua peristiwa ini. Tapi, kelihatannya semua orang tidak ingin ikut campur. Alasan mereka, takut kutukan Nini Anjar. Nyatanya hal ini telah terbukti. Setelah tiga hari Eyang Wanari berada di istana, jatuh korban dari dua orang patih dan tiga panglima yang telah menceritakan secara gamblang pada Eyang Wanari. Bahkan mereka yang tidak percaya adanya kutukan itu, langsung mati dengan cara mengenaskan sekali.

"Tampaknya ada orang tertentu yang menginginkan kerajaan ini runtuh...," kata Eyang Wanari saat dalam perjalanan kembali setelah menengok salah seorang panglima yang tewas dengan cara mengerikan. Dan panglima itu baru kemarin bicara pada laki-laki tua pertapa ini. Dia mati dengan seluruh tubuh penuh lubang tusukan, dan dadanya hancur. Hanya bagian kepala saja yang kelihatan masih utuh. Sama seperti korban-korban lainnya, yang mencoba mencari tahu tentang semua peristiwa ini. Mendung benar-benar menyelimuti Kerajaan Balungan.

"Aku harus mencari keterangan, siapa dalang semua ini...," gumam Eyang Wanari bicara sendiri.

"Jangan punya pikiran buruk, Eyang Wanari...!"
"Heh...?!"

Eyang Wanari tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggema mengejutkan. Laki-laki tua pertapa itu menghentikan ayunan kakinya. Suara itu jelas sekali terdengar, dan seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun memang kelihatan sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.

"Hm..., siapa kau?" terdengar dalam nada suara Eyang Wanari.
"Sudah lima orang yang jadi korban. Dan aku tidak ingin kau ikut jadi korban, Eyang Wanari," kembali terdengar suara tanpa ujud.

Eyang Wanari menajamkan telinga. Matanya juga tajam, memandang sekitarnya. Jelas, itu suara seorang wanita. Dan nampaknya, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga bisa menggema. Seakan-akan suara itu datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari segera meningkatkan kewaspadaannya. Dia sadar kalau orang yang mengeluarkan. suara itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Dia telah mampu mengeluarkan suara, tanpa diketahui dari mana asalnya.

"Sebaiknya kembali saja ke pertapaan, Eyang Wanari. Dan Jangan sekali-kali ikut campur masalah ini," terdengar lagi suara keras menggema.

Tunjukkan dirimu, Nisanak!" teriak Eyang Wanari.

"Ha ha ha...! Apa kau tidak bisa mengetahui, di mana aku berada, Eyang Wanari? Atau memang kau sudah pikun, sehingga sama sekali tidak bisa melihatku...?"

Eyang Wanari memutar tubuhnya. Maka laki-laki tua itu terkejut bukan main. Karena, tahu-tahu tidak jauh darinya sudah berdiri seseorang mengenakan baju serba hitam. Yang membuat mata laki-laki tua pertapa ini terbeliak, karena wajah orang itu menghitam hangus seperti baru saja terbakar. Di dalam hati, Eyang Wanari mengagumi kepandaian orang itu. Dia bisa hadir tanpa diketahui. Dan ini sudah memberi satu peringatan padanya untuk tetap berwaspada penuh.

"Nisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu mengacau Kerajaan Balungan?" tanya Eyang Wanari, agak perlahan suaranya.

"Untuk apa bertanya begitu, Eyang Wanari?? Kau sudah tahu, siapa aku, dan apa tujuanku berbuat begini," sahut wanita serba hitam itu agak sinis nada suaranya.

"Kau yang bernama Nini Anjar...?" Eyang Wanari ingin meyakinkan.

"Semua orang memanggilku begitu. Tapi kau lebih tahu, siapa aku sebenarnya, Eyang Wanari," sahut wanita itu tetap sinis.

"Wajahmu hitam sekali. Dan aku tidak mungkin bisa mengenalimu. Hm.... Siapa kau sebenarnya, Nisanak?"

"Kau lihat ini, Eyang Wanari."
"Heh...?!"

Eyang Wanari terkejut setengah mati ketika wanita berwajah hitam itu mengeluarkan sebuah benda dari balik lipatan bajunya. Begitu terkejutnya, sampai-sampai laki-laki tua itu terlompat ke belakang sejauh tiga langkah. Seketika kedua bola matanya terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kau...?"
"Ha ha ha...!"

Wanita berwajah hitam hangus bagai terbakar itu tertawa terbahak-bahak Sedangkan Eyang Wanari seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Dia hanya dapat terpaku. Matanya terbeliak, dan mulutnya terbuka lebar. Tawa wanita berwajah hitam itu semakin keras dan panjang.

***

LIMA

"Ha ha ha....'"

Sukar dipercaya bagi Eyang Wanari. Laki-laki itu tidak akan pernah melupakan benda berbentuk keris kecil berwarna keemasan yang berada dalam gengga-man tangan wanita berwajah hitam ini. Dan sampai ajal datang pun, tidak akan mungkin bisa terlupakan

"Jadi..., kau..," terputus suara Eyang Wanari.

"Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Eyang Wanari. Maka sebaiknya kembali saja ke pertapaan dan jangan campuri urusanku!" dingin sekali nada suara wanita berwajah hitam itu.

"Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi. Nyai Legok?" masih terbata suara Eyang Wanari.

Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah hitam yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya adalah Nyai Legok, seorang wanita yang sangat dikenalnya. Dan Eyang Wanari tahu, siapa Nyai Legok itu. Dia dulunya adalah seorang penari berwajah cantik, dan bertubuh sintal menggiurkan. Setiap lelaki yang memandangnya, pasti tidak akan melewatkan begitu saja untuk menatapnya. Dan semua lelaki pasti berangan-angan bisa mendapatkannya. Namun Nyai Legok juga membuat setiap wanita merasa iri dan sakit hati. Terlebih lagi wanita yang sudah mempunyai suami. Karena suami-suami mereka selalu lupa daratan apabila melihat Nyai Legok menari. Menyadari kalau dirinya menjadi pusat perhatian banyak laki-laki, maka Nyai Legok memanfaatkannya.

Akibatnya tidak sedikit rumah tangga berantakan karena ulahnya. Bahkan kecantikan perempuan itu sampai mengusik hati Prabu Wijaya. Nyai Legok tak mampu berkutik, ketika Prabu Wijaya memintanya agar menari di istana. Bahkan selama tiga tahun, Nyai Legok tinggal di istana menjadi selir Prabu Wijaya. Namun entah kenapa, diam-diam perempuan itu selalu membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya. Tidak sedikit pembesar kerajaan, para pangeran, dan pejabat-pejabat kerajaan lainnya, tergila-gila pada wanita ini. Akibatnya anak dan istri mereka telantar. Bahkan mereka sampai tidak peduli kalau Nyi Legok adalah selir Prabu Wijaya.

Kebiasaan Nyi Legok membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya, ternyata tercium juga oleh Prabu Wijaya. Dan pada suatu malam, dia tertangkap basah ketika tengah bermesraan di dalam kamarnya dengan salah seorang putra pembesar yang masih belia usianya. Kemarahan Prabu Wijaya tidak tertahankan lagi. Dengan keris kecil berwarna emas, Prabu Wijaya menikam dada wanita itu, lalu merusak wajahnya. Tidak sampai di situ saja. Prabu Wijaya juga membakar Nyi Legok lalu membuangnya ke sungai deras.

"Mustahil...," desis Eyang Wanari seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Dia masih belum percaya kalau wanita yang berada di depannya adalah Nyai Legok. Dulu Legok begitu cantik. Tapi wanita di depannya wajahnya begitu mengerikan. Hitam pekat bagaikan arang. Apakah mungkin dia Nyai Legok, dan sekarang membalas dendam atas perbuatan Prabu Wijaya? Pertanyaan ini masih menjadi teka-teki yang sukar diungkapkan.

***

"Seharusnya kau tidak perlu berbuat seperti ini Nyai Legok," ujar Eyang Wanari.

"Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku, Eyang Wanari!" dengus wanita berwajah hitam itu.

"Semula aku sudah ingin melupakan. Tapi laki-laki itu malah hendak membunuh anaknya sendiri."

"Membunuh anak sendiri... ? Apa maksudmu, Nyai Legok?"

"Kau hanya seorang pertapa. Sebaiknya, tidak perlu mencampuri urusan dunia. Kembali saja ke pertapaanmu." terdengar kasar nada suara Nyai Legok.

"Kata-katamu sudah mulai kasar, Nyai Legok, " Eyang Wanari tersinggung.
"Kau yang menginginkan, dan aku sebenarnya tidak ingin berlaku kasar padamu."

"Hm...," Eyang Wanari menggumam kecil.

Laki-laki tua pertapa itu memandangi Nyai Legok dalam-dalam. Meskipun sudah menyebut perempuan berwajah hitam itu dengan nama Nyai Legok, namun dihatinya masih belum yakin kalau dia benar-benar Nyai Legok. Karena dilihatnya sendiri, bagaimana Prabu Wijaya menikamkan keris kecil berwarna emas ke dada wanita itu. Juga disaksikannya, bagaimana mayat Nyi Legok dihanyutkan ke sungai yang berair deras. Rasanya memang tidak mungkin kalau seseorang yang sudah tertikam senjata, lalu dihanyutkan ke dalam sungai, masih bisa hidup.

"Kukatakan sekali lagi, Eyang Wanari. Kembalilah ke pertapaan, dan jangan mencampuri urusan ini," kembali Nyai Legok memberi peringatan.

"Maaf. Aku harus menangkap orang yang telah membunuh muridku, dan mengadilinya di depan sidang kerajaan," sahut Eyang Wanari tegas.
"Itu berarti kau harus berhadapan denganku, Eyang Wanari."

Setelah berkata demikian, Nyai Legok menggeser kakinya ke kanan tiga langkah. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Keris kecil berwarna kuning keemasan, masih tergenggam di tangan kanannya.

"Kau yang memaksa, Eyang Wanari," desis Nyai Legok dingin.

"Hm...," Eyang Wanari hanya menggumam kecil saja. "Bersiaplah. Kita tentukan, siapa yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini.

Hiyaaat..!"

Nyai Legok langsung melompat memberi serangan cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang sudah bersiap sejak tadi, segera mengegoskan tubuhnya sedikit untuk menghindari pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan perempuan berwajah hitam itu. Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Dan mereka langsung melakukan pertarungan tingkat tinggi. Jurus-jurus yang digunakan begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Dan setiap kali tangan mereka berbenturan, selalu menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat namun belum nampak tanda-tanda ada bakal yang terdesak. Dan Eyang Wanari sendiri tidak sempat untuk bermain-main. Disadari betul kalau lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Diakui, sukar baginya untuk mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian perempuan berwajah hitam ini. Karena memang baru sekali ini mereka melakukan pertempuran.

"Uts!"

Hampir saja keris di tangan Nyai Legok menembus dada laki-laki tua pertapa itu. Untung saja Eyang Wanari segera berkelit dengan menarik tubuhnya ke samping. Namun sebelum bisa menegakkan tubuhnya, satu tendangan menggeledek menyamping telah cepat dilepaskan Nyai Legok.

"Yeaaah...!"
"Heh!"

Eyang Wanari terkejut. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Namun tanpa diduga sama sekali, Nyai Legok mampu melenting sedikit tanpa menarik kembali tendangannya. Akibatnya, Eyang Wanari jadi semakin terkejut. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindari tendangan itu. Sehingga....

Buk!
"Akh...!"

Eyang Wanari menjerit keras tertahan. Tendangan yang dilepaskan Nyai Legok telak menghantam dada laki-laki tua pertapa itu. Tak pelak lagi, tubuh tua berjubah putih itu terpental deras ke belakang. Tendangan yang dilancarkan Nyai Legok memang dahsyat bukan main. Terlebih lagi, tendangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Bruk!

Keras sekali tubuh Eyang Wanari menghantam tanah. Dua kali laki-laki tua pertapa itu bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung, dan dari mulutnya mengeluarkan gumpalan darah kehitaman.

"Hiyaaa...!"

Saat itu Nyai Legok sudah kembali melompat memberi serangan. Sementara Eyang Wanari belum mampu menguasai tubuhnya. Dadanya masih terasa sesak, dan jalan nafasnya seakan tersumbat, akibat tendangan yang mendarat telak di dadanya.

"Modar...!"
Des!
"Akh...!"

kembali Eyang Wanari menjerit keras. Satu pukulan yang dilepaskan Nyai Legok dapat lagi dihindari, meskipun Eyang Wanari berusaha berkelit. Namun gerakannya memang sudah lamban, akibat pernafasannya belum sempurna. Seketika, tubuh laki-laki tua pertapa itu kembali terlontar jauh ke belakang, sekitar lima batang tombak. Di saat Eyang Wanari tengah bergulingan di tanah, Nyai Legok sudah kembali melompat sambil menghunus keris kecil berwarna kuning keemasan di tangan kanan. Memang tidak ada lagi kesempatan menghindar bagi Eyang Wanari. Pukulan yang dilepaskan Nyali Legok, membuatnya benar-benar tidak berdaya lagi.

"Mampus kau, Eyang Wanari! Hiyaaat..!"

Namun begitu ujung keris hampir saja menghunjam dada Eyang Wanari, mendadak saja....

Slap!
Plak!
"Ah...!"

***

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menjegal maksud Nyai Legok. Perempuan berwajah hitam itu terpental balik sambil memekik keras. Namun keseimbangan tubuhnya cepat dikuasai, dengan berputaran beberapa kali di udara. Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Kini di depan Eyang Wanari, berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Pada saat itu, dari balik sebuah pohon yang cukup besar, muncul seorang pemuda lain yang mengenakan baju putih. Dia bergegas berlari, menghampiri Eyang Wanari.

"Eyang..., Eyang tidak apa-apa...?" tanya pemuda itu seraya membantu Eyang Wanari duduk.

"Oh! Terimakasih, Prayoga," ucap Eyang Wanari gembira melihat Raden Prayoga membantunya duduk.

Laki-laki pertapa tua itu memandang pemuda lain yang mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu berpaling sedikit, lalu memberi senyuman. Kemudian perhatiannya kembali dipusatkan pada perempuan berwajah hitam di depannya.

"Siapa dia, Prayoga?" tanya Eyang Wanari pelan.

"Bayu, Eyang. Temanku," sahut Raden Prayoga.

Eyang Wanari mengangguk-anggukkan kepala. Dia memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Bibirnya kemudian mengembang, membentuk senyuman. Namun sebentar kemudian terbatuk, lalu memuntahkan darah kental agak kehitaman. Raden Prayoga terkejut. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi keburu dicegah laki-laki tua pertapa ini.

"Aku tidak apa-apa. Hanya sesak sedikit di dada."

"Tapi Eyang terluka. Sebaiknya Eyang ke tempat yang lebih teduh lagi."
"Baiklah. Bantu aku berdiri."

Sementara Raden Prayoga membantu Eyang Wanari pindah dari tempat itu, Bayu melangkah hendak kedepan. Sedangkan Nyai Legok sudah menguasai penuh keadaan dirinya. Ludahnya disemburkan, sambil menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.

"Heh! Siapa kau?! Berani benar mencampuri urusanku!" bentak Nyai Legok geram.

"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak suka ada orang menganiaya orang yang sudah tua," sahut Bayu kalem.

"Apa pedulimu, heh?!" bentak Nyai Legok makin geram.

"Memang tidak ada. Tapi kurasa, tidak ada baiknya kau menganiaya orang tua, Nisanak," tetap kalem suara Bayu.
"Kau terlalu banyak mulut!" desis Nyai Legok menggeram.

Kemudian perempuan itu menatap Raden Prayoga yang kini berada di tempat yang cukup aman bersama Eyang Wanari. Dan kini, tatapannya kembali pada Bayu. Bibirnya yang hitam, menyunggingkan senyuman menyeringai.

"Apakah kau salah seorang jawara dari istana terdengar sinis nada suara Nyai Legok.
"Bukan," sahut Bayu.
"Kau datang bersama bocah ingusan itu. Pasti kau adalah seorang jawara yang mengawalnya. Bagus....

Jika memang demikian, aku bisa memusnahkan sekalian keturunan tidak syah Prabu Wijaya. Dan kau....berani menghalangi, aku tidak segan-segan membuatmu jadi dendeng!" Nyai Legok menuding Bayu.

"Nisanak! Kenapa kau menyangka aku jawara istana? Aku tidak ada hubungan dengan orang orang istana manapun juga."

"Tidak ada waktu bersilat lidah, Kisanak! Jika kau masih melindungi orang tua itu dan Raden Prayoga, maka kau harus berhadapan denganku!"

"Raden Prayoga...?" Bayu benar-benar tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka melirik Raden Prayoga. Sungguh dia tidak tahu kalau pemuda berbaju putih itu ternyata seorang putra mahkota. Baru beberapa saat Pendekar Pulau Neraka mengenalnya. Dan lagi, Raden Prayoga memang tidak pernah mengatakan tentang dirinya yang sebenarnya.

"Sebaiknya kau menyingkir, Kisanak!" bentak Nyai Legok. Sehabis berkata demikian, Nyai Legok langsung melompat ke arah Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang tengah duduk di bawah pohon. Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat, mencoba menghadang arus wanita serba hitam itu.

"Hiyaaa...!"
"Uts! Keparat..!"

Kalau saja Nyai Legok tidak cepat melentingkan tubuh ke belakang dan berputaran dua kali, terjangan Bayu yang memotong itu akan melanda tubuhnya kembali. Sambil mendengus geram, perempuan berwajah hitam itu menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Dia begitu marah, karena maksudnya sudah dua kali terhalang oleh tindakan pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Keparat! Rupanya kau ingin lebih dahulu ke neraka, heh!" bentak Nyai Legok.

"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan saja.

"Hih!" Nyai Legok melintangkan keris kecil keemasan yang berada di dalam genggaman, di depan dadanya. Sorot matanya begitu tajam, langsung menusuk mata Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan. Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa berkedip, setiap gerakan kaki perempuan berwajah hitam itu.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Nyai Legok melompat cepat bagai kilat dengan keris terhunus ke depan. Bayu segera menarik kakinya ke belakang. Lalu, cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, menyambut serangan wanita berwajah hitam itu. Bayu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu secepat itu pula tangannya dihentakkan, langsung menyodok ke arah dada. Namun Nyai Legok. cepat bergerak gesit. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka itu ditangkis dengan tangan kiri, sementara hunjaman kerisnya tidak bisa mengenai sasaran.

Plak!

Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi, beradu keras di udara. Saat itu terdengar pekikan keras agak tertahan. Kemudian, mereka sama-sama memutar tubuh ke belakang, lalu meluruk turun manis sekali. Hampir bersamaan kaki mereka menjejak tanah. Begitu mendarat, Bayu langsung memberi satu pukulan lurus ke arah dada. Melihat hal itu Nyai Legok cepat berkelit, memiringkan tubuhnya. Begitu pukulan Bayu lewat, segera diberikannya serangan balasan. Kerisnya langsung dihunjamkan ke arah perut,

"Uts! Yeaaah...!"

Bayu cepat melompat ke belakang, menghindari tusukan keris kecil keemasan itu. Namun Nyai Legok terus mencecar dengan hunjaman keris beberapa kali ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Mau tak mau Bayu harus berjumpalitan, berputaran ke belakang menghindari hunjaman keris yang datang secara beruntun.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu mempunyai kesempatan, Bayu cepat melesat ke udara. Dan secepat itu pula dilontarkan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Namun tendangan Pendekar Pulau Neraka dapat dielakkan Nyai Legok dengan memiringkan tubuh kekanan. Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian mendarat manis dan ringan sekali, sekitar satu tombak jauhnya di depan perempuan bermuka hitam itu. Dan belum lagi Bayu menarik napas, Nyai Legok sudah kembali melompat menyerang.

"Hiyaaa...!"
"Hait! Yeaaah...!?

***

ENAM

Hanya sedikit saja keris kecil keemasan di tangan Nyai Legok lewat di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tubuh ke samping, lalu tangannya bergerak cepat menyodok ke dada wanita berwajah hitam itu. Sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Nyai Legok jadi terperangah. Dia cepat berusaha menghindari. Namun sebelum melakukan tindakan, sodokan tangan Bayu sudah mendarat telak sekali di dadanya.

Des!
"Akh...!"

Nyai Legok terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terkena sodokan. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalam, sehingga hanya sesak saja yang dirasakan wanita bermuka hitam itu.

"Setan...!" geram Nyai Legok mendesis sengit.

Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali dia mendengus sambil menyemburkan ludah. Sebentar kemudian ditatapnya Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang berada di tempat aman.

"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah keparat?!"

Setelah melontarkan ancaman, Nyai Legok segera berbalik, lalu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya sehingga dalam sekejapan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Bayu menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri Raden Prayoga dan Eyang Wanari.

"Bagaimana keadaanmu, Ki Tua?" tanya Bayu setelah dekat.

"Terima kasih. Aku tidak apa-apa," sahut Eyang Wanari seraya berdiri dibantu Raden Prayoga.

Bayu melirik sedikit pemuda yang membantu Eyang Wanari bangkit berdiri. Sedangkan yang dilirik seperti tidak mengetahui. Perhatian Bayu kembali tertuju pada laki-laki tua yang terlihat tengah kepayahan. Tampak ada bulatan hitam di dada Eyang Wanari.

"Kau mendapat luka, Ki," kata Bayu.
"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa saja," sahut Eyang Wanari seraya melihat noda hitam di dadanya.

"Maaf...."

Bayu meraba dada laki-laki tua itu sebentar. Kembali ditatapnya Eyang Wanari, lalu menarik napas panjang. Dia tahu kalau noda hitam di dada laki-laki tua itu akibat pukulan bertenaga dalam penuh dan mengandung racun. Tapi rupanya Eyang Wanari sudah mencegahnya dengan menotok beberapa titik jalan darah. Sehingga racun di dadanya tidak menyebar. Dan racun itu memang tidak membahayakan. Hanya dengan semadi sebentar, lalu menyayat kulit dadanya sedikit, racun itu bisa keluar.

"Sebaiknya jangan terlalu lama racun itu di dalam, Ki," kata Bayu memperingatkan.

Eyang Wanari tersenyum. Ada rasa kagum terselip dihatinya mendengar peringatan anak muda yang belum dikenalnya ini. Dia bisa tahu kalau luka itu beracun, hanya dengan meraba saja. Rasa kagum Eyang Wanari terlihat jelas dari sinar matanya tatkala memandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku akan lakukan sekarang, Anak Muda. Eh, siapa namamu tadi...?" ujar Eyang Wanari diiringi senyuman.

"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.

Eyang Wanari menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka, kemudian berbalik dan melangkah menuju kesebatang pohon yang cukup besar dan rindang. Raden Prayoga tidak jadi membantu, karena Eyang Wanari sudah menolaknya. Terpaksa pemuda itu hanya memandanginya saja.

"Kenapa kau tidak berterus terang padaku, Raden? Kenapa harus menutupi kenyataan...?" Bayu langsung menegur Raden Prayoga.

"Maaf, Bayu. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak bisa begitu saja mengatakan sesuatu yang benar," sahut Raden Prayoga.

Bayu menarik napas panjang. Jawaban Raden Prayoga begitu tepat. Memang tidak mungkin Raden Prayoga menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya pada seseorang yang baru saja dikenalnya. Keadaan memang perlu, dan Bayu menyadari betul itu.

"Baiklah, Raden. Aku memang tidak punya urusan denganmu. Apalagi untuk tahu tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Tapi jika Raden percaya padaku ceritakan saja. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, mudah-mudahan, aku dapat membantu menyelesaikannya," tegas Bayu, setelah menarik napas panjang.

"Aku memang memerlukan bantuan seseorang berkepandaian tinggi, Bayu. Kau sudah mengalami sendiri. Orang yang sedang kami hadapi memiliki kepandaian tinggi sekali. Bahkan Eyang Wanari sendiri tidak dapat mengatasinya," jelas Raden Prayoga.

Bayu melirik Eyang Wanari yang sudah melakukan semadi di bawah pohon yang cukup rindang. Tampak di dada laki-laki tua itu mengalir darah kental kehitaman. Rupanya Eyang Wanari sudah menyayat kulit yang bernoda hitam untuk mengeluarkan darah yang mengeram di dadanya. Cara yang dilakukan Eyang Wanari, sama persis dengan apa yang dipikir Bayu sebelumnya.

"Mari, Bayu. Kita cari tempat yang lebih enak. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku percaya kau memiliki kemampuan tinggi dan dapat menandingi perempuan berwajah hitam itu," ajak Raden Prayoga.

Bayu tidak menjawab. Diikutinya saja Raden Prayoga yang berjalan perlahan mencari tempat tenang dan nyaman untuk menceritakan semua peristiwa dikerajaannya.

***

Tepat setelah Raden Prayoga selesai menceritakan semua yang terjadi di kerajaannya, Eyang Wanari juga selesai bersemadi. Laki-laki tua itu menghampiri kedua anak muda ini. Raden Prayoga memperkenalkan Bayu pada Eyang Wanari lebih jauh lagi. Begitu Raden Prayoga menyebutkan julukan Bayu, Eyang Wanari jadi berkerut keningnya.

"Ada apa, Eyang?" tanya Raden Prayoga melihat Eyang Wanari mengamati Bayu begitu dalam.

"Aku sering mendengar nama Pendekar Pulau Neraka. Tidak kusangka, ternyata orangnya masih muda dan gagah," ungkap Eyang Wanari.

"Ah! Mungkin yang Eyang dengar sangat berlebihan," ucap Bayu merendah.

Eyang Wanari memandangi pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Di situ, menempel sebuah benda berbentuk cakra bersegi enam yang berkilat keperakan. Bayu agak risih juga dipandangi demikian, tapi mendiamkan saja.

"Apakah itu Cakra Maut..?" tanya Eyang Wanari.

"Benar," sahut Bayu jadi heran.

"Apa hubunganmu dengan Gardika si Maut?" tanya Eyang Wanari lagi.

Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan dan tidak langsung menjawab. Tatapan matanya berubah lain, dan memancarkan sinar kecurigaan. Pendekar Pulau Neraka memang selalu curiga setiap kali ada orang yang mengenal gurunya. Karena, dia sendiri juga mengembara untuk mencari orang-orang yang telah membuat gurunya cacat dan sengsara di Pulau Neraka yang gersang dan angker. Di samping itu, dia juga tetap berusaha mencari kabar tentang ibunya yang katanya masih hidup dan entah ada mana.

"Dulu aku kenal seorang tokoh persilatan yang tangguh. Dia juga menggunakan senjata seperti milikmu, Bayu. Julukannya si Cakra Maut," kata Eyang Wanari mengenang.

"Apakah kau bermusuhan dengannya?" tanya Bayu.

"Jalan hidupku memang berbeda jauh dengan Cakra Maut. Tapi aku tidak pernah mencampuri urusannya, selama dia tidak mencampuri urusanku. Jalan hidup kami memang berbeda, tapi tetap bersahabat dan saling menghormati. Yaaah.... Aku sendiri menyesalkan kejadian yang menimpa dirinya. Dan hingga sampai saat ini, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya," kembali Eyang Wanari mengenang.

Bayu terdiam. Tatapan matanya masih tetap mengandung kecurigaan. Hatinya belum yakin kalau Eyang Wanari bersahabat dengan gurunya. Namun, sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak menampakkan kecurigaannya terhadap laki-laki tua ini. Bahkan berharap kalau Eyang Wanari bukan salah seorang da-ri mereka yang membuat Eyang Gardika jadi cacat seumur hidup, dan harus menderita di Pulau Neraka.

"Eyang, bagaimana kalau kita kembali dulu ke istana...?" selak Raden Prayoga, mencoba mengusir kekakuan yang terjadi.

"Itu lebih baik lagi, Raden. Hm.... Bagaimana, Bayu? Kau bersedia ikut ke istana? Nanti kita bisa bicara banyak di sana," sambut Eyang Wanari.

"Bagaimana, Bayu?" desak Raden Prayoga.

Bayu tidak bisa lagi menolak, dan hanya bisa mengangkat bahu untuk menyetujui permintaan ini. Tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, mereka kemudian berangkat meninggalkan tempat itu menuju Istana Balungan.

