Mahesa Edan Jilid 5 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MAHESA EDAN Jilid 5

Karya : Bastian Tito

Mahesa Edan jilid 5
Cuplikan (Jengkel, marah dan kesakitan, Suko Inggil tumpahkan amarahnya pada Longga. Fia lepaskan satu pukulan sakti ke kepala mahluk itu. Terdengar si mahluk menjerit. Kepalanya buyar. Tapi segera pula bertaut kembali. Sepasang matanya yang besar dan merah berputar-putar ganas. Gigi-gigi dan taring-taringnya mencuat. Dia menggereng marah lalu ulurkan tangan kiri memukul kepala Suko lnggil.)


Ringkasan Jilid 4
Karena takut rahasianya akan terbuka maka Adipati Probolinggo menugaskan kepala pengawal Kadipaten untuk menangkap Mahesa hidup atau mati. Tapi tugas ini gagal. Adipati Mangun Aryo kemudian meminta bantuan seorang berkepandaian tinggi bernama Jaliteng. Orang ini bersama anak buahnya hampir saja dapat membunuh Mahesa kalau tidak tiba-tiba kakek sakti bergelar Gembel Cengeng Mata Buta muncul dan menolong murid Kunti Kendil itu.

Selain meminta bantuan Jaliteng, Mangun Aryo juga meminta pertolongan dukun sakti Embah Bromo Tunggal. Dalam perjalanan dari puncak gunung Bromo, Mangun Aryo dihadang oleh seorang lelaki berotak miring yang bukan lain adalah Randu Ampel, ayah Mahesa. Randu Ampel berhasil membalas dendam kesumatnya sejak delapan belas tahun yang silam. Mangun Aryo mati ditangannya.

Ketika Mahesa kembali ke Probolinggo untuk menyaksikan upacara penguburan Adipati sambil berusaha mencari ke keterangan siapa sebenarnya yang telah membunuh Adipati itu, di tengah jalan Wilani melihatnya. Puteri Adipati ini keluar dari kereta dan langsung menyerang Mahesa sambil berteriak agar Mahesa ditangkap.

Rangga dan Jaliteng serta puluhan perajurit segera mengurung pemuda itu. Dalam keadaan kacau balau Mahesa berhasil melarikan diri setelah mendapat bantuan dari Kemala, gadis berbaju kuning yang selalu diingat Mahesa. Pemuda ini kemudian menyembunyikan diri di rumah istri muda almarhum Mangun Aryo sambil menunggu malam tiba.

Pada malam harinya dia akan mendatangi gedung Kadipaten guna mencari keterangan yang diinginkannya. Malam harinya Mahesa memang berhasil masuk ke gedung Kadipaten. Dihadapan anak dan istri almarhum Adipati, Rangga memberi keterangan panjang lebar.

Bahwa yang membunuh Adipati adalah Randu Ampel. Dan Randu Ampel ini adalah ayah Mahesa. Lalu tentang seorang dukun sakti di puncak Bromo yang delapan belas tahun lalu dimintai bantuan oleh Mangun Aryo untuk mengguna-gunai Randu Ampel sehingga lelaki ini gila dan kehilangan jabatannya sebagai Adipati.

Dari Rangga, Mahesa juga mendapat keterangan bahwa makhluk aneh peliharaan sang dukun sakti atas permintaan Adipati akan datang untuk mencelakainya. Ketika Mahesa hendak meninggalkan gedung Kadipaten muncullah kakek berkepandaian tinggi bernama Jaliteng. Terjadi perkelahian. 

Meski Mahesa berhasil meloloskan diri dan membunuh Jaliteng namun dia sendiri menderita cidera pada pinggul dan terluka pada bagian dada sebelah dalam. Ketika dia pingsan di tengah jalan muncullah Mirani yang menyelamatkannya dan membawanya ke rumahnya. Janda muda ini berusaha mengobati Mahesa dengan minta bantuan seorang ahli pengobatan bernama Ki Tampu. 

Namun petugas-petugas Kadipaten berhasil mengetahui hal itu. Obat yang hendak diberikan pada Mahesa dicampur dengan sejenis racun. Ketika Mahesa minum obat itu sekujur tubuhnya menjadi lumpuh. Bersama Ki Tampu dia kemudian ditangkap dan dibawa ke Kotaraja untuk dijatuhi hukuman gantung.


***

1. KE KOTARAJA
ROMBONGAN yang membawa Mahesa dan Ki Tampu itu bergerak cepat sekali. Di dalam kereta yang tertutup rapat Mahesa menggeletak di lantai kayu yang keras. Untung saja akibat racun pelumpuh yang terminum olehnya membuat tubuhnya hilang rasa. Kalau tidak pasti dia akan merasakan sakit terguncang keras begitu rupa.

“Di sudut kanan Ki Tampu duduk dengan kepala diletakkan diatas lutut. Berapa lama perjalanan ke Kotaraja ini?  Mahesa bertanya pada Ki Tampu. Yang ditanya angkat kepalanya. Lalu mengacungkan lima jari tangan kanannya.

“Lima hari...” ujar Mahesa. Ki Tampu mengangguk.

Dalam hatinya Mahesa memaki. Untuk kesekian kalinya diam-diam dia coba mengerahkan tenaga dalamnya. Untuk kesekian kalinya pula dia tak berhasil.
“Apakah mereka benar-benar akan menggantung kita? Mahesa kembali bertanya.

Ki Tampu tak menjawab. Dia tak mau menjawab. Dia tahu bahwa dia dan pemuda itu pasti akan dijatuhi hukuman mati. Entah digantung entah dipancung. Kesalahan si pemuda besar sekali. Membunuh beberapa orang perajurit Kadipaten dan membunuh Jaliteng, seorang tokoh silat yang dekat dengan Adipati Probolinggo. Lalu dia sendiri menolong mengobati pemuda itu meski sudah ada pengumuman dari Kadipaten agar semua penduduk ikut membantu mencari dan menangkap Mahesa.

“Apa yang akan mereka lakukan dengan Mirani dan ibunya?"

Ki Tampu menggeleng lalu kembali rapatkan kedua lututnya dan letakkan kepalanya diatas lutut itu. Selain ingat pada ibu dan anak itu, Mahesa juga ingat akan senjata Keris Naga Biru dan papan kayu hitam pemberian gurunya. Dia tidak tahu dimana Mirani menyembunyikan benda-benda itu dan hanya bisa berharap perempuan itu menyembunyikannya dengan cermat hingga tak ada yang tahu atau dapat menemukannya.

“Ki Tampu! Apakah kau tidur?!" Mahesa memanggil.

Ahli pembuat obat itu tidak bergerak.

“Anak setan!" maki Mahesa. "Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengobati kelumpuhanku ini?!"

Ki Tampu masih tak bergerak.

“Apa kau cuma ahli membuat obat? Tak ada cara pengobatan lain yang kau ketahui? Hai!"

Perlahan-lahan Ki Tampu angkat kepalanya dan memandang sejurus pada Mahesa. Lalu dia menggeleng.

“Kau harus tahu cara lain. Kau harus bisa!" ujar Mahesa dengan suara keras.

Lelaki itu memandang ke atap kereta. Tampaknya seperti berpikir-pikir. Perlahan-lahan dia beringsut mendekati Mahesa. Dipegangnya beberapa bagian tubuh pemuda itu. Lalu dia menggerakkan tangannya mengatakan sesuatu dalam bahasa isyarat yang tidak dimengerti Mahesa. Ki Tampu mengatakan tanpa diobati kelumpuhan itu akan sembuh setelah empat puluh hari. 

Untuk disembuhkan dengan obat dia harus tahu dulu jenis racun apa yang terminum oleh Mahesa. Setelah diketahui baru dia bisa meramu obat pemusnah racun itu. Dan dalam keadaan seperti itu tentu tak mungkin baginya untuk mencarikan obat.

Namun kata-kata Mahesa bahwa harus ada cara lain untuk mengobati terus seperti mengiang di telinga Ki Tampu. Mahesa kecewa ketika dilihatnya Ki Tampu kembali duduk kesudut kereta. Tapi tiba-tiba ahli obat ini kembali mendekati Mahesa. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, memberi isyarat pada si pemuda agar membuka mulutnya pula lebar-lebar.

Mahesa lakukan apa yang ditunjuki Ki Tampu. Begitu Mahesa membuka mulut Ki Tampu masukkan dua jari tangannya sampai menyentuh anak lidah lalu mengorek mulut pemuda itu dalam-dalam.

“Hoek...!" Mahesa keluarkan suara seperti mau muntah.

Ki Tampu kembali mengorek. Lagi dan lagi sampai Mahesa merasakan perutnya mual dan melilit naik ke atas. Lalu muntah banyak sekali. Ki Tampu berdiri. Dia merapatkan tubuh Mahesa ke dinding lalu mengangkatnya dan menegakkan tubuh ini kepala kebawah kaki ke atas. Sambil berlutut, Ki Tampu pergunakan tangan kanannya untuk menahan tubuh Mahesa agar tidak jatuh sedang jari-jari tangan kirinya kembali dipergunakan untuk mengorek mulut Mahesa hingga pemuda ini kembali terhoek-hoek dan muntah terus. 

Mahesa merasakan tubuhnya keluarkan keringat dingin sedang air mata membersit dari kedua matanya. Perut dan dadanya turun naik. Muntahannya terdiri dari sisa makanan bercampur obat yang diminumnya sore tadi serta darah! Ki Tampu menunggu sampai beberapa lama. Lalu perlahan-lahan tubuh Mahesa dibaringkannya kembali ke lantai kereta yang kini menjadi kotor oleh muntahan.

Meskipun saat itu hari belum gelap dan sore belum berganti malam namun dalam kereta cukup gelap. Sulit bagi Ki Tampu untuk memeriksa cairan muntahan Mahesa. Lama sekali dia meneliti baru dapat menarik kesan. Sebagian besar dari obat beracun yang terminum oleh si pemuda keluar bersama muntahan itu. Sebagian lainnya tak mungkin untuk dikuras lagi. Mahesa kerenyitkan kening ketika melihat Ki Tampu keluarkan sebuah pisau kecil dari saku pakaiannya.

“Hai, kau mau apa?!" tanya Mahesa.

Yang ditanya hanya lambaikan tangan. Dengan ujung pisau dia menggurat lengan Mahesa. Darah yang keluar kemudian diserapnya dengan ujung pakaian putih si pemuda. Lalu dia meneliti keadaan darah yang terserap di pakaian itu. Sesaat kemudian dia menarik nafas dalam. Parasnya tampak kecewa.

“Bagaimana..?” tanya Mahesa.

Ki Tampu geleng-gelengkan kepalanya. Dia gerakkan lagi kedua tangannya. Kali ini lama sekali. Mahesa memaki karena dia tidak mengerti apa yang diterangkan oleh ahli pengobatan itu. Yang coba dijelaskan Ki Tampu ialah bahwa sebagian besar racun berhasil dikeluarkan dari dalam perut Mahesa. 

Namun sebagian lainnya telah terserap dalam aliran darah dan tak mungkin diobati tanpa sejenis ramuan obat yang harus diminum. Namun pertolongan yang dilakukan tadi akan menyingkat kelumpuhan si pemuda dari empat puluh hari menjadi hanya sepuluh hari. Cuma karena perjalanan memakan waktu lima hari maka tak bisa diharapkan Mahesa dapat melakukan sesuatu misalnya melarikan diri dalam perjalanan sebelum mencapai Kotaraja!

“Terima kasih kau telah berusaha menolongku," kata Mahesa yang menyadari apa yang telah dilakukan Ki Tampu. 

Meskipun tidak dapat ditolong sepenuhnya namun dia merasakan ada perubahan pada dirinya. Dengan penuh harapan pemuda ini kerahkan tenaga dalamnya kembali. Ada aliran panas yang mulai menjalar. Tapi setelah dicoba sekian lama, dia hanya mampu menggerakkan jari-jari tangannya saja.

Sepanjang malam rombongan itu bergerak terus tanpa berhenti untuk berkemah atau istirahat. Posisi setiap anggota rombonganpun tidak berubah. Disebelah depan rombongan dipimpin oleh salah seorang yang mengenakan jubah biru. Namanya Tunggul Aryo. Dia adalah salah seorang hulubalang Istana yang bersama adiknya Tunggul Gede ditugaskan untuk menjemput dan mengawal Mahesa dari Probolinggo ke Kotaraja.

Berdasarkan penjelasan Rangga dan diketahui bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi maka pihak-pihak yang berkepentingan di Kotaraja tidak mau terjadi sesuatu dengan tawanan itu. Bukan mustahil Mahesa melarikan diri di tengah jalan atau rombongan dihadang oleh kawan-kawan di pemuda yang bermaksud membebaskannya. Karena itulah diperlukan orang-orang berkepandaian tinggi seperti dua orang kakak adik Tunggul itu.

Di belakang Tunggul Aryo berkuda empat perajurit Keraton, lalu empat orang perajurit Kadipaten dibawah pimpinan Kroto. Di sebelah belakang kereta tertutup dimana Mahesa dan Ki Tampu berada, empat perajurit Keraton melakukan pengawalan ditambah sepuluh perajurit dari Kadipaten. Dan paling belakang sekali adalah Tunggul Gede.

Ketika malam sampai di ujungnya dan langit di ufuk timur mulai kelihatan terang tanda sang surya akan segera terbit, rombongan sampai disebuah anak sungai berair jernih yang terletak disebelah utara Sapurejo. Tunggul Aryo mengangkat tangan memberi tanda. Rombongan berhenti. Orang berjubah biru ini perintahkan dua perajurit untuk menyelidiki keadaan sekitar anak sungai itu. Tak berapa lama kemudian mereka kembali dan memberi tahu bahwa segala sesuatunya kelihatan tenang dan aman.

“Kita istirahat disini. Beri makan dan minum semua kuda!" kata Tunggul Aryo lalu turun dari kudanya.

“Bagaimana dengan tawanan?" tanya seorang perajurit Keraton.

Sebelum Tunggul Aryo menjawab, Kroto yang menjadi pimpinan para pengawal dari Kadipaten langsung bicara.

“Tak usah perdulikan mereka. Toh sesampainya di Kotaraja mereka akan dihukum mati. Buat apa susah-susah memberi makan!”

Tunggul Aryo melirik sesaat pada Kroto, lalu pada perajurit yang tadi dia berkata, Meskipun mereka tawanan, bagaimanapun jeleknya mereka adalah manusia seperti kita. Beri mereka makan dan minum seadanya!"

“Mas Tunggul Aryo!" Kroto kembali membuka mulut. “Kenapa kau begitu memperhatikan kedua tawanan itu?"

“Aku pimpinan dalam rombongan ini Kroto. Segala sesuatunya menjadi tanggung jawabku. Termasuk keselamatan dan nyawa para tawanan selama perjalanan!"

Kroto tak tinggal diam dan menjawab. ”Aku tahu mas Aryo memang pimpinan dalam rombongan ini. Tapi sebagai pimpinan pasukan dari Kadipaten bukan berarti aku tidak punya tanggung jawab apa-apa dalam rombongan ini. Suara dan pendapatku perlu dipertimbangkan!“

Tunggul Aryo tampak berubah wajahnya. Dengan suara perlahan tetapi jelas dan tegas dia bertanya, “Apa maumu sebenarnya Kroto? Jika kau merasa mampu untuk menjadi pimpinan dalam rombongan ini, silahkan kau ambil alih tugas. Aku dan dimas Tunggul Gede akan mendahului kembali ke Kotaraja. Tanggung jawab atas kedua tawanan menjadi tanggung jawabmu!“

“Mas Aryo," Kroto buru-buru berkata, “bukan begitu maksudku!”

“Lantas?"

Saat itu Tunggul Gede datang ke tempat mereka dan menengahi pembicaraan yang mulai tegang.

“Kang mas, bagaimanapun kau tetap menjadi pimpinan dalam rombongan ini. Jika terjadi apa-apa, baik kau ada dalam rombongan ataupun tidak dalam rombongan lagi, tanggung jawab tetap ada padamu. Dan apakah Pangeran Puspo akan berdiam diri saja melihat hal ini? Kita berdua akan didampratnya!"

Tunggul Aryo angkat bahu. Lalu melangkah menuruni tebing anak sungai dan mencuci mukanya disitu. Tunggul Gede berpaling pada Kroto dan berkata dengan nada keras, “Kroto Apapun pangkatmu di Kadipaten kau tetap kroco dibanding dengan kami orang-orang Keraton! Jadi sebaiknya jangan besar mulut dan besar kepala!

Paras Kroto tampak merah. Buru-buru dia tinggalkan tempat itu. Sementara itu seorang perajurit membuka pintu kereta lalu memberikan makanan dan air pada kedua tawanan yang ada di dalam. Ki Tampu diberi kesempatan keluar dari kereta untuk pergi ke sungai. Mahesa yang tak bisa duduk ataupun berdiri hanya berbaring di pintu kereta dan memandang ke luar. Semalam suntuk berada dalam ruangan yang gelap membuat matanya silau memandang matahari pagi.

“Ah, jeleknya nasibku!" kata Mahesa dalam hati. “Kalau aku sampai dihukum mati di Kotaraja, banyak hal yang tak kesampaian dapat kulakukan dalam sisa hidup yang tinggal beberapa hari ini. Aku tidak pernah menyelesaikan dua tugas yang diperintahkan guru. Aku tidak berhasil menemui dan melihat ayahku. Dan senjata-senjata yang ada di rumah itu! Dan aku tak akan pernah menginjakkan kaki di Pesantren Nusa Barung sesuai perintah guru!"

Selagi Mahesa menyesali nasib peruntungannya yang buruk itu tiba-tiba sebuah batu kecil kembali melayang. Mahesa perhatikan arah datangnya batu sampai pandangannya membentur serumpun semak belukar yang terletak diantara dua pohon besar, sekitar dua puluh tombak dari tempat kereta berhenti. Sesosok bayangan kuning tampak mendekam dibalik semak belukar itu. Dada Mahesa berdebar.

“Kemala“ desisnya.


2. DAUN TAPAK DORO KEMALA MUNCUL LAGI
SESUNGGUHNYALAH sosok tubuh yang bersembunyi di balik semak-semak itu adalah gadis berbaju kuning Kemala. Gadis ini yang juga menjadi buronan mengetahui perihal tertangkapnya Mahesa.

Ketika pemuda itu bersama Ki Tampu diangkut ke Kotaraja, dengan menunggang seekor kuda dia mengikuti perjalanan rombongan. Sepanjang jalan sang dara selalu berpikir mencari akal bagaimana bisa menolong membebaskan Mahesa.

Dia menyadari betapa sulitnya hal itu dilakukan. Dengan mengandalkan ilmu pedangnya saja, tak mungkin dia mampu menghadapi hampir dua puluh perajurit pengawal kereta. Apalagi dalam rombongan kelihatan dua orang berpakaian biru yang pasti bukan orang-orang sembarangan.

“Mengapa gadis itu muncul disini? Apakah dia menguntit rombongan sepanjang malam? Mungkin hendak menoIongku!" begitu Mahesa berpikir, "Terlalu berani. Kalau sampai ketahuan dia bisa celaka!"