***

Selama dua hari Bayu tinggal di Istana Balungan, tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi. Namun Pendekar Pulau Neraka sempat mendapat suatu kesan janggal dari Permaisuri Retna Nawangsih. Kesan yang sukar dikatakan, karena perempuan setengah baya itu seperti tidak menyukai kehadirannya di lingkungan istana ini. Bukan hanya Bayu saja yang merasakan ketidaksenangan Permaisuri Retna Nawangsih, tapi Eyang Wanari yang merasakan demikian. Bahkan sikap Permaisuri Retna Nawangsih terhadap Eyang Wanari juga berubah. Sempat juga Permaisuri Retna Nawangsih menegur keras Eyang Wanari, agar tidak terlalu dekat dengan Bayu. Malah laki-laki tua diminta untuk melarang Raden Prayoga banyak bicara dengan Pendekar Pulau Neraka.

Hal ini membuat Eyang Wanari jadi tidak mengerti. Dan dia berpendapat, hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu pada Bayu, sebelum bicara pada Raden Prayoga. Karena Bayu sendiri sudah berterus terang, dirinya adalah murid Eyang Gardika, sahabat Eyang Wanari. Bayu membuka rahasia setelah merasa yakin kalau Eyang Wanari bukan orang yang telah membuat gurunya menderita cacat seumur hidup. Saat senja telah menyelimuti seluruh bumi Kerajaan Balungan, Eyang Wanari sudah berada di depan pintu kamar yang disediakan untuk Bayu menginap diIstana Balungan ini. Pintu yang tertutup rapat itu diketuk perlahan, seakan-akan takut ada orang lain yang mengetahuinya.

"Siapa...?" terdengar suara dari balik pintu.

"Aku," sahut Eyang Wanari.

Pintu itu terbuka sedikit. Muncul seraut wajah tampan dari baliknya. Begitu mengetahui siapa yang berada di depan pintu, pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka pintu lebar-lebar. Eyang Wanari bergegas masuk, lalu menutup kembali pintu kamar itu. Segera didekatinya jendela yang terbuka lebar, dan melongok keluar. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja dengan kening berkerut.

"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu heran melihat tingkah laki-laki tua pertapa yang demikian aneh.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang tahu aku berada di sini," sahut Eyang Wanari seraya menghempaskan dirinya di kursi.

"Kenapa harus takut?" tanya Bayu. Dia duduk di tepi pembaringan.

"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai seorang pun di dalam istana ini."

Bayu mengangkat bahunya. Bisa dimengerti, mengapa Eyang Wanari begitu khawatir. Laki-laki tua pertapa itu sudah mengatakan kecurigaannya pada Pendekar Pulau Neraka. Dia curiga kalau semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Balungan didalangi Permaisuri Retna Nawangsih. Bagi Bayu sendiri, kecurigaan itu memang beralasan. Ini setelah Eyang Wanari menceritakan riwayat Permaisuri Retna Nawangsih, hingga sampai menjadi seorang permaisuri, mendampingi Prabu Wijaya memerintah kerajaan ini.

"Ada sesuatu yang hendak kau bicarakan denganku, Eyang?" tanya Bayu setelah melihat raut wajah Eyang Wanari mulai agak tenang.

"Ya, dan penting sekali," sahut Eyang Wanari.

"Masalahnya...?"

"Terus terang, Bayu. Ini menyangkut keselamatanmu sendiri. Bahkan bukannya tidak mungkin, keberadaanmu di sini menimbulkan ketidaksenangan seseorang," pelan sekali suara Eyang Wanari, seperti khawatir kalau ada orang lain yang mendengar.

"Maksud Eyang, Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku?" tebak Bayu langsung.

"Aku tidak mengatakan demikian, Bayu. Tapi perasaanku mengatakan begitu," kata Eyang Wanari.

"Mungkin dari situlah aku bisa memulai, Eyang. Atau mungkin itu merupakan suatu petunjuk yang nyata untuk mencari pembunuh Prabu Wijaya," jelas Bayu kalem.

"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Bayu?" tanya Eyang Wanari tidak mengerti.

Bayu tidak segera menjawab, dan hanya senyum saja. Segera Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pembaringan, lalu melangkah mendekati jendela. Dia berdiri memandang ke luar, menikmati udara senja ini dan menikmati harumnya bunga-bunga yang bermekaran di bawah jendela. Sementara Eyang Wanari terus menunggu jawaban pemuda berbaju harimau ini.

"Hal yang sangat mudah, Eyang. Kegelisahan seseorang, merupakan satu petunjuk berarti yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasanya sangat tidak beralasan bila Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku. Kalau dia merasa kehilangan atas kematian suaminya, tentu sangat berharap dapat menemukan pembunuhnya. Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya. Bahkan seperti melupakan begitu saja, dan terus mendesak Raden Prayoga naik tahta," Bayu mencoba menjelaskan pengamatannya.

"Hebat..! Sungguh aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Bayu," puji Eyang Wanari, tulus.

"Kecurigaan Eyang Wanari yang membuatku berpikir ke sana," Bayu merendah.

"Sebaiknya teruskan saja hasil pengamatan mu, Bayu," pinta Eyang Wanari. Dia tahu kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ingin dipuji.

"Dari pengamatanku selama dua hari ini, tidak ada seorang pun pembesar istana yang terlibat. Dan peristiwa ini bukan bertujuan untuk meruntuhkan Kerajaan Balungan, tapi lebih tepat bila dikatakan sebuah balas dendam," lanjut Bayu.

"Maksudmu...?" Eyang Wanari meminta penjelasan.

Secara rinci, Bayu menjelaskan hasil pengamatannya selama dua hari berada di Istana Balungan ini. Sementara Eyang Wanari mendengarkan penuh perhatian. Dan mereka terus mengobrol sampai jauh malam. Pembicaraan itu berkisar dari peristiwa yang terjadi di istana ini. Bahkan Eyang Wanari secara gamblang membuka semua rahasia keluarga istana. Baik tentang sebuah kutukan yang datang dari para Dewata terhadap Prabu Wijaya, maupun asal-usul Permaisuri Retna Nawangsih, dan kedua putranya. Mereka saling bertukar keterangan selama di Kerajaan Balungan. Dan ini membuat mereka menemukan suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan.

***

TUJUH

Hingga jauh malam, Eyang Wanari berada dalam kamar Pendekar Pulau Neraka. Walaupun laki-laki tua pertapa itu telah membeberkan riwayat Prabu Wijaya serta Permaisuri Retna Nawangsih dan kedua anaknya, tapi Bayu belum begitu yakin akan hal ini. Masih sulit dipercaya kalau Prabu Wijaya melakukan persekutuan dengan iblis, hanya untuk menutupi rasa malu karena tidak mendapatkan keturunan. Setelah kokok ayam jantan terdengar, Eyang Wanari baru keluar dari kamar itu. Bayu mengantarkannya sampai di depan pintu. Laki-laki tua pertapa itu sempat memberi pesan agar Pendekar Pulau Neraka berhati-hati. Dan Bayu menanggapinya dengan senyuman saja. Eyang Wanari melangkah menuju kamarnya sendiri. Namun begitu sampai di depan pintu kamarnya, dia tidak jadi membuka pintu.

"Aku ingin berjalan-jalan sebentar," desah Eyang Wanari. Kembali kakinya melangkah, tidak jadi masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk istirahatnya. Laki-laki tua pertapa itu melangkah ke bagian belakang bangunan istana. Dia terus berjalan sambil menikmati udara segar di pagi buta ini. Suara kokok ayam jantan semakin ramai terdengar, ditambah kicauan burung yang merdu, menyambut datangnya pagi.

"Hhh...! Kejadian ini membuatku selalu merasa tegang. Udara bersih, kicauan burung, membuat jernih pikiranku," kembali Eyang Wanari bergumam, bicara sendiri.

"Akan lebih jernih lagi bila ditemani, Eyang Wanari...."

"Heh...?!" Eyang Wanari terperanjat ketika tiba tiba saja terdengar suara dari belakang.

Begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Eyang Wanari semakin terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak menghindar. Hingga....

Begkh!
"Akh...!"

Eyang Wanari terpekik. Tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terpental deras kebelakang. Seketika punggungnya menghantam sebongkah batu sebesar perut kerbau. Namun dia cepat melompat bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepala. Ditambah lagi, dadanya jadi terasa sesak, sukar untuk bernapas. Pada saat itu, kembali terlihat satu bayangan hitam berkelebat cepat menyambarnya. Eyang Wanari bergegas menjatuhkan tubuh ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan hitam itu. Kemudian dia cepat melompat bangkit berdiri, sebelum bayangan hitam itu menyerang kembali.

"Hap!"

Eyang Wanari segera bersikap menyambut serangan lawan. Namun orang berbaju hitam itu malah berdiri saja di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi. Dia berdiri membelakangi laki-laki tua pertapa itu, seakan-akan tidak ingin wajahnya dikenali.

"Kau sudah diperingatkan, Eyang Wanari. Tapi kau terlalu keras kepala. Terpaksa aku harus membunuh-mu!" terdengar dingin suara orang itu.

Dari nada suaranya, Eyang Wanari sudah mengetahui kalau orang itu adalah wanita. Dan sebelum bisa memastikan siapa yang berdiri di atas dahan pohon, mendadak saja orang berbaju hitam itu sudah melentingkan tubuhnya. Dia berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah laki-laki tua pertapa itu.

"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Tubuh Eyang Wanari cepat melenting ke udara. Dan secara bersamaan, mereka menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan beradu keras di udara, hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar.

Glarrr...!

Mereka sama-sama terpental balik ke belakang, lalu berputaran di udara sebelum mendarat kembali ditanah. Eyang Wanari agak terhuyung ke belakang. Sedangkan wanita berbaju hitam itu mendarat manis di tanah. Dan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya kembali melompat menerjang laki-laki tua pertapa itu.

"Hiyaaat..!"
Bet!

Mendadak saja wanita berbaju hitam itu mencabut sebilah pedang dari balik lipatan baju, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah leher Eyang Wanari. Namun laki-laki tua pertapa itu cepat bertindak, dengan menarik kepala ke belakang. Maka tebasan pedang keperakan yang tipis dan pendek itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya.

"Hup!"

Cepat Eyang Wanari melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran dua kali sebelum mendarat kembali di tanah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, orang berbaju serba hitam itu sudah kembali menyerang. Bahkan kini di kedua tangannya tergenggam sepasang pedang yang tipis, sepanjang tiga jengkal. Serangan-serangan yang dilakukan orang itu cepat luar biasa, membuat Eyang Wanari agak kewalahan menghadapinya. Namun berkat pengalamannya bertarung dalam rimba persilatan, ditambah lagi tingkat kepandaiannya yang tinggi, laki-laki tua itu masih mampu meredam setiap serangan yang datang mengancam nyawanya. Hingga suatu ketika, Eyang Wanari melentingkan tubuh ke udara, tepat saat sebuah pedang berkelebat mengarah ke kaki. Bagaikan kilat, tangan laki-laki tua itu bergerak cepat menjambret kain yang menutupi kepala orang itu.

Bret!
"Auw...!"

Orang berbaju hitam itu terpekik kaget. Cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang tiga kali. Penutup kepalanya telah terenggut, dan kini berada di tangan Eyang Wanari. Kini wajah orang itu dapat jelas terlihat. Eyang Wanari terperanjat begitu dapat melihat muka orang itu.

"Heh...! Kau...?"

Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja wanita berbaju hitam itu sudah melontarkan satu pedangnya cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang tengah terpana, tidak dapat lagi berkelit. Dan....

Bles!
"Aaakh...!"

Pedang itu menancap tepat di dada yang kurus kerempeng tertutup jubah putih panjang. Eyang Wanari menjerit melengking tinggi. Begitu dalamnya pedang itu menembus dada Eyang Wanari, hingga ujungnya mencuat sampai ke punggung. Dan sebelum Eyang Wanari menyadari apa yang terjadi, wanita berbaju hitam itu sudah melompat cepat bagaikan kilat disertai teriakan keras menggetarkan jantung.

"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!

Darah langsung muncrat keluar begitu satu pedang lagi dibabatkan ke leher laki-laki tua pertapa itu. Eyang Wanari tidak dapat bersuara lagi. Hanya sebentar dia mampu berdiri tegak. Dan begitu wanita berba-ju hitam itu mencabut pedang yang tertanam dalam di dadanya, tubuh Eyang Wanari ambruk ke tanah. Kepalanya terpisah dari leher. Darah seketika menyembur deras sekali dari leher yang terpenggal buntung.

"Kau tidak akan mati kalau menuruti kata-kataku, Eyang Wanari," desis wanita itu dingin.

Dibersihkannya darah yang melekat pada pedang, kemudian disimpannya kembali di balik lipatan baju. Kepalanya langsung terdongak begitu mendengar langkah-langkah kaki yang berlarian cepat menuju kearahnya. Tampak sekitar dua puluh prajurit berlarian mengikuti Raden Prayoga menuju ke tempat ini.

"Hup!"

Wanita berbaju hitam itu cepat melentingkan tubuh, meninggalkan mayat Eyang Wanari yang terbujur tak bernyawa dengan kepala terpisah dari leher. Bersamaan dengan lenyapnya bayangan tubuh hitam itu, Raden Prayoga dan prajurit-prajurit yang mengikuti tiba. Mereka terkejut begitu melihat tubuh Eyang Wanari terbujur kaku tak berkepala lagi.

"Eyang...!" pekik Raden Prayoga terkesiap.

***

Sementara itu, jauh di sebelah Timur Istana Balungan, seseorang berpakaian serba hitam berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya berlari, seaakan kedua kakinya tidak menjejak tanah sama sekali. Dia terus berlari cepat, menerobos hutan yang ada di sebelah Timur perbatasan kota kerajaan ini. Sedikitpun kecepatan larinya tidak dikurangi, meskipun sudah berada di dalam hutan yang cukup lebat dan gelap. Pagi ini matahari memang belum menampakkan diri, meskipun kokok ayam jantan dan kicauan burung sudah sejak tadi memanggilnya.

Setelah cukup jauh masuk ke dalam hutan, ayunan kakinya berhenti. Sebentar kepalanya menoleh kebelakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Kakinya kembali terayun beberapa tindak, mendekati semak belukar. Tangannya menyibakkan semak itu. Tampak sebuah mulut gua yang cukup besar berada dibalik semak belukar kering. Bergegas dimasukinya gua itu.

"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam gua.

"Aku," sahut orang berbaju serba hitam itu.

Gua ini tidak terlalu panjang, tapi cukup besar. Seonggok api unggun terlihat menyala di bagian tengah, membuat gua ini terasa hangat dan terang. Tampak di salah satu sudut, duduk seorang wanita yang juga mengenakan pakaian hitam. Seluruh kulit tangan, kaki, dan wajahnya mengelupas, seperti bekas terkena api. Juga terdapat benjolan-benjolan seperti bisul di wajahnya. Dan di sudut lain, tampak seorang gadis tengah berbaring dengan tangan terikat merentang. Di samping gadis itu berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya indah dari bahan sutra halus berwarna biru muda.

"Ibu...," ucap pemuda itu seraya bergegas menghampiri orang berbaju hitam yang baru saja datang.

"Bagaimana dia?" tanya wanita berbaju serba hitam itu seraya. melirik gadis yang terbaring dengan tangan terikat.

"Tadi menjerit-jerit. Terpaksa dia kuberi totokan," sahut pemuda itu.
"Dan kau, Anjar?" wanita berbaju hitam itu memandang gadis berwajah buruk.

"Tidak ada masalah. Hanya saja mungkin wajahku tetap begini," sahut wanita itu yang ternyata adalah Nini Anjar.

"Maaf, kau harus menanggung semuanya."

"Ah! Jangan berkata seperti itu, Gusti Permaisuri. Semua ini aku lakukan demi membalas budi Gusti Permaisuri yang begitu besar. Gusti telah menyelamatkan ayahku dari hukuman gantung, menjadi hukuman buang"

"Tapi aku belum bisa mendapat kabar tentang ayahmu yang menjalankan hukuman buang.

"Tidak mengapa, Gusti. Aku sudah tidak memikirkannya lagi."

Wanita berbaju serba hitam yang ternyata memang Permaisuri Retna Nawangsih, kembali mengalihkan pandangan pada pemuda tampan di depannya. Pemuda ini tadi memanggil dirinya dengan sebutan ibu. Sebenarnya, Nini Anjar memang orang suruhan Permaisuri Retna Nawangsih. Untuk melaksanakan niat permaisuri itu, wanita berwajah buruk itu diharuskan menyebarkan kutukan kepada seluruh rakyat. Itulah sebabnya, dia dihukum bakar oleh Prabu Wijaya. Namun, di luar dugaan Nini Anjar bisa bebas, walaupun juga menderita luka bakar.

"Sebentar lagi kau akan jadi raja, Widura. Wajahmu mirip sekali dengan Prayoga. Dan dengan sedikit perubahan saja, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan antara kau dan Prayoga," ujar Permaisuri Retna Nawangsih.

Pemuda yang dipanggil Widura itu hanya tersenyum saja. Dia memang mirip sekali dengan Raden Prayoga. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau Raden Prayoga memiliki kumis tipis di atas bibirnya, Widura sama sekali tidak mempunyai. Dan kalau dia memiliki kumis, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan antara pemuda ini dengan Prayoga.

"Kapan aku akan menduduki tahta, Bu?" tanya Widura.

"Sehari setelah penobatan Prayoga, kau akan menggantikannya. Dan untuk selamanya kau akan menjadi raja di Balungan."

"Tapi, bukankah Prayoga juga anak Ibu...?'

"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu, Widura? Prayoga bukanlah anakku. Waktu aku mengandung dirimu, ada seorang selir yang juga mengandung. Dan kami melahirkan dalam waktu berselisih satu hari saja. Mungkin karena kehendak Yang Maha Kuasa, wajahmu begitu mirip Prayoga, Anakku."

"Tapi, kenapa Ibu harus melakukan semua ini. Juga kenapa aku diasingkan. Bahkan Ibu mengangkat Prayoga sebagai anak?" kembali Widura meminta penjelasan.

"Karena kau juga bukan putra Prabu Wijaya, Anakku. Seperti juga Prayoga yang lahir dari selir. Dia juga bukan putra Prabu Wijaya. Kau tahu, Anakku. Prabu Wijaya tidak akan mendapatkan keturunan. Dia mendapat kutukan dari Dewata, karena telah membunuh anak seekor ular jelmaan Dewa. Seumur hidup, dia tidak akan memiliki keturunan. Itulah sebabnya, kenapa aku mau melakukan penyelewengan hingga kau lahir."

"Tapi, bukankah Ayahanda Prabu Wijaya tahu?"

"Memang benar. Dan aku terbebas dari hukuman setelah berjanji tidak akan berbuat lagi. Maka aku terpaksa membunuh ayah kandungmu yang sebenarnya. Dia adalah salah seorang pembesar istana. Hal ini kulakukan demi kau. Agar kau bisa menjadi Raja Balungan. Sebab untuk menghindari hal hal yang tak diinginkan, Prabu Wijaya menunjuk Prayoga menjadi putra mahkota. Di lain hal, Prabu Wijaya memang sudah tidak kuat lagi menanggung malu karena tidak memiliki keturunan. Bahkan dia juga tidak melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Itu pula sebabnya, kenapa selir-selirnya selalu melakukan penyelewengan. Tapi mereka yang merasa hamil, langsung bunuh diri sebelum dihukum mati Prabu Wijaya. Hanya satu yang bisa hidup. Dan itu karena aku memintanya agar membiarkan selir itu melahirkan Prayoga. Meskipun nantinya aku harus mengasingkan mu. Karena anak selir itu, harus menggantikan mu sebagai anakku."

"Lalu, gadis itu...?"

"Empat tahun setelah kau dan Prayoga lahir, ada lagi seorang selir yang hamil. Aku meminta pada Prabu Wijaya untuk mengasingkan saja selir itu. Kemudian aku berpura-pura mengandung hingga selir itu melahirkan"

"Untuk apa Ibu melakukan hal itu?"

"Karena banyak orang yang tidak percaya kalau Prabu Wijaya bisa memiliki keturunan. Apalagi semua pembesar kerajaan tahu, kalau Prabu Wijaya tidak mungkin memiliki keturunan karena dikutuk Dewata. Dengan cara begini, keraguan semua orang jadi terhapus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu Wijaya padaku, dia memperbolehkan aku merawat dan mengangkat Prayoga serta Dian Lestari sebagai anak. Tanpa seorang pun yang mengetahuinya, kecuali Eyang Wanari. Tapi dia sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini pada siapa pun juga. Dan jika rahasia ini diceritakan pada orang lain, maka dia dan orang itu harus mati."

"Tapi dia telah menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau Neraka, Gusti Permaisuri," selak Nini Anjar.

"Hm, dari mana kau tahu?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Maaf, Gusti Permaisuri. Dalam beberapa hari ini aku sudah bisa ke luar. Dan aku juga pernah bertemu pemuda itu. Bahkan sempat bertarung melawan Eyang Wanari."

"Kenapa kau lakukan itu, Anjar?"

"Aku merasa harus membantumu, Gusti. Karena kudengar mereka mulai mencurigaimu. Terutama sekali Eyang Wanari. Maafkan aku, Gusti. Semua ini kulakukan demi membalas kebaikanmu. Aku banyak berhutang budi padamu. Bukan saja kau menyelamatkan ayahku dari hukuman mati. Tapi juga merawat dan membesarkan ku, setelah Prabu Wijaya membunuh ibuku dan menghanyutkannya ke sungai. Aku pun rela menanggung derita setelah menyebarkan kutukan itu pada rakyat"

"Ah! Sudahlah. Kau tidak perlu mengingat-ingat itu lagi. Biarkan Nyai Legok, ibumu itu tenang. Dan setelah ini, jika kau mau, kau bisa mencari ayahmu."

"Terima kasih, Gusti. Rasanya aku tidak ingin lagi bertemu ayahku."
"Kenapa? Karena sekarang wajahmu rusak?"

Nini Anjar tidak menjawab, dan hanya diam saja. Memang setelah Prabu Wijaya menjatuhi hukuman bakar padanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi bertemu ayahnya kembali, yang kini berada di mana. Apalagi tubuhnya sempat terjilat api. Untung saja Permaisuri Retna Nawangsih cepat menyelamatkannya, tanpa sepengetahuan siapa pun.

"Jika kau ingin memulihkan wajahmu kembali, aku kenal seorang tabib yang bisa mengembalikan kecantikanmu, Anjar," jelas Permaisuri Retna Nawangsih, bisa merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.

"Seperti aku. Wajahku bisa berubah menjadi apa saja. Bahkan aku sempat mengecoh orang-orang istana dengan menyamar sebagai Nyai Legok. Dengan begitu, mereka akan mengira kalau ibumu masih hidup. Jadi, tidak ada yang memusatkan perhatian padamu, atau padaku."

"Terima kasih, Gusti Permaisuri," ucap Nini Anjar.

"Nah! Apa kau masih juga merasa tidak pantas mencari ayahmu?"

Nini Anjar hanya diam saja. Baginya, tidak mungkin bisa memulihkan keadaan wajah dan kulit tubuhnya yang telah rusak begini, akibat terbakar.

"Pergilah ke Gunung Parungu. Temui Nyai Kempala, seorang ahli obat-obatan. Aku pernah belajar beberapa ilmu pengobatan padanya. Aku yakin, kau akan diterima baik dan bisa kembali seperti semula. Katakan saja kalau kau adalah muridku. Dan dia pasti tahu," kata Permaisuri Retna Nawangsih memberi tahu.

"Aku akan ke sana setelah Adi Widura naik tahta, Gusti," sahut Nini Anjar.

"Terima kasih, Nini Anjar. Kau baik sekali," ucap Widura.

Nini Anjar hanya tersenyum saja.

"Sudah pagi. Kalian pasti belum tidur semalaman, tidurlah. Aku akan kembali ke istana. Aku tidak ingin ada yang tahu, kalau aku keluar dari kamar."

"Hati-hati, Ibu."

"Jaga Dian baik-baik. Jangan sampai dia terluka. Aku tidak ingin dia jadi korban. Cukup sampai di situ saja pengorbanannya. Hm.... Maafkan aku, Dian. Terpaksa aku harus mencari seseorang yang bisa kujadikan boneka hidup," kata Permaisuri Retna Nawangsih.

"Akan kuperhatikan pesan Ibu," sahut Widura.

Permaisuri Retna Nawangsih tersenyum, kemudian memutar tubuhnya. Dia langsung cepat melesat pergi. Widura juga bergegas mengikuti, dan merapikan semak yang menutupi mulut gua ini. Dia segera kembali, lalu melirik Nini Anjar yang sudah membaringkan tubuhnya, di atas selembar permadani cukup tebal.

"Bangunkan aku tengah hari nanti, Widura," Nini Anjar berpesan.

"Kau akan keluar lagi?" tanya Widura.
"Aku penasaran pada pemuda itu."
"Pendekar Pulau Neraka...?"

"Benar. Aku ingin tahu, sejauh mana hubungannya dengan Raden Prayoga."
"Mungkin juga hanya teman biasa saja."

"Aku merasa kalau dia bukan hanya sekadar teman. Tampaknya dia telah tahu banyak, dan membahayakan kita semua."

"Jangan menduga terlalu jauh, Kak Anjar."

"Aku hampir saja mati olehnya di hutan ini. Untung saja kau cepat menolongku, Widura. Aku yakin dia sudah tahu banyak. Aku akan menghentikan segala pekerjaannya."

"Apa tidak sebaiknya dibicarakan dulu pada ibu? Widura memberikan saran.
"Ibumu tidak akan mengizinkan. Biar semua ini aku tangani sendiri," Nini Anjar menolak.

"Terserah kau sajalah, asal hati-hati. Tampaknya dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Aku sendiri mungkin tidak akan mampu menghadapinya, meskipun ilmu meringankan tubuhku hampir setara dengan ibu."

"Terima kasih. Kau tidak perlu khawatir tentang aku, Widura," ucap Nini Anjar.
"Selama ini hanya kau yang kukenal. Tidak ada salahnya jika aku mencemaskan mu, Kak."

Nini Anjar hanya tersenyum saja. Ada sedikit keharuan di hatinya mendengar kata-kata pemuda ini. Dia menilai kalau sebenarnya Widura tidaklah seburuk yang disangka orang. Dan pemuda ini pernah mengemukakan isi hatinya, kalau sebenarnya tidak menyetujui tindakan ibunya. Tapi demi bakti terhadap orang tua, dia tidak bisa menolak dan tetap akan membela ibunya. Apa pun yang akan terjadi nanti.

"Tidur saja, Kak. Semalam aku sempat tidur."

Tapi Nini Anjar memang sudah tidur. Dengkurnya begitu halus dan lembut sekali. Dia pasti lelah, karena semalaman tidak memejamkan mata sedikit pun. Sedangkan Widura hanya duduk saja di dekat api unggun. Beberapa kali matanya melirik Dian Lestari yang tampak tertidur lelap.

"Kau cantik sekali, Dian. Sayang, Ibu tidak mengizinkan aku terlalu dekat denganmu," desah Widura.

***

DELAPAN

Permaisuri Retna Nawangsih terkejut ketika membuka pintu kamarnya. Ternyata di dalam kamar sudah berkumpul Raden Prayoga, Pendeta Suratmaja, Patih Laksana, Panglima Pangkar dan Pendekar Pulau Neraka, serta sepuluh orang prajurit. Juga ada beberapa pembesar lainnya.

Sementara buat Panglima Pangkar sendiri, sudah bisa menghapus kecurigaan Pendeta Suratmaja yang menyangka dirinya menyimpan rahasia dalam kemelut ini. Ini dibuktikan di hadapan Raden Prayoga dan Pendekar Pulau Neraka. Pembuktian itu berupa sumpah setia dengan ancaman hukuman bakar. Dan pada kenyataannya, Panglima Pangkar selalu bersama-sama dengan Raden Prayoga. Jadi, tak ada alasan bagi Pendeta Suratmaja mencurigai Panglima Pangkar.

Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih lebih terkejut lagi, karena di belakangnya kini sudah berdiri berjajar sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata tombak dan pedang terhunus.

"Prayoga! Ada apa ini? Kenapa mereka berkumpul semua di sini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Maaf, Bu. Aku terpaksa menangkapmu," jelas Raden Prayoga perlahan. Nada suaranya agak tertahan, dan matanya sedikit merembang berkaca-kaca.

"Menangkapku...? Kau jangan gila, Anakku. Aku ini ibumu. Kenapa kau ingin menangkapku...?" agak keras suara Permaisuri Retna Nawangsih.

"Kenapa Ibu masih menyebutku anak?" Raden Prayoga balik bertanya.

"Prayoga...!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, langsung memerah wajahnya.

"Dari mana Ibu sepagi ini?" tanya Raden Prayoga lagi. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, balik bertanya.

Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kamarnya. Dia mulai merasa kalau segala apa yang telah dilakukannya, pasti sudah terbongkar. Tatapan matanya langsung tertuju pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri di samping Raden Prayoga. Sorot mata penuh kebencian tersirat jelas saat menatap pemuda berbaju kulit harimau itu. Permaisuri Retna Nawangsih yakin kalau Pendekar Pulau Nerakalah yang telah membongkar semua kepalsuan dan keinginannya untuk menguasai Kerajaan Balungan secara penuh.

"Keluar kalian semua!" bentak Permaisuri Retna Nawangsih.

Namun tidak ada seorang pun yang beranjak. Permaisuri Retna Nawangsih mulai mengepalkan tangannya. Disadari kalau tidak mungkin lagi bisa berdalih. Dan pasti mereka semua telah menunggunya kembali dari hutan.

"Mereka pasti sudah tahu kalau aku yang membunuh Eyang Wanari," gumam Permaisuri Retna Nawangsih dalam hati. "Ini pasti perbuatan anak muda keparat itu...!"

Kembali Permaisuri Retna Nawangsih menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang ditatap, membalas tidak kalah tajam.

"Kenapa ini harus terjadi, Bu? Apakah Ibu tidak sadar, kalau niat buruk pasti akan ketahuan juga...?" terdengar jelas kalau suara Raden Prayoga semakin tersendat.

"Membalas kematian adikku!" sahut Permaisuri Retna Nawangsih tegas.

Dia merasa tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Dan ini memang sudah diperkirakan sejak semula. Tapi sama sekali tidak disangka kalau akan terbongkar begitu cepat, sebelum maksud utamanya menguasai seluruh wilayah Kerajaan Balungan terlaksana. Di samping itu, dia ingin menempatkan putranya sebagai raja di kerajaan ini.

"Prabu Wijaya telah membunuh adikku yang bernama Nyai Legok. Dan aku sudah bersumpah untuk, membalas dendam. Nah! Kau sudah puas, Prayoga...?" tetap lantang suara Permaisuri Retna Nawangsih.

Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut mendengar pengakuan Permaisuri Retna Nawangsih. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau wanita ini adalah kakak Nyai Legok, seorang penari yang diangkat selir oleh Prabu Wijaya. Tapi Nyai Legok melakukan penyelewengan, sehingga Prabu Wijaya sendiri yang memberikan hukuman mati. Lalu, panglimanya diperintahkan membuangnya ke sungai. Selama itu memang tidak ada yang tahu tentang asal-usul Nyai Legok. Bahkan tidak ada yang tahu kalau penari yang diangkat selir itu sudah mempunyai anak, yaitu Nini Anjar.

"Maaf, Bu. Aku harus menangkapmu. Dan sebaiknya ibu jangan melakukan perlawanan, agar hukumannya lebih ringan," kata Raden Prayoga, dengan perasaan berat.

"Ha ha ha?! Tidak semudah itu menangkapku, Prayoga!"

Selesai berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih seketika bergerak cepat. Tubuhnya diputar sambil mencabut pedang kembarnya yang tersembunyi di balik lipatan baju. Wanita separuh baya ini sudah berganti baju, tidak lagi mengenakan pakaian hitam-nya.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Begitu cepat gerakan yang dilakukan Permaisuri Retna Nawangsih, sehingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan tahu-tahu terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya beberapa prajurit di belakang perempuan separuh baya itu. Dan sebelum ada yang sempat berbuat sesuatu, perempuan separuh baya itu sudah melompat cepat keluar dari kamar ini.

Hihaaa....'"
Brak!

Jendela kamar seketika hancur berantakan diterjang Permaisuri Retna Nawangsih. Di saat tubuh perempuan separuh baya itu melesat dengan menerobos jendela, saat itu juga Bayu melesat cepat mengejar, Gerakan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

"Kenapa kalian diam saja...? Kejar...!" teriak Panglima Pangkar, yang lebih dahulu tersadar yang lainnya. Mereka semua tersentak kaget mendengar bentakan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung berlompatan menerobos jendela yang sudah hancur untuk mengejar Permaisuri Retna Nawangsih.

"Bayu.... Heh! Di mana Bayu...? Kalian melihatnya...?" Raden Prayoga tersentak bangun dari keterpanaannya, sehingga langsung menanyakan Pendekar Pulau Neraka. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang masih tinggal menemani, tidak ada yang menjawab. Mereka juga baru tersadar, kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ada lagi di ruangan besar dan megah ini.

"Ke mana yang lainnya...?" tanya Raden Prayoga lagi. Dia seperti orang kebingungan saja.

"Mengejar Gusti Permaisuri, Raden. Dan kami harus menjaga keselamatan Raden di sini," sahut panglima yang sudah berusia sekitar empat puluh tahun lebih.

"Ke mana perginya?"
"Ke arah Timur."

Raden Prayoga tidak bertanya lagi. Sejenak ditatapnya jendela yang jebol berantakan. Tanpa berkata apa pun lagi, pemuda yang senang mengenakan baju warna putih itu melesat cepat menerobos jendela kamar ini. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang berada di dalam kamar ini bergegas berlompatan mengikuti Raden Prayoga. Sebentar saja, kamar itu sudah sepi. Tak terlihat seorang pun, selain dua orang prajurit penjaga pintu kamar ini.

***

Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih sudah jauh meninggalkan Istana Balungan. Dia terus menuju ke arah Timur wilayah Kerajaan Balungan ini. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang. Tampak beberapa orang berlari cepat mengejarnya. Jarak mereka memang terlalu jauh.

"Hiyaaa.,.!"

Permaisuri itu melompat indah begitu sampai dihutan tempat persembunyiannya selama ini. Tubuhnya langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Wanita separuh baya itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dia sengaja tidak berlari untuk menghi-langkan jejak dari para pengejarnya.

"Hup....'"

Permaisuri Retna Nawangsih meluruk turun sampai di sebuah tempat yang penuh semak kering. Tempat ini agak sedikit lapang, dan pepohonan juga tidak begitu rapat. Sebentar kepalanya menoleh ke kenan dan ke kiri, lalu kakinya terayun menuju sebuah gerumbul semak kering tepat di depannya. Ayunan kakinya begitu cepat, dan tampak kalau amat tergesa-gesa sekali.

Srek!
"Cukup nyaman juga tempat ini...."
"Heh...?!"

Permaisuri Retna Nawangsih terkejut bukan main begitu menyibakkan semak, terdengar suara dari arah belakangnya. Cepat tubuhnya berputar. Kedua bola matanya semakin terbeliak begitu melihat Pendekar Pulau Neraka tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Bisa saja tadi pagi aku menangkapmu. Tapi aku ingin pihak kerajaan sendiri yang menangkapmu, Permaisuri Retna Nawangsih," kata Bayu, terdengar sinis nada suaranya.

"Phuih! Kau pikir begitu mudah menangkapku Pendekar Pulau Neraka...?" desis Permaisuri Retna Nawangsih geram.

"Semudah membalikkan telapak tangan."
"Setan..! Hiyaaa...!"

Permaisuri Retna Nawangsih tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Kini benar-benar jelas. Ternyata Pendekar Pulau Neraka menguntitnya tadi pagi hingga sampai ke tempat ini. Dan sekarang pemuda berbaju kulit harimau itu sudah menunggu disini. Hal itu membuat kemarahannya semakin bertambah. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka itu dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, dan dahsyat luar biasa.

"Hup! Yeaaah...!"

Kali ini Permaisuri Retna Nawangsih benar benar tidak lagi memberi kesempatan bagi Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu terus dicecarnya, tanpa memberi sedikit pun kesempatan untuk mengambil napas. Sepasang pedang tipis kecil di tangan perempuan separuh baya itu berkelebatan cepat. Begitu cepatnya, sehingga hanya kilatan sinar keperakan saja yang terlihat mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.

Pertarungan itu berjalan semakin sengit, karena Permaisuri Retna Nawangsih langsung mengerahkan jurus-jurus mautnya. Akibatnya Pendekar Pulau Neraka agak kewalahan menghadapinya. Beberapa kali pedang lawan hampir bersarang di tubuhnya, namun pemuda berbaju kulit harimau itu masih mampu mengelakkannya. Bahkan mampu pula memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkis tebasan pedang itu dengan Cakra Maut yang berada dipergelangan tangan kanannya.

Setiap kali senjata beradu keras, selalu menimbulkan percikan bunga api disertai ledakan keras menggelegar, dentingan dua logam beradu. Suara ribut pertarungan itu membuat Widura dan Nini Anjar yang berada di dalam gua yang tertutup semak belukar keluar dari persembunyiannya. Mereka terkejut bukan main melihat Permaisuri Retna Nawangsih tengah bertarung. Dan pada saat itu, Permaisuri Retna Nawangsih mulai kewalahan menerima serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya meliuk ke kanan. Lalu dengan tubuh agak berputar sedikit, Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Serangan yang dilakukan Bayu begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga, Permaisuri Retna Nawangsih tidak dapat lagi menghindar, karena baru saja menghindari satu tendangan pancin-gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.

Des!

"Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih terpekik keras agak tertahan.

Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam dada perempuan separuh baya itu, hingga terlempar sejauh tiga batang tombak ke belakang.

"Ibu...!" seru Widura terperanjat.

Sebentar pemuda itu memandang Permaisuri Retna Nawangsih, lalu mendesis menatap Pendekar Pulau Neraka.

"Keparat! Kau sakiti ibuku...! Hiyaaat..!
"Widura, jangan...!" teriak Permaisuri Retna Nawangsih.

Namun Widura sudah keburu melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya langsung dicabut, dan ditebaskan ke arah leher Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka menarik kepala ke belakang, sehingga tebasan pedang Widura hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Sebelum Widura bisa menarik pulang pedangnya, Bayu sudah memberi satu sodokan keras ke arah perut. Widura terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau Bayu bisa melakukan serangan cepat di saat tengah menghindari satu serangan.

Begkh!
"Hegk...!"

Widura mengeluh pendek. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di perut Widura, sehingga membuat pemuda itu terbungkuk. Dan pada saat itu, Bayu cepat melontarkan satu pukulan keras ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, Widura meraung keras begitu pukulan yang dilepaskan Bayu menghantam wajahnya.

"Hiyaaa...!"

Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung memberikannya satu tendangan keras menggeledek ke tubuh Widura. Akibatnya pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu deras sekali terpental jauh belakang, diiringi jeritan panjang melengking tinggi.

"Hiyaaat..!"

Belum lagi bisa menarik napas lega, Nini Anjar sudah melompat menyerang cepat bagai kilat. Pada saat yang sama, Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah bisa bangkit juga kembali menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini Bayu harus menghadapi dua serangan sekaligus. Namun dua orang wanita itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Hal ini terbukti dari serangan-serangan yang datang, sehingga membuat Bayu benar benar kewalahan dibuatnya. Pada saat Bayu benar-benar kewalahan, datang para panglima, patih, dan prajurit Balungan yang tadi mengejar Permaisuri Retna Nawangsih. Kedatangan mereka membuat kedua wanita yang tengah menyerang itu menjadi terkejut. Bahkan kini serangan-serangan mereka tidak terkendali lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan Bayu untuk balas memberi serangan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Cepat tubuh Bayu melenting ke udara. Dan secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Nini Anjar berhasil menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka dengan memiringkan tubuh ke kanan. Tapi Permaisuri Retna Nawangsih terlambat bertindak. Sehingga satu pukulan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka bersarang didadanya.

Begkh!
"Akh...!"

Permaisuri Retna Nawangsih menjerit kencang. Perempuan setengah baya itu kembali terlontar deras ke belakang. Pada saat itu, Panglima Pangkar melompat cepat meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang tengah bergulingan di tanah. Tapi sebelum pedangnya sempat dihunjamkan ke tubuh perempuan separuh baya itu, Widura sudah lebih dahulu melompat. Pedangnya langsung dibabatkan ke pedang Panglima Pangkar.

Trang!
"Hup!"

Panglima Pangkar cepat melompat ke belakang dua tindak. Belum lagi panglima itu melakukan sesuatu, dua puluh prajurit ditambah tiga panglima lain serta dua orang patih, sudah meluruk menyerang Widura. Sedangkan yang lainnya langsung meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah mampu berdiri kembali.

"Kalian selamatkan Dian di dalam gua...!" teriak Bayu lantang. Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana yang dengar teriakan Bayu, bergegas masuk ke dalam gua, Sementara Bayu terus menghadapi Nini Anjar. Namun gadis itu kelihatan mulai goyah setelah melihat sekelilingnya sudah terkepung puluhan prajurit bersenjata lengkap.

"Aaa...!" terdengar jeritan panjang melengking" tinggi dan menyayat.

"Ibu...!" teriak Widura begitu melihat ibunya terkapar bersimbah darah.

Sebatang pedang seorang panglima, telah menghunjam dalam di dada Permaisuri Retna Nawangsih. Jeritan Widura ternyata membuat Nini Anjar lengah. Gadis itu tidak bisa menghindar lagi ketika Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan keras bertenaga dalam penuh ke dadanya.

Dieghk!
"Aaakh...!" Nini Anjar menjerit.
"Hiyaaa...!"

Di saat tubuh Nini Anjar terpental ke belakang, Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu meluncur deras. Dan....

Crab!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang mengiringi kematian Nini Anjar begitu dadanya tertembus Cakra Maut. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Begitu Cakra Maut terlepas, darah langsung muncrat dari dada Nini Anjar.

"Hiyaaa...!"

Bayu langsung melompat ke arah Widura. Sempat disambarnya pedang salah seorang prajurit. Satu tendangan dilepaskan Pendekar Pulau Neraka itu. Widura yang tengah terguncang perasaannya akibat kematian ibunya di tangan salah seorang panglima, tak dapat lagi menghindari tendangan Bayu.

Degkh!
"Akh...!"

Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dada Widura, hingga terpental ke belakang. Bayu cepat memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leher Widura, sehingga tidak mampu berkutik lagi. Dua orang prajurit bergegas mendekat langsung meringkus pemuda itu. Widura benar-benar tak berdaya lagi. Dia hanya bisa memandang lesu mayat ibunya yang tergeletak dengan pedang menembus dada. Tepat di saat Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana membawa keluar Dian Lestari, Raden Prayoga, seorang panglima dan prajurit pengawalnya sampai di tempat ini. Raden Prayoga bergegas menghampiri gadis yang kelihatan lemah dan pucat itu.

"Oh! Syukurlah kau selamat, Rayi...," ujar Raden Prayoga.

Dian Lestari hanya tersenyum tipis dan lemah sekali. Pendeta Suratmaja tetap memapahnya agar bisa berdiri. Raden Prayoga memandangi mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan mayat Nini Anjar. Kemudian, pandangannya beralih pada Widura. Dia agak terkejut melihat wajah Widura mirip dengannya.

"Siapa dia?" tanya Raden Prayoga.

"Namanya Widura. Anak kandung Gusti Permaisuri Retna Nawangsih," sahut Patih Laksana.

"Ooo.... Jadi dia ini yang akan dijadikan raja?" terdengar sinis nada suara Raden Prayoga. "Bawa dia pergi, dan masukkan ke penjara!"

Widura digiring dengan tangan terikat tambang. Raden Prayoga kemudian menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Ditepuk-tepuknya pundak Bayu dengan hangat, kemudian dipeluknya bagai seorang saudara.

Sementara Bayu membiarkan saja.

"Terima kasih. Tanpa mu, mungkin saat ini aku sudah mati," ucap Raden Prayoga.

"Ah! Ini semua berkat kesigapan mereka juga, Raden," Bayu merendah.

"Mari. Kau jadi tamu kehormatanku di istana. Kau tidak ingin menolaknya, kan...?"

Bayu tidak mungkin lagi menolak, karena tawaran Raden Prayoga bernada memaksa. Raden Prayoga tersenyum senang melihat Bayu mengangguk. Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk menguburkan mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan Nini Anjar, kemudian Bayu dan Dian diajak untuk kembali ke istana.

"Bayu, apakah aku pantas menduduki tahta?" tanya Raden Prayoga berbisik.
"Tentu saja, Raden. Bagaimanapun juga, kau putra Prabu Wijaya," sahut Bayu.

"Tapi aku anak selir yang menyeleweng."

"Tidak ada yang tahu, Raden. Dan rahasia ini akan terbawa bersama kepergianku."

"Kau akan meninggalkan Balungan?"

Bayu mengangguk pasti. Raden Prayoga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin ditahan untuk tetap tinggal di Istana Balungan. Dia tahu, seorang pendekar kelana tidak akan bisa menetap pada satu tempat.

"Kuharap kau sudi berkunjung suatu saat, Bayu," pinta Raden Prayoga penuh harap.

"Akan ku usahakan, Raden."

"Aku akan mengangkat saudara padamu. Dan itu akan ku umumkan pada hari penobatan ku nanti. Untuk itu, Kau harus tetap berada di istana sampai pada hari penobatan. Setelah itu, aku tidak bisa lagi menahan jika memang pengembaraanmu hendak kau lanjutkan. Hanya itu yang kuminta, Bayu. Sebagai rasa terima kasihku padamu."

Bayu diam saja. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa cepat memutuskan permintaan Raden Prayoga. Dan sebenarnya dia ingin terus melanjutkan pengembaraannya. Namun hati kecilnya tidak ingin membuat Raden Prayoga kecewa.

"Akan ku pikirkan dulu, Raden," ujar Bayu.

"Ya. Aku juga tidak memaksamu"

Bayu hanya tersenyum saja. Sementara mereka terus berjalan menuju Kotaraja Balungan. Sepanjang perjalanan mereka, matahari ikut mengiringi. Mendung telah terhapus dari langit Balungan. Seluruh rakyat bisa bernapas lega. Dan mereka tinggal menunggu saat penobatan raja baru mereka yang sempat gagal.




SELESAI

Prahara Di Pantai Selatan

Selir Raja

SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Selir Raja
Karya: Teguh Suprianto
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Pendekar pulau neraka Episode selir raja

SATU


Siang itu keadaan di Kotaraja Balungan tampak lain dari biasanya. Hampir semua orang berbondong-bondong datang ke sebuah lapangan di depan Istana Balungan. Lapangan luas yang disebut alun-alun itu seakan-akan tidak mampu menampung orang yang terus berdatangan memadatinya. Kedatangan mereka adalah untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman bakar yang akan dilakukan siang ini di sana. Dan memang, di tengah-tengah lapangan luas itu terlihat sebatang tonggak kayu yang berdiri tegak di tengah-tengah tumpukan kayu bakar. Pada tonggak kayu, tampak terikat seorang wanita cantik mengenakan baju hitam ketat, dari bahan sutra halus.

Begitu ketatnya, sehingga tubuhnya yang indah dan ramping membentuk lekuk-lekuk yang menggairahkan. Dia terikat di tonggak dengan tangan ke belakang. Sekitar tiga puluh prajurit bersenjata lengkap mengelilingi tonggak kayu itu. Tampak seorang laki-laki bertubuh tegap berada di atas punggung kuda hitam. Sedangkan enam orang berpakaian prajurit tengah memegang obor menyala di kanan kirinya. Mata laki-laki itu menatap tajam wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak. Sedangkan yang ditatap malah mengarahkan pandangannya ke bangunan istana yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh.

"Sebelum hukuman ini dilaksanakan, apa permintaanmu yang terakhir, Nini Anjar?" terdengar lantang suara laki-laki di atas punggung kuda hitam yang mengenakan pakaian panglima itu.

Perempuan berbaju hitam yang dipanggil Nini Anjar hanya menyunggingkan senyuman saja, seakan-akan tidak peduli kalau sebentar lagi akan mati dibakar. Di-balasnya tatapan panglima itu dengan tajam pula.

"Gusti Prabu Wijaya akan mengabulkan permintaan terakhirmu, Nini Anjar," tegas panglima itu lagi.

"Terima kasih. Sebaiknya sampaikan saja pada Gusti Prabu untuk memperhatikan kata-kataku, Panglima Pangkar," lembut sekali suara Nini Anjar, namun terasa hambar dan datar.

Laki-laki di atas punggung kuda hitam yang bernama Panglima Pangkar itu hanya tersenyum saja. Ketika tangannya memberikan isyarat, maka enam orang yang membawa obor bergerak maju. Mereka mengelilingi wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak kayu.

"Dengar, Nini Anjar. Kau akan diampuni jika mencabut kembali kata-katamu itu. Tidak ada seorang pun yang sudi mempercayainya. Bahkan kau telah membuat Gusti Prabu Wijaya murka. Jika kata-katamu tidak mau dicabut, maka kau harus rela menerima hukuman ini," tegas Panglima Pangkar, bernada membujuk.

"Kalian akan menyesal. Percayalah...," kata Nini Anjar datar.

"Bakar...!" perintah Panglima Pangkar lantang.

Tanpa diperintah dua kali, enam orang yang memegang obor langsung melemparkan obornya ke tumpukan kayu itu. Seketika api berkobar membesar, melahap kayu bakar. Lidah-lidah api mulai menjilati tubuh wanita itu. Namun Nini Anjar tetap tersenyum dingin, disertai sorot mata tajam. Api terus berkobar semakin besar. Dan tubuh Nini Anjar benar benar tertutup api. Namun, tak sedikit pun terdengar keluhan. Apalagi jeritan kesakitan. Hal ini membuat Panglima Pangkar dan semua orang yang menyaksikan jadi keheranan. Pada saat seluruh kayu-kayu terbakar, mendadak saja....

Glarrr!

Satu ledakan keras tiba-tiba terdengar bagai letusan gunung berapi. Dan itu jelas berasal dari api yang berkobar semakin besar. Bunga-bunga api memercik, membumbung tinggi ke angkasa. Semua orang yang memadati alun-alun terbengong kaget. Dan sebelum hilang keterkejutan mereka....

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa terbahak-bahak.
Bagaikan ada yang memberi perintah, semua orang yang memadati alun-alun berserabutan pergi. Jerit ketakutan terdengar membahana. Akibatnya suasana yang semula sunyi, mendadak jadi gaduh. Bahkan para prajurit mulai kelihatan gelisah. Mereka mulai bergerak mundur perlahan-lahan. Saat itu semua orang sudah meninggalkan lapangan luas ini. Tinggal Panglima Pakar dan para prajuritnya yang masih bertahan pada tempatnya.

Glarrr?.!

Satu ledakan keras kembali terdengar menggelegar, membuat Panglima Pangkar dan para prajuritnya terperanjat kaget. Mereka semakin terkejut, begitu tiba-tiba kobaran api mendadak padam. Tonggak kayu yang menghitam hangus masih tetap terpancang tegak. Namun, disana tidak ada lagi Nini Anjar.

"Ehh! Ke mana dia?" desis Panglima Pangkar keheranan. Dan sebelum panglima itu memperoleh jawaban, mendadak saja berkelebat cepat sebuah bayangan hitam. Panglima Pangkar cepat melompat dari punggung kuda, maka terjangan bayangan hitam tidak sampai menghantamnya. Namun pada saat yang sama, terdengar jeritan melengking tinggi saling sambut. Itu pun masih di susul bergelimpangannnya para prajurit yang belum bisa menyadari, apa yang terjadi. Bayangan hitam itu terus berkelebat cepat, menghajar para prajurit, tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bisa melakukan sesuatu.

"Celaka...," desis Panglima Pangkar.

Bagaikan kilat, Panglima Pangkar melompat keatas punggung kudanya. Dan secepat itu pula kudanya digebah menuju pintu gerbang istana.

"Aku harus melaporkan kejadian ini pada Gusti Prabu. Hiya! Hiyaaa...!"

Sementara bayangan hitam itu masih saja berkelebat menghajar para prajurit. Jeritan dan pekikan menyayat terus terdengar saling sambut. Dalam waktu sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras di tubuh-tubuh yang koyak, seperti terkena cakaran binatang buas.

"Hiya! Buka pintu..,! Yeaaah...!" teriak Panglima Pangkar keras menggelegar.

Pintu gerbang yang sejak tadi tertutup, perlahan-lahan terbuka. Tanpa memperlambat lari kudanya, panglima itu terus menerobos masuk. Pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal kembali bergerak menutup begitu Panglima Pangkar melewatinya. Tepat pada saat itu, semua prajurit yang berada dialun-alun sudah tewas bersimbah darah. Tak ada seorang pun yang tersisa. Sedangkan bayangan hitam itu juga lenyap, entah ke mana. Tak ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya. Suasana di alun-alun depan istana kini mendadak jadi sunyi senyap. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan. Tak ada seorang pun terlihat di sana.

Sementara Panglima Pangkar sudah mendekati bagian depan istana. Dia langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu sampai di depan tangga istana. Gerakannya sangat ringan,.pertanda kepandaiannya cukup tinggi. Begitu kakinya menjejak undakan pertama, panglima itu langsung berlari cepat menaiki anak-anak tangga yang berjumlah dua puluh. Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan segera membungkuk memberi hormat. Namun Panglima Pangkar tidak mempedulikan sama sekali, dan malah terus melangkah cepat setengah berlari menerobos masuk. Dia langsung menuju Balai Sema Agung, tempat Prabu Wijaya tengah berbincang-bincang bersama pembesar-pembesarnya.

Mereka semua terkejut melihat kedatangan Panglima Pangkar yang begitu tergesa-gesa. Terlebih lagi, seluruh wajahnya terlihat pucat bersimbah keringat. Panglima Pangkar cepat berlutut di depan Prabu Wijaya yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun.

"Ada apa, Panglima Pangkar? Kenapa kelihatan begitu tergesa-gesa?" tanya Prabu Wijaya langsung.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba... hamba...," jawab Panglima Pangkar terbata-bata.

"Ada apa?! Bukankah kau bertugas melaksanakan hukuman mati bagi Nini Anjar?" agak keras suara Prabu Wijaya.

Sebentar Panglima Pangkar terdiam, lalu menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Sedangkan Prabu Wijaya kelihatan tidak sabar menunggu. Dari raut wajah dan sorot matanya, sudah bisa diduga-duga, apa yang akan dikatakan panglimanya ini.

"Hamba memang bertugas untuk melakukan hukuman bagi Nini Anjar, Gusti Prabu. Semua sudah dilaksanakan sesuai perintah. Tapi...," laporan Panglima Pangkar terputus.

"Tapi kenapa, Panglima? Teruskan...," desak Prabu Wijaya semakin terlihat gelisah.

"Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia..., dia bisa lolos sewaktu api membakar tubuhnya," dengan suara perlahan dan terputus-putus, Panglima Pangkar melaporkan kejadian sebenarnya di alun-alun istana tadi.

"Apa...?!" sentak Prabu Wijaya terkejut. "Mustahil.... Tidak Mungkin...!"

Begitu terkejutnya, sampai-sampai Prabu Wijaya terlonjak berdiri dari singgasana. Wajahnya seketika memerah. Meskipun sejak semula sudah menduga akan menerima laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati, tapi saat mendengar laporan itu tetap saja Raja Kerajaan Balungan ini terkejut. Bukan hanya Prabu Wijaya yang terperanjat. Bahkan semua orang yang berada di dalam Balai Sema Agung ini juga tersentak kaget begitu menerima laporan Panglima Pangkar. Mereka memandangi panglima itu, seakan-akan ingin mendengar lagi laporan yang sangat mengejutkan tadi.

"Panglima! Jelaskan semua kejadiannya," pinta Prabu Wijaya setelah duduk kembali di singgasananya.

Tanpa diminta dua kali, Panglima Pangkar menjelaskan semua peristiwa yang terjadi di alun-alun tadi dengan hati-hati dan suara pelan. Sedapat mungkin Panglima Pangkar mencoba untuk tetap tenang saat memberikan penjelasan. Semua yang ada di dalam Balai Sema Agung ini mendengarkan penuh perhatian. Tak seorang pun membuka suara, sampai Panglima Pangkar menyelesaikan laporannya. Untuk beberapa saat, keadaan jadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang membuka mulut. Semua kepala tertunduk dengan kening berkerut.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hukumlah hamba, karena telah gagal melaksanakan titah," ucap Panglima Pangkar seraya memberi sembah.

Prabu Wijaya hanya diam merenung saja. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Entah, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya saat ini. Yang jelas, Prabu Wijaya kelihatan begitu gelisah.

"Hm.... Perempuan itu harus ditangkap hidup atau mati. Dia bisa menjadi ancaman terbesar bagi seluruh rakyat negeri ini," tegas Prabu Wijaya. Suaranya terdengar bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?" tanya Panglima Pangkar.

"Tidak ada," sahut Prabu Wijaya pelan.