Saat itu ingin Mahesa berteriak pada Kemala agar meninggalkan tempat itu sebelum kehadirannya diketahui. Namun tentu saja hal itu tak mungkin dilakukannya. Berteriak sama saja dengan mangundang perhatian dan sang dara akan tertangkap lebih cepat.

Mahesa berusaha mencari-cari Ki Tampu. Orang inipun tak kelihatan. Bagaimana caranya memberi tahu pada Kemala agar segera pergi dari situ? Di pinggir sungai Ki Tampu sedang membersihkan muka dan bagian tubuhnya sebisa yang dilakukan. Lalu dia duduk termenung di tebing sementara para pengawal dilihatnya juga membersihkan diri di bagian lain dari sungai.

“Ah, mengapa nasibku jadi begini. Kalau aku sampai dihukum mati bagaimana anak istriku di Probolinggo..?"

Ki Tampu meratap dalam hatinya. Sambil memandang ke sungai tangannya meraba-raba tanah disampingnya. Ketika jari-jarinya membentur sejenis tanaman pendek, langsung dicabutnya. Tanaman ini hendak dilemparkannya ke tengah sungai ketika tiba-tiba dia melihat dan menyadari tanaman apa yang barusan, dicabutnya itu. Sepasang matanya ber kitat-kilat meneliti daun-daun hijau serta bunga-bunga putih kecil yang timbul disela-sela dedaunan.

“Ini daun obat!" katanya. “lni daun tapak doro! Obat paling manjur untuk menyembuhkan darah yang terkena racun!" 

Ki Tampu berdiri dan memandang berkeliling. Ternyata disepanjang tebing sungai itu penuh ditumbuhi oleh tanaman tapak doro berbunga putih. Tanpa menunggu lebih lama lagi dia segera cabuti tanaman itu sebanyak yang bisa dilakukannya. Pada saat itulah terdengar seruan Tunggul Gede agar semua orang kembali ke tempat masing-masing karena perjalanan segera akan dilanjutkan.

Ketika melihat Ki Tampu kembali ke kereta membawa banyak sekali tanaman berdaun hijau berbunga putih, Kroto serta merta menghadang di depan Pintu.

“Untuk apa tanaman-tanaman itu..?” Sentak Kroto “Siapa yang member izin kau boleh membawanya..?”

Ki Tampu yang gagu tampak jadi pucat. Kalau Kroto tahu daun itu adalah daun obat celakalah dia.

“Hai! Jawab!"  teriak Kroto.

Ki Tampu meletakkan tanaman itu dibelakang kepalanya sedang kedua matanya dipejamkan. Mahesa yang mulai mengerti apa yang dimaksudkan ahli obat itu cepat berkata,  "memang aku yang menyuruhnya mencari tanaman-tanaman dan rerumputan. Untuk alas lantai kereta yang keras. Kepala dan badanku sakit sekali tanpa kasur dan bantal!"

“Kentut busuk! Ini bukan perjalanan bersenang-senang. Kau tidak perlu bantal dan kasur...!" tukas Kroto.

“Kau betul sobat. Tapi daun-daun itu juga untuk menutupi lantai kereta yang kotor oleh muntahku, kencing dan kotoranku. Kalau tak percaya lihat sendiri ke dalam sini!"  kata Mahesa pula.

“Kau boleh bilang seribu alasan. Kau tak perlu daun-daun itu!" kata Kroto. Lalu dia membentak Ki Tampu. “Campakkan tanaman itu lekas!"

Baru saja dia membentak begitu sebuah batu kecil tiba-tiba melayang dan menghantam salah satu giginya hingga patah. Gusinya berdarah! Kroto berteriak kesakitan dan juga marah!

“Siapa yang melempar?!” teriaknya. Matanya mendelik.

“Aku tidak!" ujar Mahesa. Dia tahu siapa yang melempar.

Ki Tampu angkat tangan kanannya dan goyang-goyangkan berulang kali. Mendengar ribut-ribut di tempat itu Tunggul Aryo segera datang dan bartanya.

“Ada apa ribut-ribut disini?"

"Seseorang melemparku!" jawab Kroto seraya memandang berkeliling.

“Aku tak mengerti. Tadi kau kudengar ribut-ribut soal tanaman itu. Kini katamu ada yang melempar!"

“Memang benar. Aku tidak senang tukang obat ini membawa tanaman itu untuk alas kereta. Tapi juga benar kemudian ada yang melemparku. Lihat! Gigiku sampai patah dan mulutku berdarah!" Sahut Kroto.

“Hemm!" Tunggul Aryo menggumam. Seperti Kroto diapun memandang berkeliling. Selagi orang-orang itu melupakan Ki Tampu dan tanamannya Mahesa berbisik,  Ki Tampu, lekas naik. Bawa daun-daun itu! Ki Tampu cepat melompat naik ke dalam kereta. Seorang perajurit kemudian menutup pintu kereta dan memalangnya dari luar.

“Kroto, kau tetap disini. Aku akan menyelidiki!" berkata Tunggul Aryo. Dia mendekati adiknya dan bicara sebentar. Lalu kedua orang ini berpencar.

Tak lama kemudian terdengar seruan Tunggul Aryo dari balik semak belukar diantara dua pohon besar. “Kroto! Aku menemukan orang yang melemparmu. Kau tangkaplah sendiri!"

Kroto dan beberapa orang perajurit dan Tunggul Gede segera lari ke arah datangnya suara Tunggul Aryo. Dibalik semak belukar itu mereka melihat seorang dara jelita berbaju kuning tegak sambil mencekal pedang.

“Ah! Kau rupanya!" teriak Kroto ketika mengenali gadis itu. Dia berpaling pada Tunggul Aryo dan berkata, “Mas Aryo, gadis ini bernama Kemala! Dia buronan yang juga sedang dicari-cari. Dia muncul disini pasti untuk menolong kawannya pemuda bernama Mahesa itu!"

“Kalau begitu tunggu apa lagi. Tangkap dia!" perintah Tunggul Aryo. Kroto segera cabut goloknya dan melompat ke hadapan Kemala.

“Menyerahlah Kau tak akan kulukai!"

Sret!

Sebagai jawaban Kemala cabut pedangnya. Kroto yang belum tahu kehebatan sang dara dengan senyum mengejek berkata,  Bagus! Kau berani menantang! Jangan, salahkan kalau kulitmu yang mulus terluka oleh golokku!  Lalu Kroto menyerbu dengan satu bacokan ke arah bahu sang dara.

Sebenarnya serangan ini hanya merupakan tipuan saja. Karena Kroto bermaksud begitu lawan menangkis dia akan pukul tangan si gadis hingga pedang mental lalu baru meringkusnya. Memang Kroto memiliki ilmu silat yang cukup ampuh. Namun yang dihadapinya bukan seorang gadis yang tidak tahu apa-apa dalam ilmu silat.

Ketika melihat Kroto tiba-tiba menarik balik serangannya dan pergunakan tangan kiri untuk memukul lengan lengannya, Kemala membuat lompatan pendek ke atas. Begitu tubuhnya berada lebih tinggi dari lawan langsung dia kirimkan hantaman siku ke kepala Kroto. Perajurit Kadipaten ini mengeluh tinggi. Tubuhnya terpelanting hampir roboh kalau tidak lekas dipegang oleh Tunggul Gede. Keningnya kelihatan merah dan benjut besar.

“Gadis keparat! Kau rasakan golokku!  teriak Kroto marah. Dia renggutkan tangan kirinya dari pegangan Tunggul Gede lalu kembali menyerang Kemala. Pedang dan golok saling berkelebatan dan saling beradu.

Trang!

Perkelahian hanya berlangsung satu setengah jurus. Golok di tangan Kroto terlepas mental. Sesaat kemudian, Kemala telah menyelinap kebelakang Kroto, mencekal leher pakaiannya dan tempelkan mata pedang di leher perajurit ini hingga Kroto melotot ketakutan.

Kemala memandang pada Tunggul Aryo dan Tunggul Gede lalu berkata,  "Lepaskan pemuda dalam kereta itu. Kalau tidak akan kugorok batang lehernya!"

Tunggul Gede tersenyum sementara kakaknya tertawa mengekeh. "Gadis cantik! Aku memuji nyalimu. Cuma sayang kau salah jalan. Kau pergunakan kepandaian untuk membela orang yang bersalah pada Kerajaan!"

“Apa kesalahan pemuda itu terhadap Kerajaan?!" tanya Kemala beringas. Dia tidak yakin Mahesa mempunyai kesalahan.

“Kau tidak tahu? Baiklah kuterangkan. Dia adalah anak Randu Ampel yang telah membunuh Adipati Probolinggo...!"

“Ayahnya yang melakukan pembunuhan kenapa anaknya yang ditangkap. Apa kalian tidak berani atau tidak mampu menangkap Randu Ampel sendiri...?!"

Paras Tunggul Aryo kelihatan merah. Tapi dia tetap tersenyum. "Orang itu memang terus dicari dan tak lama lagi akan segera tertangkap. Pemuda bernama Mahesa itu juga punya kesalahan lain. Dia membunuh beberapa perajurit Kadipaten dan juga membunuh Jaliteng seorang pentolan Kadipaten yang dekat dengan Keraton..."

“Hanya karena pentolan Kadipaten dan dekat Keraton lantas kesalahan bisa ditimpakan pada pemuda itu? Gila! Pemuda itu tidak akan membunuh siapapun kalau dia tidak diserang duluan dan tidak terancam nyawanya! Mereka yang mampus itu menerima kematian karena memang minta mampus!"

“Gadis, selain cantik kau rupanya juga pandai bicara!" kata Tunggul Aryo. "Kau serahkan diri secara baik-baik. Kami tak akan menyakitimu dan mungkin bisa membantu meringankan hukumanmu kelak!"

Kemala mendengus. "Lekas kalian lepaskan pemuda itu. Kalau tidak perajurit ini akan jadi mayat!"

“Perajurit itu tak ada harganya bagi kami! Setiap detik kau boleh membunuhnya. ltu lebih gampang bagi kami untuk menangkapmu!"  kata Tunggul Aryo.

Kroto mendelik marah. Tidak disangkanya Tunggul Aryo akan berkata seperti itu. “Gila! Mas Aryo! Kau akan membiarkan gadis penjahat ini membunuhku?!"  teriak Kroto.

“Kalau perlu apa salahnya...!" jawab Tunggul Aryo yang memang tidak senang pada perajurit itu.

“Gila!" teriak Kroto lagi.

Perlahan-lahan Tunggul Aryo melangkah mendekati Kemala.

“Berhenti!" teriak Kemala.

Lelaki berjubah biru itu hanya ganda tertawa. Dia melangkah terus. Kemala tekan mata pedang ke leher Kroto. Darah kelihatan mengucur dari kulit yang tersayat. Kroto berteriak kesakitan. Tapi seperti tak acuh Tunggul Aryo terus saja melangkah.

Kroto mengeluarkan suara seperti binatang disembelih. Ketika pedang ditangan Kemala menggorok lehernya. Tubuh yang mandi darah itu kemudian didorong Kemala ke arah Tunggul Aryo. Lelaki ini kibaskan tangan kanannya. Tubuh Kroto tergelimpang ke tanah. Pada saat itu pula Tunggul Aryo berkelebat ke arah Kemala.


3. TAWANAN BERTAMBAH
KEMALA sambut kedatangan lelaki berjubah biru itu dengan sambaran kilat pedang ke arah dada.

“Ah, ilmu pedang dara ini ternyata tidak rendah,!" kata Tunggul Aryo begitu dia mendengar dan merasakan deru angin senjata lawan. Dengan sigap dia menghindar kesamping. Tapi baru saja selamat dari serangan pertama itu tahu-tahu ujung pedang Kemala kembali berkelebat dan kini mencucuk ke arah bawah dagunya!

“Hai! Benar-benar hebat!" memuji Tunggul Aryo dalam hati. Dia angkat tangan kirinya dan kebutkan ujung lengan jubah birunya.

Tring!

Terdengar suara berdentring ketika ujung lengan jubah itu menangkis ujung pedang Kemala. Tunggul Aryo terkejut sewaktu dapatkan ujung lengan jubahnya robek. Sebaliknya Kemala lebih kaget lagi. Bentrokan. pedang dengan kain membuat pedangnya melenceng kesamping sedang tangannya terasa bergetar keras!

“Masakan pedang kalah dengan lengan pakaian,  pikir Kemala. Penasaran dara ini kembali lancarkan serangan. Kali ini lebih sebat, lebih cepat dan lebih ganas!

“Kemala”  seru Tunggul Aryo.  "Permainan pedangmu tidak jelek. Tapi kau menyerang dengan dipengaruhi amarah. Akibatnya lihat. Tak satupun seranganmu mengenai sasaran!"

“Tunggulah! Sebentar lagi akan kutembus dada atau perutmu!" balas berteriak dara berbaju kuning itu.

Sementara itu di dalam kereta yang tertutup Mahesa coba menggoyang-goyangkan kepalanya. Tadi sewaktu masuk ke dalam kereta Ki Tampu langsung menjatuhkan daun-daun yang dibawanya tepat ke muka Mahesa hingga seluruh wajah pemuda ini tertutup dedaunan.

“Anak setan! Kau kira aku tempat sampah! Membuang daun-daun ini seenakmu! Apa kau buta Ki Tampu?!" teriak Mahesa.

Ki Tampu sibakkan daun-daun itu dari wajah Mahesa hingga kini kelihatan kedua matanya. Ahli obat itu kemudian menggerak-gerakkan tangan kanannya berulang kali ke arah mulutnya sendiri sedang tangan kanan menunjuk ke mulut Mahesa.

“Apa? Kau suruh aku makan daun-daun ini?!" Tanya Mahesa melotot.

Ki Tampu mengangguk berulang-ulang.

“Kau kira aku ini kambing?!"

Ki Tampu geleng-gelengkan kepalanya. Dia menepuk-nepuki sekujur tubuhnya, mengangkat-angkat kedua tangan dan kaki. Terakhir sekali dia mengacungkan jempol tangan kanannya.

“Sialan! Aku tak mengerti apa maksud orang ini!" gerutu Mahesa dalam hati.

Sebaliknya Ki Tampu juga tampak kesal. Dia lalu mencabuti daun-daun tapak doro yang masih meletak di tangkainya lalu menyumpalkan daun itu ke mulut Mahesa. Dia sendiri memasukkan beberapa lembar daun yang sama ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah.

Mula-mula Mahesa hendak memuntahkan daun-daun yang dimasukkan kedalam mulutnya itu lalu memaki. Tapi ketika dilihatnya Ki Tampu mengunyah daun yang sama, sadarlah Mahesa bahwa ahli obat itu sebenarnya tengah memberi petunjuk padanya.

“Ki Tampu!" suara Maahesa tidak begitu jelas.  "Apakah aku harus mengunyah dan makan daun-daun ini...?"

Ki Tampu tampak gembira. Dia mengangguk sambil mengacungkan lagi ibu jarinya.

“Ini daun obat...?"  tanya Mahesa lagi.

Yang ditanya kembali mengangguk.

“Kalau begitu. Lekas masukkan ke dalam mulutku. Biar kumakan semuanya. Yang penting aku bisa sembuh dari kelumpuhan celaka ini!"

Juru obat itu duduk disamping Mahesa. Setiap mulut pemuda itu dilihatnya kosong kembali dimasukkannya daun-daun tapak doro kedalamnya. Meskipun daun itu terasa agak pahit dan perutnya tiba-tiba menjadi mual namun Mahesa tidak perduli. Dikunyah dan ditelannya terus. Saat itu didengarnya suara orang berkelahi diselingi bentakan-bentakan. Mahesa berhenti mengunyah. Wajahnya menunjukkan kekawatiran.

“Ki Tampu. Dengar. Ada yang berkelahi di luar sana. Dara berbaju kuning itu. Ah, kasihan dia. Kalau sampai celaka, siapa yang bakal menolongnya...?"

Ki Tampu diam sejenak. Ikut mendengarkan suara perkelahian dan bentakan-bentakan di luar sana lalu angkat bahu. Daun-daun tapak doro yang mengandung khasiat tinggi itu kembali dijejalkannya ke dalam mulut Mahesa hingga Mahesa megap-megap mengunyah dan menelannya.

Di luar kereta Tunggul Aryo bergerak enteng kian kemari. Pedang Kemala mengejar ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan. Namun tak satupun yang mengenai sasarannya. Jangankan menembus, merobek jubah birunya sajapun tidak sanggup.

“Kemala!"  kembali Tunggul Aryo berseru. "Apa hubunganmu dengan pemuda bernama Mahesa itu?!"

"Aku tidak ada hubungan apa-apa. Jangan banyak tanya. Lihat pedang!"

Wut!

Satu sambaran ganas membabat ke pinggang. Tunggul Aryo berkelit kesamping. Senjata lawan lewat hanya seujung jari telunjuk dari pinggang pakaiannya.

“Kalau tak ada hubungan apa-apa mengapa kau berusaha menolongnya?!" tanya Tunggul Aryo lagi begitu mengelak.

“Kalian tidak ada potongan sebagai kakak dan adik. Pasti pemuda itu kekasihmu. Benar?!" Tunggul Aryo tertawa gelak-gelak.

Kemala kelihatan merah wajahnya sampai ke telinga. Dia menyerbu dengan kemarahan luar biasa. Pedangnya bersiuran kian kemari. “Kangmas Aryo! Lekas ringkus gadis itu! Kita tak punya banyak waktu untuk main-main di tempat ini...!" unggul Gede berkata dengan suara keras.

Tunggul Aryo tersenyum dan berkata, "Ah, sayang sekali adikku tak sabaran. Terpaksa aku menangkapmu saat ini Kemala!"

Lelaki berjubah biru ini melompat ke depan. Sambil melompat dia angkat tangan kanannya ke atas dan membuat gerakan berputar. Kemala melihat lengan jubah orang itu seperti terulur panjang. Dia coba memapaki dengan tebasan keras. Tapi terlambat. Ujung jubah lebih dahulu manggelung badan pedangnya. Ketika lawan membetot, gadis ini tak kuasa mempertahankan senjatanya. Pedang itu tertarik lepas dari tangannya. Kagetlah Kemala.

“Orang ini lihay sekali!"  katanya dalam hati lalu secepat kilat memutar diri untuk berkelebat ke samping, maksudnya terus melarikan diri. Namun dia masih kalah cepat dengan Tunggul Aryo. Kemala hanya mampu membuat gerakan setengah langkah ketika tiba-tiba satu tusukan mendarat di pangkal lehernya. Sang dara langsung merasakan tubuhnya lemas. Dia jatuh tersungkur di tanah. Tunggul Aryo tertawa sambil gosok-gosok ke dua telapak tangannya.

“Buka pintu kereta. Masukkan dia jadi satu dengan dua tawanan lainnya!  perintah Tunggul Aryo pada beberapa orang perajurit yang ada didekatnya.

“Kakakku, kau hendak mencampurkan tawanan perempuan ini dengan dua tawanan lelaki itu?!"  Tunggul Gede bertanya.

“Kau tak usah khawatir dimas. Pemuda itu tak perlu ditakutkan. Dia dalam keadaan lumpuh, tak mungkin akan merayapi dara ini. Tapi si tukang obat itu memang perlu dipreteli dulu!"

Ketika pintu kereta terbuka, Ki Tampu cepat melompat ke sudut kiri. Dia sadar apa yang akan terjadi kalau sampai ketahuan menyuapkan daun-daun obat itu ke dalam mulut Mahesa. Mahesa sendiri pejamkan kedua matanya, pura-pura tidur. Kumala dinaikkan ke atas kereta. Dua orang kemudian menyerat Ki Tampu ke pintu. Tunggul Aryo menotok pangkal lehernya hingga ahli obat inipun mengalami nasib sama dengan Kemala. Lumpuh oleh totokan!

Begitu pintu kereta ditutupkan dan kereta terasa mulai bergerak, Mahesa buka kembali kedua matanya. Melihat Ki Tampu yang terpuruk disudut kiri dan dara berbaju kuning yang terguling di sudut kanan belakang, Mahesa maklum kalau kedua orang ini menjadi korban totokan yang lihay.

“Kemala, tidak seharusnya kau muncul disini untuk menolongku!"

Sepasang mata Kemala berputar. Tubuhnya memang tak bisa bergerak tapi dia masih bisa bicara dan menjawab, "Oh, aku tak tahu kalau kau tidak suka ditolong!"

“Bukan tak suka ditolong. Tapi pekerjaan ini pekerjaan berbahaya. Buktinya, sekarang kaupun ikut ditawan!"

“Biarlah Hitung-hitung ikut jalan-jalan ke Kotaraja tanpa dipungut ongkos!"  jawab Kemala seenaknya.

"Hai! Tidak sangka kau pandai juga bergurau!"  ujar Mahesa.  "Biasanya kau selalu kasar dan ketus! Tapi kalau begini kau ingin bergurau, waktunya salah. Ini bukan saatnya untuk bergurau! Kau tahu apa yang menunggu aku dan tukang obat itu di Kotaraja? Tiang gantungan! Dan mereka pasti akan menyediakan satu tiang gantungan lagi. Untukmu!"

“Kalau memang sudah ditakdirkan mati digantung, Mau apa lagi!  jawab Kemala.  Aku tidak takut. Kau mungkin yang takut!"

“Gadis bandel!" maki Mahesa dalam hati. Lalu dia berkata, "Hebat sekali bicaramu Kemala. Asal saja kau bicara begitu untuk menutupi ketakutanmu sendiri. Betul?"

“Sudah Aku tak mau bicara dengan kau lagi! Dengan manusia yang bakal jadi calon bangkai..."

“Nasibmu tidak lebih bagus dariku!" tukas Mahesa jengkel.

“Mereka belum tentu benar-benar akan menggantungku...!"

“Begitu? Kau tahu kalau kau dituduh melawan Kerajaan karena berusaha menolongku...?!"

“Mereka tidak akan menggantungku. Percaya itu! Banyak pejabat-pejabat di Kotaraja yang bersifat hidung belang dan bisa kupergunakan kekuasaannya...!"

“Hemm! Tidak sangka kau seorang gadis yang mau menyerahkan kehormatan demi nyawanya!"

“Kurang ajar!"  Kemala tampak marah. "Kau kira aku ini perempuan macam apa? Kau kira aku ini berbudi pekerti tidak senonoh?! Kalau saja tidak tertotok, sudah kurobek mulutmu!"

Ki Tampu yang duduk di sudut kereta tak bergerak dan tak bersuara. Dia merasa bersyukur karena tadi berhasil membuat Mahesa menelan daun obat itu sebanyak-banyaknya. Hanya dia tidak tahu dalam waktu berapa lama pemuda itu bisa pulih kembali kekuatannya. Dan kalau daun-daun itu berhasil menyembuhkannya apakah dia sanggup melarikan diri? Lalu bagaimana pula dengan dirinya sendiri. Dan juga dara berbaju kuning yang barusan bertengkar dengan si pemuda?

Selagi merenung-renung didalam kereta yang bergerak cepat itu, Mahesa ingat dengan cerita gurunya tentang seorang perempuan bernama Wilujeng yang pernah menjadi ibu susunya. Ketika dia mencari rumah perempuan itu di Probolinggo dengan bantuan kakek penjaga makam, ternyata di rumah itu dia menemui Kemala.

“Kemala, ada satu hal yang hendak kutanyakan padamu!" Mahesa membuka mulut.

Tak ada jawaban. Mahesa mengulang pertanyaannya. Ketika gadis itu masih tak menjawab diapun berkata, "Heh, tak disangka kau sudah enak-enakan pulas diatas kereta ini!"

“Siapa yang pulas?! Hanya setan yang bisa tidur ditempat seperti ini!"  tiba-tiba terdengar suara Kemala.  Enak saja kau bicara!

Mahesa tertawa gelak-gelak. “Makanya kalau diajak bicara jangan seperti tak acuh. Aku mau tanya apa hubunganmu dengan perempuan bernama Wilujeng?"

Kalau saja saat itu tidak dalam keadaan tertotok, pertanyaan Mahesa tadi akan membuat Kemala terlonjak. Wilujeng adalah nama ibunya. Sang ibu pernah dilarikan orang nenek aneh dan lenyap lebih dari setahun. Ketika Ibunya kembali ke kota, sang ayah justru lenyap dan tak pernah diketahui lagi rimbanya. Ibunya sendiri kemudian menjadi korban keganasan mahluk-mahluk penghisap darah yang dipimpin oleh Datuk Iblis Penghisap Darah.

Bagaimana kini pemuda bernama Mahesa itu menyebut-nyebut nama ibunya. Begitu Kemala bertanya-tanya. Dia ingat kedatangan Mahesa dirumahnya tempo hari ditemani oleh orang tua penjaga makam itu. Katanya dia ingin melihat rumahnya. Kenapa?

“Apakah kau anak buah datuk Iblis Penghisap Darah?!" Tiba-tiba Kemala ajukan pertanyaan dengan nada curiga.

“Gila! Kau saksikan sendiri waktu di Bukit Akhirat bagaimana aku mati-matian menggempur manusia iblis itu! Sekarang enak saja kau menuduhku yang bukan-bukan! Edan!"

“Terus terang aku banyak curiga padamu,...!" kata Kemala.

“Kalau begitu kenapa kau menolongku waktu acara pemakaman itu. Mengapa kini kau juga berusaha membebaskanku hingga kau sendiri akhirnya jadi tawanan! Aku tak mengerti jalan pikiranmu! Tingkah lakumupun aneh! Terkadang lucu, tapi lebih banyak ketus. Sudahlah, sebaiknya tidak perlu diteruskan pembicaraan ini!" Mahesa jadi jengkel.

“Akupun tidak senang bicara denganmu!" balas Kemala. “Hanya karena kau tadi menyebut perempuan bernama Wilujeng itu maka aku perlu menyelidik. Apa sangkut pautmu dengan perempuan itu hingga kau menanyakan!"

“Aku tadi yang ingin tahu apa hubunganmu dengan perempuan itu. Malah kini kau balik bertanya!"

“Aku tak akan menjawab sebelum kau memberi tahu!" ujar Kemala.

“Sama! Akupun tak akan menjawab sebelum kau meberi tahu!" tukas Mahesa.

Kemala terdiam. Mahesa pun bungkam. Hanya Ki Tampu yang tertawa sendirian di sudut kereta. Dalam hatinya dia berkata, "Muda-mudi aneh. Ditunggu tiang gantungan masih sempat-sempatnya bertengkar."

Mahesa menggerak-gerakkan mulutnya untuk menangkap daun-daun tapak doro yang melintang menutupi mukanya, lalu mengunyah dan menelannya. Sampai matahari mulai meninggi tetap tak ada yang bicara dalam kereta itu. Suatu ketika ketiga orang tawanan itu mendadak mendengar suara kuda meringkik. Kereta dimana mereka berada berhenti."

“Apa pula yang terjadi di luar sana?"  pikir Mahesa. Dia melirik pada Kemala. Gadis ini diam-diam juga Tengah memasang telinga.


4. SANG DATUK IBLIS YANG TERGILA-GILA
SAAT ITU rombongan yang dipimpin oleh Tunggul Aryo tengah melewati jalan turun menurun di lamping sebuah bukit batu dalam kecepatan tinggi. Tanpa diduga sama sekali tiba-tiba di sebelah depan berkelebat satu bayangan putih. Sesaat kemudian di tengah jalan tampak tegak seorang berjubah putih berbadan bungkuk.

Sikapnya seperti acuh tak acuh tetapi jelas dia sengaja menghadang jalannya rombongan. Kuda yang ditunggangi Tunggul Aryo yang berada paling depan tersentak meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya ketika penunggangnya menarik dan menahan tali kekang.

Dua ekor kuda di sebelah belakang hampir saja berserempetan. Seorang perajurit yang berkuda disamping kereta terguling jatuh karena harus menghentikannya secara mendadak. Untung saja kepalanya tidak tergilas roda kereta. Seluruh rombongan kini berhenti.

Tunggul Gede yang berada di bagian belakang, dengan memacu kudanya ke depan untuk melihat apa yang terjadi. Saat dia sudah berada disamping kakaknya. Keduanya sama-sama memandang ke muka.

Di tengah jalan orang bungkuk berjubah putih itu ternyata adalah seorang kakek berkepala botak. Kepalanya yang licin berkilat-kilat tersorot sinar matahari. Kakek ini bermuka kuning. Pada jubah pakaiannya disebelah dada kelihatan gambar binatang berwarna hitam. Gambar seekor kelabang.

Di tangan kanannya dia memegang sebuah kantong kulit. Acuh tak acuh dia membuka sebuah kayu menyumbat pada salah satu bagian kantong yang berlobang. Dari lobang ini kemudian dia mengucurkan cairan berwarna merah ke dalam mulutnya. Bau busuk luar biasa serta merta menebar di tempat itu!

Tunggul Aryo merasakan kuduknya dingin. Dia berusaha menenteramkan hati. Sementara adiknya Tunggul Gede keluarkan keringat dingin meskipun dia berusaha bersikap setenang mungkin.

“Kelabang hitam!" desis Tunggul Aryo sambil menatap gambar di dada jubah kakek bungkuk yang tegak di tengah jalan, sedang meneguk darah busuk dari dalam kantong!

“Kesulitan kangmas!" bisik Tunggul Gede.

“Aku tahu. Kita harus bersikap tenang dan baik. Kau awasi kereta...!"

“Ada apa dia tiba-tiba muncul dan menghadang?" bertanya Tunggul Gede.

“Sulit diterka. Tapi sebentar lagi kita bakal tahu!" jawab Tunggul Aryo.

Si kakek bungkuk seka darah busuk yang berlelehan di bibir dan dagunya lalu menutupkan penyumbat ke dalam lobang dan batuk-batuk beberapa kali.

“Datuk Iblis! Sungguh tidak disangka kami dapat bertemu denganmu ditempat ini..!"

Belum habis Tunggul Aryo bicara, kakek bungkuk itu berseru,  "Eit!  lalu dia gerak-gerakkkan telunjuk kanannya berkata, "Tidak sangka tokoh dari Kotaraja tidak tahu peradatan! Turun dari kudamu kalau bicara dengan orang yang usianya dua kali dari usiamu!"
 
Tunggul Aryo gigit bibirnya. Dia meluncur turun dari kudanya, tegak di jalan tapi tak berani maju mendekati kakek di depan sana. Karena si kakek hanya celingak-celinguk memandang kian kemari, Tunggul Aryo jadi tak enak. Akhirnya kembali membuka mulut, "Datuk, apa yang bisa kami perbuat untukmu!"

“Benar-benar tidak tahu peradatan!" si kakek membentak. Dia bantingkan kaki kanannya ke tanah.

Tunggul Aryo merasakan tanah jalanan itu bergetar. Memandang ke depan dilihatnya tanah yang tadi dihentak kaki si kakek kini berlobang menganga dan berwarna kehitaman. Diam-diam tokoh istana ini menyumpah dalam hati. Apa lagi yang dianggap kakek itu tidak tahu peradatan.

"Bukankah dia sudah turun dari kuda dan bertanya secara baik-baik?"

“Kalau menyebut namaku jangan sepotong-sepotong! Sebut selengkapnya. Aku tidak dilahirkan sepotong-sepotong. Dan dunia persilatan kukuasai tidak sepotong-sepotong. Atau mungkin kau mau kubikin jadi beberapa potong?!"

"Ah, itu rupanya penyebab kemarahan manusia aneh ini!" pikir Tunggul Aryo. Lalu buru-buru dia berkata, “Mohon maafmu. Katakan apa yang bisa kami lakukan untukmu Datuk Iblis Penghisap Darah?"

“Nah, bagus begitu!"  Si kakek yang ternyata adalah Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah tertawa mengekeh.

Sebagai tokoh silat istana baik Tunggul aryo maupun Tunggul Gede tentu saja memiliki tingkat kepandaian tinggi. Kalau tidak tak bakal keduanya diangkat menjadi hulubalang serta dipercayakan dalam pengamanan tawanan yaitu Mahesa. Namun dibandingkan dengan sang datuk yang saat itu menghadang di tengah jalan, keduanya menyadari bahwa bukan saja dalam ilmu silat.

Tetapi hal lain seperti tenaga dalam dan kesaktian mereka masih berada paling tidak tiga tingkat dibawah si kakek. Selama ini antara mereka memang tak pernah terdapat silang sengketa. Pada umumnya para tokoh silat istana selalu berhati-hati dan menjaga jarak dengan orang-orang rimba persilatan seperti Datuk Iblis ini.

“Kulihat kalian bergerak cepat. Tentu ada apa-apanya! Bisa kalian menerangkan padaku mengapa?"

Tunggul Gede merasa tak enak. Kakaknya menjawab sambil tersenyum. "Matamu sungguh tajam. Kami bergerak cepat semata-mata hanya ingin lekas-lekas sampai di Kotaraja!"

“Begitu?" ujar Datuk Iblis seraya mendongak dan usap-usap dagunya.  "Kau tidak berdusta?"

“Sebagai orang dalam istana mana kami berani berdusta!"  sahut Tunggul Aryo.

Datuk lblis Penghisap Darah manggut-manggut. Dengar,  katanya sesaat kemudian  Aku tengah mencari seorang gadis berpakaian kuning. Aku kehilangan jejaknya malam tadi. Tapi aku yakin dia pergi ke jurusan yang sama dengan kalian. Kalian melihatnya? Kami sengaja tidak menempuh jalan umum. Karenanya tak pernah berpapasan dengan siapapun. Juga tidak dengan orang yang kau tanyakan itu  jawab Tunggul Aryo.

“Hemmm...!"  sang datuk bergumam. Parasnya menunjukkan rasa kurang percaya. Dia memandang ke arah kereta lalu bertanya,  Apa isi kereta itu...?!"

Dua kakak beradik Aryo dan Gede merasakan dada mereka berdenyut. Jika mereka berdusta lalu kakek jahat kepandaian tinggi itu melakukan pemeriksaan, bentrokan pasti tidak dapat dihindarkan.

“Kereta itu kosong. Tadinya untuk dimuati barang-barang dari Bugis. Tapi perahu yang ditunggu tidak muncul di Probolinggo!"  jawab Tunggul Aryo.

“Jadi kalian berangkat dari Probolinggo?"

“Betul. Katakanlah apa yang dapat kami bantu Datuk Iblis Penghisap Darah!" Untuk pertama kalinya Tunggul Gede berbicara.

Karena tak menjawab maka Tunggul Aryo memberanikan diri bertanya.  Kalau kau bisa menerangkan nama atau siapa adanya gadis berbaju kuning itu, mungkin kami bisa bantu menyelidik. Sang datuk tertawa.  "Bicaramu penuh basa basi. Jika kau benar-benar tidak melihat gadis berbaju kuning itu mana mungkin kalian bisa membantu. Tapi ingat, dilain waktu jika kuketahui kalian bicara dusta, kalian tak akan lari jauh dariku!"

Selesai berkata begitu Datuk Iblis alias Lembu Surah berkelebat pergi. Tunggul Aryo dan Tunggul Gede merasa lega. Setelah menunggu sesaat Tunggul Aryo memberi tanda dan rombongan kembali meneruskan perjalanan.

"Bagaimana sampai Datuk Iblis muncul ditempat itu. Siapa gadis baju kuning yang tengah dicarinya?"

Dalam (jilid dua) diceritakan bahwa setelah Mahesa menyelamatkan Kemala dari tangan dari Tiga Datuk Kembar Bukit Akhirat tahu-tahu muncullah Datuk Iblis Penghisap Darah yang ternyata adalah kepala dari gerombolan makhluk-mahluk seram penghisap darah. Melihat kecantikan Kemala langsung kakek ini ingin melampiaskan nafsu terkutuknya. 

Karena ingin menempur dan membunuh Mahesa maka Kemala ditotoknya terlebih dahulu. Namun maksud keji sang datuk tidak kesampaian karena saat itu muncul seorang kakek berjuluk Malaikat Maut Berkuda Putih yang sebelumnya memang tengah mencari-cari Datuk Iblis karena dendam lama. Menyadari keadaan tidak bakal menguntungkannya maka Datuk Iblis Ialu pergi meninggalkan Bukit Akhirat.

Namun sejak itu pula dia tidak pernah melupakan dara berbaju kuning itu yakni Kemala. Hampir dalam setiap kesempatan dia selalu berusaha mencari sang dara. Dia hampir berhasil menemui jejak gadis itu disatu tempat sekitar sehari perjalanan dari Probolinggo. Namun sebelum bisa mengejar lebih dekat, Kemala telah lenyap.

Dia terus menyelidik ke arah barat daya sampai akhirnya bertemu dengan rombongan Tunggul Aryo. Kalau saja sang datuk tahu bahwa dara yang dicarinya ada dalam kereta, ceritanya tentu akan jadi lain. Di dalam kereta sendiri Kemala tidak pernah mengetahui kalau dirinya baru saja terlepas dari satu bencana keji.


5. KEMATIAN SOKA MEMBAWA KECURIGAAN
PAGI HARI kedua. Hujan turun rintik-rintik. Rombongan berhenti di sebuah surau kecil yang terletak di tepi desa. Sejak dihadang oleh Datuk lblis rombongan ini bergerak terus sepanjang siang dan malam hari. Mereka minum dan makan seadanya sambil berjalan. Tak ada yang menghiraukan atau ingat memberi makan ketiga tawanan. Baru pada pagi hari itu seorang pengawal diperintahkan membuka pintu kereta. Tiga potong ubi bakar dilemparkan dekat kepala tawanan.

“Anak setan!"  maki Mahesa dalam hati. Lalu dia berseru, "Perajurit tolol! Dalam keadaan begini apa kau kira kami bisa mengambil dan makan ubi itu?!"

“Bisa atau tidak itu bukan urusanku!"  jawab si perajurit.

Mahesa menatap lekat-lekat. Dia mengenali siapa adanya perajurit itu. “Kau rupanya Soka! Pantas mulutmu busuk amat!"

Soka adalah perajurit yang pernah menendang muka Mahesa hingga mulutnya berdarah sewaktu disekap di Kadipaten. “Kau rupanya ingin kutendang sekali lagi!"  bentak Soka.