Panglima Pangkar memandangi Prabu Wijaya, seakan-akan tidak mempercayai jawaban yang didengarnya barusan. Persoalan ini memang tidak seperti biasanya. Walaupun hanya seorang wanita yang harus mereka hadapi, tapi dia bisa menghancurkan seluruh negeri ini. Kata-kata yang diucapkannya begitu berbisa, dan berbahaya sekali.

"Ampun, Gusti Prabu...," tiba-tiba seorang laki-laki tua berjubah kuning, dan berkepala gundul menyelak.

Laki-laki tua berjubah kuning yang selalu menggenggam tasbih batu hitam itu membungkuk memberi hormat Prabu Wijaya dan semua orang yang berada diruangan Balai Sema Agung memandang ke arah laki-laki tua berjubah kuning ini. Sedangkan yang dipandangi tampak tidak peduli. Bahkan malah bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke depan. Setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah di depan Prabu Wijaya, dia berhenti. Kembali tubuhnya membungkuk memberi hormat.

"Ada apa, Paman Suratmaja?" tanya Prabu Wijaya.

"Ampun, Gusti Prabu. Menurut hamba, pencegahan lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan yang bakal terjadi nanti. Hamba merasa yakin, peristi-wa ini akan berbuntut panjang. Dan sudah pasti akan merugikan sekali. Kita tidak boleh menganggap remeh Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia bukan wanita sembarangan. Di samping kutukannya yang terkenal, kepandaiannya pun sangat tinggi. Sukar untuk dicari tandingannya."

"Hm...," Prabu Wijaya menggumam sambil mengelus-elus janggutnya yang hanya sedikit ditumbuhi rambut halus.

Agak lama juga Prabu Wijaya terdiam, memikirkan saran yang diajukan Pendeta Suratmaja. Memang dalam keadaan seperti ini, Nini Anjar tidak bisa dipandang remeh. Tapi bukan watak Prabu Wijaya yang begitu saja mudah menyerah. Terlebih lagi, mereka hanya menghadapi seorang wanita berkepandaian tinggi. Sedangkan ratusan prajurit asing saja sanggup mereka hadapi.

"Akan ku pikirkan saran mu, Paman Pendeta," ujar Prabu Wijaya, tidak ingin mengecewakan Pendeta Suratmaja.

"Hamba, Gusti Prabu," ucap Pendeta Suratmaja seraya memberi hormat.

Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu kembali ke tempat semula. Sementara suasana kembali menjadi sunyi. Tanpa berbicara lagi, Prabu Wijaya bangkit berdiri dari singgasana, kemudian melangkah perlahan meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini. Semua orang yang berada di ruangan itu bergegas berdiri, dan membungkuk memberi hormat. Sepeninggal Prabu Wijaya, ruangan besar dan indah itu bagaikan dipenuhi lebah. Suara-suara menggumam terdengar memenuhi ruangan Balai Sema Agung. Pendeta Suratmaja mendekati Panglima Pangkar. Sementara satu persatu orang-orang yang berada di ruangan itu beranjak pergi.

"Kau bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya secara jelas padaku, Panglima Pangkar?" pinta Pendeta Suratmaja.

Panglima Pangkar tidak langsung menjawab. Dipandanginya laki-laki tua berkepala gundul itu, seakan-kan sedang mempertimbangkan permintaan Pendeta Suratmaja barusan.

"Aku rasa, persoalan ini bukan urusan para panglima saja, Panglima Pangkar. Biar bagaimanapun, aku juga merasa bertanggung jawab atas keselamatan kerajaan ini," tegas Pendeta Suratmaja lagi.

"Aku sudah jelas menceritakannya, Paman Pendeta," ujar Panglima Pangkar.

"Aku yakin ada yang kau sembunyikan, Panglima Pangkar," Pendeta Suratmaja tidak mau percaya. Memang tadi Panglima Pangkar sudah mengatakan semua peristiwa di alun-alun. Dan semua orang sudah mendengarnya. Demikian pula Pendeta Suratmaja. Panglima Pangkar semakin dalam memandangi pendeta gundul berjubah kuning ini. Ada terselip sedikit kecurigaan atas desakan Pendeta Suratmaja. Tapi dia tidak tahu, apa yang membuatnya mempunyai perasaan curiga.

"Baiklah, bila kau tidak ingin mengatakannya padaku, Panglima Pangkar. Tapi aku yakin, kau menyembunyikan sesuatu. Dan yang pasti, aku bisa mengetahuinya," kata Pendeta Suratmaja, bernada seolah-olah menyerah.

Tidak ada yang bisa ku sembunyikan, Paman Pendeta," tegas Panglima Pangkar.

"Mungkin kau bisa memberikan kepercayaan pada orang lain. Bahkan mungkin Prabu Wijaya sendiri mempercayaimu. Tapi, kulihat ada sesuatu yang kau sembunyikan, Panglima Pangkar. Dan itu menjadi rahasiamu sendiri," Pendeta Suratmaja tetap tidak percaya.

"Apa maksudmu berkata demikian, Paman Pendeta?" Panglima Pangkar mulai tidak senang.

Pendeta Suratmaja hanya tersenyum saja, kemudian melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini. Sementara Panglima Pangkar masih berdiri tegak memandangi kepergian laki-laki tua gundul berjubah kuning itu. Ruangan ini kembali sepi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Perlahan-lahan Panglima Pangkar mengayunkan kakinya, meninggalkan ruangan besar yang indah ini. Hatinya masih tidak mengerti akan sikap Pendeta Suratmaja barusan.

"Apa sebenarnya keinginan Pendeta Suratmaja? Aku tidak menyembunyikan apa-apa, tapi kenapa dia terus mendesak ku...?"

Panglima Pangkar berbicara sendiri dalam hati. Memang dalam keadaan seperti ini, kecurigaan seseorang cepat sekali timbul. Dan itu kini disadari oleh Panglima Pangkar. Namun dalam hati, Panglima Pangkar bertekad untuk membuktikan kalau dirinya tidak terlibat dalam kemelut ini.

***

DUA

Malam sudah demikian larut. Sejak siang tadi setelah pertemuan di Balai Sema Agung, Prabu Wijaya mengurung diri dalam kamar pribadinya. Tidak ada seorang pun di dalam kamar ini, kecuali dirinya sendi-ri. Laki-laki setengah baya itu berdiri mematung di depan jendela. Matanya lurus tidak berkedip memandangi sang rembulan yang bersinar penuh. Begitu cantik dan indah. Namun semua kecantikan dan keindahan malam ini tidak dapat dirasakan Prabu Wijaya. Hati dan pikirannya begitu kacau, setelah mendengar laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati Nini Anjar. Terlebih lagi, seluruh prajurit yang mengawal pelaksanaan hukuman itu tewas. Tak seorang pun yang diberi kesempatan hidup. Hanya Panglima Pangkar saja yang berhasil lolos dari maut. Prabu Wijaya sendiri hampir tidak percaya, kalau seseorang yang sudah terbakar masih bisa lolos. Bahkan sempat membunuh puluhan prajurit sebelum menghilang.

"Heh...! Uts!"

Prabu Wijaya tersentak kaget, ketika tiba-tiba melihat sebuah benda berwarna kuning keemasan tiba-tiba meluruk deras ke arahnya. Cepat tubuhnya ditarik ke kanan, maka benda berwarna kuning keemasan itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya dan langsung menancap di dinding. Prabu Wijaya cepat melompat, menjauhi jendela.

"Keris emas...," desis Prabu Wijaya begitu melirik ke arah benda kuning keemasan yang menancap didinding. Benda itu memang berbentuk keris kecil berwarna kuning keemasan. Hanya ujungnya saja yang menancap di dinding, tapi kelihatannya begitu kuat. Prabu Wijaya menjulurkan tangan, untuk meraih keris kecil itu. Dicobanya mencabut benda berwarna kuning keemasan itu, tapi sia-sia. Bahkan bergerak saja tidak sama sekali.

"Hih...!"

Prabu Wijaya terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk mencabut keris kecil keemasan itu. Baru setelah tenaga dalamnya dikerahkan, benda berkeluk tujuh itu bisa tercabut Prabu Wijaya mengamati sebentar, kemudian memandang ke arah jendela yang masih terbuka lebar.

"Nyai Legok..? Tidak mungkin...!" desis Prabu Wijaya.
"Apa yang tidak mungkin bisa saja terjadi, Prabu Wijaya...!"

"Heh...?!"

Prabu Wijaya tersentak kaget. Dan belum lagi keterkejutannya hilang, mendadak dari jendela meluncur masuk sebuah bayangan hitam. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan laki-laki setengah baya itu telah berdiri seseorang mengenakan baju hitam longgar dan panjang. Rambutnya yang panjang, meriap tidak teratur. Sebagian wajahnya tertutup rambut. Prabu Wijaya sedikit bergidik begitu melihat wajah orang itu. Begitu mengerikan Karena, sebelah pipinya terkelupas, sehingga menampakkan tulang pipinya yang dihiasi tulang gigi. Dan pipi sebelahnya lagi berwarna hitam bagai terbakar hangus. Tidak ada sebuah benda pun yang tergenggam di tangannya. Juga tidak ada satu senjata melekat di tubuhnya.

"Siapa kau?" tanya Prabu Wijaya setelah dapat menguasai diri.

"Wajahku memang sudah berubah, Prabu Wijaya. Tapi aku yakin kau masih dapat mengenali suaraku, sahut orang itu. Dari nada suaranya, jelas kalau dia adalah wanita. Suaranya begitu lembut dan halus, tidak sesuai dengan raut wajahnya yang mengerikan bagai sosok mayat hidup. Prabu Wijaya tertegun beberapa saat. Suara wanita berwajah bagai mayat hidup itu memang di kenalinya. Tapi...

"Tidak...! Tidak Mungkin...!" desis Prabu Wijaya dalam hati. Kepala Prabu Wijaya bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Tatapan matanya begitu tajam menyelidik sosok tubuh di depannya. Meskipun wajah wanita itu rusak bagai mayat hidup, tapi kulit tangan dan kakinya nampak putih mulus bagai kulit putrid bangsawan.

"Kau pasti bukan Nyai Legok! Siapa kau sebenarnya...?!" agak bergetar suara Prabu Wijaya.

"Dua puluh tahun lebih kita tidak berjumpa lagi, Prabu Wijaya. Tidak heran jika kau tidak lagi mengenaliku. Apalagi sekarang wajahku sudah demikian rusak. Apa kau masih ingat, siapa yang membuat wajahku seperti ini, Prabu Wijaya...?" tetap terdengar lembut suara wanita itu. Kembali Prabu Wijaya tertegun. Ingatannya kembali ke masa silam, saat dia masih muda dan gagah. Tapi ingatan itu cepat dihilangkannya. Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah bagai mayat hidup ini adalah Nyai Legok, yang juga pernah mengisi kehidupannya. Wanita yang wajahnya pernah dirusak, dan pernah dihanyutkan ke sungai setelah diyakini sudah tidak bernyawa lagi.

"Aku tidak percaya kalau Nyai Legok masih bisa hidup," desis Prabu Wijaya perlahan, seakan-akan berbicara sendiri.

"Tapi kenyataannya demikian, Prabu Wijaya,? wanita berwajah bagai mayat hidup itu menyahuti. "Dan keris itulah yang kau gunakan untuk menyayat wajahku, dan menikam dadaku. Kau bakar wajahku hingga hangus, lalu kau buang aku ke dalam sungai. Tapi, rupanya Dewata belum berkenan memanggilku, Prabu Wijaya. Maka hingga sampai sekarang aku masih tetap hidup."

'Tidak..! Kau bukan Nyai Legok..!" bentak Prabu Wijaya.

"Aku Nyai Legok, Prabu Wijaya. Dan sekarang datang hendak menuntut balas atas perbuatanmu padaku!" kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin.

Prabu Wijaya melangkah mundur sejauh empat tindak. Sedangkan kedua tangan wanita yang mengaku bernama Nyai Legok sudah terkepal erat. Mereka.tidak berbicara lagi, dan saling menatap tajam.

"Bersiaplah menerima pembalasanku, Prabu Wijaya...!"

***

Prabu Wijaya terperangah sesaat ketika tiba-tiba saja Nyai Legok melompat menerjang dengan ganas sekali. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dan jari-jari tangannya terkembang kaku bagai sepasang cakar burung elang.

"Uts...!"

Namun sebelum jari-jari tangan yang menegang kaku itu sempat menyentuh wajah, Prabu Wijaya cepat mengegoskan kepala ke kanan. Maka terkaman Nyai Legok lewat sedikit saja di samping kepala Prabu Wijaya. Bergegas laki-laki setengah baya itu melompat ke samping beberapa tindak. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Nyai Legok sudah cepat berbalik. Langsung dilakukannya serangan berikut.

"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"

Tak ada lagi kesempatan bagi Prabu Wijaya untuk berkelit menghindar. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan, untuk menyambut uluran tangan Nyai Legok yang meregang kaku. Tak pelak lagi, satu benturan dua pasang telapak tangan pun terjadi.

"Akh...!" Prabu Wijaya terpekik.

Laki-laki setengah baya itu keras sekali terlempar kebelakang. Punggungnya menghantam dinding sangat keras, sehingga bergetar bagai diguncang gempa. Belum lagi dia sempat berbuat banyak, Nyai Legok sudah kembali melompat menerjang.

"Hiyaaat?!"

Prabu Wijaya cepat membanting tubuh ke lantai, lalu bergulingan beberapa kali. Hasilnya, jari-jari tangan Nyai Legok menghantam dinding hingga melesak masuk. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu menggeram sambil mencabut jari tangannya yang menembus dinding. Tubuhnya berputar, menatap tajam Prabu Wijaya yang kini sudah bersiap. Sebilah pedang sudah tergenggam di tangan laki-laki setengah baya itu.

"Dulu kau boleh mencampakkan aku seperti binatang, Prabu Wijaya. Tapi sekarang..., kau akan merasakan bagaimana terhinanya mati seperti binatang!" dingin sekali suara Nyai Legok.

"Majulah, jika ingin mati dua kali!" dengus Prabu Wijaya.

Wanita berwajah buruk itu menyeringai sinis. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Kakinya bergeser perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya tetap meregang kaku, dengan kuku-kukunya yang panjang berwarna hitam. Perlahan sekali kedua tangannya digerakkan, membuat lingkaran di depan dada. Tampak dari kuku-kuku yang panjang hitam itu mengepulkan asap tipis berwarna hitam.

"Aku ingin tahu, sampai di mana kau mampu bertahan menghadapi jurus 'Cakar Beracun," sindir Nyi Legok dingin.

"Hm...," Prabu Wijaya hanya menggumam kecil.

Pedangnya dilintangkan di depan dada. Pandangannya semakin tajam, mengamati gerakan-gerakan perlahan tangan Nyai Legok. Untuk beberapa saat mereka saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Hiyaaat?!"
"Yeaaah...!"

Hampir bersamaan, mereka sama-sama melompat menyerang. Prabu Wijaya cepat mengibaskan pedangnya secara beruntun. Sedangkan tangan Nyai Legok bergerak-gerak cepat, diimbangi liukan tubuh yang indah mengagumkan. Serangan yang mereka lakukan secara bersamaan demikian cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Ah...!"

Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Tampak tubuh Prabu Wijaya deras sekali terpental ke belakang. Punggungnya menghantam dinding, hingga seluruh kamar ini bergetar bagai terguncang gempa. Dan sebelum Prabu Wijaya sempat melakukan sesuatu, Nyai Legok sudah melompat disertai rentangan tangan kanan yang lurus ke depan.

"Hiyaaat..!"
Bres!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat memecah kesunyian malam ini. Prabu Wijaya terbeliak, seakan akan tidak percaya melihat tangan Nyai Legok menembus dadanya. Tubuh laki-laki setengah baya itu langsung jatuh tersungkur begitu Nyi Legok menarik tangannya. Dalam genggaman tangan wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu terdapat jantung yang berlumuran darah. Nyai Legok melompat mundur. Matanya berbinar memandangi jantung yang berhasil dikeluarkan dari dalam dada Prabu Wijaya. Sedangkan laki-laki setengah baya itu sudah tidak berkutik lagi. Darah langsung mengucur deras dari dada yang berlubang cukup besar.

Brakkk..!

Baru saja Nyai Legok hendak melompat dari kamar ini, mendadak pintu kamar yang tertutup rapat terdobrak dari luar. Beberapa orang berpakaian prajurit berhamburan masuk, mengikuti Pendeta Suratmaja, Panglima Pangkar, serta beberapa orang patih dan panglima lainnya.

Mereka memang datang terlambat, setelah mendengar suara ribut-ribut seperti orang bertempur. Sebenarnya hal ini memang kesalahan Prabu Wijaya sendiri yang tidak menempatkan beberapa prajurit depan pintu kamarnya. Tapi, dia memang punya alasan tersendiri. Dia berpikir kalau kamar pribadinya tak perlu dijaga, karena selama ini aman-aman saja. Mereka terkejut setengah mati melihat Prabu Wijaya tergeletak berlumuran darah, dan seorang wanita berwajah buruk bagai mayat hidup yang sudah bersiap hendak pergi.

"Hup...?"

Dan sebelum ada yang menyadari lebih lanjut Nyai Legok sudah melesat pergi cepat sekali. Panglima Pangkar yang lebih dahulu tersadar, langsung berteriak memerintahkan para prajurit untuk mengejar. Dia sendiri cepat melompat menerobos jendela, mengejar wanita berbaju hitam dan berwajah buruk bagai mayat hidup. Sedangkan Pendeta Suratmaja dan beberapa orang pembesar kerajaan ini mendekati Prabu Wijaya.

"Cakar Beracun...," desis Pendeta Suratmaja setelah memeriksa luka di dada Prabu Wijaya. Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu mendesah panjang. Kepalanya terangkat, menatap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela itu. Sementara beberapa orang mulai memberesi mayat Prabu Wijaya.

"Apakah mungkin dia masih hidup...?" Pendeta Suratmaja bergumam perlahan, bertanya pada dirinya sendiri.

***

Seluruh rakyat Kerajaan Balungan berselimut duka atas kematian Prabu Wijaya. Mereka semua marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, pembunuh raja mereka tidak ketahuan di mana rimbanya. Suasana duka lebih tersirat di dalam Istana Kerajaan Balungan. Sejak kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Ratna Nawangsih selalu saja mengurung diri dalam kamar. Bahkan sama sekali tidak ingin ditemui kedua putranya, Raden Prayoga dan Putri Dian Lestari. Hal ini membuat kedua putra Prabu Wijaya itu semakin di-rundung duka.

Dan setelah tiga hari lewat setelah kematian Prabu Wijaya, Raden Prayoga berhasil membujuk ibunya untuk bicara. Mereka bicara di dalam kamar semalaman penuh. Baru pada pagi harinya, terlihat Raden Prayoga keluar dari kamar ibunya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu tidak langsung menuju kamarnya sendiri, tapi menuju ke kaputren, begitu melihat sekilas adiknya berada di sana.

"Rayi Dian...."
"Oh...!" Dian Lestari tampak terkejut.

Cepat gadis itu memberi senyuman tipis begitu melihat kakaknya tahu-tahu sudah berada dalam taman keputren ini. Sedapat mungkin dukanya berusaha disembunyikan, namun sama sekali tidak bisa lenyap dari wajah dan sinar matanya. Raden Prayoga kemudian duduk di samping gadis ini.

"Sudah lama kau berada di sini, Rayi?" tanya Raden Prayoga lembut.

"Sejak semalam," sahut Dian Lestari pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.

"Tidak tidur?"

Dian Lestari menggeleng perlahan. Matanya memandang lurus ke depan, seakan-akan ingin menyembunyikan sesuatu dari pengamatan kakaknya ini.

"Semalaman aku juga tidak tidur," kata Raden Prayoga.

"Aku tahu."
"Kau tahu...?"

Dian Lestari menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Perlahan kemudian, gadis itu mengarahkan pandangan ke arah lain.

"Apa saja yang kau bicarakan dengan ibu, Kakang?" tanya Dian Lestari.

"Banyak," sahut Raden Prayoga.
"Ibu pasti masih membenci ku," lirih sekali suara Dian Lestari.

"Tidak. Bahkan ibu ingin berbicara denganmu."

Gadis itu menggelengkan kepala. Sinar matanya terlihat semakin redup.

"Seharusnya aku yang mati, Kakang. Bukan ayah...," terasa sendu nada suara Dian Lestari.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Rayi. Kalau pembunuh itu sudah tertangkap, pasti semuanya akan jelas," hibur Raden Prayoga.

"Kau tidak tahu, Kakang. Semua ini salahku. Maka sudah sepantasnya kalau aku mendapatkan hukuman. Bahkan seharusnya akulah yang dibunuh. Aku tidak menyalahkan, jika ibu membenci ku seumur hidup."

"Tapi ibu tidak membenci mu, Rayi. Ibu ingin bicara denganmu."

"Kau hanya menghibur ku saja, Kakang."

"Tidak Aku bicara yang sebenarnya. Ibu banyak bertanya tentang keadaanmu. Ibu sangat rindu padamu, Rayi. Temuilah, dan bicara padanya."

Dian Lestari menggelengkan kepala. Bibirnya tersenyum, namun begitu tipis dan hambar. Sama sekali tidak dipercaya kalau ibunya merindukan, dan ingin bicara dengannya. Dia tahu kalau ibunya begitu membenci dan menyalahkan dirinya yang telah menyebabkan ayah mereka dibunuh seseorang yang tidak dikenal.

"Aku akan mengantarkanmu menemui ibu, Rayi!" bujuk Raden Prayoga lagi.

"Untuk apa bersusah payah, Kakang? Tidak ada gunanya," tolak Dian Lestari.

"Percayalah padaku, Rayi."

Dian Lestari terdiam. Kata-kata kakaknya dipertimbangkannya. Meskipun hatinya tetap berpendirian kalau Raden Prayoga hanya menghibur saja tapi melihat kesungguhan itu, dia jadi berpikir juga. Mungkinkah ibunya rindu dan ingin bicara dengannya...? Atau ini hanya rencana Raden Prayoga saja untuk mempertemukannya dengan ibu?

Dian Lestari tidak dapat melupakan. Malam ini saat mereka diberi tahu tentang kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Retna Nawangsih langsung memarahi putrinya ini. Dian Lestari langsung dituduh sebagai penyebab kematian Prabu Wijaya. Bahkan Permaisuri Ratna Nawangsih bersumpah, tidak akan mengakui Dian Lestari sebagai putrinya lagi. Pedih hati gadis ini. Tapi, semua itu memang sudah diduga. Dan dia hanya dapat menerima dengan lapang dada.

"Ayo, Rayi. Aku rasa ibu sedang menunggu, desak Raden Prayoga.

"Nanti saja, Kakang," tolak Dian Lestari.

"Tidak perlu kalian repot menemuiku...."

Kakak beradik itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara lembut dari arah belakang. Mereka sama-sama menoleh, dan langsung beranjak bangkit dari duduk. Sebentar kemudian, mereka berlutut memberi sembah. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun. Garis ketuaan memang sudah membayangi wajahnya. Namun dia masih kelihatan cantik dan anggun. Meskipun, sorot matanya nampak mendung terselimut duka.

"Ibu..., terimalah sembah kami," ucap Raden Prayoga.

"Duduklah. Tidak perlu kalian bersikap begitu padaku," kata Permaisuri Retna Nawangsih lembut. Wanita hampir separuh baya yang masih kelihatan cantik dan anggun itu duduk di kursi taman. Sedangkan Raden Prayoga dan adiknya duduk di kursi lain. Tampak Dian Lestari terus menundukkan kepala, seakan-akan tidak sanggup memandang wajah wanita didepannya ini.

"Aku sudah bicara pada Pendeta Suratmaja dan pembesar lainnya, untuk mempersiapkan penobatanmu sebagai raja, Prayoga," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.

"Ibu.... Apakah itu tidak terlalu cepat? Belum lagi empat puluh hari Ayahanda Prabu mangkat," Raden Prayoga terkejut mendengar pemberitahuan itu.

"Singgasana tidak baik dibiarkan kosong terlalu lama, Prayoga. Semua sudah ibu atur."

'Tapi...," suara Raden Prayoga tercekat di tenggorokan. Pemuda itu ingin menolak, tapi tidak sanggup mengatakannya. Dia tidak ingin mengecewakan hati wanita ini. Sementara Permaisuri Retna Nawangsih menatap Dian Lestari yang masih tetap tertunduk.

"Dan kau, Dian. Selesai hari penobatan nanti, akan dikirim kepada Eyang Wanari," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.

"Nanda bersedia, Ibu," sahut Dian Lestari perlahan. Dia memang sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dan baginya, segala keputusan yang telah diambil ibunya harus dituruti tanpa dapat dibantah lagi. halnya Raden Prayoga. Dia seperti tidak senang adiknya harus bersama Eyang Wanari. Dian Lestari harus tinggal di tempat yang sunyi, di puncak gunung. Tanpa ada kawan yang menemani. Hanya seorang pertapa tua yang akan menempa gadis ini dengan keras.

Tapi Raden Prayoga juga tidak bisa membantah. Dia hanya diam saja, sambil memandangi adinya penuh iba. Dia tidak tahu, kenapa semua musibah ini harus dipikul Dian Lestari. Kenapa bukan dirinya saja yang pasti lebih mampu dan kuat menanggungnya? Raden Prayoga merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini. Namun itu tidak bisa dikatakannya sekarang. Masih terlalu gelap, dan sukar diduga-duga. Kakak beradik itu masih tetap duduk di tempatnya meskipun Permaisuri Retna Nawangsih sudah meninggalkan tempat itu. Agak lama juga mereka berdiam sampai Permaisuri Retna Nawangsih sudah tidak terlihat lagi di taman keputren ini.

"Rayi Dian...," panggil Raden Prayoga perlahan. Kepala Dian Lestari terangkat perlahan. Tampak titik air bening menggulir jatuh di pipinya yang halus, putih agak kemerahan. Terasa sesak dada Raden Prayoga melihat air mata menggulir di pipi gadis ini. Ingin dihapus dan diberikannya kata-kata manis untuk menghibur. Tapi semua itu terasa sulit dilakukannya. Hingga mereka hanya bisa diam dan saling pandang.

Dian Lestari bangkit berdiri. Perlahan kakinya diayunkan meninggalkan taman itu. Sedangkan Raden Prayoga hanya dapat memandangi, tanpa mampu melakukan sesuatu. Keputusan yang diambil ibu mereka memang sangat berat, dan sangat tidak adil. Namun itu sudah terjadi, dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk membatalkannya. Mungkin sudah takdir kalau mereka harus berpisah untuk jangka waktu yang sulit ditentukan.

"Maafkan aku, Rayi. Tapi aku berjanji, akan sering datang mengunjungimu," ucap Raden Prayoga pelan.

***

TIGA

Mendung yang menyelimuti Kerajaan Balungan, sudah benar-benar terusir. Seluruh rakyat di kerajaan itu kini terlihat cerah dan gembira. Wajah Kotaraja Balungan juga benar-benar cerah, dihiasi umbul-umbul yang menyemaraki di setiap sudut kota. Suasana meriah, sangat terasa di Istana Kerajaan Balungan. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan, karena Raden Prayoga akan dinobatkan menjadi raja. Pemuda itu menggantikan ayahnya yang sudah meninggal, karena dibunuh seseorang yang tidak dikenal. Semua orang, baik pembesar, prajurit, punggawa, patih, panglima dan kerabat keluarga mendiang Prabu Wijaya sudah berkumpul di Balai Sema Agung. Mereka semua ingin menyaksikan penobatan Raden Prayoga. Namun pemuda itu sendiri masih berada dalam kamarnya, bersama Raden Ayu Dian Lestari.

"Semua sudah menunggu di Balai Sema Agung, Kakang," jelas Dian Lestari.

"Iya, sebentar lagi," sahut Raden Prayoga tanpa membalikkan tubuhnya.

Pemuda itu berdiri di depan jendela, menghadap ke luar. Sejak pagi buta tadi, dia terus berdiri di sana tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Dian Lestari sudah kelima kalinya memberi tahu kalau semua orang sudah menunggu di Balai Sema Agung. Dan jawaban Raden Prayoga selalu sama. "Sebentar lagi."

"Ada apa, Kakang? Kenapa Kakang tidak mau keluar...?" tanya Dian Lestari.

Gadis ini merasakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan kakaknya, sehingga tidak juga mau keluar dari dalam kamarnya. Sedangkan yang ditanya hanya menghembuskan napas panjang saja. Perlahan tubuhnya diputar, lalu menatap adiknya dalam-dalam. Dian Lestari tercenung sesaat mendapat tatapan yang begitu dalam dan penuh arti. Kemudian kepalanya tertunduk tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda ini.