“Cobalah kalau kau mampu melakukannya!" tantang Mahesa.

Ki Tampu mengeluh dalam hati.  Pemuda tolol. Dalam keadaan tak berdaya begitu berani menantang orang. Pasti dia akan kena gebuk! Apa yang disangkakan Ki Tampu memang kejadian. Dengan geram Soka melompat ke dalam kereta. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi lalu dihenyakkan kebawah untuk menginjak muka Mahesa. 

Suatu hal yang tidak diduga Ki Tampu ataupun Kemala terjadi. Mahesa tiba-tiba kelihatan menggerakkan kedua tangannya menangkap kaki perajurit itu. Dalam posisi duduk pemuda ini kemudian membantingkan Soka ke lantai kereta. Lalu sebelum si perajurit sempat keluarkan seruan kesakitan Mahesa cekik batang lehernya.

Terdengar suara berkeretak hancurnya tulang-tulang leher Soka. Matanya mendelik, lidahnya mencelet. Selain kaget melihat kejadian itu Ki Tampu juga merasa gembira. Mahesa mampu menggerakkan bagian tubuhnya sebelah atas. Satu tanda bahwa daun tapak doro yang dimakannya benar-benar berkhasiat dan dapat menyembuhkan kelumpuhannya walaupun belum keseluruhan.

Mahesa memandang pada ahli obat itu dan kedipkan matanya. Perlahan-lahan dia beringsut menutup pintu kereta. Tak lama kemudian seseorang diluar sana mengunci dan memalang pintu kereta itu tanpa mengetahui bahwa seorang kawannya telah menemui ajal di dalam kereta.

“Ki Tampu...!" bisik Mahesa. "Daun-daun itu mujarab sekali. Kelumpuhan pada bagian tubuhku sebelah atas lenyap...!"

Ki Tampu hanya bisa kedip-kedipkan mata. Mahesa beringsut mendekatinya lalu lepaskan totokan orang ini. Begitu tubuhnya lepas dari totokan Ki Tampu langsung memeluk Mahesa. Lalu dia memberi isyarat dengan kedua tangan agar memakan lagi daun-daun tapak doro yang masih banyak bertebaran di lantai kereta.

“Jangan kawatir, akan kuhabiskan semua daun itu biar sembuh. Tapi lebih dulu aku harus menolong sobatku si baju kuning ini!" kata Mahesa. Lalu dia berguling mendekati Kemala dan lepaskan totokan di tubuh sang dara. Begitu totokannya musnah Kemala terus melompat ke arah pintu.

Mahesa cepat berseru. “Kau mau kemana?!"

“Aku akan keluar untuk menghajar orang-orang itu!"

“Anak tolol!"  bentak Mahesa.  "Lima orang macammu belum tentu dapat mengalahkan orang-orang itu. Jangan cari penyakit untuk kedua kali. Lebih baik tetap disini menunggu..?"

“Menunggu sampai di kotaraja lalu digantung?!"  tukas Kemala.

"Kemarin kau bicara besar tak takut digantung. Sekarang nyatanya keberanianmu sudah lenyap! Dengar Kemala. Jika daun-daun dalam kereta ini kuhabiskan, mungkin nanti malam atau paling lambat besok pagi kelumpuhan yang masih kuderita pada tubuhku sebelah bawah akan sembuh. Sementara itu kita tetap berpura-pura tidak berdaya. Kalau aku sembuh kita akan atur pelarian..."

“Kalau kau tidak sembuh?"

Mahesa terdiam dan berpaling pada Ki Tampu. Orang ini goyang-goyangkan tangan kanannya sementara tangan kiri menunjuk ke arah daun-daun yang tersebar di lantai dan memberi isyarat agar Mahesa segera memakannya kembali.

“Aku percaya pada juru obat ini. Aku pasti sembuh. Aku akan bantu dengan pengerahan tenaga dalam!" kata Mahesa yakin. Lalu dia pindah duduk disudut kereta sebelah dalam. 

Setelah makan dedaunan tapak doro sebanyak yang bisa dilakukannya Mahesa lalu pejamkan mata dan kerahkan tenaga dalam. Ternyata masih sulit baginya untuk mengalirkan tenaga dalam ke bagian tubuh sebatas pinggang ke bawah. Namun dia yakin dalam waktu cepat, paling tidak sebelum sampai di kotaraja dia akan mengalami kesembuhan. Menjelang senja, Tunggul Gede yang berkuda disebelah belakang memacu binatang tunggangannya mendekati kakaknya.

“Kangmas Aryo. Mungkin aku salah hitung. Tapi aku merasa pasti setelah Kroto terbunuh, anggota rombongan kita ternyata berkurang seorang lagi."

Mula-mula Tunggul Aryo segan menanggapi keterangan adiknya itu. Tetapi setelah sambil berjalan menghitung-hitung kenyataannya anggota rombongan memang berkurang seorang. Maka serta merta lelaki ini berseru memberi perintah agar rombongan berhenti.

“Salah seorang anggota rombongan hilang!" katanya kemudian memberi tahu.

Semua orang saling pandang dengan terkejut dan diam-diam coba menghitung-hitung. “Aku tak melihat Soka!"  seorang perajurit Kadipaten berkata.

“Soka lenyap!" perajurit yang lain ikut buka suara.

Tunggul Aryo memandang berkeliling sementara hari mulai gelap. Saat itu mereka berada disebelah timur hutan Dodokan. Dia mendekati adiknya dan berbisik, "Aneh, kemana perginya perajurit itu…?”

“Mungkin diam-diam kembali ke Probolinggo?" ujar si adik.

“Mustahil. Untuk apa dia kembali dan kenapa musti diam-diam?" menyahuti Tunggul Aryo.

Sementara itu di dalam kereta Mahesa, Ki Tampu dan Kemala merapatkan telinga ke dinding papan, coba mendengarkan percakapan-percakapan orang di luar sana. “Mereka mengetahui lenyapnya perajurit ini," bisik Kemala.

Mahesa mengangguk. Dengan kedua tangannya yang di aliri tenaga dalam tinggi pemuda ini memijiti paha dan kakinya. Lalu perlahan dia mencoba bangun. Meskipun bersandar ke dinding kereta namun dia sanggup berdiri. Dicobanya mengangkat kaki kanannya. Kaki itu bergerak ke atas. Dicobakannya pada kaki kiri. Kaki inipun bergerak. Ki Tampu mengacung-acungkan kedua ibu jari tangannya. Mahesa memberi isyarat.  "Aku sudah sembuh!"  katanya. "Tapi belum sepenuhnya. Kedua kaki ini masih agak berat!"

“Bagaimana kalau mereka memeriksa kereta ini. Dan menemukan mayat perajurit itu?" berbisik Kemala.

Mahesa memutar otaknya sementara dadanya terasa berdenyut sakit. Dia sadar kalau luka dalam dibagian dadanya belum sembuh, begitu juga dengan pinggulnya. Di luar kereta terdengar suara Tunggul Gede berkata,

“Tak ada gunanya merisaukan perajurit satu itu. Malam telah tiba. Apakah kita akan meneruskan perjalanan atau beristirahat di tempat ini? Bukannya aku merisaukan si kroco itu dimas,  sahut Tunggul Aryo.  Bagiku lenyapnya Soka terasa aneh. Jangan-jangan dia menyelinap masuk ke dalam kereta dan melakukan sesuatu terhadap gadis tawanan yang cantik itu!"

"Mustahil si gadis atau tawanan lainnya tidak akan berteriak. Soka tidak punya kepandaian untuk menotok jalan suara orang!" kata Tunggul Gede pula.

Setelah berpikir sejenak akhirnya Tunggul Aryo berkata, "Aku tetap curiga. Buka pintu kereta. Aku akan memeriksa sendiri!"


6. SANG DATUK IBLIS MUNCUL LAGI
SEORANG perajurit membuka gembok dan palang pintu kereta. Dimalam yang gelap itu bagian dalam kereta lebih gelap lagi. Tunggul Aryo melangkah ke depan pintu yang terbuka lebar. Di sebelah kanan depan dilihatnya terguling tubuh Ki Tampu si juru obat. Di sudut belah kiri belakang terbujur sosok tubuh gadis berbaju kuning. Lalu disudut dalam sebelah kanan, diatas tumpukan dedaunan tampak terbaring Mahesa. Tak tampak sosok tubuh ke empat, sosok tubuh Soka.

“Hai, apakah kau hendak memberi kami makan?!"  tiba-tiba terdengar suara Mahesa bertanya.

“Ya! Walaupun kami cuma tawanan, tapi kalian tak bisa berlaku semena-mena. Kami harus diberi makan!" menimpali Kemala.

“Tutup mulut kalian!" bentak Tunggul Aryo. "Aku saja dan para pengawal belum makan! Kalian sudah ribut minta makan!"

“Kau dan orang-orangmu mau makan atau tidak, perduli amat!" tukas Mahesa. Dalam keadaan belum sembuh sepenuhnya dari kelumpuhan dia berbaring demikian rupa didalam gelap, melindungi sosok tubuh Soka yang disembunyikannya dibelakangnya, ditutupi dengan daun-daun tapak doro.

“Kalau kau datang bukan untuk membawa makanan, lebih baik pergi! Melihat mukamu perutku yang lapar jadi muak!" Kemala kembali buka suara.

Tunggul Aryo mendengus marah. Sebenarnya ketiga orang dalam kereta itu diam-diam menahan kecemasan. Dari pintu kereta mungkin sulit untuk melihat sosok tubuh Soka. Tapi jika Tunggul Aryo naik keatas, tak dapat tidak dia pasti akan melihat mayat perajurit itu.

“Hai!" seru Mahesa. Kawanku tidak suka melihatmu, apa tidak malu lama-lama jual tampang disitu?!"

Geraham Tunggul Aryo bergemeletakan menahan amarah. Kalau saja dia tidak ditugaskan untuk membawa tawanan yang satu ini dalam keadaan selamat sampai di Kotaraja, sudah dari tadi-tadi diterkam dan dihajarnya.

“Bangsat!" Tunggul Aryo hanya bisa memaki lalu bantingkan pintu kereta. Perajurit yang tadi membuka pintu kembali menggembok dan memalangnya.

Tunggul Aryo berpaling pada adiknya. “Bagaimana?" tanya Tunggul Gede.

“Aneh! Bagiku tetap aneh!"

"Kau sudah periksa sendiri kangmas. Sekarang apakah kita akan berhenti dan istirahat disini atau meneruskan perjalanan?"

“Kita teruskan perjalanan. Besok menjelang pagi baru istirahat!" kata Tunggul Aryo.

“Kangmas, perjalanan kita hari ini cukup jauh. Kuda-kuda tunggangan perlu istirahat. Juga kita semua. Jangan dipaksakan...!"

Tunggul Aryo memandang berkeliling. Lalu berkata, “Tempat ini kurasa kurang aman. Selain itu aku mendapat firasat yang kurang enak. Kita berangkat!"

Pimpinan rombongan itu menepuk pinggul kudanya. Binatang ini melompat ke depan. Terpaksa semua anggota rombongan mengikuti.

***

BEGITU pintu kereta ditutup dan tak lama kemudian rombongan itu bergerak meneruskan perjalanan, tiga orang yang berada dalam kereta menarik nafas lega. Ki Tampu seka keringat yang membasahi keningnya. Mahesa bangkit lalu duduk bersila. Kemala berdiri dan melangkah mundar-mandir dalam kereta.

"Kita harus keluar dari kereta terkutuk ini dan lari!" berkata Kemala lalu dia kembali ke tempatnya disudut kiri.

Itu memang jadi pemikiranku Kemala,  sahut Mahesa. “Tapi dalam keadaanku masih lemah begini tak mungkin dilakukan. Paling tidak kita harus menunggu sampai besok pagi. Daun-daun ini mujarab sekali. Aku akan coba makan semuanya. Disamping itu dengan mengerahkan tenaga dalam kurasa akan sangat membantu kesembuhanku!"

“Tidak bisa dipastikan kau akan sembuh besok. Aku tak mau menunggu..."

“Lalu apa maumu?" tanya Mahesa.

“Aku akan melarikan diri saat ini juga. Dinding kereta ini tidak terlalu kuat. Dua atau tiga kali tendangan pasti bobol!"

"Manusia keras kepala!" ujar Mahesa jengkel. "Kau bisa menghancurkan dinding kereta ini. Kau bisa menghajar semua perajurit yang mengawal. Tapi kau tak bakal bisa dari dua lelaki berjubah biru itu. Lalu kalau kau gagal kematian Soka akan diketahui. Kita semua akan lebih celaka! Jangan mencari keselamatan yang sia-sia dan mengorbankan diri sendiri serta orang lain!"

Kemala menggerendeng.

Mahesa tak perdulikan lagi gadis itu. Dia mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Hawa panas mengalir ke bagian tubuhnya yang masih lemah. Sekitar pertengahan malam dengan tubuh keringatan dia berhenti untuk beristirahat sambil mengunyah sisa-sisa daun tapak doro yang masih segar. Setelah itu dia kembali bersila mengerahkan tenaga dalam. Kali ini dialirkan ke bagian dadanya yang masih terasa sakit walaupun mulai menyembuh. Dengan. Tubuh letih menjelang dinihari Mahesa tertidur sementara Kemala dan Ki Tampu yang tidak bisa tidur jadi merasa tidak tenteram.

“Ki Tampu!" Kemala menegur dengan suara rendah. “Menurutmu apakah dia benar bisa sembuh menjelang pagi nanti?"

Ki Tampu yang merasa yakin akan kesembuhan Mahesa mengaggukkan kepala beberapa kali. Meskipun demikian tetap saja sang dara merasa ragu. Ketika langit di ufuk timur mulai terang kemerahan dan kicau burung terdengar di pepohonan, Tunggul Aryo yang berkuda paling depan memandang berkeliling. Saat itu mereka berada di sebuah lembah sunyi yang ditumbuhi tanaman-tanaman liar berbentuk aneh. Dia mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi. Melihat tanda ini maka rombunganpun berhenti.

“Perjalanan gila!" Tunggul Gede seperti menggerutu.

Mendangar ucapan adiknya itu Tunggul Aryo datang mendekat. "Dimas, dalam perjalanan seperti ini satu hal harus kau pelajari. Jangan sekali-kali berhenti untuk istirahat dan berkemah pada malam hari. Terlalu besar bahayanya. Pada malam hari pemandangan kita terbatas. Lebih sulit untuk berjaga-jaga, sebaliknya lebih mudah bagi orang-orang yang beritikad jahat untuk menyelinap. Kau mengerti dimas?"

Tunggul Gede mengangguk. Tidak terduga tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. Menyusul ucapan, Bagiku siang atau malam sama saja...!"

Semua anggota rombongan terkejut. Tunggul Aryo dan Tunggul Gede mendongak ke atas pohon besar di depan mereka, dari arah mana suara itu datang. Pada salah satu cabang pohon tampak duduk berjuntai seorang kakek berkepala botak bermuka kuning. Pada dada pakaiannya yang berupa jubah putih terpampang gambar kelabang hitam. Saat itu dia tampak tengah meneguk cairan merah dari sebuah kantong kulit.

“Dia lagi...!  desis Tunggul Gede.

“Aku merasa tidak enak. Firasat burukku jadi kenyataan. Kenapa manusia ini muncul lagi?!"

“Jangan-jangan dia tahu!" Tunggul Gede tak meneruskan ucapannya.

Saat itu orang diatas pohon tampak melayang turun. Kedua lututnya dilipat ke dada hingga tubuhnya seperti membulat dan dalam melayang itu membuat beberapa kali putaran. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke arah Tunggul Aryo. Kedua kakinya menghantam kepala kuda yang ditunggangi hulubalang istana ini.

Prak!

Kepala kuda itu pecah. Binatang ini roboh, meringkik keras sambil berguling dan lejang-lejangkan ke empat kakinya lalu diam tak berkutik lagi.


7. LOLOS
SANG DATUK usap mulutnya lalu kembali perdengarkan suara tertawa mengekeh.
“Masih bagus hanya kudamu yang mampus Tunggul Aryo! Itu satu peringatan bagimu. Kau telah berdusta! Tunggal Aryo jadi berdebar. Pasti orang ini mengetahui bahwa dalam kereta sebenarnya terdapat gadis baju kuning yang dicarinya. Tapi dia coba berkilah dengan bertanya.

“Apa yang telah kudustakan Datuk Iblis Penghisap Darah?”

“Ha.. ha! Kau masih hendak berpura-pura. Mungkin kau akan membayar kelicikanmu itu dengan nyawa. Tapi memandang bahwa kau seorang gembong keraton, aku mau memberi ampun. Asalkan kau serahkan secara baik-baik dara berbaju kuning yang ada dalam kereta tertutup itu!”

“Ah, dia benar-benar sudah tahu kangmas!" bisik Tunggul Gede.

“Datuk lblis Penghisap Darah memang benar sehari lalu aku berdusta padamu. Harap maafkan. Tapi itu bukan untuk berbuat licik atau menipumu. Ketahuilah aku memikul tugas kerajaan yang berat. Siapapun adanya tawanan-tawanan yang ada dalam kereta itu aku harus menjaga keselamatannya sampai di kotaraja!"

“He, kau sebut tawanan-tawanan. Memangnya ada berapa orang dalam kereta itu?  tanya sang datuk sambil usap-usap dagunya yang bercelemongan darah busuk.
Tunggul Aryo sadar tak bisa berkelit lagi.

“Tiga,!" jawabnya kemudian.

“Nah... nah! Siapa-siapa mereka?"

“Gadis yang kau cari itu. Seorang tukang obat bernama Ki Tampu. Lalu seorang pemuda bernama Mahesa...!"

Datuk Iblis nampak terkejut. Lalu dia menyeringai. “Hai! Pemuda itu! Sungguh kebetulan sekali. Memang aku pun mencari-carinya. Sejak peristiwa di Bukit Akhirat jari-jari tanganku ini ingin sekali meremuk batang lehernya! Tapi itu urusan belakangan. Yang penting kau harus serahkan padaku dara berbaju kuning itu!"

“Kalau aku boleh tanya, apa keperluannya gadis itu bagimu?" tanya Tunggul Aryo.

Si kakek kepala botak tertawa. “Urusanku dengan dia adalah urusan laki-laki dan perempuan. Nah, sudah kujawab pertanyaanmu! Jangan banyak mulut lagi. Kalau aku sudah tidak sabaran kalian semua bisa kubunuh!"

“Datuk Iblis Penghisap Darah. Aku tak mungkin bisa menyerahkan gadis itu. Dia adalah tawanan kerajaan!"

“Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!" Datuk Iblis turunkan kantong kulitnya. Tangan kanannya perlahan-lahan bergerak ke samping.

“Tunggu dulu!" seru Tunggul Aryo. "Kau boleh tidak memandang muka pada kami-kami ini. Mungkin mudah saja bagimu untuk membunuhi kami. Tapi kau harus memandang kerajaan. Apakah kau hendak bentrokan dengan penguasa keraton?"

Datuk lblis tertawa gelak-gelak.  "Kau pandai menakututi orang! Tapi itu untuk anak kecil, bukan kakek sepertiku ini. Kau benaran tidak mau menyerahkan gadis itu?!"

“Begini saja. Kami tetap membawa gadis itu sampai di Kotaraja. Setelah tugasku selesai kau boleh mengambilnya disana!"

“Tunggul Aryo... TungguI Aryo! Kau suruh aku menunggu dan mengikutimu sampai di kotaraja? Padahal aku inginkan tubuhnya saat ini. Kau benar-benar memaksa berbuat nekad!"

“Dimas, bagaimana pendapatmu?" bisik Tunggul Aryo pada adiknya.

“Kalau kita mempertahankan, berarti kita akan menghadapinya. Kita bisa celaka. Tapi kalau kita serahkan, kita bakal mengalami kesulitan dari Pangeran Puspo. Serba-salah!"

“Sudah selesaikan perundingan kalian?!" tanya Datuk Iblis dan dia maju dua langkah.

“Baiklah, kau boleh mengambil gadis itu." jawab Tunggul Aryo.  "Tapi bukan berarti kami menyerahkan begitu saja. Apapun yang terjadi kami akan mempertahankannya lebih dulu. Lebih baik mati daripada harus menyalahi tugas!"

“Hebat benar kata-katamu. Tapi hanya orang tolol yang mau bicara begitu! Mengingat kau orang istana maka aku akan berikan kematian yang cepat padamu hingga kau tak perlu menderita!"

Habis berkata begitu Datuk lblis hantamkan tangan kanannya. Sebuah benda hitam melesat ke kepala pemimpin rombongan itu. Tunggul Aryo bergidik dan berseru, "Kelabang Perenggut Jiwa!"  Dia cepat menyingkir. Tunggul Gede dan anggota rombongan lainnya juga segera berlompatan cari perlindungan. Disaat itu pula terdengar suara sesuatu yang bobol. Dinding kereta sebelah kiri tiba-tiba tampak hancur berantakan. Satu sinar merah menyilaukan dan sangat panas menderu antara Datuk Iblis dan Tunggul Aryo!

Ketika terjadi pembicaraan-pembicaraan keras diluar sana, Mahesa dan Kemala serta Ki Tampu segera mengetahui apa yang terjadi. “Datuk Iblis Penghisap Darah!" desis Kemala. "Dia yang menyebabkan kematian ibuku. Aku akan menuntut balas!"

“Lagi-lagi tolol!" tukas Mahesa. "Ingat kejadian di Bukit Akhirat? Kalau tak ada kakek berkuda putih itu kita semua sudah dibantainya. Akupun punya kepentingan terhadapnya. Tapi saat ini kita tak bisa berbuat apa-apa. Yang penting meloloskan diri..."

“Kalau begitu kita harus menyusun rencana...!" Kemala akhirnya menyadari dan menyetujui.

“Betul."  sahut Mahesa.  "Pertama kita akan bobolkan dinding kereta sebelah kanan. Tapi jangan sampai mengeIuarkan suara dan harus berusaha mendapatkan kuda. Lalu melarikan diri. Jangan lari sepanjang jalan. Tapi menyelinap memasuki hutan...!"

“Kau sendiri bagaimana?" tanya Kemala. "Tubuhmu belum kuat. Kau masih menderita kelumpuhan!"

Mahesa tersenyum. Tiba-tiba tubuhnya melejit ke atas. Hampir menyondak atap kereta. Kemala dan Ki Tampu kaget. “Tubuhku sebelah bawah juga sudah sembuh dari kelumpuhan. Berkat daun mujarab itu. Meski mungkin belum sepenuhnya. Tapi untuk bertempur beberapa belas jurus aku masih sanggup. Aku akan coba mengejutkan mereka dengan beberapa pukulan lalu menyusul melarikan diri.”

“Dalam melarikan diri kita harus berpencar. Jangan sama kesatu arah..."

“Lalu dimana kita akan mengadakan pertemuan?" Tanya Kemala.

Saat itu memang belum terpikir oleh Mahesa dimana nanti akan bertemu setelah berhasil melarikan diri. Apalagi waktunya sangat kepepet. Diluar sana terdengar Datuk Iblis sudah siap untuk membantai rombongan pengawal.

“Nanti saja kita pikirkan. Sekarang kalian berdua harus lari” akhirnya Mahesa berkata. Lalu dia kerahkan tenaga dalam dan mulai menekan dinding kereta sebelah kanan. Kemala ikut membantu sementara Ki Tampu hanya berdiri dengan tubuh gemetar. Dinding kereta terdengar berkeretekan, lalu roboh.

“Lekas lari!"  ujar Mahesa.

Kemala menarik tangan Ki Tampu. Keduanya melompat lewat dinding kereta yang menganga. Begitu turun tidak sulit bagi Kemala untuk mendapatkan dua ekor kuda karena saat itu semua anggota rombongan sudah melompat dari kuda masing-masing dan mencari perlindungan karena ngeri akan keganasan serangan Datuk Iblis. Kemala terlebih dulu membantu Ki Tampu naik ke atas kuda. Ketika dia hendak melompat ke punggung kuda yang lain, perajurit yang bertindak sebagai kusir kereta melihatnya dan segera berteriak. Tapi teriakannya tak keluar karena tendangan kaki kiri Kemala membuatnya mental, terpuruk ke dalam semak belukar di tepi jalan.

“Tawanan lolos” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pengawal yang berdiri bersama dua orang kawannya di bagian belakang kereta. Semua orang terkejut.

Saat itu Mahesa segera menendang dinding kereta sebelah kiri. Begitu bobol berantakan dia segera lepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Sinar merah panas berkiblat. Sinar ini menderu antara Tunggul Aryo dan Datuk Iblis. Sekaligus menghantam kelabang maut yang seharusnya menancap di kening Tunggul Aryo. Baik Tunggul Aryo maupun Datuk lblis sama-sama melompat mundur saking kagetnya.

“Pukulan Api Geledek Menggusur Makam!” ujar Datuk Iblis. "Pasti dilepaskan oleh pemuda keparat itu!" Memandang ke arah kereta dia melihat bayangan Mahesa lalu hantamkan satu pukulan tangan kosong yang hebat. Kereta kayu itu hancur berantakan tapi sosok tubuh Mahesa lenyap. Dia telah terlebih dahulu melompat ke arah kanan kereta dan melarikan diri setelah menyambar seekor kuda.

“Kejar!" teriak Tunggul Gede.

Saat Tunggul Aryo yang baru saja lolos dari serangan maut kelabang perenggut jiwa tegak tertegun tak habis pikir. Bagaimana ketiga tawanan itu bisa melarikan diri. Bukankah Mahesa berada dalam keadaan lumpuh sedang Ki Tampu serta dara bernama Kemala itu dalam keadaan tertotok?

Perintah yang diberikan Tunggul Gede tak ada gunanya. Ketiga tawanan itu lenyap dikerapatan pepohonan dilembah sebelah timur. Datuk Iblis yang tadinya bermaksud untuk mengejar batalkan niatnya. Jika pemuda yang berkepandaian tinggi itu mencegatnya ditempat tersembunyi dan membokongnya dengan pukulan sakti tadi, sulit baginya untuk menyelamatkan diri. Kini kemarahannya tertumpah pada Tunggul Aryo dan semua anggota rombongan.

“Tunggul Aryo keparat! Gara-gara kau gadisku itu melarikan diri!"

“Datuk! Enak saja kau bicara!" damprat Tunggul Aryo. Rasa jerinya terhadap kakek sakti ini lenyap. "Justru kau yang membuat mereka sampai melarikan diri! Kau harus bertanggung jawab atas kejadian ini!"

“Baik! Aku akan bertanggung jawab!" sahut Datuk Iblis. "Ini pertanggungan jawabku. Kau terimalah!" Lalu Sang datuk pukulkan tangan kanannya. Tiga kelabang hitam mencelat ke arah Tunggul Aryo. Tokoh istana ini cepat jatuhkan diri dan bergulingan di tanah sambil menghantam dengan tangan kiri. Selarik angin kencang menderu ke arah Datuk Iblis. Sambil ganda tertawa sang datuk mengelak.

Tunggul Aryo berhasil memukul mental seekor kelabang maut dan mengelakkan kelabang kedua. Tapi kelabang ke tiga dengan ganas menancap di dada kirinya. Pemimpin rombongan yang berkepandaian tinggi ini hanya sempat keluarkan satu jeritan tinggi lalu diam tak berkutik lagi!

“Iblis terkutuk!" teriak Tunggul Gede marah melihat kematian kakaknya. Dia memberi isyarat pada semua perajurit yang ada disekitarnya. Belasan perajurit segera menghunus senjata dan menyerbu didahului oleh Tunggul Gede.

Sesaat Datuk Iblis tercekat juga melihat serangan yang begitu banyak. Tapi dilain saat didahului oleh teriakan garang, dia meneguk darah busuk dalam kantong kemudian menyemburkannya kearah para penyerang. Bau busuk menebar. Maut bergentayangan. Delapan penyerang menjerit roboh dengan muka hancur berlumuran darah busuk dan darahnya sendiri!

Tunggul Gede hantamkan tangan kosongnya ke dada kakek muka kuning itu. Tapi begitu melihat si kakek menyembur dia cepat jatuhkan diri. Tanpa perdulikan delapan perajurit yang mati berkaparan di sekitarnya dia kirimkan tendangan ke selangkangan lawan. Datuk Iblis mengelak dengan melompat. Tunggul Gede mengejar. Tangan kirinya melesat kedepan, mengcengkeram ke arah perut.

Bret!

“Eit!" sang datuk berteriak. Dia dapatkan jubahnya sebelah perut robek besar terkena sambaran jari-jari tangan lawan. “Keparat sialan! Makan kelabangku ini!" teriak Datuk Iblis marah. Sekali tangannya bergerak lima kelabang meluncur dahsyat.

Tunggul Gede yang menyadari kalau dia tak bakal lolos dari kematian dengan nekad berjibaku. Dia sengaja menyongsong datangnya lima kelabang maut itu. Disaat yang sama dia juga dorongkan kedua tangannya. Dua rangkum angin yang mengandung tenaga dorong luar biasa menderu ke arah Datuk Iblis. Mula-mula manusia ini menganggap remeh serangan lawan yang dilihatnya sudah meregang nyawa itu.

Tetapi ketika tubuhnya terpukul hampir roboh, sang datuk cepat melompat kesamping. Tak urung dia masih kehilangan keseimbangan tubuh dan jatuh duduk. Cepat-cepat Datuk Iblis bangun kembali. Dadanya terasa nyeri. Dihadapannya Tunggul Gede tegelimpang mati dengan mata mendelik. Dua kelabang hitam menancap dimukanya. Dua lagi di perut dan satu didada.


8. LEPAS DARI MULUT BUAYA DITUNGGU MULUT HARIMAU
SETELAH berhasil meloloskan diri tujuan utama Mahesa kini adalah kembali ke Probolinggo untuk mengambil senjata-senjata mustika yang dititipkan dan disembunyikan oleh Mirani.

Dua hari kemudian, pada suatu malam, ketika dia memasuki Probolinggo dan sampai di tempat kediaman Mirani, di ruang tamu sebelah depan rumah besar itu dilihatnya berhenti sebuah kereta, ditunggui oleh seorang kusir dan dua prajurit. Mahesa mengenali kereta itu adalah bekas kereta Adipati Mangun Aryo. Kemudian di ruangan tamu yang terbuka Mahesa melihat Rangga, kepala pengawal Kadipaten duduk berhadapan dengan ibu Mirani, tengah bercakap-cakap.

Mahesa mengikatkan kudanya ke sebuah pohon di tempat yang gelap di seberang jalan, lalu mengambil jalan berputar. Setelah melompati tembok kanan halaman, dengan hati-hati dia menyelinap memasuki halaman samping dan mendekam dibawah jendela ruang tamu. Mahesa ingin mengetahui apa yang tengah dibicarakan kedua orang itu.

“Rasanya tak akan lama lagi surat keputusan dari kotaraja akan saya terima. Karenanya saya mohon niat baik saya itu dipertimbangkan. Saya menunggu kabar paling lambat malam Jumat dimuka” terdengar suara Rangga berkata.

Lalu suara ibu Mirani menjawab. “Saya tidak tahu apakah hari itu ada kabar. Hal ini akan saya bicarakan dulu dengan Mirani. Dia masih dalam duka cita. Mungkin kurang tepat waktunya diganggu dengan hal-hal menyangkut maksud baikmu itu. Lagi pula kematian Adipati belum sampai dua minggu...”

“Saya mengerti den ayu. Memang, acara perkawinannya sendiri tak akan terburu-buru. Paling cepat setelah saya diresmikan jadi Adipati. Namun demikian saya perlu kepastian sebelumnya.”

“Kalau saya boleh bertanya, mengapa kau tidak meminta Wilani saja menjadi calon istrimu. Dia lebih cantik dari puteriku. Masih gadis, sedang Mirani sudah janda.”

Di bawah jendela Mahesa kini maklum apa yang tengah dibicarakan kedua orang itu. Ternyata Rangga ingin mengambil janda Mangun Aryo yaitu Mirani untuk jadi istrinya. Lalu betulkah bekas kepala pengawal kadipaten itu akan diangkat menjadi Adipati Probolinggo?

“Soal kecantikan itu bagi saya sebenarnya soal kedua den ayu." terdengar jawaban Rangga. "Saya banyak kasihan terhadap puterimu. Mungkin kami bisa hidup lebih bahagia dari pada perkawinannya terdahulu. Dan soal Wilani, hubungan kami dekat sekali dan saya sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Lagi pula saya ingin menolong Mirani. Semua orang di Probolinggo ini menuduhnya mempunyai hubungan tertentu dengan pemuda buronan itu. Sebelum kerajaan mengambil keputusan terhadapnya, jika dia saya ambil jadi istri pasti apapun macam keputusan akan dibatalkan..”
 
Tidak selang berapa lama Rangga meninggalkan rumah besar itu. Sebelum naik ke atas kereta dia bicara dulu dengan empat perajurit yang ditugaskan mengawal di tempat itu.

Mahesa menunggu sampai menjelang tengah malam. Dia tahu setelah Rangga pergi sang ibu menemui Mirani dan keduanya bicara cukup lama di kamar Mirani. Mahesa mendengar suara Mirani mencaci maki. Lalu ibunya keluar kamar. Setelah dirasakannya segala sesuatu berada dalam keadaan aman, Mahesa mulai mengetuk jendela kamar Mirani sambil memanggil nama perempuan itu perlahan-lahan.

Mirani yang terbaring dalam keadaan kesal dan hampir menangis tersentak kaget lalu cepat-cepat turun dari ranjang. Dia melangkah mendekati jendela, memasang telinga. Dengan hampir tak percaya dia bertanya, “Mahesa ? Kau..?"

“Betul Aku Mahesa. Lekas buka jendela...!"

Jendela terbuka. Mahesa melompat masuk dan cepat menutup jendela kembali. Dia disambut dengan pelukan oleh Mirani serta isakan tangis.

“Tak kusangka kau akan kembali Mahesa. Tadinya harapanku sudah putus sama sekali..."

Mirani membenamkan kepalanya dalam-dalam ke dada pemuda itu. Mahesa menciumi kepala Mirani lalu bertanya, “Dimana kau simpan senjata-senjata tempo hari..?"

Janda muda yang masih gadis itu menunjuk ke langit-langit kamar. “Salah satu papan loteng itu tidak dipaku. Kalau digeser akan terdapat celah. Tepat pada celah sebelah kanan benda-benda itu kuletakkan."

“Bagus! Kau cukup cerdik. Aku akan segera mengambilnya,” kata Mahesa.

“Tunggu. Ada satu hal yang perlu saya ceritakan padamu.” berkata Mirani.

“Hal apa?"

“Malam tadi Rangga kepala pengawal kadipaten datang kesini. Dia menemui ibu. Katanya dia bakal diangkat jadi Adipati Probolinggo. Dan dia ingin mengambilku jadi istrinya."

“Itu aku sudah tahu. Pembicaraan antara ibumu dengan Rangga kudengar sendiri tadi. Semuanya terserah kau. Kalau kau suka kau bisa menerimanya. Bukankah dia jauh lebih muda dari Mangun Aryo. Mungkin juga jauh lebih baik..."

“Saya tidak senang mendengarkan kata-kata itu Mahesa. Siapa sudi kawin dengan lelaki itu. Saya masih belum memikirkan soal kawin."

“Kalau begitu kau bisa menolak permintaannya."

Tapi menurut ibu, permintaannya bernada setengah mengancam. Kalau ditolak mungkin dia akan memperkarakan kami dengan tuduhan membantumu."

“Kalau dia sampai mencelakaimu, aku tak akan tinggal diam."  kata Mahesa. "Sekarang aku akan mengambil barang-barang itu.."

Mahesa naik ke sanding jendela. Dari sini dia menggenjot tubuhnya dan melayang ke atas. Satu tangan berpegang pada balok kayu yang melintang di sudut kiri, satu tangan diulurkan untuk membuka papan yang tidak dipaku. Namun sebelum tangan Mahesa sempat menyentuh papan langit-langit kamar itu tiba-tiba pemuda ini menjerit keras dan tubuhnya terbanting ke bawah. Mirani dalam kagetnya mendongak ke atas. Gadis inipun menjerit ketakutan lalu roboh pingsan! Apakah yang terjadi?

Sewaktu Mahesa bergelantungan tiba-tiba entah darimana datangnya muncullah sesosok mahluk menyeramkan. Makhluk ini bertubuh besar dengan tinggi hampir menyentuh langit-langit kamar. Kepalanya tertutup rambut riap-riapan. Bermuka bengis dan gigi-gigi besar dan paling runcing. Dibawah hidungnya yang besar meranggas kumis liar, lalu dibawah dagu janggut dan berewok kasar. Sepasang matanya sebesar buah mangga, berputar-putar liar dan merah.

Makhluk tinggi besar berwajah setan ini memiliki tubuh aneh. Sosok tubuhnya dari atas kebawah yang penuh ditumbuhi bulu, selalu bergoyang-goyang seperti terbuat dari asap. Sekali dia menggerakkan tangannya maka tubuh Mahesa terpukul kebawah. Mahluk ini kemudian membungkuk mencekal leher Mahesa. Pemuda ini berusaha merontak lepaskan diri. Tapi sekujur tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan. Mahluk itu kemudian mengempit Mahesa diketiak kiri. Sekali menerjang, jendela dan sebagian dinding kamar roboh. Dilain saat tubuhnyapun lenyap.

Suara jeritan Mirani mengejutkan penghuni rumah besar itu. Ibunya segera lari mendatangi. Empat perajurit pengawal segera pula berada dalam rumah. Mereka mendobrak pintu kamar dan dapatkan Mirani terbaring pingsan di lantai kamar. Begitu siuman semua orang segera menanyai apa yang terjadi.

“Hantu... hantu raksasa.” kata Mirani. Lidahnya hampir kelu. Seseorang memberinya minum air putih. Setelah minum Mirani meneruskan keterangannya.  Hantu itu tahu-tahu ada dalam kamar ini. Besar setinggi loteng dan menyeramkan. Dia membungkuk seperti hendak menerkam saya. Lalu saya tak ingat apa-apa lagi..."