"Apa sebenarnya yang Kakang pikirkan...?" tanya Dian Lestari lagi. Kali ini suaranya terdengar pelan sekali.

"Entahlah, Rayi. Aku merasa seperti akan terjadi sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan semua orang," sahut Raden Prayoga, bernada ragu-ragu.

"Memang akan terjadi sesuatu yang besar dan bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan, Kakang. Untuk pertama kalinya mereka akan mendapat seorang raja muda yang belum mempunyai pendamping," sambut Dian Lestari mencoba berseloroh.

"Kau cepat sekali melupakan duka yang belum terhapus, Rayi," pancing Raden Prayoga yang merasa heran atas perubahan sikap adiknya yang begitu cepat.

Dian Lestari tidak lagi kelihatan bersedih. Bahkan tampak riang. Sering dia melontarkan kata-kata yang dapat memancing orang tersenyum geli. Bahkan dalam dua hari ini, Raden Prayoga selalu mengamati kalau adiknya ini sering berpenampilan lain dari biasanya. Suatu perubahan yang sangat menyolok pada diri Dian Lestari. Perubahan itu terlihat sehari setelah Permaisuri Retna Nawangsih menemui mereka di taman keputren.

"Aku tidak ingin memikirkan semua itu, Kakang. Aku sudah mencoba untuk menerima semua kenyataan ini dengan lapang dada dan senyuman di bibir," sahut Dan Lestari kalem.

"Benar begitu?" Raden Prayoga tidak percaya.
"Sumpah...."

Raden Prayoga mengangkat bahunya. Pemuda itu masih belum percaya, tapi tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Kembali matanya memandang ke luar melalui jendela.

"Keluar sekarang, Kakang. Mereka sudah menunggu," ajak Dian Lestari setengah merengek manja.

Kemanjaan inilah yang dalam beberapa hari sempat hilang, namun sekarang muncul lagi. Kerinduan Raden Prayoga pada kemanjaan adiknya ini berangsur lenyap. Tapi jika teringat kalau mereka akan berpisah untuk jangka waktu yang lama dan tidak ditentukan, kepedihan terukir di hatinya.

"Kau tampak bingung sekali, Kakang. Apa yang kau pikirkan?" tanya Dian Lestari agak mendesak.

Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dia benar-benar tidak tahu, apa yang sedang dirasakan hatinya saat ini. Begitu dekat dan terasa jelas sekali, namun sukar diungkapkan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa merasa enggan hadir di Balai Sema Agung. Perasaannya mengatakan, kalau sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Hanya saja dia tidak tahu, peristiwa apa yang akan terjadi nanti. Raden Prayoga melangkah menghampiri adiknya. Kedua tangannya dijulurkan, dan diletakkan di bahu gadis itu. Untuk beberapa saat mereka saling bertatapan, dengan sinar mata yang mengandung arti sangat dalam. Dan hanya mereka sendiri yang bisa mengetahui artinya.

"Rayi! Seandainya terjadi sesuatu, kau harus tetap bersamaku. Jangan sekali-sekali terpisah dariku, walau hanya satu langkah," ujar Raden Prayoga.

"Ada apa sebenarnya, Kakang?" tanya Dian Lestari semakin tidak mengerti.

"Terus terang, aku sendiri belum tahu. Tapi perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu, yang mungkin bisa memisahkan kita berdua. Kau dan aku, atau ibu," jelas Raden Prayoga agak mendesah.

"Maksud, Kakang..?" Dian Lestari meminta penjelasan lagi.

"Kau masih ingat kutukan Nini Anjar, Rayi...?" Raden Prayoga seperti mengingatkan.

Dian Lestari terdiam, namun wajahnya mendadak saja memucat. Tidak mungkin kutukan yang dijatuhkan Nini Anjar padanya bisa terlupakan. Dan kabar kutukan itu akhirnya meluas sampai ke seluruh wilayah Kerajaan Balungan ini. Memang dalam hari-hari belakangan ini, tepatnya setelah kematian Prabu Wijaya tidak pernah terjadi sesuatu yang bisa mengingatkan orang akan kutukan Nini Anjar. Bahkan tampaknya semua orang sudah melupakan kejadian itu. Dian Lestari sendiri, sebenarnya sudah tidak ingin mengingat-ingat lagi. Bahkan kutukan itu dianggapnya tidak pernah ada, dan tidak akan terjadi pada dirinya. Namun begitu kembali diingatkan kakaknya, wajahnya langsung pucat pasi. Dian Lestari benar-benar tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Lidahnya terasa keluh.

"Kau mau dengar cerita ku, Rayi...?" pelan sekali suara Raden Prayoga, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar.

"Cerita apa?" tanya Dian Lestari.
"Semalam aku seperti didatangi seseorang. Seperti mimpi, tapi yakin kalau aku sadar...," Raden Prayoga memulai ceritanya.

Dian Lestari mendengar penuh perhatian.

"Dia mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan wajahnya pun hitam, seperti hangus terbakar...."

"Ah...!" Dian Lestari terpekik kaget.
"Ada apa, Rayi?"

"Tidak..., Tidak apa-apa. Teruskan, Kakang."

"Orang itu mengatakan, kalau bukan aku yang seharusnya jadi raja. Tapi, ada orang lain yang lebih pantas dan berhak menduduki tahta, menggantikan Ayahanda Prabu. Kalau aku menerima dan sampai dinobatkan, maka satu persatu orang-orang yang berhubungan dengan penobatan ini akan mati. Terutama pihak keluarga dan para kerabat," lanjut Raden Prayoga.

Dian Lestari terdiam membisu. Pikirannya jadi kalut. Terlebih lagi setelah mendengar Raden Prayoga mengatakan orang yang datang menemuinya memakai baju hitam, dan berwajah hangus seperti terbakar. Bayangan gadis itu langsung tertuju pada Nini Anjar.

"Kakang.... Apa tidak mungkin kalau orang itu...," Dian Lestari tidak melanjutkan kata-katanya.

"Itulah sebabnya, kenapa aku tadi mengingatkan mu, Rayi," Raden Prayoga sudah bisa mengerti.

Lalu, bagaimana sekarang?"

"Entahlah...," sahut Raden Prayoga mendesah. Aku belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin mempercayai mimpi itu. Tapi setiap kali hendak ke Balai Sema Agung, kembali terlintas bayangan orang itu, Rayi. Dan setiap kali itu pula, perasaanku selalu menyatakan kalau akan terjadi sesuatu."

"Apa tidak sebaiknya hal ini dibicarakan pada ibu, Kakang?" saran Dian Lestari.

"Aku tidak ingin membuat hati ibu kecewa."

"Tapi kau harus memutuskan sekarang juga, Kakang. Atau sebaiknya kau tetap dinobatkan menjadi raja. Biarlah semua itu kita hadapi bersama," kembali Dian Lestari memberi saran.

Raden Prayoga terdiam merenung. Agak lama juga saran yang diajukan adiknya ini dipikirkan. Perlahan wajahnya berpaling memandang ke arah pintu. Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Belum juga Raden Prayoga dan Dian Lestari membuka suara, pintu kamar ini sudah terbuka. Dan mendadak saja...

"Heh...?!"
Slap!

Raden Prayoga belum juga bisa melakukan sesuatu, ketika tiba-tiba dari pintu yang terbuka melesat sebuah bayangan hitam. Langsung disambarnya Dian Lestari. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak, tahu-tahu sudah kembali berkelebat ke luar melalui jendela sambil membawa gadis itu.

"Kakang, tolooong...!" jerit Dian Lestari.

"Rayi...!" Raden Prayoga tersentak dari keterkejutannya.

Namun begitu tubuhnya diputar ke arah jendela, bayangan hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Bergegas Raden Prayoga berlari ke jendela. Bayangan hitam itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas sama sekali. Pemuda itu cepat berlari ke pintu, lalu tersentak kaget. Ternyata empat orang prajurit yang bertugas menjaga di depan pintu sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Dari dada dan leher mengucurkan darah segar.

"Pengawal..!" teriak Raden Prayoga sekeras-kerasnya.

***

Upacara penobatan Raden Prayoga terpaksa dibatalkan akibat menghilangnya Raden Ayu Dian Lestari. Separuh prajurit, semua jawara, serta panglima-panglima andalan, langsung menyebar ke seluruh pelosok negeri, untuk mencari Raden Ayu Dian Lestari. Namun hingga siang berganti malam, belum juga ada yang menemukan gadis itu. Sementara Raden Prayoga semakin kelihatan gelisah saja dalam kamarnya.

"Aku tidak bisa diam menunggu saja. Apa pun yang akan terjadi, Dian harus kucari," gumam Raden Prayoga.

Pemuda itu menghampiri lemari yang terbuat dari kayu jati berukir. Perlahan dibukanya pintu lemari yang cukup besar itu. Dari dalam lemari ini, dikeluarkan sebuah pedang bergagang penuh batu-batu mutiara. Pedang peninggalan ayahnya. Sebentar pedang itu diamati kemudian dipasangnya di pinggang. Namun belum juga melangkah keluar dari kamar, pintu sudah terbuka. Kini muncul Permaisuri Retna Nawangsih, yang langsung tertegun melihat putranya seperti sudah siap hendak pergi. Lebih tertegun lagi, saat melihat di pinggang pemuda itu sudah tersampir pedang pusaka peninggalan Prabu Wijaya.

"Akan ke mana dengan pedang itu?" Tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Aku harus mencari Rayi Dian, Bu," sahut Raden Prayoga.

"Hampir seluruh prajurit sudah mencarinya, Prayoga. Tunggu saja laporan mereka."

"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa diam dan menunggu di sini. Aku harus mencari Rayi Dian," tegas Prayoga menolak.

"Ke mana akan mencarinya?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

Raden Prayoga tidak menjawab. Dia memang tidak tahu, ke mana harus mencari adiknya. Yang ada dalam pikirannya, dia tidak mungkin bisa tinggal di istana ini sambil menunggu laporan saja. Hatinya sudah mantap. Ke manapun, dia harus mencari Dian Lestari. Entah kenapa, hatinya begitu cemas mengkhawatirkan keselamatan gadis itu.

"Aku harus pergi, Bu," pamit Raden Prayoga.

"Tunggu!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih.

Raden Prayoga mengurungkan ayunan kakinya.

"Kau tidak boleh meninggalkan istana ini. Dian Lestari sedang menjalani kutukannya. Kau harus merelakannya pergi," tegas dan mantap sekali suara wanita separuh baya ini.

Raden Prayoga jadi tersentak mendengar kata-kata ibunya. Belum pernah terdengar ibunya berkata macam demikian. Dan sepertinya, Permaisuri Retna Nawangsih tidak peduli atas hilangnya Dian Lestari. Raden Prayoga kini percaya kalau wanita separuh baya ini sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi pada anak gadisnya.

"Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanya Raden Prayoga ingin tahu.
"Adikmu sudah mendapat kutukan. Dan kutukan itu tidak akan bisa dilawan oleh apa pun juga. Tidak ada gunanya kau mencarinya, Prayoga," tetap tegas nada suara Permaisuri Retna Nawangsih.

Tapi, Bu...."
"Cukup!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih cepat, memotong ucapan anaknya.

Raden Prayoga langsung terdiam. Hatinya semakin heran atas sikap ibunya. Sebelum ini, wanita separuh baya itu kelihatan begitu sayang dan mencintai Dian Lestari. Tapi, mengapa tiba-tiba saja jadi berubah tidak peduli? Keheranan Raden Prayoga semakin bertambah, karena memang belakangan ini sikap ibunya selalu berubah-ubah. Bahkan gampang sekali marah. Namun pemuda itu tidak ingin berpikir yang bukan-bukan.

"Aku hanya mengatakan sekali saja, Prayoga. Jika kau tetap tidak mau menuruti kata-kataku, terserah. Segala akibatnya tanggunglah sendiri," tegas Permaisuri Retna Nawangsih. Suaranya tetap tegas. Bahkan terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.

Setelah berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar ini. Tinggal Raden Prayoga yang kelihatan bingung. Benaknya jadi kacau, dan terus bertanya-tanya tentang sikap Ibunya yang dirasakan sangat aneh.

"Kenapa ibu jadi seperti itu...?" Raden Prayoga bertanya-tanya sendiri. Pemuda ini jadi ragu ragu. Kini tubuhnya dihenyakkan di kursi dekat jendela. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang berpikir keras. Sungguh sulit dipahami sikap ibunya yang begitu tidak peduli akan nasib Dian Lestari saat ini.

"Belakangan ini ibu selalu memanjakan Rayi Dian. Segala apa keinginannya selalu dituruti. Tapi, kenapa sekarang jadi berbalik begini...? Aku benar-benar tidak mengerti sikap ibu. Cepat sekali berubah, dan selalu mengambil keputusan tiba-tiba," Raden Prayoga berbicara sendiri.

Pemuda itu terus merenung setelah cukup lama duduk diam sambil berpikir, perlahan dia bangkit berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Tangannya menepuk-nepuk gagang pedang yang tersampir dipinggang. Sebentar kemudian kakinya melangkah keluar dari kamar ini dengan hati mantap.

"Tampaknya ada suatu rahasia yang tersembunyi, dan aku harus memecahkannya. Dan yang terpenting, menemukan kembali Rayi Dian. Aku tidak peduli apa-pun yang akan terjadi," tekad hati Raden Prayoga.

Pemuda itu terus mengayunkan kakinya dengan mantap, semakin jauh meninggalkan kamarnya. Dia terus berjalan menuju bagian belakang bangunan istana ini. Beberapa prajurit yang berpapasan, memberi hormat. Tapi dari sorot mata, mereka jelas bertanya-tanya. Karena, tidak biasanya Raden Prayoga menuju istal sambil membawa pedang. Sementara itu tanpa sepengetahuannya, tampak dari balik sebuah jendela seorang perempuan separuh baya memperhatikan Raden Prayoga. Dia terus memperhatikan tanpa tidak berkedip.

"Anak ini benar-benar tidak bisa dipisahkan dari Dian. Aku jadi khawatir...," wanita itu berbicara sendiri. Begitu pelan suaranya, dan hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar.

Sementara Raden Prayoga sudah keluar dari bangunan bagian belakang istana, dan terus menuju sebuah bangunan yang cukup besar. Bangunan tempat merawat kuda. Ayunan kakinya begitu mantap, semantap hatinya.

***

Raden Prayoga memacu cepat kudanya, bagaikan dikejar setan saja. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat kudanya digebah. Arah yang dituju jelas, ke Gunung Watujajar. Memang hanya ada satu tujuan di kepalanya, yaitu Pertapaan Lebak Garing yang berada di Puncak Gunung Watujajar. Tidak ada lagi tempat untuknya mengadu, selain Eyang Wanari. Laki-laki tua itu berusia sekitar seratus tahun. Dia dulu menjadi guru Prabu Wijaya, juga yang mengajarkan ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan pada Raden Prayoga.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Raden Prayoga terus menggebah kudanya agar berlari lebih kencang lagi. Kuda putih tinggi tegap dan berotot itu, mendengus-dengus kelelahan. Namun binatang itu terus berlari kencang.

"Berhenti..!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Raden Prayoga terkejut mendengarnya. Bentakan itu seakan-akan berada tepat di depan telinganya. Bahkan juga sempat mengejutkan kuda putih yang ditungganginya, sehingga meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Kalau saja Raden Prayoga tidak cepat melompat, pasti sudah terlempar dari punggung kuda putih itu. Dan begitu kaki Raden Prayoga menjejak tanah, kuda putih itu langsung berlari kabur.

"Hei...! Tunggu...!" teriak Raden Prayoga.

Namun kuda putih itu terus berlari kencang, tidak mempedulikan teriakan majikannya. Raden Prayoga hanya berdiri memandangi saja. Kuda putih itu sudah demikian jauh, tak mungkin terkejar lagi. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Hm..., siapa tadi yang berteriak mengejutkan...? gumam Raden Prayoga, bertanya pada dirinya sendiri.

Belum sempat Raden Prayoga berpikir lebih jauh lagi, mendadak dari arah samping kanannya berkelebat sebuah bayangan hitam. Pemuda itu tersentak kaget, namun cepat melompat ke belakang. Dia berputaran di udara dua kali, sebelum menjejakkan kakinya dengan manis di tanah.

"Siapa kau...?!" bentak Raden Prayoga.
"Ha ha ha...!"

Raden Prayoga terhenyak, begitu tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang mengenakan baju warna hitam dari kain sutra halus. Matanya lebih terbeliak lebar, saat melihat wajah orang itu bagaikan hangus terbakar. Dari bentuk tubuh dan suara tawanya, jelas kalau orang itu adalah wanita.

"Untuk apa kau meninggalkan istana, Prayoga?" terdengar dingin suara orang serba hitam itu.

"Itu bukan urusanmu!" dengus Raden Prayoga. Pemuda itu langsung meraba gagang pedangnya yang tergantung di pinggang. Dia tahu, kalau kini sedang berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Seorang wanita yang diduga sebagai Nini Anjar. Raden Prayoga tidak lagi bersikap hormat. Apalagi bermanis-manis. Dan dia sudah yakin kalau orang ini yang menculik Dian Lestari dari depan hidungnya.

"Di mana kau sembunyikan adikku?" bentak Raden Prayoga.

"Adikmu yang mana, Prayoga?" orang serba hitam itu malah balik bertanya.

"Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu, Nini Anjar!" sentak Raden Prayoga, langsung menyebut nama orang itu.

"Ha ha ha...! Kenapa kau berpikir kalau aku ini Nini Anjar Prayoga? Apakah aku mirip gadis itu?"

Raden Prayoga menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan matanya begitu tajam menusuk mengamati wajah yang hitam hangus. Kemudian seluruh tubuh wanita itu diamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Kau tidak bisa menipuku, Nini Anjar. Katakan di mana kau sembunyikan adikku?!" dengus Raden Prayoga. Sama sekali pemuda itu tidak melihat adanya perbedaan, dan tidak percaya kalau wanita ini bukan Nini Anjar. Bentuk tubuh dan pakaiannya sama persis dengan Nini Anjar. Hanya saja, wajah dan seluruh tangan serta kakinya berwarna hitam pekat seperti arang. Terlebih lagi jika memandang wajahnya. Sungguh tidak sedap sekali. Wajah yang hitam, dengan bintik-bintik seperti bisul, membuat bentuk wajahnya tidak lagi beraturan.

"Kenapa kau menuduhku menculik adikmu, yoga?" wanita itu malah balik bertanya. Namun suaranya masih saja terdengar datar.

"Kau membunuh ayahku! Lalu kau menculik adikku, di depan hidungku sendiri. Sungguh memalukan. Masih juga mau mungkir," dengus Raden Prayoga.

"Ketahuilah, Prayoga. Aku bukan Nini Anjar. Dan aku tidak membunuh ayahmu. Apalagi menculik adikmu. Aku bernama Rara Ireng. Dan biasanya orang selalu memanggilku Gadis Hitam," wanita serba hitam ini memperkenalkan dirinya.

"Kau mau membela diri rupanya, Nisanak," tegas Raden Prayoga sinis.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Dan lebih baik kau kembali lagi ke istana. Kau akan menyesal jika meninggalkan istana, Prayoga," kali ini suara wanita itu terdengar tenang.

Raden Prayoga kembali memandangi wanita itu. Namun bibirnya tersenyum sinis. Sama sekali tidak di-percayainya kata-kata wanita serba hitam ini. Sudah jelas kalau yang membunuh Prabu Wijaya adalah wanita berbaju hitam yang mukanya menghitam hangus. Dan dia sendiri melihat, kalau yang menculik Dian Lestari adalah orang berbaju hitam. Walaupun, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat cepat.

"Kau pikir aku akan percaya begitu saja, Nisanak," dengus Raden Prayoga dingin.

Sret!

Raden Prayoga mencabut pedangnya. Wanita serba hitam yang mengaku bernama Rara Ireng langsung melangkah mundur dua tindak. Kedua matanya menyorot tajam melihat pedang yang berada di tangan Raden Prayoga.

"Kau terlalu gegabah menggunakan pedang itu, Prayoga," desis Rara Ireng tajam.

"Ha ha ha.... Rupanya kau sudah gentar hanya melihat pedangku ini, Nisanak."
"Jangan main-main dengan pedang itu, Prayoga. Masukkan kembali ke warangkanya."

"Pedang ini akan masuk kembali ke warangka setelah meminum darahmu."

"Masukkan, kataku!" bentak Rara Ireng keras.

Raden Prayoga malah tersenyum tipis. Pedangnya dimain-mainkan di depan dada. Mata pedang itu berkilat keperakan menyilaukan mata. Rara Ireng kembali menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Mulutnya mendesis bagai ular, melihat Raden Prayoga malah melangkah maju dengan pedang direntangkan lurus kedepan.

"Katakan, di mana kau sembunyikan adikku. Atau pedang ini yang akan berbicara," geram Raden Prayoga dingin menggetarkan.

"Sudah kukatakan, aku tidak menculik Dian Lestari!" bentak Rara Ireng.
"Kau menginginkan pedang ini yang bicara, heh! Baik, terimalah seranganku ini. Hiyaaat..!"

Raden Prayoga tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang wani-ta berbaju hitam yang seluruh wajah dan tubuhnya berwarna hitam legam itu.

"Hup! Yeaaah...!"

Rara Ireng bergegas melentingkan tubuh ke udara lalu melesat cepat melewati kepala Raden Prayoga. Namun tanpa diduga sama sekali, Raden Prayoga cepat mengibaskan pedangnya, menebas ke arah perut wanita serba hitam itu.

Bet!
"Uts!"

Cepat Rara Ireng memutar tubuhnya, lalu berjumpalitan di udara untuk menghindari tebasan pedang bergagang penuh batu mutiara itu. Dan setelah berputaran beberapa kali di udara, kakinya mendarat turun ditanah dengan manis sekali.

"Hiyaaa...!"

Tapi sebelum wanita serba hitam itu melakukan sesuatu, Raden Prayoga sudah kembali memberi serangan dengan pedangnya. Terpaksa Rara Ireng harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dengan cepat dan dahsyat. Pedang di tangan Raden Prayoga seperti memiliki mata saja. Kemana pun Rara Ireng berusaha menghindar, selalu diburu dengan cepat. Rara Ireng seperti tidak menyangka kalau jurus-jurus yang dimainkan Raden Prayoga begitu dahsyat dan berbahaya. Beberapa kali matanya terbeliak, karena hampir terbabat oleh pedang itu. Namun karena kelincahan gerak dan ketajaman matanya, dia masih mampu menghindar. Meskipun dengan susah payah.

***

EMPAT

Jurus demi jurus berlalu cepat, dan silih berganti. Tanpa terasa, Raden Prayoga sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus, namun belum juga mendesak lawan yang mengaku bernama Rara Ireng atau berjuluk Gadis Hitam. Sedangkan sampai sejauh ini, Rara Ireng belum juga memberi serangan berarti. Dia seperti sengaja, tidak menyerang Raden Prayoga.

"Cukup, Prayoga. Tidak ada gunanya menyerangku...!" bentak Rara Ireng.

Tapi peringatan itu tidak dipedulikan Raden Prayoga. Pemuda itu terus menyerang lewat jurus-jurusnya yang cepat dan berbahaya. Sedangkan Rara Ireng masih saja berkelit, menghindari setiap serangan.

"Kau benar-benar keras kepala, Prayoga!" desis Rara Ireng mulai tidak sabar.

Pada saat itu, Raden Prayoga mengibaskan pedang ke arah kepala. Tapi manis sekali, Rara Ireng menarik kepalanya ke belakang. Maka tebasan pedang pemuda itu tidak sampai mengenai kepalanya.

"Maaf, aku harus menghentikan mu!" ujar Rara Ireng agak tersengal.

Setelah berkata demikian, Rara Ireng langsung memberi serangan-serangan tangan kosong yang cepat. Begitu mendapat serangan, Raden Prayoga jadi kewalahan. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha menghindari serangan-serangan yang dilancarkan perempuan serba hitam itu. Akibatnya, dia tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan kembali.

"Lepas...!" tiba-tiba saja Rara Ireng berseru lantang. Dan seketika itu juga tangan kirinya dihentakkan menyampok pergelangan tangan kanan Raden Prayoga. Begitu cepat sampokan itu, sehingga Raden Prayoga tidak punya kesempatan mengelak lagi.

Plak!
"Akh...!"

Raden Prayoga terpekik tertahan. Cepat pemuda itu menarik tangannya, tapi tidak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang langsung mencelat lepas. Pedang itu melayang tinggi ke angkasa. Rara Ireng cepat melompat mengejar pedang itu, sebelum Raden Prayoga bertindak. Namun begitu tangan Rara Ireng hampir saja mencapai pedang yang melayang itu, mendadak saja....

Slap!
"Heh...?!"

Rara Ireng tersentak kaget begitu tiba-tiba sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menyambar pedang itu. Cepat tubuhnya meluruk turun lalu manis sekali mendarat di tanah. Kedua matanya terbeliak lebar begitu tahu-tahu di depannya berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya dari kulit harimau, dan di tangannya kini terdapat pedang Raden Prayoga yang terpental ke udara tadi.

"Huh!" dengus Rara Ireng.

Cepat dia memutar tubuhnya, dan secepat itu pula melesat pergi. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuh wanita serba hitam itu sudah lenyap dari pandangan. Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri Raden Prayoga.

"Terima kasih," ucap Raden Prayoga seraya menerima pedangnya yang disodorkan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Kau terluka?" tanya pemuda itu.
"Hanya nyeri sedikit di pergelangan," sahut Raden Prayoga.

"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam kecil, lalu berpaling menatap ke arah Rara Ireng pergi.

"Kalau boleh aku tahu, siapa Kisanak ini?" tanya Raden Prayoga meminta.
"Aku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau ini memperkenalkan diri.

Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Bayu kembali berpaling, menatap Raden Prayoga. Langsung ditanyakannya nama pemuda putra mahkota ini. Tentu saja Raden Prayoga tidak memperkenalkan siapa dirinya sebenarnya. Dia memang memperkenalkan dirinya dengan nama Prayoga, tapi tidak ditambah raden di depan namanya.

"Bagaimana kau bisa berada di sini, dan membantuku?" tanya Raden Prayoga.

"Kebetulan lewat saja, dan melihatmu tampaknya membutuhkan pertolongan," sahut Bayu.

"Oh, ya, Siapa orang yang bertarung denganmu tadi?"

"Pembunuh ayahku. Dan sekarang dia telah menculik adik perempuanku satu-satunya," sahut Raden Prayoga.

"Hm, jadi kau sedang mencari adikmu?"
"Benar."

"Tampaknya kau tidak akan mampu menandinginya," terdengar pelan suara Bayu, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

"Kuakui itu. Tapi aku harus menyelamatkan adik-ku," sahut Raden Prayoga berterus terang.

"Bagaimana caranya?"

"Entahlah. Sedangkan...," Raden Prayoga tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau tahu, di mana adikmu disembunyikan?" tanya Bayu seakan bisa mengerti arti pandangan Raden Prayoga.

"Itulah sulitnya. Aku tidak tahu, di mana adikku disembunyikan. Sedangkan dia tidak mau mengakui perbuatannya," terdengar lirih suara Raden Prayoga.

"Tidak ada maling teriak maling, Prayoga," Bayu tersenyum.
"Kau benar."

"Hm.... Bagaimana orang itu bisa membunuh ayahmu, dan sekarang menculik adikmu?" Bayu jadi ingin tahu.

Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dipandanginya Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam, seperti menyelidik. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau Raden Prayoga memandang curiga. Mereka memang baru kali ini berjumpa, jadi memang tidak salah jika satu sama lain saling curiga. Tapi di hati Bayu, tidak terselip sedikit pun perasaan curiga. Bahkan merasa simpati atas perbuatan Raden Prayoga yang begitu gigih mencari adiknya. Padahal disadari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan mampu.

"Ceritakan saja padaku kejadiannya. Mungkin aku bisa menolongmu menemukan adikmu," kata Bayu diiringi senyum manis.

"Kau sungguh-sungguh ingin membantuku, Bayu?"

Raden Prayoga masih ragu-ragu.

Saat ini Raden Prayoga memang membutuhkan bantuan seseorang. Itu sebabnya dia berada di sini. Sedangkan tujuannya tadi hendak ke Pertapaan Lebak Garing, untuk minta bantuan Pertapa Eyang Wanari. Dan sekarang, muncul seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya dengannya. Dan ternyata dia bersedia membantu. Namun Raden Prayoga tidak ingin terburu-buru. Dia harus tahu dulu, siapa sebenarnya pemuda yang baru saja menolongnya ini.