Sang ibu membawa anaknya ke dalam kamarnya sementara empat pengawal yang masih ada dalam kamar janda muda itu berdiri saling pandang. Salah seorang dari mereka berkata, "Aku belum pernah melihat hantu. Sebetulnya tak percaya aku pada yang begituan. Tapi melihat jendela dan dinding yang bobol itu, mustahil ada maling atau manusia yang bisa melakukannya tanpa mengeluarkan suara sama sekali!"

Rasa takut yang mulai merayapi keempatnya membuat perajurit-perajurit ini segera keluar dari dalam kamar. Dua diantara mereka kemudian berangkat ke kadipaten untuk melaporkan kejadian itu pada Rangga.


9. LONGGA JATUH KE TANGAN DUKUN IBLIS 
SEUMUR HIDUPNYA baru kali itu Mahesa merasakan ketakutan yang amat sangat. Dia tidak tahu mahluk apa entah manusia entah setan yang melarikannya saat itu. Didalam kepitannya dia sama sekali tak bisa menggerakkan kedua tangan atau pun kakinya. Lidahnyapun terasa kelu. Nafasnya sesak. Mahluk itu melarikannya laksana terbang.

“Mau... mau dibawa kemana aku ini...?!" tanya Mahesa.

“Ha..hu..ha..hu!" Hanya itu suara yang terdengar keluar dari mulut aneh menyeramkan itu. Hembusan nafasnya laksana bara. Dan hawa yang keluar dari mulutnya busuk sekali membuat Mahesa mau muntah. Makin lama nafasnya makin sesak. Akhirnya pemuda ini tak dapat mengusai dirinya lagi dan pingsan.

Ternyata mahluk aneh bertubuh tinggi besar tapi seperti terbuat dari asap itu melarikannya ke puncak gunung Bromo. Demikian cepatnya mahluk ini berlari hingga perjalanan yang jika ditempuh dengan berkuda akan makan waktu paling cepat dua hari dua malam, saat itu hanya dilakukan kurang dari setengah malam. Menjelang matahari terbit dia sudah sampai di puncak Bromo, langsung masuk ke dalam bangunan batu bata merah.

Di dalam bangunan batu bata merah itu, di tengah ruangan pada lantai yang beralaskan kulit binatang, duduklah manusia berusia 90 tahun bermuka iblis yang dikenal dengan panggilan Embah Bromo Tunggal. Dia menatap mahluk yang masuk mengempit tubuh Mahesa sambil usap-usap kalung tengkorak kecil. Mulutnya menyeringai. Kelihatannya dia memang sudah menunggu sejak tadi.

“Bagus Longga. Kau berhasil membawa pemuda itu. Letakkan dia didepanku...!"

Makhluk tinggi besar yang seolah terbuat dari asap itu menjura lebih dahulu, lalu letakkan tubuh Mahesa di lantai di hadapannya. Embah Bromo Tunggal manggut-manggut.

"Jadi ini dia pemuda bernama Mahesa, putera Randu Ampel itu. Ah, kulihat potongan tubuh dan susunan tulangnya bagus sekali. Jarang ada anak manusia yang sesempurna ini. Dia memiliki kemampuan menyerap ilmu apa saja secara luar biasa. Tidak bisa tidak dia bakal menjadi tokoh terbesar dimasa mendatang. Sayang... sayang kalau dia harus kugodok untuk dijadikan ramuan obat..”

Embah Bromo Tunggal ambil tongkat tulang yang digantungi aneka warna potongan kain dari pangkuannya. Dia ketok-ketokkan tongkat itu mulai dari kaki sampai ke kepala Mahesa. Luar biasa..!" katanya.  “Anak muda, sayang kowe harus mati ditempat ini. Kalau saja aku tidak ada perjanjian dengan orang lain, tak nanti aku mau membunuh kowe... Sayang..”

Si kakek lalu memandang pada mahluk peliharaannya. "Longga, menurutmu bagaimana baiknya. Kita cincang dulu baru digodok dalam belanga besar itu atau dimasukkan bulat-bulat?"

Mahluk tinggi besar yang jarang bicara itu, karena ditanya lalu menjawab. Suaranya aneh. Rendah parau dan datar. “Jangan dicincang embah. Darahnya akan banyak terbuang. Langsung saja cemplungkan ke dalam belanga itu. Pasti daging dan tulangnya akan lebih legit...”

Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh. “Kau betul. Aku setuju dengan usulmu!" lalu Embah Bromo Tunggal berdiri dan melangkah ke sebuah belanga luar biasa besarnya yang terletak di sudut ruangan. Di bawah belanga potongan-potongan kayu besar masih tampak menyala. Didalam belanga kelihatan cairan merah pekat yang mengumbar bau busuk tampak mendidih.

Embah Bromo ambil sebuah gayung bertangkai panjang yang tergantung didinding. Dengan gayung ini dia aduk-aduk cairan dalam belanga. Lalu dia meletakkan carian ini beberapa tetes diatas telapak tangannya. Dengan lidahnya dia kemudian mengecap cairan yang ada di telapak tangan.

“Hemm... segala bumbu dan ramuan sudah tepat dan lezat. Longga, belanga ini sudah siap menerima tubuh pemuda itu. Kowe bukalah pakaiannya lalu cemplongkan kesini!"

“Longga si makhluk hantu membungkuk. Pakaian yang melekat ditubuh si pemuda bukan dibukanya seperti biasa tapi dirobeknya hingga sesaat kemudian tubuh Mahesa tidak mengenakan apa-apa lagi. Ketika mahluk itu hendak mengangkat tubuh Mahesa tiba-tiba dipintu bangunan muncullah seseorang yang memanggul sebuah kantong kain. Nafasnya mengengah-engah keletihan. Wajahnya serta merta menjadi pucat ketika melihat mahluk tinggi besar bermuka setan dan si kakek bermuka hantu.

“Monyet dari mana yang kesasar ke tempatku ini?!" bentak Embah Bromo Tunggal.

“Aku aku utusan dari kadipaten..!"

“Kadipaten mana?!" sentak si kakek.

“Probolinggo. Apakah... apakah ini kediamannya Embah Bromo Tunggal...?"

Embah Bromo Tunggal melangkah tebungkuk-bungkuk dan tegak dihadapan tamu itu. “Aku Embah Bromo Tunggal. Siapa yang mengutus kowe dan ada keperluan apa?!"

“Aku aku diutus oleh Rangga, kepala pengawal kadipaten...!"

“Kenapa dia yang mengutus, bukan Mangun Aryo?"

“Adipati adipati itu sudah meninggal..."

“Meninggal? Jangan kowe berani main-main padaku!" Embah Bromo Tunggal tusukkan tongkat tulangnya ke perut orang itu hingga dia jatuh terjerongkang. Lalu sang embah injak dadanya.  "Lekas cerita yang betul!"

“Aku aku tidak berdusta. Adipati Mangun Aryo mati dibunuh orang hampir tiga minggu lalu. Itu sebabnya kepala pengawal yang kini sementara menjadi pejabat di Probolinggo menyuruh aku datang kemari. Selain memberi tahu kematian Adipati juga untuk menyampaikan satu permintaan..."

“Mangun Aryo meninggal dunia... Ah! Putus rezekiku!” kata sang embah pula. "Hei, tadi kowe bilang adipati itu mati dibunuh orang. Siapa pembunuhnya?!"

“Seorang bernama Randu Ampel embah..”

“Randu Ampel?!" kembali sang embah melengak kaget. “Bukankah manusia satu itu sudah gila dan mampus kena guna-gunaku delapan belas tahun yang silam..? Aneh  Benar-benar aneh!" Bromo Tunggal geleng-gelengkan kepala. “Sekarang katakan apa permintaan manusia bernama Rangga itu...?!"

“Beliau minta, mengingat Adipati Mangun Aryo telah meninggal, maka kiranya embah sudi membatalkan niat untuk menjadikan janda almarhum sebagai tumbal...!"

“Ini lebih aneh lagi! Bagaimana dia tahu ada perjanjian mengenai tumbal itu?!" Embah Bromo Tunggal mendelik.

Utusan Rangga jadi tambah ketakutan. Dadanya yang diinjak terasa sakit bukan main. “Aku... aku tidak tahu embah!"

Embah Bromo Tunggal memandang ke arah kejauhan. “Bisa diatur  bisa diatur!" katanya sesaat kemudian. "Tumbal itu. bisa dibatalkan, tapi dengan satu syarat. Janda Mangun Aryo itu. Heh siapa namanya?!"

“Sri Muria embah...!"

“Sri Muria harus tidur bersamaku selama satu malam. Malam Jumat Kliwon. Kalau dia menolak maka nyawanya tetap kuambil. Sampaikan itu pada Rangga!"

“Baik embah...!" Orang itu lalu mengacungkan kantong kain yang sejak tadi dibawanya.

“Apa itu?!" tanya sang embah.

“Pakaian bagus dan uang. Untuk embah. Dari Rangga!"

Embah Bromo Tunggal sambar kantong itu dengan ujung tongkatnya. Setelah memeriksa isinya diapun tertawa. Kakinya yang dari tadi menginjak dada utusan sekarang di angkat. Dia lalu berkata, “Kowe boleh pergi sekarang. Jangan lupa mengatakan pada Rangga. Malam Jumat Kliwon minggu dimuka aku akan mengunjungi Sri Muria. Dia harus sudah siap menerimaku...!"

“Akan saya katakan embah. Akan saya katakan..” jawab utusan itu. Lalu dia memutar tubuh dan setengah berlari meninggalkan puncak gunung Bromo.

Setelah orang itu pergi Embah Bromo Tunggal lemparkan kantong kain ke atas kulit binatang dilantai. Lalu dia mendekati tubuh Mahesa yang terbujur telanjang masih dalam keadaan pingsan.

“Longga, angkat tubuh ini, masukkan dalam belanga!”

Mahluk seram besar itu menggereng. Namun Sebelum dia menyentuh tubuh Mahesa diluar sana terdengar satu bentakan, “Tua bangka Roko Nuwu! Aku menagih banyak hutang padamu!”

Suara itu demikian nyaringnya hingga membuat telinga Embah Bromo Tunggal mengngiang sedang mahluk peliharaannya yaitu Longga tampak meliuk-liuk tubuhnya. Si kakek menjadi pucat wajahnya. Di usianya yang mencapai 90 tahun itu dia ingat betul, hanya ada satu orang yang tahu nama aslinya. Roko Nuwu. Dan orang itu adalah manusia yang paling ditakutinya karena perbuatannya dimasa lampau.

“Ah, bagaimana dia bisa lolos dari bawah arca itu! Tak dapat dipercaya! Jangan-jangan setannya yang gentayangan kesini!" membatin Embah Bromo Tunggal. Dia berpikir apakah akan lari saja saat itu atau mengadakan perlawanan dengan segala akibatnya.

"Longga ada disini. Aku tak perlu terlalu kawatir!” kata sang embah coba menenangkan diri. Sesaat kemudian orang yang tadi berseru nyaring, sudah berkelebat di depan pintu dan tegak disitu sambil berkacak pinggang!


10. SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI BUKU SILAT TUJUH ORANG KATAI
ORANG yang tegak di ambang pintu itu berambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi tapi kerempeng, mukanya hanya tinggal kulit pembalut tulang hingga hampir menyerupai tengkorak. Pakaiannya rombeng dan dekil. Di sela bibirnya terselip sebatang rokok kawung yang asapnya meliuk-liuk ditiup angin gunung.

Sepasang matanya yang cekung tapi tajam menatap ke arah makhluk tinnggi besar yang tegak didalam bangunan itu, lalu dia melirik pada Bromo Tunggal. Ketika dia memandang ke lantai jelas wajahnya menunjukkan rasa terkejut walau cuma sebentar.

“Pemuda itu! Kenapa dia ada disini dan tanpa pakaian?”

Embah Bromo Tunggal melihat perubahan wajah sang tamu lantas bertanya, “Kowe kenal pada pemuda ini Suko lnggil?"

“Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Kedatanganku kemari untuk menagih hutang berikut bunganya. Yakni nyawa dan darahmu...!"

Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh seraya ketuk-ketukkan tongkat tulangnya ke lantai. Serta merta ketukan itu membuat bangunan batu mata merah menjadi bergetar.

“Tak usah pamer kehebatanmu padaku. Sampai dimana isi perutmu aku sudah tahu!" kata si kakek muka tengkorak yang bernama Suko lnggil. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Pendekar Muka Tengkorak. Dialah yang dulu pernah menolong Mahesa sewaktu hampir dibunuh oleh Loh Jingga. Sebaliknya Mahesa pula yang menolongnya ketika kakek sakti ini dipendam orang dibawah arca gajah. Sebagai rasa terima kasih kakek itu kemudian memberikan sepertiga dari tenaga dalamnya pada Mahesa.

“Suko lnggil, sebetulnya aku tak punya waktu banyak menyambut kedatanganmu. Tapi sebagai sahabat lama dan sebagai orang yang tahu peradatan bagaimana caranya menerima tamu, aku akan suguhkan minuman untukmu. Kau jauh-jauh datang kemari tentu haus...!"

Embah Bromo Tunggal mengambil sebuah kaleng rombeng lalu menciduk cairan merah yang mendidih dalam belanga, memasukkannya dalam kaleng itu. Tanpa merasa kepanasan kaleng yang berisi cairan itu dibawanya lalu diangsurkannya pada Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil. “Silahkan diminum, sobatku...!

Si muka tengkorak tampak tersenyum dan sambuti kaleng rombeng yang diangsurkan. “Terima kasih! Kau memang tuan rumah yang tahu peradatan!"

Sesaat kemudian tampak si muka tengkorak ini mengangkat-angkat dan membalik-balikkan kaleng itu beberapa kali lalu berpaling pada Embah Bromo dan berkata, “Ah, kau tentunya main-main Roko Nuwu. Kaleng kosong, tak ada minuman apapun di dalamnya.”

Sang embah kerenyitkan kening.

“Eh, kau tak percaya? Lihatlah sendiri..” Suko lnggil lepaskan kaleng yang dipegangnya. Kaleng itu bukannya jatuh, tapi perlahan-lahan, seperti tergantung di udara, bergerak ke arah embah Bromo. Begitu kaleng sampai dihadapannya sang embah segera menangkap dan melihat ke dalam kaleng. Parasnya berubah heran. Tentu saja dia tidak mengerti bagaimana kaleng rombeng yang tadi jelas-jelas diisinya dengan cairan merah busuk itu kini tahu-tahu berada dalam keadaan kosong.

“Ilmu apakah yang dimiliki keparat ini?" membatin Roko Nuwu alias embah Bromo Tunggal.

Sebenarnya kaleng itu tidak kosong. Tenaga dalam yang dialirkan si muka tengkorak ke kaleng membuat isinya seperti lengket dan tidak tumpah. Roko Nuwu tidak melihat isi yang ada semata-mata hanya karena pengaruh kata-kata Suko Inggil yang disertai satu kekuatan aneh tingkat tinggi dan bukan merupakan ilmu hitam serta jarang dimiliki oleh orang lain pada masa itu.

Suko lnggil usap-usap kedua telapak tangannya. “Sobatku Roko Nuwu, mengingat kedatanganku kemari hanya mengenai soal hutang piutang maka tak perlulah kau memakai segala peradatan!"

Embah Bromo Tunggal batuk-batuk. "Aku tidak merasa punya hutang apa-apa padamu.  Si muka tengkorak." decakkan mulutnya beberapa kali.

“Tidak kusalahkan kau berkata begitu. Usia dunia semakin tua. Kaupun tambah tua, jadi tambah pikun hingga lupa apa-apa yang terjadi dimasa lalu. Tapi aku sobatmu ini masih mau memberi penjelasan. Kau dengar baik-baik Roko Nuwu. Hutangmu yang pertama. Kau harus menyerahkan padaku kitab silat yang dulu kita temui bersama. Jangan terlalu serakah untuk memilikinya sendiri. Paling tidak kau harus merobeknya, membagi dua denganku...!"

“Ha ha ha! Kau rupanya masih ingat buku butut itu. Memang halaman depannya ada judul hebat. Ilmu Silat Tujuh Orang Katai. Tapi setelah kuperiksa isinya, ternyata hanya ada tulisan cakar bebek. Mungkin sekali ada anak-anak yang iseng membuatnya...!"

“Hemmm begitu?" ujar Suko Inggil. "Mana buku itu sekarang?"

“Sudah kubuang!"

Pendekar Muka Tengkorak tertawa gelak-gelak. Aku bukan anak-anak yang mudah kau kadali Roko Nuwu. Juga aku bukan orang buta yang bisa kau tipu. Sebelum buku itu kau larikan, akupun sempat melihat isinya. Dan isi buku itu beda dengan penjelasan yang kau katakan saat ini!"

“Kalau kau tak percaya aku mau bilang apa?!” tukas embah Bromo Tunggal.

“Aku memang tak pernah percaya padamu lagi Roko Nuwu. Jika kau tak dapat mengembalikan buku itu, kau masih bisa menggantinya...!"

“Mengganti dengan apa?!" tanya sang embah.

“Sebuah matamu yang sebelah kanan, sepotong tanganmu yang sebelah kanan, lalu sepotong kakimu juga sebelah kanan!"

“Gila!” teriak Bromo Tunggal begitu mendengar kata-kata Suko lnggil itu.

Yang dimaki ganda tertawa dan melanjutkan ucapannya. “Hutangmu yang kedua Roko Nuwu. Setelah kau melarikan buku silat itu, kau kemudian menipuku dan memendamku dibawah arca gajah pada reruntuhan candi. Hampir aku mati kalau tak ada yang menolong. Untuk hutangmu ini aku tak minta banyak sebagai pelunasannya. Hanya sebelah jantungmu, sebelah paru-parumu dan sebelah hatimu!"

“Benar-benar keblinger!” teriak embah Bromo. Rahangnya menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak.  “Dengar Suko Inggil, sekalipun kau punya sepuluh kepala sepuluh tangan, sekalipun kau memiliki sejagat ilmu, jangan kira aku takut padamu. Tapi memandang persahabatan kita dimasa lalu, aku bersedia menyelesaikan urusan ini. Aku akan berikan padamu buku Ilmu silat tujuh orang katai itu. Setelah itu kau harus angkat kaki dari sini. Jika kau berani menggangguku lagi, maka tubuhmu yang sudah reot itu akan kugodok dalam ramuan obat! Kau dengar Suko?!”

“Aku dengar tapi apakah aku setuju itu lain lagi!”

“Sudah, Ini buku yang kowe cari itu. Silahkan ambil dan pergi!”

Dari sebuah celah di dinding embah Bromo Tunggal keluarkan gulungan kertas yang terdiri dari delapan lembar. Lembar pertama merupakan judul sedang tujuh lembar lainnya merupakan pelajaran ilmu silat aneh dan langka lengkap dengan gambar-gambar.
Suko Inggil tangkap gulungan kertas yang dilemparkan, memeriksanya sebentar lalu membantingkannya ke lantai.

“Palsu!" teriaknya marah dan memandang melotot pada Bromo Tunggal.

Sang embah tampak seperti keheranan lalu berkata, “Suko, tadi kowe minta buku silat itu. Setelah kuberikan kini kau tuduh palsu. Aku jadi tidak mengerti apa mau kowe sebenarnya!”