"Bayu! Apakah kau seorang pendekar kelana tanya Raden Prayoga, bernada menyelidik.

"Aku hanya seorang pengembara yang tidak tentu arah tujuannya," sahut Bayu merendah.

Raden Prayoga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tahu, Bayu adalah seorang tokoh rimba persilatan. Dan sudah menjadi watak orang rimba persilatan untuk tidak menyebutkan dirinya pada orang lain yang belum dikenal. Raden Prayoga tidak ingin sembarangan memilih teman perjalanan dari kalangan persilatan. Eyang Wanari seringkali menasihatkan untuk berhati-hati bila bertemu orang kaum persilatan. Karena batas antara golongan hitam dengan golongan putih tipis sekali.

"Apa arti sebuah gelar bagimu, Prayoga?" Bayu malah balik bertanya.
"Penting sekali. Karena sebuah gelar akan menunjukkan, apakah orang itu jahat atau tidak," Raden Prayoga, jujur.

Bayu terdiam. Kali ini dia benar-benar bingung dan merasa terpojok. Karena disadari, gelar yang didapatnya bisa menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya sendiri. Meskipun begitu, Bayu sangat menyukai julukan yang dimilikinya.

"Katakan, Bayu. Apa julukanmu?" desak Raden Prayoga lagi.

"Aku yakin, kau akan menyangka buruk padaku setelah mendengar julukanku, Prayoga," kata Bayu mencoba menjelaskan.

"Tidak sedikit kaum pendekar memiliki julukan yang dapat membuat orang merinding mendengarnya. Julukan memang bisa sebagai cermin watak pemiliknya. Tapi kadangkala bertentangan."

Bayu tersenyum kagum mendengar penuturan Raden Prayoga. Sungguh tidak disangka kalau pemuda ini mempunyai pandangan luas tentang dunia persilatan. Bahkan bisa mengambil hikmah dan tidak memandang dari sebelah mata saja.

"Baiklah," akhirnya Bayu menyerah juga. "Orang-orang sering memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Karena, aku memang berasal dari Pulau Neraka, yang berada di dekat Pantai Selatan."

"Pendekar Pulau Neraka...," Raden Prayoga menggumamkan julukan Bayu dengan suara perlahan. Raden Prayoga kembali memandangi Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, dengan kening berkerut. Dia seperti tengah menyelidiki pemuda berbaju kulit harimau ini. Atau mungkin juga tengah mengingat-ingat sesuatu yang berhubungan dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan perlahan kemudian, bibirnya tersenyum. Semakin lama, senyumnya semakin lebar. Melihat perubahan ini, Bayu jadi heran juga.

"Ada apa, Prayoga?" tanya Bayu jadi ingin tahu.

"Aku ingat sekarang. Cerita tentang seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka memang pernah kudengar. Tidak kusangka, ternyata aku akan bertemu seorang pendekar besar yang menjadi buah bibir," ucap Raden Prayoga.

"Ah! Kau jangan terlalu mendengar omongan orang," Bayu merendah agak tersipu.

"Mari. Sebaiknya kita cari tempat yang nyaman, agar enak berbincang-bincang," ajak Raden Prayoga, Bayu tidak bisa lagi menolak. Apalagi Raden Prayoga sudah menggamit lengannya dan mengajak meninggalkan tempat berdebu yang berantakan ini. Mereka terus berjalan, namun tidak menyadari ada sepasang mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.

***

Sementara itu di Istana Balungan. Permaisuri Ret-na Nawangsih tengah duduk sendiri di dalam keputren. Entah sudah berapa lama berada di taman istana itu, sampai-sampai dia tidak tahu kalau seorang penjaga pintu keputren menghampirinya. Dia baru tahu setelah mendengar suara penjaga itu.

"Ada apa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Ampun, Gusti Permaisuri. Eyang Wanari hendak bertemu," sahut prajurit penjaga itu memberi tahu. Si-kapnya penuh hormat.

"Eyang Wanari...?" Permaisuri Retna Nawangsih tampak terkejut mendengar guru mendiang suaminya hendak bertemu.

"Benar, Gusti Permaisuri"
"Di mana sekarang?"

"Menunggu di depan pintu keputren ini, Gusti."

"Kenapa tidak kau suruh ke sini saja...?"

"Ampun, Gusti Eyang Wanari meminta hamba untuk menanyakan kesediaan Gusti."

"Suruh dia ke sini."
"Hamba laksanakan, Gusti Permaisuri."

Setelah memberikan sembah, prajurit penjaga itu segera berlalu. Namun sepeninggal prajurit itu, Permaisuri Retna Nawangsih jadi tercenung. Sepengetahuannya, Eyang Wanari tengah melakukan semadi. Itulah sebabnya dia tidak datang pada hari penobatan Raden Prayoga. Hari penobatan yang gagal, karena Dian Lestari menghilang diculik di depan hidung kakaknya. Permaisuri Retna Nawangsih bangkit berdiri ketika seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih panjang, datang menghampiri. Wanita separuh baya itu berlutut dan memberikan hormat. Laki-laki tua berjubah putih itu membangunkannya, dan meminta Permaisuri Retna Nawangsih kembali duduk di kursi taman. Sedangkan dia sendiri duduk di depannya.

"Apakah Eyang sudah selesai bersemadi, sehingga datang ke istana ini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih. "Terpaksa semadi ku kuhentikan," sahut Eyang Wanari.

"Kenapa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Anakku, Nawangsih. Kenapa tidak kau ceritakan saja apa yang telah terjadi di sini. Dan kini kau justru menanyakan tentang diriku?" Eyang Wanari malah bertanya.

"Maaf, Eyang," ucap Permaisuri Retna Nawangsih.

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi, Anakku?" desak Eyang Wanari.

"Aku tidak tahu, Eyang Semua yang terjadi begitu cepat. Aku sendiri bingung...," sahut Permaisuri Retna Nawangsih pelan.

"Hm..., kau tahu siapa yang menculik Dian?" tanya Eyang Wanari, setengah bergumam suaranya.

"Nini Anjar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Gadis yang mengutuk Dian?"
Permaisuri Retna Nawangsih mengangguk.

"Aneh.... Untuk apa dia menculik?" Eyang Wanari seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam saja.

"Suamimu tidak pernah menceritakan, kenapa Dian sampai kena kutukan begitu? Dan aku sendiri sampai sekarang tidak tahu, kutukan apa yang dijatuhkan pada Dian. Kau bisa menceritakannya padaku?" pinta Eyang Wanari.

"Aku juga tidak tahu, Eyang," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.
"Tidak tahu..? Kau kan, ibunya. Masa tidak tahu?" Eyang Wanari tidak percaya.

"Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu, Eyang."

"Lalu, apa saja yang kau ketahui?"
"Yang ku tahu, gadis itu tiba-tiba saja datang menemui Kanda Prabu. Aku sendiri tidak tahu, apa yang dikatakannya. Kanda Prabu kemudian menahannya, dan menuduh gadis itu mengutuk Dian. Entah apa kutukannya. Aku tidak tahu, Eyang. Hanya itu saja yang kuketahui."

"Benar gadis itu dijatuhi hukuman bakar?"

"Benar. Tapi gadis itu menghilang setelah dibakar. Kemudian, muncul seseorang yang tidak dikenal. Orang itu membunuh Kanda Prabu. Semua orang mengira kalau dia adalah Nini Anjar. Dialah yang juga menculik Dian di depan Prayoga."

"Hm, lalu di mana Prayoga sekarang?"
"Pergi."
"Pergi...?"

"Prayoga ingin mencari adiknya sendiri. Aku sudah mencoba melarang, tapi tetap saja dia pergi."

Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam saja.

"Prayoga tidak mengatakan, ke mana dia pergi?" tanya Eyang Wanari lagi.
"Tidak"

Kembali Eyang Wanari terdiam. Kepalanya menggeleng-geleng. Beberapa kali mulutnya mendesah berdecak. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih juga terdiam membisu. Dia tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan laki-laki tua pertapa ini. Tapi dia yakin kalau Eyang Wanari sedang berpikir keras. Atau mungkin juga sedang merangkai semua kejadian dalam istana ini.

"Aneh...," desah Eyang Wanari perlahan.
"Ada apa, Eyang?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih, seraya menatap laki-laki tua pertapa itu dalam-dalam.

"Aku tidak percaya bila seseorang melontarkan kutukan, kemudian melakukan pembunuhan dan penculikan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah dibakar. Hm.... Aku merasakan ada yang ganjil...," pelan sekali suara Eyang Wanari.

Sementara Permaisuri Retna Nawangsih masih saja diam.

"Retna, apa ada orang lain yang mendengar gadis itu melontarkan kutukan?" tanya Eyang Wanari.
"Hampir semua pembesar. Bahkan Paman Pendeta Suratmaja juga mendengar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Kau tahu, apa bunyi kutukannya?"

"Dian akan meruntuhkan Kerajaan Balungan, jika tidak segera dilenyapkan," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Dilenyapkan...? Apa maksudnya?"
"Dibunuh."
"Apa...?!"

***

Kalau saja ada guntur di siang bolong begini, mungkin tidak akan mengejutkan bila dibanding jawaban Permaisuri Retna Nawangsih. Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan tidak percaya bunyi kutukan yang didengarnya barusan. Laki-laki tua pertapa itu semakin yakin, kalau ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jelas sekali, kalau itu bukan kutukan. Tapi, lebih tepat dikatakan sebuah tuntutan. Hanya saja dia belum bisa menemukan hubungan antara satu dengan lainnya. Eyang Wanari tidak kenal gadis yang bernama Nini Anjar. Juga tidak tahu, apa hubungannya antara Nini Anjar dengan Dian Lestari, sehingga menjatuhkan satu kutukan. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih sendiri kelihatannya tidak tahu banyak semua kejadian ini.

Eyang Wanari tidak bisa lagi mendesak Permaisuri Retna Nawangsih untuk membeberkan semuanya. Meskipun didesak dengan cara apa saja, perempuan separuh baya itu kelihatannya memang hanya tahu sedikit peristiwanya. Eyang Wanari menyayangkan sikap Prabu Wijaya yang tidak menceritakan awal peristiwa ini sejak semula, hingga sampai mati terbunuh. Padahal, Eyang Wanari sudah menganggap seperti anak sendiri, walaupun Prabu Wijaya hanya seorang murid yang belajar ilmu olah kanuragan padanya.

Setelah pembicaraannya dengan Permaisuri Retna Nawangsih di keputren, Eyang Wanari menanyai satu-persatu orang-orang yang mengetahui persis semua peristiwa ini. Tapi, kelihatannya semua orang tidak ingin ikut campur. Alasan mereka, takut kutukan Nini Anjar. Nyatanya hal ini telah terbukti. Setelah tiga hari Eyang Wanari berada di istana, jatuh korban dari dua orang patih dan tiga panglima yang telah menceritakan secara gamblang pada Eyang Wanari. Bahkan mereka yang tidak percaya adanya kutukan itu, langsung mati dengan cara mengenaskan sekali.

"Tampaknya ada orang tertentu yang menginginkan kerajaan ini runtuh...," kata Eyang Wanari saat dalam perjalanan kembali setelah menengok salah seorang panglima yang tewas dengan cara mengerikan. Dan panglima itu baru kemarin bicara pada laki-laki tua pertapa ini. Dia mati dengan seluruh tubuh penuh lubang tusukan, dan dadanya hancur. Hanya bagian kepala saja yang kelihatan masih utuh. Sama seperti korban-korban lainnya, yang mencoba mencari tahu tentang semua peristiwa ini. Mendung benar-benar menyelimuti Kerajaan Balungan.

"Aku harus mencari keterangan, siapa dalang semua ini...," gumam Eyang Wanari bicara sendiri.

"Jangan punya pikiran buruk, Eyang Wanari...!"
"Heh...?!"

Eyang Wanari tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggema mengejutkan. Laki-laki tua pertapa itu menghentikan ayunan kakinya. Suara itu jelas sekali terdengar, dan seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun memang kelihatan sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.

"Hm..., siapa kau?" terdengar dalam nada suara Eyang Wanari.
"Sudah lima orang yang jadi korban. Dan aku tidak ingin kau ikut jadi korban, Eyang Wanari," kembali terdengar suara tanpa ujud.

Eyang Wanari menajamkan telinga. Matanya juga tajam, memandang sekitarnya. Jelas, itu suara seorang wanita. Dan nampaknya, suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga bisa menggema. Seakan-akan suara itu datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari segera meningkatkan kewaspadaannya. Dia sadar kalau orang yang mengeluarkan. suara itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Dia telah mampu mengeluarkan suara, tanpa diketahui dari mana asalnya.

"Sebaiknya kembali saja ke pertapaan, Eyang Wanari. Dan Jangan sekali-kali ikut campur masalah ini," terdengar lagi suara keras menggema.

Tunjukkan dirimu, Nisanak!" teriak Eyang Wanari.

"Ha ha ha...! Apa kau tidak bisa mengetahui, di mana aku berada, Eyang Wanari? Atau memang kau sudah pikun, sehingga sama sekali tidak bisa melihatku...?"

Eyang Wanari memutar tubuhnya. Maka laki-laki tua itu terkejut bukan main. Karena, tahu-tahu tidak jauh darinya sudah berdiri seseorang mengenakan baju serba hitam. Yang membuat mata laki-laki tua pertapa ini terbeliak, karena wajah orang itu menghitam hangus seperti baru saja terbakar. Di dalam hati, Eyang Wanari mengagumi kepandaian orang itu. Dia bisa hadir tanpa diketahui. Dan ini sudah memberi satu peringatan padanya untuk tetap berwaspada penuh.

"Nisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu mengacau Kerajaan Balungan?" tanya Eyang Wanari, agak perlahan suaranya.

"Untuk apa bertanya begitu, Eyang Wanari?? Kau sudah tahu, siapa aku, dan apa tujuanku berbuat begini," sahut wanita serba hitam itu agak sinis nada suaranya.

"Kau yang bernama Nini Anjar...?" Eyang Wanari ingin meyakinkan.

"Semua orang memanggilku begitu. Tapi kau lebih tahu, siapa aku sebenarnya, Eyang Wanari," sahut wanita itu tetap sinis.

"Wajahmu hitam sekali. Dan aku tidak mungkin bisa mengenalimu. Hm.... Siapa kau sebenarnya, Nisanak?"

"Kau lihat ini, Eyang Wanari."
"Heh...?!"

Eyang Wanari terkejut setengah mati ketika wanita berwajah hitam itu mengeluarkan sebuah benda dari balik lipatan bajunya. Begitu terkejutnya, sampai-sampai laki-laki tua itu terlompat ke belakang sejauh tiga langkah. Seketika kedua bola matanya terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kau...?"
"Ha ha ha...!"

Wanita berwajah hitam hangus bagai terbakar itu tertawa terbahak-bahak Sedangkan Eyang Wanari seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Dia hanya dapat terpaku. Matanya terbeliak, dan mulutnya terbuka lebar. Tawa wanita berwajah hitam itu semakin keras dan panjang.

***

LIMA

"Ha ha ha....'"

Sukar dipercaya bagi Eyang Wanari. Laki-laki itu tidak akan pernah melupakan benda berbentuk keris kecil berwarna keemasan yang berada dalam gengga-man tangan wanita berwajah hitam ini. Dan sampai ajal datang pun, tidak akan mungkin bisa terlupakan

"Jadi..., kau..," terputus suara Eyang Wanari.

"Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Eyang Wanari. Maka sebaiknya kembali saja ke pertapaan dan jangan campuri urusanku!" dingin sekali nada suara wanita berwajah hitam itu.

"Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi. Nyai Legok?" masih terbata suara Eyang Wanari.

Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah hitam yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya adalah Nyai Legok, seorang wanita yang sangat dikenalnya. Dan Eyang Wanari tahu, siapa Nyai Legok itu. Dia dulunya adalah seorang penari berwajah cantik, dan bertubuh sintal menggiurkan. Setiap lelaki yang memandangnya, pasti tidak akan melewatkan begitu saja untuk menatapnya. Dan semua lelaki pasti berangan-angan bisa mendapatkannya. Namun Nyai Legok juga membuat setiap wanita merasa iri dan sakit hati. Terlebih lagi wanita yang sudah mempunyai suami. Karena suami-suami mereka selalu lupa daratan apabila melihat Nyai Legok menari. Menyadari kalau dirinya menjadi pusat perhatian banyak laki-laki, maka Nyai Legok memanfaatkannya.

Akibatnya tidak sedikit rumah tangga berantakan karena ulahnya. Bahkan kecantikan perempuan itu sampai mengusik hati Prabu Wijaya. Nyai Legok tak mampu berkutik, ketika Prabu Wijaya memintanya agar menari di istana. Bahkan selama tiga tahun, Nyai Legok tinggal di istana menjadi selir Prabu Wijaya. Namun entah kenapa, diam-diam perempuan itu selalu membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya. Tidak sedikit pembesar kerajaan, para pangeran, dan pejabat-pejabat kerajaan lainnya, tergila-gila pada wanita ini. Akibatnya anak dan istri mereka telantar. Bahkan mereka sampai tidak peduli kalau Nyi Legok adalah selir Prabu Wijaya.

Kebiasaan Nyi Legok membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya, ternyata tercium juga oleh Prabu Wijaya. Dan pada suatu malam, dia tertangkap basah ketika tengah bermesraan di dalam kamarnya dengan salah seorang putra pembesar yang masih belia usianya. Kemarahan Prabu Wijaya tidak tertahankan lagi. Dengan keris kecil berwarna emas, Prabu Wijaya menikam dada wanita itu, lalu merusak wajahnya. Tidak sampai di situ saja. Prabu Wijaya juga membakar Nyi Legok lalu membuangnya ke sungai deras.

"Mustahil...," desis Eyang Wanari seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Dia masih belum percaya kalau wanita yang berada di depannya adalah Nyai Legok. Dulu Legok begitu cantik. Tapi wanita di depannya wajahnya begitu mengerikan. Hitam pekat bagaikan arang. Apakah mungkin dia Nyai Legok, dan sekarang membalas dendam atas perbuatan Prabu Wijaya? Pertanyaan ini masih menjadi teka-teki yang sukar diungkapkan.

***

"Seharusnya kau tidak perlu berbuat seperti ini Nyai Legok," ujar Eyang Wanari.

"Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku, Eyang Wanari!" dengus wanita berwajah hitam itu.

"Semula aku sudah ingin melupakan. Tapi laki-laki itu malah hendak membunuh anaknya sendiri."

"Membunuh anak sendiri... ? Apa maksudmu, Nyai Legok?"

"Kau hanya seorang pertapa. Sebaiknya, tidak perlu mencampuri urusan dunia. Kembali saja ke pertapaanmu." terdengar kasar nada suara Nyai Legok.

"Kata-katamu sudah mulai kasar, Nyai Legok, " Eyang Wanari tersinggung.
"Kau yang menginginkan, dan aku sebenarnya tidak ingin berlaku kasar padamu."

"Hm...," Eyang Wanari menggumam kecil.

Laki-laki tua pertapa itu memandangi Nyai Legok dalam-dalam. Meskipun sudah menyebut perempuan berwajah hitam itu dengan nama Nyai Legok, namun dihatinya masih belum yakin kalau dia benar-benar Nyai Legok. Karena dilihatnya sendiri, bagaimana Prabu Wijaya menikamkan keris kecil berwarna emas ke dada wanita itu. Juga disaksikannya, bagaimana mayat Nyi Legok dihanyutkan ke sungai yang berair deras. Rasanya memang tidak mungkin kalau seseorang yang sudah tertikam senjata, lalu dihanyutkan ke dalam sungai, masih bisa hidup.

"Kukatakan sekali lagi, Eyang Wanari. Kembalilah ke pertapaan, dan jangan mencampuri urusan ini," kembali Nyai Legok memberi peringatan.

"Maaf. Aku harus menangkap orang yang telah membunuh muridku, dan mengadilinya di depan sidang kerajaan," sahut Eyang Wanari tegas.
"Itu berarti kau harus berhadapan denganku, Eyang Wanari."

Setelah berkata demikian, Nyai Legok menggeser kakinya ke kanan tiga langkah. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Keris kecil berwarna kuning keemasan, masih tergenggam di tangan kanannya.

"Kau yang memaksa, Eyang Wanari," desis Nyai Legok dingin.

"Hm...," Eyang Wanari hanya menggumam kecil saja. "Bersiaplah. Kita tentukan, siapa yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini.

Hiyaaat..!"

Nyai Legok langsung melompat memberi serangan cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang sudah bersiap sejak tadi, segera mengegoskan tubuhnya sedikit untuk menghindari pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan perempuan berwajah hitam itu. Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Dan mereka langsung melakukan pertarungan tingkat tinggi. Jurus-jurus yang digunakan begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Dan setiap kali tangan mereka berbenturan, selalu menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat namun belum nampak tanda-tanda ada bakal yang terdesak. Dan Eyang Wanari sendiri tidak sempat untuk bermain-main. Disadari betul kalau lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Diakui, sukar baginya untuk mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian perempuan berwajah hitam ini. Karena memang baru sekali ini mereka melakukan pertempuran.

"Uts!"

Hampir saja keris di tangan Nyai Legok menembus dada laki-laki tua pertapa itu. Untung saja Eyang Wanari segera berkelit dengan menarik tubuhnya ke samping. Namun sebelum bisa menegakkan tubuhnya, satu tendangan menggeledek menyamping telah cepat dilepaskan Nyai Legok.

"Yeaaah...!"
"Heh!"

Eyang Wanari terkejut. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Namun tanpa diduga sama sekali, Nyai Legok mampu melenting sedikit tanpa menarik kembali tendangannya. Akibatnya, Eyang Wanari jadi semakin terkejut. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindari tendangan itu. Sehingga....

Buk!
"Akh...!"

Eyang Wanari menjerit keras tertahan. Tendangan yang dilepaskan Nyai Legok telak menghantam dada laki-laki tua pertapa itu. Tak pelak lagi, tubuh tua berjubah putih itu terpental deras ke belakang. Tendangan yang dilancarkan Nyai Legok memang dahsyat bukan main. Terlebih lagi, tendangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

Bruk!

Keras sekali tubuh Eyang Wanari menghantam tanah. Dua kali laki-laki tua pertapa itu bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung, dan dari mulutnya mengeluarkan gumpalan darah kehitaman.

"Hiyaaa...!"

Saat itu Nyai Legok sudah kembali melompat memberi serangan. Sementara Eyang Wanari belum mampu menguasai tubuhnya. Dadanya masih terasa sesak, dan jalan nafasnya seakan tersumbat, akibat tendangan yang mendarat telak di dadanya.

"Modar...!"
Des!
"Akh...!"

kembali Eyang Wanari menjerit keras. Satu pukulan yang dilepaskan Nyai Legok dapat lagi dihindari, meskipun Eyang Wanari berusaha berkelit. Namun gerakannya memang sudah lamban, akibat pernafasannya belum sempurna. Seketika, tubuh laki-laki tua pertapa itu kembali terlontar jauh ke belakang, sekitar lima batang tombak. Di saat Eyang Wanari tengah bergulingan di tanah, Nyai Legok sudah kembali melompat sambil menghunus keris kecil berwarna kuning keemasan di tangan kanan. Memang tidak ada lagi kesempatan menghindar bagi Eyang Wanari. Pukulan yang dilepaskan Nyali Legok, membuatnya benar-benar tidak berdaya lagi.

"Mampus kau, Eyang Wanari! Hiyaaat..!"

Namun begitu ujung keris hampir saja menghunjam dada Eyang Wanari, mendadak saja....

Slap!
Plak!
"Ah...!"

***

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menjegal maksud Nyai Legok. Perempuan berwajah hitam itu terpental balik sambil memekik keras. Namun keseimbangan tubuhnya cepat dikuasai, dengan berputaran beberapa kali di udara. Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah. Kini di depan Eyang Wanari, berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Pada saat itu, dari balik sebuah pohon yang cukup besar, muncul seorang pemuda lain yang mengenakan baju putih. Dia bergegas berlari, menghampiri Eyang Wanari.

"Eyang..., Eyang tidak apa-apa...?" tanya pemuda itu seraya membantu Eyang Wanari duduk.

"Oh! Terimakasih, Prayoga," ucap Eyang Wanari gembira melihat Raden Prayoga membantunya duduk.

Laki-laki pertapa tua itu memandang pemuda lain yang mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu berpaling sedikit, lalu memberi senyuman. Kemudian perhatiannya kembali dipusatkan pada perempuan berwajah hitam di depannya.

"Siapa dia, Prayoga?" tanya Eyang Wanari pelan.

"Bayu, Eyang. Temanku," sahut Raden Prayoga.

Eyang Wanari mengangguk-anggukkan kepala. Dia memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Bibirnya kemudian mengembang, membentuk senyuman. Namun sebentar kemudian terbatuk, lalu memuntahkan darah kental agak kehitaman. Raden Prayoga terkejut. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi keburu dicegah laki-laki tua pertapa ini.

"Aku tidak apa-apa. Hanya sesak sedikit di dada."

"Tapi Eyang terluka. Sebaiknya Eyang ke tempat yang lebih teduh lagi."
"Baiklah. Bantu aku berdiri."

Sementara Raden Prayoga membantu Eyang Wanari pindah dari tempat itu, Bayu melangkah hendak kedepan. Sedangkan Nyai Legok sudah menguasai penuh keadaan dirinya. Ludahnya disemburkan, sambil menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.

"Heh! Siapa kau?! Berani benar mencampuri urusanku!" bentak Nyai Legok geram.

"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak suka ada orang menganiaya orang yang sudah tua," sahut Bayu kalem.

"Apa pedulimu, heh?!" bentak Nyai Legok makin geram.

"Memang tidak ada. Tapi kurasa, tidak ada baiknya kau menganiaya orang tua, Nisanak," tetap kalem suara Bayu.
"Kau terlalu banyak mulut!" desis Nyai Legok menggeram.

Kemudian perempuan itu menatap Raden Prayoga yang kini berada di tempat yang cukup aman bersama Eyang Wanari. Dan kini, tatapannya kembali pada Bayu. Bibirnya yang hitam, menyunggingkan senyuman menyeringai.

"Apakah kau salah seorang jawara dari istana terdengar sinis nada suara Nyai Legok.
"Bukan," sahut Bayu.
"Kau datang bersama bocah ingusan itu. Pasti kau adalah seorang jawara yang mengawalnya. Bagus....

Jika memang demikian, aku bisa memusnahkan sekalian keturunan tidak syah Prabu Wijaya. Dan kau....berani menghalangi, aku tidak segan-segan membuatmu jadi dendeng!" Nyai Legok menuding Bayu.

"Nisanak! Kenapa kau menyangka aku jawara istana? Aku tidak ada hubungan dengan orang orang istana manapun juga."

"Tidak ada waktu bersilat lidah, Kisanak! Jika kau masih melindungi orang tua itu dan Raden Prayoga, maka kau harus berhadapan denganku!"

"Raden Prayoga...?" Bayu benar-benar tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka melirik Raden Prayoga. Sungguh dia tidak tahu kalau pemuda berbaju putih itu ternyata seorang putra mahkota. Baru beberapa saat Pendekar Pulau Neraka mengenalnya. Dan lagi, Raden Prayoga memang tidak pernah mengatakan tentang dirinya yang sebenarnya.

"Sebaiknya kau menyingkir, Kisanak!" bentak Nyai Legok. Sehabis berkata demikian, Nyai Legok langsung melompat ke arah Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang tengah duduk di bawah pohon. Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat, mencoba menghadang arus wanita serba hitam itu.

"Hiyaaa...!"
"Uts! Keparat..!"

Kalau saja Nyai Legok tidak cepat melentingkan tubuh ke belakang dan berputaran dua kali, terjangan Bayu yang memotong itu akan melanda tubuhnya kembali. Sambil mendengus geram, perempuan berwajah hitam itu menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Dia begitu marah, karena maksudnya sudah dua kali terhalang oleh tindakan pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Keparat! Rupanya kau ingin lebih dahulu ke neraka, heh!" bentak Nyai Legok.

"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan saja.

"Hih!" Nyai Legok melintangkan keris kecil keemasan yang berada di dalam genggaman, di depan dadanya. Sorot matanya begitu tajam, langsung menusuk mata Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan. Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa berkedip, setiap gerakan kaki perempuan berwajah hitam itu.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Nyai Legok melompat cepat bagai kilat dengan keris terhunus ke depan. Bayu segera menarik kakinya ke belakang. Lalu, cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, menyambut serangan wanita berwajah hitam itu. Bayu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu secepat itu pula tangannya dihentakkan, langsung menyodok ke arah dada. Namun Nyai Legok. cepat bergerak gesit. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka itu ditangkis dengan tangan kiri, sementara hunjaman kerisnya tidak bisa mengenai sasaran.