"Memang berurusan dengan manusia licik sepertimu sulit. Lebih baik mempergunakan tangan dan kaki!" Suko Inggil alias Pendekar Muka Tengkorak tampaknya sudah tak dapat menahan marah lagi. Dia melompat ke hadapan Embah Bromo Tunggal seraya lepaskan satu pukulan tangan kiri.

Yang diserang cepat berkelit sambil menggebuk dengan tongkat tulangnya. Hebat sekali sambaran tongkat ini. Selain mengeluarkan deru keras juga mengandung hawa aneh. Potongan-potongan kain yang bergantungan sepanjang tongkat berubah kaku seperti potongan besi. Suko Inggil sudah maklum kehebatan tongkat itu. Dia tak mau menangkis tapi semburkan asap rokok kawung yang ada di mulutnya. Embah Bromo Tunggal terkejut ketika merasakan semburan asap membuat tongkatnya tertahan lalu membalik menghantam ke arah kepalanya sendiri!

“Gila Kepandaian si muka tengkorak ini ternyata jauh lebih maju. Tenaga dalamnya juga lebih ampuh. Bisa berabe kalau aku terus melayani. Menyesal aku tidak buru-buru mempelajari ilmu silat tujuh orang katai itu!" Begitu Roko Nuwu alias embah Bromo Tunggal berkata dalam hati.

Beberapa tahun yang silam tingkat ilmu silat kedua orang kakek itu hampir tidak berbeda. Hanya Suko lnggil memang lebih menang tenaga dalam. Sebenarnya Embah Bromo Tunggal bisa jauh lebih lihay dari si muka tengkorak kalau dia lebih rajin berlatih. Namun sang embah lebih banyak menekuni ilmu hitam, ilmu segaia macam racun dan ilmu guna-guna hingga ilmu silat dan tenaga dalamnya tertinggal.

Menyadari kenyataan ini dan memang sejak mula dia sudah merasa jeri dukun sakti itu lalu berteriak pada mahluk peliharaannya yang sejak tadi termangu-mangu meliuk-liuk. “Longgal Bunuh orang itu!"

Mahluk bertubuh raksasa bermuka seram itu menggereng. Tangan kanannya tiba-tiba melejit ke depan dan tahu-tahu jari-jarinya yang sebesar-besar pisang dan berkuku hitam panjang sudah mencengkeram pinggang kakek muka tengkorak. Kakek ini merasa seperti pinggangnya di jepit gunting besar.

Dia pukulkan tangan kanannya menghantam tangan kiri mahluk. Tapi aneh, meski jelas dia dapat memukul, yang terpukul hanya udara kosong. Tangan mahluk itu meliuk-liuk buyar seperti asap, lalu bertaut kembali. Begitu bertaut, cengkeramannya pada pinggang Suko lnggil semakin keras. Kakek ini keluarkan keringat dingin.

Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh. “Suko lnggil, silahkan terus main-main dengan Longga. Aku tak punya waktu untuk menyaksikan kematian kowe!  Lalu dukun sakti itu melompat ke pintu.

Dalam keadaan dicengkeram begitu rupa kakek muka tengkorak masih bisa membentak, "Kau mau kabur kemana manusia busuk?!" Lalu dia hantamkan tangan kanannya. Angin deras menggebubu.

Braak!

Bagian kanan pintu bangunan hancur. Atap diatasnya runtuh. Tapi embah Bromo Tunggal sudah berkelebat pergi. Jengkel marah dan kesakitan kini Suko Inggil tumpahkan amarahnya pada Longga. Dia lepaskan satu pukuIan sakti ke kepala mahluk itu. Terdengar si mahluk menjerit. Kepalanya buyar tapi segera pula bertaut kembali. Sepasang matanya yang luar biasa besar dan merah berputar-putar ganas. Gigi-gigi dan taring-taringnya mencuat.

Dia menggereng marah lalu ulurkan tangan kiri memukul ke kepala Suko lnggil. Kakek ini tundukkan kepalanya. Tak Urung pelipisnya masih kena terserempet hingga kulit kepalanya yang tipis mengelupas dan mengucurkan darah. Si kakek mengeluh kesakitan. Ketika mulutnya terbuka rokok kawung yang dihisapnya lepas. Bagian yang berapi jatuh tepat dipergelangan tangan berbulu, mahluk iblis yang mencengkeram pinggangnya. Serta merta Longga lepaskan cengkeramannya dan menggereng kesakitan.

Apa yang terjadi ini tak lepas dari pengamatan kakek muka tengkorak. Kini dia tahu apa kelemahan mahluk raksasa ini. Begitu cengkeraman pada pinggangnya lepas, secepat kilat dia jatuhkan diri dan berguling ke arah belanga besar dibawah mana terdapat potongan-potongan kayu yang masih dikobari api.

Si kakek ambil dua batang kayu berapi sekaligus lalu melompat kehadapan makhluk raksasa itu. Longga tampak ketakutan dan mundur sambil tutupi matanya dengan tangan kiri. Suko lnggil tusukkan kayu berapi ke perut longga. Mahluk ini meraung dahsyat hingga bangunan itu bergetar. Bagian atap dekat pintu masuk ambruk. Bau sangit menebar.

Si kakek tak menunggu lebih lama. Selagi lawan kesakitan dan kelabakan dia melompat dan tusukkan kayu berapi di tangan kirinya ke muka Longga. Kembali mahluk ini meraung. Suko Inggil terus hujani tubuh dan mukanya dengan tusukan-tusukan kayu berapi. Bau sangit semakin menjadi-jadi. Secara aneh tubuh yang tadinya besar itu sedikit demi sedikit menciut, makin kecil, makin kecil lalu lenyap sama sekali. Ketika Suko lnggil memandang ke lantai, disitu dilihatnya sebuah boneka bermuka seram, terbuat dari kain, terkapar dalam keadaan terbakar!

“Gila!" rutuk si kakek. Nafasnya mengengah-engah. Seumur hidup baru kali ini dia berkelahi setengah mati seperti itu. Kalau saja dia tidak sempat melihat dan mengetahui kelemahan makhluk peliharaan Roko Nuwu itu pasti ajalnya sudah melayang sejak tadi-tadi. Perlahan–lahan dia melangkah mendekati sosok tubuh Mahesa yang masih terkapar pingsan tanpa pakaian di lantai.

Baru saja dia hendak memeriksa keadaan pemuda itu, lapat-lapat dia mendengar suara tiupan seruling. Kakek ini mendongak tercekat. Tiupan seruling itu bukan tiupan biasa. Jelas di peniupnya berada jauh, mungkin di lereng gunung. Namun suara sulingnya sempat mencucuk menggetarkan gendang-gendang telinga.

"Orang sakti dari mana lagi yang gentayangan di gunung ini!" pikir Suko lnggil. "Kawan ataukah lawan?" Kakek ini memutuskan untuk menunggu. Meskipun dia masih berada dalam bangunan batu bata merah tapi dari tempatnya berdiri dia bisa melihat hampir keseluruhan puncak gunung. Tak akan mungkin seseorang bisa membokongnya tanpa diketahui.

11. SEORANG TOKOH SILAT BARU KELAS TINGGI MUNCUL
SEDIKIT demi sedikit kelihatan sosok tubuh orang yang meniup seruling itu di tanah gunung yang menurun. Mula-mula tampak topinya yang berwama hitam bergaris kuning, tinggi dan sudah kotor butut. Lalu wajahnya yang cekung dengan kumis serta janggut tak terpelihara. Dia tidak mengenakan baju.

Dilehernya tergantung sebuah kalung perunggu bersepuh emas, bergambar burung bermahkota dengan kedua sayap terkembang. Disebelah bawah dia mengenakan celana hitam sebatas betis, dengan jalur-jalur kuning terbuat dari benang emas. Suko lnggil alias Pendekar Muka Tengkorak kerenyitkan kening ketika memperhatikan wajah orang ini. Dia Derjalan sambil meniup seruling dan dari kedua matanya mengalir turun air mata.

“Manusia aneh. Siapakah dia?" pikir Suko lnggil.

Dia memperhatikan dan menunggu dengan waspada. Sikap pendatang ini sukar diduga apakah dia seorang kawan atau musuh. Dan biasanya tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti juga dia sendiri sering bersikap dan berpakaian aneh. Lima langkah dari hadapan bangunan batu bata merah yang bagian depannya runtuh itu orang tadi hentikan jalannya. Perlahan-lahan dia menurunkan tangan yang memegang suling. Tiba-tiba orang ini perdengarkan satu nyanyian.

Perjalanan ke puncak Bromo memang jauh
Pendakian ke puncak gunung memang tinggi
Tetapi tidak sejauh dan setinggi masa delapan belas tahun
Tidak sejauh dendam kesumat sakit hati
Hari ini hari pembalasan
Tangan yang berdarah harus bertanggung jawab
Kegilaan harus dibayar dengan kegilaan
Kematian harus dibayar dengan kematian

Suara nyanyian itu berakhir. Lelaki memegang seruling menatap tajam pada Suko lnggil. Kakek ini dapat merasakan keangkeran pada pandangan orang itu. Dibalik keangkeran itu dia juga melihat satu bayangan jiwa yang tidak seimbang, hampir merupakan keputus-asaan.

“Apakah kau manusianya yang bernama Embah Bromo Tunggal?!” orang itu tiba-tiba ajukan pertanyaan. Kakek muka tengkorak mengerenyit.

“Hai! Orang bertanya mengapa tidak menjawab? Apakah takut pada kematian?!”

Suko lnggil batuk-batuk beberapa kali. "Selama namanya manusia tentu takut pada kematian. Kalau kau mau tahu, aku bukan Embah Bromo Tunggal!"

“Kau berdusta!” membentak orang itu.  Di puncak gunung Bromo ini hanya ada satu bangunan. Di bangunan ini hanya ada satu penghuni. Si penghuni adalah dukun keparat yang dipanggil dengan sebutan Embah Bromo Tunggal. Dan kau berada dalam bangunan itu. Apakah kau masih hendak berdusta?!"

“Jangan salah sangka sahabat. Kalau aku boleh bertanya siapakah sanak ini kiranya..?"

“Kau pandai sekali bersandiwara. Tapi aku pasti kau tidak lupa! Delapan belas tahun yang lalu seorang bernama Mangun Aryo dari Probolinggo membayar dan mengupahmu untuk mengguna-guna seorang lelaki bernama Randu Ampel. Orang itu gila. Jabatan adipati yang hendak didapatnya jatuh ke tangan Mangun Aryo. Istrinya mati secara mengerikan.. “

“Ah, ceritamu hebat dan juga mengerikan sanak. Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak tahu menahu kisahmu itu. Tak ada sangkut paut sama sekali...”

“Pendusta besar! Terkutuk!”

“Aku bukan Embah Bromo Tunggal. Namaku Suko Inggil. Aku datang kemari justru habis menempur dukun keparat itu. Tapi dia berhasil lolos melarikan diri...”

“Aku tidak percaya. Bagaimana kau bisa membuktikan kalau kau bukannya Embah Bromo tunggal...?”

“Tentu saja sulit bagiku untuk membuktikan. Aku yakin kau tak pernah bertemu muka atau mengenal tampang dukun terkutuk itu. Siapa kau sebenarnya?!”

“Akulah Randu Ampel. Lelaki malang itu. Aku datang untuk minta darah dan nyawamu Bromo Tunggal...!”

“Aku bukan Bromo Tunggal!” teriak Suko Inggil.

“Percuma saja kau berteriak. Sampai lidahmu mencelet sekalipun aku tak akan percaya!”

“Tunggu!” seru Suko Inggil. “Didalam sana ada seorang pemuda yang tahu pasti kalau aku bukan Bromo Tunggal. Tapi pemuda itu dalam keadaan pingsan. Kalau kau mau menunggu sampai dia siuman...”

“Malaikat maut mana ada yang menunggu! Bersiaplah untuk menerima kematianmu!”

Lelaki yang memegang seruling yang ternyata adalah Randu Ampel sisipkan serulingnya di pinggang lalu dia melangkah mendekati Suko lnggil dengan kedua tangan terkembang ke samping. Tiba-tiba kedua tangan yang terkembang ini bergerak cepat seperti melesat ke arah batang leher Suko lnggil.

“Astaga!”

Kalau saja si kakek muka tengkorak tidak waspada penuh, pasti batang lehernya kena ditangkap. Suko Inggil bukan manusia sembarangan dalam dunia persilatan. Tapi baru hari itu dia melihat gerakan orang yang demikian cepatnya. Padahal jelas tadi dilihatnya lawan masih berada cukup jauh. Bagaimana tanpa melompat tiba-tiba saja kedua tangannya dapat melesat demikian rupa seolah-olah menjadi lebih panjang?!

“Tak pernah kudengar seorang tokoh lihay bernama Randu Ampel!" membatin Suko lnggil.  "Siapa manusia aneh ini sebenarnya?!"

Sebelum lawan membuat gerakan membuka serangan baru kakek muka tengkorak lepaskan tinju kiri kanan dengan kerahkan lebih dari setengah tenaga dalamnya.

Buk! Buk!

Tubuh Randu Ampel terpental empat langkah dan jatuh punggung ditanah! Pendekar Muka Tengkorak melengak kaget ketika melihat orang yang dipukul itu tiba-tiba bangkit kembali. Meski dua bagian dadanya kelihatan merah tapi pukulan keras tadi seperti tidak membawa bekas apa-apa pada tubuhnya sebelah dalam. Suko lnggil ingat benar, selama ini hampir tak ada lawan yang sanggup menerima pukulan itu tanpa menderita luka parah pada bagian tubuh sebelah dalam.

“Ah, seorang tokoh silat baru tingkat tinggi telah muncul!" kata si kakek dalam hati. Ada rasa kegembiraan dalam hatinya tapi juga rasa kawatir. Jika dia tidak dapat menghadapi orang ini apalagi sampai menemui kematian ditangannya, maka dia akan mati percuma.

“Sobat, mari kita bicara baik-baik. Aku benar-benar bukan Embah Bromo Tunggal dukun busuk yang kau cari itu. Namaku Suko lnggil. Aku bergelar Pendekar Muka Tengkorak. Mungkin aku bisa membantumu!"

Randu Ampel tidak menjawab. Pandangan matanya tambah angker. Dia cabut serulingnya dari pinggang. Di dahului oleh satu pekik keras lelaki ini menyerbu. Suling di tangan kanannya berputar seperti titiran, mengumbar angin keras dan dingin, lebih dingin dari udara di puncak gunung itu.

Suko Inggil berkelebat kian kemari menghindari serangan lawan. Sambil berkelebat dia nyalakan sebatang rokok kawung. Ketika ujung suling berkiblat ke arah mukanya dia menghembus kuat-kuat. Asap putih menggebu. Suling di tangan Randu Ampel tergulung dalam putaran asap rokok kawung dan hampir mental. Randu Ampel berseru kaget. Dengan cepat dia tangkap salah satu ujung suling dan dilain kejap ujung yang lain sudah ditusukkannya ke dada lawan!

“Hebat sekali!" memuji Suko Inggil dalam hati.  Gerakannya tidak terduga. Jurus-jurusnya berbalikkan dengan ilmu silat yang wajar. Aku benar-benar harus hati-hati!"

Suko lnggil cepat miringkan tubuhnya. Begitu tusukan suling lewat dia pergunakan tangan kanan untuk memukul senjata lawan. Dia berhasil memukul suling itu. Tetapi detik itu juga dia menjadi kaget. Suling yang hanya terbuat dari bambu itu sama sekali tidak rusak apalagi patah. Sebaliknya ketika kakek ini meneliti belakang telapak tangannya ternyata daging di bagian itu melepuh merah.

“Edan! Tenaga dalamnya tidak berada dibawahku!" ujar si kakek. Terdorong oleh rasa penasaran maka dia kini mendahului menyerang.

Maka terjadilah perkelahian yang luar biasa di puncak gunung Bromo itu. Tanah dan batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar rambas. Beberapa pohon yang terkena hantaman pukulan tangan kosong yang nyasar tumbang. Tembok bangunan di sebelah kiri ikut ambruk diterjang tendangan yang tak mengenai tubuh lawan.

Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus Suko Inggil mulai berpikir-pikir. Untuk apa dia melayani orang berkepandaian tinggi ini tetapi memiliki otak miring. Lagi pula dia tak punya silang sengketa apa-apa. Jika diteruskan salah satu dari mereka akan cidera parah, mungkin menemui kematian. 

Kalau dia yang mati, manusia bernama Randu Ampel itu tak akan pernah tahu bahwa dia benar-benar bukan Embah Bromo Tunggal. Sebaliknya jika dia berhasil membunuh Randu Ampel maka dia hanya membunuh seorang gila tak berdosa!

Memikir sampai kesitu, karenanya sejak jurus kelima puluh lima kakek muka tengkorak kerahkan seluruh kepandaiannya untuk menotok salah satu jalan darah di tubuh Randu Ampel hingga lawan kaku tak berdaya. Usahanya berhasil. Pada jurus ke lima puluh sembilan ujung jarinya menusuk pangkal leher Randu Ampel. Lelaki ini tampak tersentak. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak.

Suko lnggil merasa lega. Tapi sesaat kemudian dia jadi melengak kaget. Perut Randu Ampel tampak mencekung. Lalu menggembung. Mencekung lagi. Demikian beberapa kali seolah-olah memompa ke atas. Urat besar di lehernya tampak menggembung dan des! Terdengar suara halus seperti sumbat terlepas dari lobang. Totokan di leher Randu Ampel punah. Didahului oleh jeritan dahsyat Randu Ampel kemudian tampak menyerang Suko lnggil.

“Edan! Benar-benar gila!" Seumur hidupnya baru kali ini si muka tengkorak itu melihat ada orang yang mampu memusnahkan totokan pada jalan darah!


12. AYAH
SETELAH mengetahui tingkat kepandaian lawan yang berotak miring ini tidak berada dibawahnya, maka Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil tak berani berlaku ayal lagi. Sebagai tokoh silat kawakan yang ditakuti di delapan penjuru angin Suko lnggil tahu jelas kalau lawannya sebenarnya mempunyai satu titik kelemahan.

Titik kelemahan ini ialah kekurangan pengalaman dalam perkelahian silat tingkat tinggi. Akan tetapi kelemahan itu menjadi tidak ada artinya dan tertutup oleh beberapa kehebatan yaitu kehebatan tahan pukulan, kehebatan tenaga dalam ditambah keampuhan senjata berbentuk seruling!

Beberapa kali dia berhasil menggebuk lawan tapi manusia itu seperti tak merasakan dan merangsak terus dengan serangan-serangan berbahaya. Tinju kirinya berkelebatan tiada henti sedang seruling ditangan kanan menusuk, memukul ataupun membabat deras mengeluarkan suara menderu. Dari lubang-lubang seruling ini mencuit suara nyaring menusuk gendang-gendang telinga.