Plak!

Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi, beradu keras di udara. Saat itu terdengar pekikan keras agak tertahan. Kemudian, mereka sama-sama memutar tubuh ke belakang, lalu meluruk turun manis sekali. Hampir bersamaan kaki mereka menjejak tanah. Begitu mendarat, Bayu langsung memberi satu pukulan lurus ke arah dada. Melihat hal itu Nyai Legok cepat berkelit, memiringkan tubuhnya. Begitu pukulan Bayu lewat, segera diberikannya serangan balasan. Kerisnya langsung dihunjamkan ke arah perut,

"Uts! Yeaaah...!"

Bayu cepat melompat ke belakang, menghindari tusukan keris kecil keemasan itu. Namun Nyai Legok terus mencecar dengan hunjaman keris beberapa kali ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Mau tak mau Bayu harus berjumpalitan, berputaran ke belakang menghindari hunjaman keris yang datang secara beruntun.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu mempunyai kesempatan, Bayu cepat melesat ke udara. Dan secepat itu pula dilontarkan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Namun tendangan Pendekar Pulau Neraka dapat dielakkan Nyai Legok dengan memiringkan tubuh kekanan. Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian mendarat manis dan ringan sekali, sekitar satu tombak jauhnya di depan perempuan bermuka hitam itu. Dan belum lagi Bayu menarik napas, Nyai Legok sudah kembali melompat menyerang.

"Hiyaaa...!"
"Hait! Yeaaah...!?

***

ENAM

Hanya sedikit saja keris kecil keemasan di tangan Nyai Legok lewat di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tubuh ke samping, lalu tangannya bergerak cepat menyodok ke dada wanita berwajah hitam itu. Sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Nyai Legok jadi terperangah. Dia cepat berusaha menghindari. Namun sebelum melakukan tindakan, sodokan tangan Bayu sudah mendarat telak sekali di dadanya.

Des!
"Akh...!"

Nyai Legok terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terkena sodokan. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalam, sehingga hanya sesak saja yang dirasakan wanita bermuka hitam itu.

"Setan...!" geram Nyai Legok mendesis sengit.

Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Beberapa kali dia mendengus sambil menyemburkan ludah. Sebentar kemudian ditatapnya Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang berada di tempat aman.

"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah keparat?!"

Setelah melontarkan ancaman, Nyai Legok segera berbalik, lalu cepat melesat pergi. Begitu cepatnya sehingga dalam sekejapan saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Bayu menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri Raden Prayoga dan Eyang Wanari.

"Bagaimana keadaanmu, Ki Tua?" tanya Bayu setelah dekat.

"Terima kasih. Aku tidak apa-apa," sahut Eyang Wanari seraya berdiri dibantu Raden Prayoga.

Bayu melirik sedikit pemuda yang membantu Eyang Wanari bangkit berdiri. Sedangkan yang dilirik seperti tidak mengetahui. Perhatian Bayu kembali tertuju pada laki-laki tua yang terlihat tengah kepayahan. Tampak ada bulatan hitam di dada Eyang Wanari.

"Kau mendapat luka, Ki," kata Bayu.
"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa saja," sahut Eyang Wanari seraya melihat noda hitam di dadanya.

"Maaf...."

Bayu meraba dada laki-laki tua itu sebentar. Kembali ditatapnya Eyang Wanari, lalu menarik napas panjang. Dia tahu kalau noda hitam di dada laki-laki tua itu akibat pukulan bertenaga dalam penuh dan mengandung racun. Tapi rupanya Eyang Wanari sudah mencegahnya dengan menotok beberapa titik jalan darah. Sehingga racun di dadanya tidak menyebar. Dan racun itu memang tidak membahayakan. Hanya dengan semadi sebentar, lalu menyayat kulit dadanya sedikit, racun itu bisa keluar.

"Sebaiknya jangan terlalu lama racun itu di dalam, Ki," kata Bayu memperingatkan.

Eyang Wanari tersenyum. Ada rasa kagum terselip dihatinya mendengar peringatan anak muda yang belum dikenalnya ini. Dia bisa tahu kalau luka itu beracun, hanya dengan meraba saja. Rasa kagum Eyang Wanari terlihat jelas dari sinar matanya tatkala memandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku akan lakukan sekarang, Anak Muda. Eh, siapa namamu tadi...?" ujar Eyang Wanari diiringi senyuman.

"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.

Eyang Wanari menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka, kemudian berbalik dan melangkah menuju kesebatang pohon yang cukup besar dan rindang. Raden Prayoga tidak jadi membantu, karena Eyang Wanari sudah menolaknya. Terpaksa pemuda itu hanya memandanginya saja.

"Kenapa kau tidak berterus terang padaku, Raden? Kenapa harus menutupi kenyataan...?" Bayu langsung menegur Raden Prayoga.

"Maaf, Bayu. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak bisa begitu saja mengatakan sesuatu yang benar," sahut Raden Prayoga.

Bayu menarik napas panjang. Jawaban Raden Prayoga begitu tepat. Memang tidak mungkin Raden Prayoga menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya pada seseorang yang baru saja dikenalnya. Keadaan memang perlu, dan Bayu menyadari betul itu.

"Baiklah, Raden. Aku memang tidak punya urusan denganmu. Apalagi untuk tahu tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Tapi jika Raden percaya padaku ceritakan saja. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, mudah-mudahan, aku dapat membantu menyelesaikannya," tegas Bayu, setelah menarik napas panjang.

"Aku memang memerlukan bantuan seseorang berkepandaian tinggi, Bayu. Kau sudah mengalami sendiri. Orang yang sedang kami hadapi memiliki kepandaian tinggi sekali. Bahkan Eyang Wanari sendiri tidak dapat mengatasinya," jelas Raden Prayoga.

Bayu melirik Eyang Wanari yang sudah melakukan semadi di bawah pohon yang cukup rindang. Tampak di dada laki-laki tua itu mengalir darah kental kehitaman. Rupanya Eyang Wanari sudah menyayat kulit yang bernoda hitam untuk mengeluarkan darah yang mengeram di dadanya. Cara yang dilakukan Eyang Wanari, sama persis dengan apa yang dipikir Bayu sebelumnya.

"Mari, Bayu. Kita cari tempat yang lebih enak. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku percaya kau memiliki kemampuan tinggi dan dapat menandingi perempuan berwajah hitam itu," ajak Raden Prayoga.

Bayu tidak menjawab. Diikutinya saja Raden Prayoga yang berjalan perlahan mencari tempat tenang dan nyaman untuk menceritakan semua peristiwa dikerajaannya.

***

Tepat setelah Raden Prayoga selesai menceritakan semua yang terjadi di kerajaannya, Eyang Wanari juga selesai bersemadi. Laki-laki tua itu menghampiri kedua anak muda ini. Raden Prayoga memperkenalkan Bayu pada Eyang Wanari lebih jauh lagi. Begitu Raden Prayoga menyebutkan julukan Bayu, Eyang Wanari jadi berkerut keningnya.

"Ada apa, Eyang?" tanya Raden Prayoga melihat Eyang Wanari mengamati Bayu begitu dalam.

"Aku sering mendengar nama Pendekar Pulau Neraka. Tidak kusangka, ternyata orangnya masih muda dan gagah," ungkap Eyang Wanari.

"Ah! Mungkin yang Eyang dengar sangat berlebihan," ucap Bayu merendah.

Eyang Wanari memandangi pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Di situ, menempel sebuah benda berbentuk cakra bersegi enam yang berkilat keperakan. Bayu agak risih juga dipandangi demikian, tapi mendiamkan saja.

"Apakah itu Cakra Maut..?" tanya Eyang Wanari.

"Benar," sahut Bayu jadi heran.

"Apa hubunganmu dengan Gardika si Maut?" tanya Eyang Wanari lagi.

Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan dan tidak langsung menjawab. Tatapan matanya berubah lain, dan memancarkan sinar kecurigaan. Pendekar Pulau Neraka memang selalu curiga setiap kali ada orang yang mengenal gurunya. Karena, dia sendiri juga mengembara untuk mencari orang-orang yang telah membuat gurunya cacat dan sengsara di Pulau Neraka yang gersang dan angker. Di samping itu, dia juga tetap berusaha mencari kabar tentang ibunya yang katanya masih hidup dan entah ada mana.

"Dulu aku kenal seorang tokoh persilatan yang tangguh. Dia juga menggunakan senjata seperti milikmu, Bayu. Julukannya si Cakra Maut," kata Eyang Wanari mengenang.

"Apakah kau bermusuhan dengannya?" tanya Bayu.

"Jalan hidupku memang berbeda jauh dengan Cakra Maut. Tapi aku tidak pernah mencampuri urusannya, selama dia tidak mencampuri urusanku. Jalan hidup kami memang berbeda, tapi tetap bersahabat dan saling menghormati. Yaaah.... Aku sendiri menyesalkan kejadian yang menimpa dirinya. Dan hingga sampai saat ini, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya," kembali Eyang Wanari mengenang.

Bayu terdiam. Tatapan matanya masih tetap mengandung kecurigaan. Hatinya belum yakin kalau Eyang Wanari bersahabat dengan gurunya. Namun, sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak menampakkan kecurigaannya terhadap laki-laki tua ini. Bahkan berharap kalau Eyang Wanari bukan salah seorang da-ri mereka yang membuat Eyang Gardika jadi cacat seumur hidup, dan harus menderita di Pulau Neraka.

"Eyang, bagaimana kalau kita kembali dulu ke istana...?" selak Raden Prayoga, mencoba mengusir kekakuan yang terjadi.

"Itu lebih baik lagi, Raden. Hm.... Bagaimana, Bayu? Kau bersedia ikut ke istana? Nanti kita bisa bicara banyak di sana," sambut Eyang Wanari.

"Bagaimana, Bayu?" desak Raden Prayoga.

Bayu tidak bisa lagi menolak, dan hanya bisa mengangkat bahu untuk menyetujui permintaan ini. Tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, mereka kemudian berangkat meninggalkan tempat itu menuju Istana Balungan.

***

Selama dua hari Bayu tinggal di Istana Balungan, tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi. Namun Pendekar Pulau Neraka sempat mendapat suatu kesan janggal dari Permaisuri Retna Nawangsih. Kesan yang sukar dikatakan, karena perempuan setengah baya itu seperti tidak menyukai kehadirannya di lingkungan istana ini. Bukan hanya Bayu saja yang merasakan ketidaksenangan Permaisuri Retna Nawangsih, tapi Eyang Wanari yang merasakan demikian. Bahkan sikap Permaisuri Retna Nawangsih terhadap Eyang Wanari juga berubah. Sempat juga Permaisuri Retna Nawangsih menegur keras Eyang Wanari, agar tidak terlalu dekat dengan Bayu. Malah laki-laki tua diminta untuk melarang Raden Prayoga banyak bicara dengan Pendekar Pulau Neraka.

Hal ini membuat Eyang Wanari jadi tidak mengerti. Dan dia berpendapat, hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu pada Bayu, sebelum bicara pada Raden Prayoga. Karena Bayu sendiri sudah berterus terang, dirinya adalah murid Eyang Gardika, sahabat Eyang Wanari. Bayu membuka rahasia setelah merasa yakin kalau Eyang Wanari bukan orang yang telah membuat gurunya menderita cacat seumur hidup. Saat senja telah menyelimuti seluruh bumi Kerajaan Balungan, Eyang Wanari sudah berada di depan pintu kamar yang disediakan untuk Bayu menginap diIstana Balungan ini. Pintu yang tertutup rapat itu diketuk perlahan, seakan-akan takut ada orang lain yang mengetahuinya.

"Siapa...?" terdengar suara dari balik pintu.

"Aku," sahut Eyang Wanari.

Pintu itu terbuka sedikit. Muncul seraut wajah tampan dari baliknya. Begitu mengetahui siapa yang berada di depan pintu, pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka pintu lebar-lebar. Eyang Wanari bergegas masuk, lalu menutup kembali pintu kamar itu. Segera didekatinya jendela yang terbuka lebar, dan melongok keluar. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja dengan kening berkerut.

"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu heran melihat tingkah laki-laki tua pertapa yang demikian aneh.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang tahu aku berada di sini," sahut Eyang Wanari seraya menghempaskan dirinya di kursi.

"Kenapa harus takut?" tanya Bayu. Dia duduk di tepi pembaringan.

"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai seorang pun di dalam istana ini."

Bayu mengangkat bahunya. Bisa dimengerti, mengapa Eyang Wanari begitu khawatir. Laki-laki tua pertapa itu sudah mengatakan kecurigaannya pada Pendekar Pulau Neraka. Dia curiga kalau semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Balungan didalangi Permaisuri Retna Nawangsih. Bagi Bayu sendiri, kecurigaan itu memang beralasan. Ini setelah Eyang Wanari menceritakan riwayat Permaisuri Retna Nawangsih, hingga sampai menjadi seorang permaisuri, mendampingi Prabu Wijaya memerintah kerajaan ini.

"Ada sesuatu yang hendak kau bicarakan denganku, Eyang?" tanya Bayu setelah melihat raut wajah Eyang Wanari mulai agak tenang.

"Ya, dan penting sekali," sahut Eyang Wanari.

"Masalahnya...?"

"Terus terang, Bayu. Ini menyangkut keselamatanmu sendiri. Bahkan bukannya tidak mungkin, keberadaanmu di sini menimbulkan ketidaksenangan seseorang," pelan sekali suara Eyang Wanari, seperti khawatir kalau ada orang lain yang mendengar.

"Maksud Eyang, Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku?" tebak Bayu langsung.

"Aku tidak mengatakan demikian, Bayu. Tapi perasaanku mengatakan begitu," kata Eyang Wanari.

"Mungkin dari situlah aku bisa memulai, Eyang. Atau mungkin itu merupakan suatu petunjuk yang nyata untuk mencari pembunuh Prabu Wijaya," jelas Bayu kalem.

"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Bayu?" tanya Eyang Wanari tidak mengerti.

Bayu tidak segera menjawab, dan hanya senyum saja. Segera Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pembaringan, lalu melangkah mendekati jendela. Dia berdiri memandang ke luar, menikmati udara senja ini dan menikmati harumnya bunga-bunga yang bermekaran di bawah jendela. Sementara Eyang Wanari terus menunggu jawaban pemuda berbaju harimau ini.

"Hal yang sangat mudah, Eyang. Kegelisahan seseorang, merupakan satu petunjuk berarti yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasanya sangat tidak beralasan bila Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku. Kalau dia merasa kehilangan atas kematian suaminya, tentu sangat berharap dapat menemukan pembunuhnya. Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya. Bahkan seperti melupakan begitu saja, dan terus mendesak Raden Prayoga naik tahta," Bayu mencoba menjelaskan pengamatannya.

"Hebat..! Sungguh aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Bayu," puji Eyang Wanari, tulus.

"Kecurigaan Eyang Wanari yang membuatku berpikir ke sana," Bayu merendah.

"Sebaiknya teruskan saja hasil pengamatan mu, Bayu," pinta Eyang Wanari. Dia tahu kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ingin dipuji.

"Dari pengamatanku selama dua hari ini, tidak ada seorang pun pembesar istana yang terlibat. Dan peristiwa ini bukan bertujuan untuk meruntuhkan Kerajaan Balungan, tapi lebih tepat bila dikatakan sebuah balas dendam," lanjut Bayu.

"Maksudmu...?" Eyang Wanari meminta penjelasan.

Secara rinci, Bayu menjelaskan hasil pengamatannya selama dua hari berada di Istana Balungan ini. Sementara Eyang Wanari mendengarkan penuh perhatian. Dan mereka terus mengobrol sampai jauh malam. Pembicaraan itu berkisar dari peristiwa yang terjadi di istana ini. Bahkan Eyang Wanari secara gamblang membuka semua rahasia keluarga istana. Baik tentang sebuah kutukan yang datang dari para Dewata terhadap Prabu Wijaya, maupun asal-usul Permaisuri Retna Nawangsih, dan kedua putranya. Mereka saling bertukar keterangan selama di Kerajaan Balungan. Dan ini membuat mereka menemukan suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan.

***

TUJUH

Hingga jauh malam, Eyang Wanari berada dalam kamar Pendekar Pulau Neraka. Walaupun laki-laki tua pertapa itu telah membeberkan riwayat Prabu Wijaya serta Permaisuri Retna Nawangsih dan kedua anaknya, tapi Bayu belum begitu yakin akan hal ini. Masih sulit dipercaya kalau Prabu Wijaya melakukan persekutuan dengan iblis, hanya untuk menutupi rasa malu karena tidak mendapatkan keturunan. Setelah kokok ayam jantan terdengar, Eyang Wanari baru keluar dari kamar itu. Bayu mengantarkannya sampai di depan pintu. Laki-laki tua pertapa itu sempat memberi pesan agar Pendekar Pulau Neraka berhati-hati. Dan Bayu menanggapinya dengan senyuman saja. Eyang Wanari melangkah menuju kamarnya sendiri. Namun begitu sampai di depan pintu kamarnya, dia tidak jadi membuka pintu.

"Aku ingin berjalan-jalan sebentar," desah Eyang Wanari. Kembali kakinya melangkah, tidak jadi masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk istirahatnya. Laki-laki tua pertapa itu melangkah ke bagian belakang bangunan istana. Dia terus berjalan sambil menikmati udara segar di pagi buta ini. Suara kokok ayam jantan semakin ramai terdengar, ditambah kicauan burung yang merdu, menyambut datangnya pagi.

"Hhh...! Kejadian ini membuatku selalu merasa tegang. Udara bersih, kicauan burung, membuat jernih pikiranku," kembali Eyang Wanari bergumam, bicara sendiri.

"Akan lebih jernih lagi bila ditemani, Eyang Wanari...."

"Heh...?!" Eyang Wanari terperanjat ketika tiba tiba saja terdengar suara dari belakang.

Begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Eyang Wanari semakin terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak menghindar. Hingga....

Begkh!
"Akh...!"

Eyang Wanari terpekik. Tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terpental deras kebelakang. Seketika punggungnya menghantam sebongkah batu sebesar perut kerbau. Namun dia cepat melompat bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang kepala. Ditambah lagi, dadanya jadi terasa sesak, sukar untuk bernapas. Pada saat itu, kembali terlihat satu bayangan hitam berkelebat cepat menyambarnya. Eyang Wanari bergegas menjatuhkan tubuh ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan hitam itu. Kemudian dia cepat melompat bangkit berdiri, sebelum bayangan hitam itu menyerang kembali.

"Hap!"

Eyang Wanari segera bersikap menyambut serangan lawan. Namun orang berbaju hitam itu malah berdiri saja di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi. Dia berdiri membelakangi laki-laki tua pertapa itu, seakan-akan tidak ingin wajahnya dikenali.

"Kau sudah diperingatkan, Eyang Wanari. Tapi kau terlalu keras kepala. Terpaksa aku harus membunuh-mu!" terdengar dingin suara orang itu.

Dari nada suaranya, Eyang Wanari sudah mengetahui kalau orang itu adalah wanita. Dan sebelum bisa memastikan siapa yang berdiri di atas dahan pohon, mendadak saja orang berbaju hitam itu sudah melentingkan tubuhnya. Dia berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah laki-laki tua pertapa itu.

"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Tubuh Eyang Wanari cepat melenting ke udara. Dan secara bersamaan, mereka menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan beradu keras di udara, hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar.

Glarrr...!

Mereka sama-sama terpental balik ke belakang, lalu berputaran di udara sebelum mendarat kembali ditanah. Eyang Wanari agak terhuyung ke belakang. Sedangkan wanita berbaju hitam itu mendarat manis di tanah. Dan dengan kecepatan tinggi, tubuhnya kembali melompat menerjang laki-laki tua pertapa itu.

"Hiyaaat..!"
Bet!

Mendadak saja wanita berbaju hitam itu mencabut sebilah pedang dari balik lipatan baju, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah leher Eyang Wanari. Namun laki-laki tua pertapa itu cepat bertindak, dengan menarik kepala ke belakang. Maka tebasan pedang keperakan yang tipis dan pendek itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya.

"Hup!"

Cepat Eyang Wanari melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran dua kali sebelum mendarat kembali di tanah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, orang berbaju serba hitam itu sudah kembali menyerang. Bahkan kini di kedua tangannya tergenggam sepasang pedang yang tipis, sepanjang tiga jengkal. Serangan-serangan yang dilakukan orang itu cepat luar biasa, membuat Eyang Wanari agak kewalahan menghadapinya. Namun berkat pengalamannya bertarung dalam rimba persilatan, ditambah lagi tingkat kepandaiannya yang tinggi, laki-laki tua itu masih mampu meredam setiap serangan yang datang mengancam nyawanya. Hingga suatu ketika, Eyang Wanari melentingkan tubuh ke udara, tepat saat sebuah pedang berkelebat mengarah ke kaki. Bagaikan kilat, tangan laki-laki tua itu bergerak cepat menjambret kain yang menutupi kepala orang itu.

Bret!
"Auw...!"

Orang berbaju hitam itu terpekik kaget. Cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang tiga kali. Penutup kepalanya telah terenggut, dan kini berada di tangan Eyang Wanari. Kini wajah orang itu dapat jelas terlihat. Eyang Wanari terperanjat begitu dapat melihat muka orang itu.

"Heh...! Kau...?"

Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja wanita berbaju hitam itu sudah melontarkan satu pedangnya cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang tengah terpana, tidak dapat lagi berkelit. Dan....

Bles!
"Aaakh...!"

Pedang itu menancap tepat di dada yang kurus kerempeng tertutup jubah putih panjang. Eyang Wanari menjerit melengking tinggi. Begitu dalamnya pedang itu menembus dada Eyang Wanari, hingga ujungnya mencuat sampai ke punggung. Dan sebelum Eyang Wanari menyadari apa yang terjadi, wanita berbaju hitam itu sudah melompat cepat bagaikan kilat disertai teriakan keras menggetarkan jantung.

"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!

Darah langsung muncrat keluar begitu satu pedang lagi dibabatkan ke leher laki-laki tua pertapa itu. Eyang Wanari tidak dapat bersuara lagi. Hanya sebentar dia mampu berdiri tegak. Dan begitu wanita berba-ju hitam itu mencabut pedang yang tertanam dalam di dadanya, tubuh Eyang Wanari ambruk ke tanah. Kepalanya terpisah dari leher. Darah seketika menyembur deras sekali dari leher yang terpenggal buntung.

"Kau tidak akan mati kalau menuruti kata-kataku, Eyang Wanari," desis wanita itu dingin.

Dibersihkannya darah yang melekat pada pedang, kemudian disimpannya kembali di balik lipatan baju. Kepalanya langsung terdongak begitu mendengar langkah-langkah kaki yang berlarian cepat menuju kearahnya. Tampak sekitar dua puluh prajurit berlarian mengikuti Raden Prayoga menuju ke tempat ini.

"Hup!"

Wanita berbaju hitam itu cepat melentingkan tubuh, meninggalkan mayat Eyang Wanari yang terbujur tak bernyawa dengan kepala terpisah dari leher. Bersamaan dengan lenyapnya bayangan tubuh hitam itu, Raden Prayoga dan prajurit-prajurit yang mengikuti tiba. Mereka terkejut begitu melihat tubuh Eyang Wanari terbujur kaku tak berkepala lagi.

"Eyang...!" pekik Raden Prayoga terkesiap.

***

Sementara itu, jauh di sebelah Timur Istana Balungan, seseorang berpakaian serba hitam berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya berlari, seaakan kedua kakinya tidak menjejak tanah sama sekali. Dia terus berlari cepat, menerobos hutan yang ada di sebelah Timur perbatasan kota kerajaan ini. Sedikitpun kecepatan larinya tidak dikurangi, meskipun sudah berada di dalam hutan yang cukup lebat dan gelap. Pagi ini matahari memang belum menampakkan diri, meskipun kokok ayam jantan dan kicauan burung sudah sejak tadi memanggilnya.

Setelah cukup jauh masuk ke dalam hutan, ayunan kakinya berhenti. Sebentar kepalanya menoleh kebelakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Kakinya kembali terayun beberapa tindak, mendekati semak belukar. Tangannya menyibakkan semak itu. Tampak sebuah mulut gua yang cukup besar berada dibalik semak belukar kering. Bergegas dimasukinya gua itu.

"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam gua.

"Aku," sahut orang berbaju serba hitam itu.

Gua ini tidak terlalu panjang, tapi cukup besar. Seonggok api unggun terlihat menyala di bagian tengah, membuat gua ini terasa hangat dan terang. Tampak di salah satu sudut, duduk seorang wanita yang juga mengenakan pakaian hitam. Seluruh kulit tangan, kaki, dan wajahnya mengelupas, seperti bekas terkena api. Juga terdapat benjolan-benjolan seperti bisul di wajahnya. Dan di sudut lain, tampak seorang gadis tengah berbaring dengan tangan terikat merentang. Di samping gadis itu berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya indah dari bahan sutra halus berwarna biru muda.

"Ibu...," ucap pemuda itu seraya bergegas menghampiri orang berbaju hitam yang baru saja datang.

"Bagaimana dia?" tanya wanita berbaju serba hitam itu seraya. melirik gadis yang terbaring dengan tangan terikat.

"Tadi menjerit-jerit. Terpaksa dia kuberi totokan," sahut pemuda itu.
"Dan kau, Anjar?" wanita berbaju hitam itu memandang gadis berwajah buruk.

"Tidak ada masalah. Hanya saja mungkin wajahku tetap begini," sahut wanita itu yang ternyata adalah Nini Anjar.

"Maaf, kau harus menanggung semuanya."

"Ah! Jangan berkata seperti itu, Gusti Permaisuri. Semua ini aku lakukan demi membalas budi Gusti Permaisuri yang begitu besar. Gusti telah menyelamatkan ayahku dari hukuman gantung, menjadi hukuman buang"

"Tapi aku belum bisa mendapat kabar tentang ayahmu yang menjalankan hukuman buang.

"Tidak mengapa, Gusti. Aku sudah tidak memikirkannya lagi."

Wanita berbaju serba hitam yang ternyata memang Permaisuri Retna Nawangsih, kembali mengalihkan pandangan pada pemuda tampan di depannya. Pemuda ini tadi memanggil dirinya dengan sebutan ibu. Sebenarnya, Nini Anjar memang orang suruhan Permaisuri Retna Nawangsih. Untuk melaksanakan niat permaisuri itu, wanita berwajah buruk itu diharuskan menyebarkan kutukan kepada seluruh rakyat. Itulah sebabnya, dia dihukum bakar oleh Prabu Wijaya. Namun, di luar dugaan Nini Anjar bisa bebas, walaupun juga menderita luka bakar.

"Sebentar lagi kau akan jadi raja, Widura. Wajahmu mirip sekali dengan Prayoga. Dan dengan sedikit perubahan saja, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan antara kau dan Prayoga," ujar Permaisuri Retna Nawangsih.

Pemuda yang dipanggil Widura itu hanya tersenyum saja. Dia memang mirip sekali dengan Raden Prayoga. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau Raden Prayoga memiliki kumis tipis di atas bibirnya, Widura sama sekali tidak mempunyai. Dan kalau dia memiliki kumis, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan antara pemuda ini dengan Prayoga.

"Kapan aku akan menduduki tahta, Bu?" tanya Widura.

"Sehari setelah penobatan Prayoga, kau akan menggantikannya. Dan untuk selamanya kau akan menjadi raja di Balungan."

"Tapi, bukankah Prayoga juga anak Ibu...?'

"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu, Widura? Prayoga bukanlah anakku. Waktu aku mengandung dirimu, ada seorang selir yang juga mengandung. Dan kami melahirkan dalam waktu berselisih satu hari saja. Mungkin karena kehendak Yang Maha Kuasa, wajahmu begitu mirip Prayoga, Anakku."

"Tapi, kenapa Ibu harus melakukan semua ini. Juga kenapa aku diasingkan. Bahkan Ibu mengangkat Prayoga sebagai anak?" kembali Widura meminta penjelasan.

"Karena kau juga bukan putra Prabu Wijaya, Anakku. Seperti juga Prayoga yang lahir dari selir. Dia juga bukan putra Prabu Wijaya. Kau tahu, Anakku. Prabu Wijaya tidak akan mendapatkan keturunan. Dia mendapat kutukan dari Dewata, karena telah membunuh anak seekor ular jelmaan Dewa. Seumur hidup, dia tidak akan memiliki keturunan. Itulah sebabnya, kenapa aku mau melakukan penyelewengan hingga kau lahir."

"Tapi, bukankah Ayahanda Prabu Wijaya tahu?"

"Memang benar. Dan aku terbebas dari hukuman setelah berjanji tidak akan berbuat lagi. Maka aku terpaksa membunuh ayah kandungmu yang sebenarnya. Dia adalah salah seorang pembesar istana. Hal ini kulakukan demi kau. Agar kau bisa menjadi Raja Balungan. Sebab untuk menghindari hal hal yang tak diinginkan, Prabu Wijaya menunjuk Prayoga menjadi putra mahkota. Di lain hal, Prabu Wijaya memang sudah tidak kuat lagi menanggung malu karena tidak memiliki keturunan. Bahkan dia juga tidak melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Itu pula sebabnya, kenapa selir-selirnya selalu melakukan penyelewengan. Tapi mereka yang merasa hamil, langsung bunuh diri sebelum dihukum mati Prabu Wijaya. Hanya satu yang bisa hidup. Dan itu karena aku memintanya agar membiarkan selir itu melahirkan Prayoga. Meskipun nantinya aku harus mengasingkan mu. Karena anak selir itu, harus menggantikan mu sebagai anakku."

"Lalu, gadis itu...?"

"Empat tahun setelah kau dan Prayoga lahir, ada lagi seorang selir yang hamil. Aku meminta pada Prabu Wijaya untuk mengasingkan saja selir itu. Kemudian aku berpura-pura mengandung hingga selir itu melahirkan"

"Untuk apa Ibu melakukan hal itu?"

"Karena banyak orang yang tidak percaya kalau Prabu Wijaya bisa memiliki keturunan. Apalagi semua pembesar kerajaan tahu, kalau Prabu Wijaya tidak mungkin memiliki keturunan karena dikutuk Dewata. Dengan cara begini, keraguan semua orang jadi terhapus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu Wijaya padaku, dia memperbolehkan aku merawat dan mengangkat Prayoga serta Dian Lestari sebagai anak. Tanpa seorang pun yang mengetahuinya, kecuali Eyang Wanari. Tapi dia sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini pada siapa pun juga. Dan jika rahasia ini diceritakan pada orang lain, maka dia dan orang itu harus mati."

"Tapi dia telah menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau Neraka, Gusti Permaisuri," selak Nini Anjar.

"Hm, dari mana kau tahu?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Maaf, Gusti Permaisuri. Dalam beberapa hari ini aku sudah bisa ke luar. Dan aku juga pernah bertemu pemuda itu. Bahkan sempat bertarung melawan Eyang Wanari."

"Kenapa kau lakukan itu, Anjar?"

"Aku merasa harus membantumu, Gusti. Karena kudengar mereka mulai mencurigaimu. Terutama sekali Eyang Wanari. Maafkan aku, Gusti. Semua ini kulakukan demi membalas kebaikanmu. Aku banyak berhutang budi padamu. Bukan saja kau menyelamatkan ayahku dari hukuman mati. Tapi juga merawat dan membesarkan ku, setelah Prabu Wijaya membunuh ibuku dan menghanyutkannya ke sungai. Aku pun rela menanggung derita setelah menyebarkan kutukan itu pada rakyat"

"Ah! Sudahlah. Kau tidak perlu mengingat-ingat itu lagi. Biarkan Nyai Legok, ibumu itu tenang. Dan setelah ini, jika kau mau, kau bisa mencari ayahmu."

"Terima kasih, Gusti. Rasanya aku tidak ingin lagi bertemu ayahku."
"Kenapa? Karena sekarang wajahmu rusak?"

Nini Anjar tidak menjawab, dan hanya diam saja. Memang setelah Prabu Wijaya menjatuhi hukuman bakar padanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi bertemu ayahnya kembali, yang kini berada di mana. Apalagi tubuhnya sempat terjilat api. Untung saja Permaisuri Retna Nawangsih cepat menyelamatkannya, tanpa sepengetahuan siapa pun.

"Jika kau ingin memulihkan wajahmu kembali, aku kenal seorang tabib yang bisa mengembalikan kecantikanmu, Anjar," jelas Permaisuri Retna Nawangsih, bisa merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.

"Seperti aku. Wajahku bisa berubah menjadi apa saja. Bahkan aku sempat mengecoh orang-orang istana dengan menyamar sebagai Nyai Legok. Dengan begitu, mereka akan mengira kalau ibumu masih hidup. Jadi, tidak ada yang memusatkan perhatian padamu, atau padaku."

"Terima kasih, Gusti Permaisuri," ucap Nini Anjar.

"Nah! Apa kau masih juga merasa tidak pantas mencari ayahmu?"

Nini Anjar hanya diam saja. Baginya, tidak mungkin bisa memulihkan keadaan wajah dan kulit tubuhnya yang telah rusak begini, akibat terbakar.

"Pergilah ke Gunung Parungu. Temui Nyai Kempala, seorang ahli obat-obatan. Aku pernah belajar beberapa ilmu pengobatan padanya. Aku yakin, kau akan diterima baik dan bisa kembali seperti semula. Katakan saja kalau kau adalah muridku. Dan dia pasti tahu," kata Permaisuri Retna Nawangsih memberi tahu.

"Aku akan ke sana setelah Adi Widura naik tahta, Gusti," sahut Nini Anjar.

"Terima kasih, Nini Anjar. Kau baik sekali," ucap Widura.

Nini Anjar hanya tersenyum saja.

"Sudah pagi. Kalian pasti belum tidur semalaman, tidurlah. Aku akan kembali ke istana. Aku tidak ingin ada yang tahu, kalau aku keluar dari kamar."

"Hati-hati, Ibu."

"Jaga Dian baik-baik. Jangan sampai dia terluka. Aku tidak ingin dia jadi korban. Cukup sampai di situ saja pengorbanannya. Hm.... Maafkan aku, Dian. Terpaksa aku harus mencari seseorang yang bisa kujadikan boneka hidup," kata Permaisuri Retna Nawangsih.

"Akan kuperhatikan pesan Ibu," sahut Widura.

Permaisuri Retna Nawangsih tersenyum, kemudian memutar tubuhnya. Dia langsung cepat melesat pergi. Widura juga bergegas mengikuti, dan merapikan semak yang menutupi mulut gua ini. Dia segera kembali, lalu melirik Nini Anjar yang sudah membaringkan tubuhnya, di atas selembar permadani cukup tebal.

"Bangunkan aku tengah hari nanti, Widura," Nini Anjar berpesan.

"Kau akan keluar lagi?" tanya Widura.
"Aku penasaran pada pemuda itu."
"Pendekar Pulau Neraka...?"

"Benar. Aku ingin tahu, sejauh mana hubungannya dengan Raden Prayoga."
"Mungkin juga hanya teman biasa saja."

"Aku merasa kalau dia bukan hanya sekadar teman. Tampaknya dia telah tahu banyak, dan membahayakan kita semua."

"Jangan menduga terlalu jauh, Kak Anjar."

"Aku hampir saja mati olehnya di hutan ini. Untung saja kau cepat menolongku, Widura. Aku yakin dia sudah tahu banyak. Aku akan menghentikan segala pekerjaannya."

"Apa tidak sebaiknya dibicarakan dulu pada ibu? Widura memberikan saran.
"Ibumu tidak akan mengizinkan. Biar semua ini aku tangani sendiri," Nini Anjar menolak.

"Terserah kau sajalah, asal hati-hati. Tampaknya dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Aku sendiri mungkin tidak akan mampu menghadapinya, meskipun ilmu meringankan tubuhku hampir setara dengan ibu."

"Terima kasih. Kau tidak perlu khawatir tentang aku, Widura," ucap Nini Anjar.
"Selama ini hanya kau yang kukenal. Tidak ada salahnya jika aku mencemaskan mu, Kak."

Nini Anjar hanya tersenyum saja. Ada sedikit keharuan di hatinya mendengar kata-kata pemuda ini. Dia menilai kalau sebenarnya Widura tidaklah seburuk yang disangka orang. Dan pemuda ini pernah mengemukakan isi hatinya, kalau sebenarnya tidak menyetujui tindakan ibunya. Tapi demi bakti terhadap orang tua, dia tidak bisa menolak dan tetap akan membela ibunya. Apa pun yang akan terjadi nanti.

"Tidur saja, Kak. Semalam aku sempat tidur."

Tapi Nini Anjar memang sudah tidur. Dengkurnya begitu halus dan lembut sekali. Dia pasti lelah, karena semalaman tidak memejamkan mata sedikit pun. Sedangkan Widura hanya duduk saja di dekat api unggun. Beberapa kali matanya melirik Dian Lestari yang tampak tertidur lelap.

"Kau cantik sekali, Dian. Sayang, Ibu tidak mengizinkan aku terlalu dekat denganmu," desah Widura.

***

DELAPAN

Permaisuri Retna Nawangsih terkejut ketika membuka pintu kamarnya. Ternyata di dalam kamar sudah berkumpul Raden Prayoga, Pendeta Suratmaja, Patih Laksana, Panglima Pangkar dan Pendekar Pulau Neraka, serta sepuluh orang prajurit. Juga ada beberapa pembesar lainnya.

Sementara buat Panglima Pangkar sendiri, sudah bisa menghapus kecurigaan Pendeta Suratmaja yang menyangka dirinya menyimpan rahasia dalam kemelut ini. Ini dibuktikan di hadapan Raden Prayoga dan Pendekar Pulau Neraka. Pembuktian itu berupa sumpah setia dengan ancaman hukuman bakar. Dan pada kenyataannya, Panglima Pangkar selalu bersama-sama dengan Raden Prayoga. Jadi, tak ada alasan bagi Pendeta Suratmaja mencurigai Panglima Pangkar.

Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih lebih terkejut lagi, karena di belakangnya kini sudah berdiri berjajar sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata tombak dan pedang terhunus.

"Prayoga! Ada apa ini? Kenapa mereka berkumpul semua di sini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Maaf, Bu. Aku terpaksa menangkapmu," jelas Raden Prayoga perlahan. Nada suaranya agak tertahan, dan matanya sedikit merembang berkaca-kaca.

"Menangkapku...? Kau jangan gila, Anakku. Aku ini ibumu. Kenapa kau ingin menangkapku...?" agak keras suara Permaisuri Retna Nawangsih.

"Kenapa Ibu masih menyebutku anak?" Raden Prayoga balik bertanya.

"Prayoga...!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, langsung memerah wajahnya.

"Dari mana Ibu sepagi ini?" tanya Raden Prayoga lagi. "Untuk apa kau bertanya seperti itu?" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, balik bertanya.

Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kamarnya. Dia mulai merasa kalau segala apa yang telah dilakukannya, pasti sudah terbongkar. Tatapan matanya langsung tertuju pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri di samping Raden Prayoga. Sorot mata penuh kebencian tersirat jelas saat menatap pemuda berbaju kulit harimau itu. Permaisuri Retna Nawangsih yakin kalau Pendekar Pulau Nerakalah yang telah membongkar semua kepalsuan dan keinginannya untuk menguasai Kerajaan Balungan secara penuh.

"Keluar kalian semua!" bentak Permaisuri Retna Nawangsih.

Namun tidak ada seorang pun yang beranjak. Permaisuri Retna Nawangsih mulai mengepalkan tangannya. Disadari kalau tidak mungkin lagi bisa berdalih. Dan pasti mereka semua telah menunggunya kembali dari hutan.

"Mereka pasti sudah tahu kalau aku yang membunuh Eyang Wanari," gumam Permaisuri Retna Nawangsih dalam hati. "Ini pasti perbuatan anak muda keparat itu...!"

Kembali Permaisuri Retna Nawangsih menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang ditatap, membalas tidak kalah tajam.

"Kenapa ini harus terjadi, Bu? Apakah Ibu tidak sadar, kalau niat buruk pasti akan ketahuan juga...?" terdengar jelas kalau suara Raden Prayoga semakin tersendat.

"Membalas kematian adikku!" sahut Permaisuri Retna Nawangsih tegas.

Dia merasa tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Dan ini memang sudah diperkirakan sejak semula. Tapi sama sekali tidak disangka kalau akan terbongkar begitu cepat, sebelum maksud utamanya menguasai seluruh wilayah Kerajaan Balungan terlaksana. Di samping itu, dia ingin menempatkan putranya sebagai raja di kerajaan ini.

"Prabu Wijaya telah membunuh adikku yang bernama Nyai Legok. Dan aku sudah bersumpah untuk, membalas dendam. Nah! Kau sudah puas, Prayoga...?" tetap lantang suara Permaisuri Retna Nawangsih.

Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut mendengar pengakuan Permaisuri Retna Nawangsih. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau wanita ini adalah kakak Nyai Legok, seorang penari yang diangkat selir oleh Prabu Wijaya. Tapi Nyai Legok melakukan penyelewengan, sehingga Prabu Wijaya sendiri yang memberikan hukuman mati. Lalu, panglimanya diperintahkan membuangnya ke sungai. Selama itu memang tidak ada yang tahu tentang asal-usul Nyai Legok. Bahkan tidak ada yang tahu kalau penari yang diangkat selir itu sudah mempunyai anak, yaitu Nini Anjar.

"Maaf, Bu. Aku harus menangkapmu. Dan sebaiknya ibu jangan melakukan perlawanan, agar hukumannya lebih ringan," kata Raden Prayoga, dengan perasaan berat.

"Ha ha ha?! Tidak semudah itu menangkapku, Prayoga!"

Selesai berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih seketika bergerak cepat. Tubuhnya diputar sambil mencabut pedang kembarnya yang tersembunyi di balik lipatan baju. Wanita separuh baya ini sudah berganti baju, tidak lagi mengenakan pakaian hitam-nya.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Begitu cepat gerakan yang dilakukan Permaisuri Retna Nawangsih, sehingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan tahu-tahu terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya beberapa prajurit di belakang perempuan separuh baya itu. Dan sebelum ada yang sempat berbuat sesuatu, perempuan separuh baya itu sudah melompat cepat keluar dari kamar ini.

Hihaaa....'"
Brak!

Jendela kamar seketika hancur berantakan diterjang Permaisuri Retna Nawangsih. Di saat tubuh perempuan separuh baya itu melesat dengan menerobos jendela, saat itu juga Bayu melesat cepat mengejar, Gerakan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

"Kenapa kalian diam saja...? Kejar...!" teriak Panglima Pangkar, yang lebih dahulu tersadar yang lainnya. Mereka semua tersentak kaget mendengar bentakan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung berlompatan menerobos jendela yang sudah hancur untuk mengejar Permaisuri Retna Nawangsih.

"Bayu.... Heh! Di mana Bayu...? Kalian melihatnya...?" Raden Prayoga tersentak bangun dari keterpanaannya, sehingga langsung menanyakan Pendekar Pulau Neraka. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang masih tinggal menemani, tidak ada yang menjawab. Mereka juga baru tersadar, kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ada lagi di ruangan besar dan megah ini.

"Ke mana yang lainnya...?" tanya Raden Prayoga lagi. Dia seperti orang kebingungan saja.

"Mengejar Gusti Permaisuri, Raden. Dan kami harus menjaga keselamatan Raden di sini," sahut panglima yang sudah berusia sekitar empat puluh tahun lebih.

"Ke mana perginya?"
"Ke arah Timur."

Raden Prayoga tidak bertanya lagi. Sejenak ditatapnya jendela yang jebol berantakan. Tanpa berkata apa pun lagi, pemuda yang senang mengenakan baju warna putih itu melesat cepat menerobos jendela kamar ini. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang berada di dalam kamar ini bergegas berlompatan mengikuti Raden Prayoga. Sebentar saja, kamar itu sudah sepi. Tak terlihat seorang pun, selain dua orang prajurit penjaga pintu kamar ini.

***

Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih sudah jauh meninggalkan Istana Balungan. Dia terus menuju ke arah Timur wilayah Kerajaan Balungan ini. Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang. Tampak beberapa orang berlari cepat mengejarnya. Jarak mereka memang terlalu jauh.

"Hiyaaa.,.!"

Permaisuri itu melompat indah begitu sampai dihutan tempat persembunyiannya selama ini. Tubuhnya langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Wanita separuh baya itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dia sengaja tidak berlari untuk menghi-langkan jejak dari para pengejarnya.

"Hup....'"

Permaisuri Retna Nawangsih meluruk turun sampai di sebuah tempat yang penuh semak kering. Tempat ini agak sedikit lapang, dan pepohonan juga tidak begitu rapat. Sebentar kepalanya menoleh ke kenan dan ke kiri, lalu kakinya terayun menuju sebuah gerumbul semak kering tepat di depannya. Ayunan kakinya begitu cepat, dan tampak kalau amat tergesa-gesa sekali.

Srek!
"Cukup nyaman juga tempat ini...."
"Heh...?!"

Permaisuri Retna Nawangsih terkejut bukan main begitu menyibakkan semak, terdengar suara dari arah belakangnya. Cepat tubuhnya berputar. Kedua bola matanya semakin terbeliak begitu melihat Pendekar Pulau Neraka tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Bisa saja tadi pagi aku menangkapmu. Tapi aku ingin pihak kerajaan sendiri yang menangkapmu, Permaisuri Retna Nawangsih," kata Bayu, terdengar sinis nada suaranya.

"Phuih! Kau pikir begitu mudah menangkapku Pendekar Pulau Neraka...?" desis Permaisuri Retna Nawangsih geram.

"Semudah membalikkan telapak tangan."
"Setan..! Hiyaaa...!"

Permaisuri Retna Nawangsih tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Kini benar-benar jelas. Ternyata Pendekar Pulau Neraka menguntitnya tadi pagi hingga sampai ke tempat ini. Dan sekarang pemuda berbaju kulit harimau itu sudah menunggu disini. Hal itu membuat kemarahannya semakin bertambah. Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka itu dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, dan dahsyat luar biasa.

"Hup! Yeaaah...!"

Kali ini Permaisuri Retna Nawangsih benar benar tidak lagi memberi kesempatan bagi Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu terus dicecarnya, tanpa memberi sedikit pun kesempatan untuk mengambil napas. Sepasang pedang tipis kecil di tangan perempuan separuh baya itu berkelebatan cepat. Begitu cepatnya, sehingga hanya kilatan sinar keperakan saja yang terlihat mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.

Pertarungan itu berjalan semakin sengit, karena Permaisuri Retna Nawangsih langsung mengerahkan jurus-jurus mautnya. Akibatnya Pendekar Pulau Neraka agak kewalahan menghadapinya. Beberapa kali pedang lawan hampir bersarang di tubuhnya, namun pemuda berbaju kulit harimau itu masih mampu mengelakkannya. Bahkan mampu pula memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkis tebasan pedang itu dengan Cakra Maut yang berada dipergelangan tangan kanannya.

Setiap kali senjata beradu keras, selalu menimbulkan percikan bunga api disertai ledakan keras menggelegar, dentingan dua logam beradu. Suara ribut pertarungan itu membuat Widura dan Nini Anjar yang berada di dalam gua yang tertutup semak belukar keluar dari persembunyiannya. Mereka terkejut bukan main melihat Permaisuri Retna Nawangsih tengah bertarung. Dan pada saat itu, Permaisuri Retna Nawangsih mulai kewalahan menerima serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu juga, tubuhnya meliuk ke kanan. Lalu dengan tubuh agak berputar sedikit, Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Serangan yang dilakukan Bayu begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga, Permaisuri Retna Nawangsih tidak dapat lagi menghindar, karena baru saja menghindari satu tendangan pancin-gan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.

Des!

"Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih terpekik keras agak tertahan.

Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam dada perempuan separuh baya itu, hingga terlempar sejauh tiga batang tombak ke belakang.

"Ibu...!" seru Widura terperanjat.

Sebentar pemuda itu memandang Permaisuri Retna Nawangsih, lalu mendesis menatap Pendekar Pulau Neraka.

"Keparat! Kau sakiti ibuku...! Hiyaaat..!
"Widura, jangan...!" teriak Permaisuri Retna Nawangsih.

Namun Widura sudah keburu melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya langsung dicabut, dan ditebaskan ke arah leher Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka menarik kepala ke belakang, sehingga tebasan pedang Widura hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Sebelum Widura bisa menarik pulang pedangnya, Bayu sudah memberi satu sodokan keras ke arah perut. Widura terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau Bayu bisa melakukan serangan cepat di saat tengah menghindari satu serangan.

Begkh!
"Hegk...!"

Widura mengeluh pendek. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di perut Widura, sehingga membuat pemuda itu terbungkuk. Dan pada saat itu, Bayu cepat melontarkan satu pukulan keras ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi, Widura meraung keras begitu pukulan yang dilepaskan Bayu menghantam wajahnya.

"Hiyaaa...!"

Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung memberikannya satu tendangan keras menggeledek ke tubuh Widura. Akibatnya pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu deras sekali terpental jauh belakang, diiringi jeritan panjang melengking tinggi.

"Hiyaaat..!"

Belum lagi bisa menarik napas lega, Nini Anjar sudah melompat menyerang cepat bagai kilat. Pada saat yang sama, Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah bisa bangkit juga kembali menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini Bayu harus menghadapi dua serangan sekaligus. Namun dua orang wanita itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng. Hal ini terbukti dari serangan-serangan yang datang, sehingga membuat Bayu benar benar kewalahan dibuatnya. Pada saat Bayu benar-benar kewalahan, datang para panglima, patih, dan prajurit Balungan yang tadi mengejar Permaisuri Retna Nawangsih. Kedatangan mereka membuat kedua wanita yang tengah menyerang itu menjadi terkejut. Bahkan kini serangan-serangan mereka tidak terkendali lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan Bayu untuk balas memberi serangan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Cepat tubuh Bayu melenting ke udara. Dan secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Nini Anjar berhasil menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka dengan memiringkan tubuh ke kanan. Tapi Permaisuri Retna Nawangsih terlambat bertindak. Sehingga satu pukulan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka bersarang didadanya.

Begkh!
"Akh...!"

Permaisuri Retna Nawangsih menjerit kencang. Perempuan setengah baya itu kembali terlontar deras ke belakang. Pada saat itu, Panglima Pangkar melompat cepat meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang tengah bergulingan di tanah. Tapi sebelum pedangnya sempat dihunjamkan ke tubuh perempuan separuh baya itu, Widura sudah lebih dahulu melompat. Pedangnya langsung dibabatkan ke pedang Panglima Pangkar.

Trang!
"Hup!"

Panglima Pangkar cepat melompat ke belakang dua tindak. Belum lagi panglima itu melakukan sesuatu, dua puluh prajurit ditambah tiga panglima lain serta dua orang patih, sudah meluruk menyerang Widura. Sedangkan yang lainnya langsung meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah mampu berdiri kembali.

"Kalian selamatkan Dian di dalam gua...!" teriak Bayu lantang. Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana yang dengar teriakan Bayu, bergegas masuk ke dalam gua, Sementara Bayu terus menghadapi Nini Anjar. Namun gadis itu kelihatan mulai goyah setelah melihat sekelilingnya sudah terkepung puluhan prajurit bersenjata lengkap.

"Aaa...!" terdengar jeritan panjang melengking" tinggi dan menyayat.

"Ibu...!" teriak Widura begitu melihat ibunya terkapar bersimbah darah.

Sebatang pedang seorang panglima, telah menghunjam dalam di dada Permaisuri Retna Nawangsih. Jeritan Widura ternyata membuat Nini Anjar lengah. Gadis itu tidak bisa menghindar lagi ketika Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan keras bertenaga dalam penuh ke dadanya.

Dieghk!
"Aaakh...!" Nini Anjar menjerit.
"Hiyaaa...!"

Di saat tubuh Nini Anjar terpental ke belakang, Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu meluncur deras. Dan....

Crab!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang mengiringi kematian Nini Anjar begitu dadanya tertembus Cakra Maut. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Begitu Cakra Maut terlepas, darah langsung muncrat dari dada Nini Anjar.

"Hiyaaa...!"

Bayu langsung melompat ke arah Widura. Sempat disambarnya pedang salah seorang prajurit. Satu tendangan dilepaskan Pendekar Pulau Neraka itu. Widura yang tengah terguncang perasaannya akibat kematian ibunya di tangan salah seorang panglima, tak dapat lagi menghindari tendangan Bayu.

Degkh!
"Akh...!"

Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dada Widura, hingga terpental ke belakang. Bayu cepat memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke leher Widura, sehingga tidak mampu berkutik lagi. Dua orang prajurit bergegas mendekat langsung meringkus pemuda itu. Widura benar-benar tak berdaya lagi. Dia hanya bisa memandang lesu mayat ibunya yang tergeletak dengan pedang menembus dada. Tepat di saat Pendeta Suratmaja dan Patih Laksana membawa keluar Dian Lestari, Raden Prayoga, seorang panglima dan prajurit pengawalnya sampai di tempat ini. Raden Prayoga bergegas menghampiri gadis yang kelihatan lemah dan pucat itu.

"Oh! Syukurlah kau selamat, Rayi...," ujar Raden Prayoga.

Dian Lestari hanya tersenyum tipis dan lemah sekali. Pendeta Suratmaja tetap memapahnya agar bisa berdiri. Raden Prayoga memandangi mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan mayat Nini Anjar. Kemudian, pandangannya beralih pada Widura. Dia agak terkejut melihat wajah Widura mirip dengannya.

"Siapa dia?" tanya Raden Prayoga.

"Namanya Widura. Anak kandung Gusti Permaisuri Retna Nawangsih," sahut Patih Laksana.

"Ooo.... Jadi dia ini yang akan dijadikan raja?" terdengar sinis nada suara Raden Prayoga. "Bawa dia pergi, dan masukkan ke penjara!"

Widura digiring dengan tangan terikat tambang. Raden Prayoga kemudian menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Ditepuk-tepuknya pundak Bayu dengan hangat, kemudian dipeluknya bagai seorang saudara.

Sementara Bayu membiarkan saja.

"Terima kasih. Tanpa mu, mungkin saat ini aku sudah mati," ucap Raden Prayoga.

"Ah! Ini semua berkat kesigapan mereka juga, Raden," Bayu merendah.

"Mari. Kau jadi tamu kehormatanku di istana. Kau tidak ingin menolaknya, kan...?"

Bayu tidak mungkin lagi menolak, karena tawaran Raden Prayoga bernada memaksa. Raden Prayoga tersenyum senang melihat Bayu mengangguk. Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk menguburkan mayat Permaisuri Retna Nawangsih dan Nini Anjar, kemudian Bayu dan Dian diajak untuk kembali ke istana.

"Bayu, apakah aku pantas menduduki tahta?" tanya Raden Prayoga berbisik.
"Tentu saja, Raden. Bagaimanapun juga, kau putra Prabu Wijaya," sahut Bayu.

"Tapi aku anak selir yang menyeleweng."

"Tidak ada yang tahu, Raden. Dan rahasia ini akan terbawa bersama kepergianku."

"Kau akan meninggalkan Balungan?"

Bayu mengangguk pasti. Raden Prayoga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin ditahan untuk tetap tinggal di Istana Balungan. Dia tahu, seorang pendekar kelana tidak akan bisa menetap pada satu tempat.

"Kuharap kau sudi berkunjung suatu saat, Bayu," pinta Raden Prayoga penuh harap.

"Akan ku usahakan, Raden."

"Aku akan mengangkat saudara padamu. Dan itu akan ku umumkan pada hari penobatan ku nanti. Untuk itu, Kau harus tetap berada di istana sampai pada hari penobatan. Setelah itu, aku tidak bisa lagi menahan jika memang pengembaraanmu hendak kau lanjutkan. Hanya itu yang kuminta, Bayu. Sebagai rasa terima kasihku padamu."

Bayu diam saja. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa cepat memutuskan permintaan Raden Prayoga. Dan sebenarnya dia ingin terus melanjutkan pengembaraannya. Namun hati kecilnya tidak ingin membuat Raden Prayoga kecewa.

"Akan ku pikirkan dulu, Raden," ujar Bayu.

"Ya. Aku juga tidak memaksamu"

Bayu hanya tersenyum saja. Sementara mereka terus berjalan menuju Kotaraja Balungan. Sepanjang perjalanan mereka, matahari ikut mengiringi. Mendung telah terhapus dari langit Balungan. Seluruh rakyat bisa bernapas lega. Dan mereka tinggal menunggu saat penobatan raja baru mereka yang sempat gagal.




SELESAI

Prahara Di Pantai Selatan