“Keparat edan! Puluhan tahun mendalami ilmu silat, puluhan tahun menekuni tenaga dalam, hari ini semuanya itu sia-sia belaka! Semuanya tidak ada arti dan tidak berguna menghadapi manusia gila ini!  Begitu Suko lnggil mengeluh dan memaki dalam hati. Lalu dia keluarkan satu pekik nyaring, tubuhnya berkelebat lenyap dan satu perubahan dalam jurus-jurus silat yang dimainkannya kelihatan dengan jelas.

Selama lima jurus tampak Randu Ampel terkurung hebat. Dia hanya berputar-putar menangkis dan mengelak. Meskipun demikian tetap saja tak satupun pukulan atau tendangan Suko lnggil yang mampu menembus pertahanannya. Kalaupun dia sampai terpukul maka itu seperti sama sekali tidak dirasakannya. Bagi Suko Inggil sendiri setiap dia berhasil memukul bagian tubuh lawan, tinju atau lengannya terasa perih seperti habis menghantam batu karang yang atos!

“Mungkin aku bukan menghadapi manusia!" sampai begitu tokoh silat hebat ini berpikir. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran dengan nafas mengengah-engah. Rasa kering pada tenggorokannya membuat dia ingat pada rokok kawungnya. Kakek ini segera ambil dan menyalakan sebatang.

Tiba-tiba dilihatnya orang dihadapannya menyeringai dan berkata, “Bagus, kalau merokok itu kesenanganmu, merokoklah puas-puas untuk terakhir kali sebelum nyawamu melayang ke neraka!"

“Sial dangkalan!" maki Suko lnggil. "Kau makan asap rokokku ini!"

Seperti diketahui Pendekar Muka Tengkorak Suko lnggil adalah tokoh silat kelas satu pada masa itu. Meskipun beberapa waktu lalu dia pernah memberikan sepertiga dari tenaga dalamnya pada Mahesa, namun sisa tenaga dalam yang masih dimilikinya boleh dikatakan jarang dicari tandingannya. Ketika dia menghembuskan asap rokok kawung itu, hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya ikut menyertai hembusan asap.

Randu Ampel dalam otaknya yang tidak waras mula-mula hanya bersikap acuh saja melihat ada asap yang bertiup ke arahnya. Namun ketika dirasakannya seperti ada dinding batu yang datang menghempas dan siap untuk menghimpitnya maka kagetlah dia. Lelaki ini menggembor keras lalu pukulkan suling ditangan kanannya dari kanan ke kiri untuk menangkis dan sekaligus membuyarkan serangan asap. Suling menderu mengeluarkan suara melengking tinggi!

Namun tiba-tiba suara lengking seruling itu berhenti. Randu Ampel merasakan benda itu mendadak saja menjadi sangat berat. Hampir terlepas dari tangannya saking beratnya. Ketika dia meneliti ternyata seluruh asap rokok kawung telah menerobos masuk ke dalam badan seruling melalui lobang-lobang yang berjumlah tujuh buah. Beberapa bagian dari seruling itu tampak retak bahkan ada yang pecah!

Melihat seruling yang sekaligus merupakan senjata andalannya itu rusak marahlah Randu Ampel. Dia melabrak maju. Tapi tadi ketika dia meneliti seruling itu meskipun cuma sesaat dia telah bertindak lengah. Dan pada saat dia maju menyerang, satu pukulan keras datang menghantam.

Buk!

"Hek!" Pukulan yang disertai tenaga dalam penuh tepat menghantam ulu hati Randu Ampel hingga orang ini mengeluarkan suara seperti orang muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak, terkapar di tanah tak bergerak sedang kedua mata mendelik ke langit. Bagian perutnya yang terpukul tampak merah kehitaman.

“Manusia luar biasa!" kata Suko lnggil sambil geleng-geleng kepala. "Mati juga dia akhirnya!" Kakek ini melangkah mendekati sosok tubuh Randu Ampel sambil perhatikan bagian perut yang merah kehitaman.

"Gila Kalau orang lain perutnya pasti sudah pecah kena tinjuku tadi! Siapakah dia sebenarnya?"

Terdorong oleh rasa ingin tahu Suko Inggil membungkuk untuk meneliti dan menggeledah korbannya. Tidak terduga tiba-tiba wut! Kaki kanan orang yang disangka sudah mati itu melesat deras ke arah kepala Suko Inggil. Si kakek muka tengkorak berseru kaget. Kedudukannya saat itu tak mungkin untuk mengelak dengan melompat ke belakang atau ke atas. Satu-satunya jalan cari selamat ialah jatuhkan diri ke tanah di samping tubuh lawan.

Namun karena ragu bahwa dirinya akan betul-betul selamat, si kakek masih pergunakan tangan kiri untuk berusaha memukul betis lawan. Dengan demikian jika kaki lawan terangkat ke atas, kepala atau badannya akan selamat dari tendangan. Suko Inggil memang dapat menyelamatkan kepala dan badannya. Tetapi untuk itu dia harus membayar mahal. Dia berhasil memukul betis Randu Ampel hingga orang ini kembali terpental ke atas. Tapi tulang lengannya sendiri mengeluarkan suara.

Krak!

Patah! Kakek itu mengerenyit kasakitan dan jatuh tercelentang di tanah. Dia segera bangkit dengan tubuh terhuyung sambil tangan kanan pegangi tangan kiri. Dihadapannya dilihatnya musuh yang masih tetap mengenakan topi hitam tinggi itu juga bangkit berdiri lalu melangkah mendekati dengan suling di tangan kanan. Jelas dia membawa suling itu dengan sangat keberatan karena masih dipenuhi asap rokok kawung di sebelah dalamnya.

Dengan susah payah Randu Ampel mengangkat suling itu ke bibirnya. Begitu suling menempel di mulutnya, dia meniup. Asap rokok yang ada dalam tubuh suling menggebubu dahsyat. Jauh lebih hebat ketika asap itu ditiupkan oleh Suko lnggil. Sebabnya ialah karena asap itu kini disertai dua kekuatan tenaga dalam. Pertama sisa tenaga dalam Suko lnggil yang masih melekat pada asap, dan kedua tenaga dalam Randu Ampel sendiri.

Asap menyembur dari tujuh lobang suling. Karena lobang-lobang itu menghadap ke arah Suko Inggil, maka ketujuh jalur asap dengan sendirinya menghantam si kakek. Seumur hidupnya tak pernah Suko Inggil melihat asapnya sendiri kini menderu ganas menyerang ke arahnya. Dalam keadaan cidera begitu rupanya tak mungkin baginya untuk mengelakkan tujuh jalur asap yang datang menyerang.

Dia menghantam dengan tangan kanan. Lima jalur asap hancur musnah, tapi dirinya sendiri terbanting dengan dada mendenyut sakit sedang tangan kanan sesaat menjadi kaku hilang rasa. Dua jalur asap yang tidak dapat ditahannya menderu ke arah mukanya.

“Celakal Hancurlah kepalaku!" jerit si kakek dalam hati karena dia tahu pasti apa yang bakal dialaminya.

Tapi tidak terduga dari arah pintu bangunan batu bata merah mendadak berkiblat sinar merah, panas dan ganas! Dua jalur asap terpental buyar. Suling di tangan Randu Ampel lepas. Randu Ampel tampak kaget. Tapi dasar otaknya tidak waras dia tidak perhatikan dari mana datangnya sinar merah itu dan siapa yang telah melepaskannya.

Setelah kaget sesaat dia langsung melompati kakek muka tengkorak. Tangan kiri dan tangan kanan diulurkan ke batang leher Suko lnggil. Pendekar tua ini tak berdaya sama sekali untuk selamatkan lehernya dari cekikan yang laksana jepitan raksasa. Lidahnya terjulur dan matanya terbeliak. Sesaat lagi daging dan tulang-tulang lehernya akan hancur remuk dan nyawanya melayang.

“Dukun keparat Bromo Tunggal!" Randu Ampel tiba-tiba berkata.  "Hari ini kubalaskan kekejaman yang kau buat delapan belas tahun lalu! Aku puas! Puas. Mampuslah!"

Randu Ampel kerahkan seluruh tenaga luar dalamnya untuk mencekik. Tiba-tiba satu suara terdengar berseru keras.

“Ayah Jangan bunuh! Dia bukan Bromo Tunggal!"

Entah teriakan yang menggeledek itu, entah sebutan ayah, yang jelas Randu Ampel tampak melengak kaget, lepaskan cekikan mautnya pada leher Suko lnggil dan melompat lalu mundur beberapa langkah. Kepalanya dipalingkan. Sepasang matanya memandang lekat-lekat ke arah sosok tubuh seorang pemuda yang sama sekali tidak berpakaian dan tegak di pintu bangunan batu bata merah!

Mulut Randu Ampel tampak komat kamit. Tubuhnya bergetar. Tiba-tiba dia membalik, lalu berkelebat lenyap ke arah lereng gunung sebelah timur. Pemuda bertelanjang yang bukan lain adalah Mahesa, lari memburu seolah tak sadar kalau saat itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Namun seruan si kakek muka tengkorak menyadarkannya.

“Mahesa! Jangan kau kejar dia! Percuma saja! Manusia berilmu setinggi itu setanpun tak sanggup mengejarnya!"

Mahesa hentikan larinya. Tapi matanya tak lepas dari memandang ke arah timur, arah lenyapnya Randu Ampel, lelaki yang telah diketahuinya adalah ayahnya. Sudah demikian dekat, sudah bertemu, tapi tiba-tiba dia pergi dan lenyap!

Kedua mata pemuda itu nampak berkaca-kaca. Banyak hal yang membuat perasaannya jadi hanyut. Nasib malang ayahnya sejak delapan belas tahun lalu. Keadaan lahirnya yang menyedihkan sekarang ini. Lalu keadaan batinnya yang begitu rupa hingga mungkin seumur hidup dia tak bakal mengenali dirinya yang merupakan anak kandungnya.

“Anak muda! Kau gila atau bagaimana. Tegak bertelanjang bulat seperti ini!" Satu suara menegur.

Mahesa kaget. Menyadari keadaannya yang tanpa pakaian dia segera lari ke dalam bangunan, diikuti oleh Suko lnggil yang sebentar-sebentar mengeluh dan mengomel karena tangannya yang patah. Di dalam bangunan Mahesa dapatkan pakaiannya dalam keadaan robek disana-sini, tak mungkin dapat dipakai lagi.

“Sial, bagaimana ini jadinya?!"

“Mahesa! Kau tolong aku mengikat lengan yang patah ini!" Suko lnggil berkata seraya duduk di lantai.

“Kakek, yang kubutuhkan saat ini adalah pakaian. Mungkin kau membawa persediaan pakaian...?"

“Kau kira aku ini orang yang sedang pergi berjalan-jalan hingga perlu membawa pakaian? Geledah isi bangunan ini. Pasti ada pakaian disini. Kalau sudah kau temui kita lalu bicara. Banyak hal yang akan kutanyakan padamu!"

“Akupun punya beberapa pertanyaan!" jawab Mahesa. Dia mulai memeriksa bangunan itu. Tak sepotong pakaianpun yang didapatnya. Yang ditemuinya adalah ramuan obat-obat, benda-benda aneh yang tak diketahuinya apa gunanya, beberapa butir telur ayam yang telah membusuk, cairan-cairan busuk, tengkorak-tengkorak dan tulang-belulang.

“Keparat anak setan! Tak ada sepotong pakaianpun disini!" maki Mahesa.

“Nasibmu jelek buyung. Kau harus mendatangi desa terdekat. Tapi kurasa tak ada yang bakal mau menolongmu memberi pakaian. Baru melihat kedatanganmu yang bertelanjang bulat, semua orang akan lari ketakutan. Paling tidak mereka menganggap kau orang gila!" Si kakek muka tengkorak lalu tertawa mengekeh.

Saking kesalnya Mahesa menendang benda apa saja yang berada didekatnya. Tiba-tiba kakinya menendang sebuah kantong kain yang terletak di lantai. Dari kantong itu berpelantingan keluar mata uang perak. Terheran-heran Mahesa periksa isi kantong itu.

Selain uang perak, didalamnya juga ditemuinya sepotong pakaian dan celana yang bukan saja masih baru tetapi bagus sekali. Pakaian ini berwarna biru muda dengan hiasan-hiasan yang disulam dari benang emas. Tanpa tunggu lebih lama dia segera kenakan pakaian itu. Suko Inggil tertawa gelak-gelak.

“Apa yang lucu kek?!" tanya Mahesa heran.

“Pakaianmu itu! Kekecilan! Tangan dan kakinya menggantung. Coba kau kancingkan, pasti tidak bisa!"

“Tak jadi apa! Dari pada harus bertelanjang!" sahut Mahesa pula.

Si kakek kembali mengekeh. “Sekarang kau harus tolong aku dulu mengikat tangan keparat yang patah ini!"

Atas petunjuk si kakek Mahesa mengambil tiga potong tulang yang panjangnya masing-masing sekitar satu jengkal. Lalu dengan robekan-robekan kain bekas pakaiannya dia membalut ketiga tulang itu ke lengan kiri yang patah.

“Umurku sudah begini tua. Tulang-tulangku tak lebih dari rongsokan butut. Entah masih bisa bersambung entah tidak!" Suko lnggil geleng-geleng kepala sambil tepuk-tepuk lengan kirinya itu. Lalu dia memandang pada Mahesa dan berkata, "Anak muda, untuk kedua kalinya kau menyelamatkan jiwaku. Tapi yang sekali ini kurasa ada keanehan. Kau tadi berteriak memanggil orang itu dengan sebutan ayah! Apa benar dia ayahmu?!"

Setelah agak lama baru Mahesa menjawab dengan anggukan perlahan.

“Hemmm, agaknya ada satu kisah kehidupan yang luar biasa. Aku tak ingin mengetahui kehidupan orang lain. Tapi kalau kau mau menceritakannya mungkin akan menambah pengalamanku si tua bangka ini."

“Panjang ceritanya kek. Mengingat kau begitu baik, aku tak segan-segan menceritakannya.  Lalu Mahesa menuturkan riwayatnya sejak dari keterangan yang didapat dari gurunya tanpa menyebutkan siapa gurunya sampai dia turun gunung dimana dia mendapat lebih banyak keterangan tentang siapa ayahnya, apa yang dialami lelaki itu di masa delapan belas tahun yang silam, sampai pula pada kematian Adipati Mangun Aryo.

Suko Inggil menarik nafas dalam. “lngat ucapanku dulu anak muda? Dunia ini penuh dengan keanehan. Dan tak jarang keanehan itu berakhir pada kematian."

Mahesa ikut-ikutan menarik nafas dalam.

“Hai, ceritamu baru sepotong. Kau belum menerangkan bagaimana kau sampai ke puncak gunung ini?" Suku Inggil ajukan pertanyaan.

"Mahluk iblis peliharaan dukun keparat itu menculikku. Dalam keadaan pingsan rupanya dia membawaku kemari. Aku tak tahu apa yang kemudian terjadi di tempat ini. Si dukun keparat itu sendiri dimana sekarang?"

"Kabur!" sahut si muka tengkorak.

“Apa yang terjadi di sini ketika aku pingsan? Bagaimana kau sendiri bisa terpesat kesini kek?"

Suko lnggil menunjuk pada boneka kain bermuka seram yang tercampak di lantai. "Kau lihat boneka buruk itu Mahesa? ltulah makhluk iblis yang menculikmu!"

“Kau tentu tidak bercanda. Jelas itu boneka butut yang sebagian hangus."

Si kakek tertawa mendengar ucapan Mahesa itu. Lalu dia menerangkan. "Dengan kesaktiannya yang tinggi, tetapi jahat Roko Nuwu..."

“Tunggu, siapa itu Roko Nuwu?" memotong Mahesa.

“Nama asli si keparat yang dipanggil dengan sebutan Embah Bromo Tunggal itu..!"

Mahesa manggut-manggut. Suko lnggil meneruskan, "Dengan kesaktiannya yang luar biasa dukun keparat itu bisa menciptakan apa saja. Antara lain mahluk tinggi besar menyeramkan berbentuk asap yang menculikmu itu." Si kakek ceritakan perkelahiannya dengan Longga sampai akhirnya dia berhasil memusnahkan mahluk jejadian itu dengan api.

“Kek, sebelumnya kau tidak tahu kalau aku ada disini. Kau datang tentu bukan untuk menolongku. Tapi aku yakin kemunculanmu disini telah menolongku dari satu bencana. Tak mungkin mahluk iblis itu membawaku kemari kalau tidak mau diapa-apakan. Apalagi ketika siuman dari pingsan aku dalam keadaan tidak berpakaian..."

Si kakek menyeringai. "Aku tahu kebiasaan Roko Nuwu. Jika dia menelanjangi seseorang maka orang itu akan jadi bahan ramuan obatnya, digodok dalam cairan mendidih yang apinya tak pernah dipadamkan selama empat puluh hari empat puluh malam..."

Sepasang mata Mahesa mendelik. Suko Inggil menunjuk ke arah belanga besar yang cairan busuknya terdengar mendidih dan api terus menyala dibawahnya.

“Kesitulah kau hendak dicemplungkannya!"

Berdiri bulu-kuduk murid Kunti Kendil itu. Dari mulutnya keluar makian berulang-ulang,  "Anak setan... anak setan!"

Pendekar Muka Tengkorak tertawa geli.  "Sekarang akan kuterangkan padamu bagaimana aku bisa keluyuran ke puncak Bromo ini. Ingat keteranganku waktu kau menolongku keluar dari bawah arca gajah itu? Seorang kawan telah menipu dan menjebloskan aku ke sana. Hanya gara-gara sebuah kitab silat berisi ilmu silat tingkat tinggi yang aneh dan langka. Dan manusianya adalah si Roko Nuwu itu alias Embah Bromo Tunggal. Aku datang kemari untuk mencari dan menghukumnya. Asal saja dia mau menyerahkan kitab itu, mungkin aku mau menganggap segala urusan selesai. Tapi manusia kapiran itu justru tidak mau mencari perdamaian. Cuma sayang dia berhasil kabur. Bersama buku itu tentunya!"

"Lalu selagi kau masih disini, tiba-tiba muncul ayahku. Dia menyangka bahwa kaulah Embah Bromo Tunggal? "

Suko lnggil mengangguk lalu berdiri.

“Kau mau kemana kek?" tanya Mahesa.

“Apa kau kira enak lama-lama ditempat sialan ini? Keluarlah, seluruh bangunan bejat ini akan kuhancurkan!"

“Sebelum kau pergi, apakah kau masih punya persediaan rokok?" tanya Mahesa. "Rokokku entah jatuh dimana..”

Suko lnggil nampak merengut. Tapi dia keluarkan juga sebungkus rokok kawung dan melemparkannya ke arah Mahesa.


13. SANG DUKUN MENAGIH JANJI
SETELAH berpisah dengan Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil di puncak Bromo, Mahesa segera menuju Probolinggo. Dia sampai disana beberapa hari kemudian dan sengaja menunggu sampai malam tiba baru memasuki kota. Langsung menuju rumah Mirani, menyelinap masuk ke dalam kamar itu tanpa diketahui para pengawal yang ditempatkan Rangga.

Pertemuan ini merupakan pertemuan kedua dalam satu minggu dan benar-benar lebih tidak terduga. Mirani yang sejak munculnya mahluk aneh menyeramkan menculik Mahesa hampir setiap saat mengeram diri dalam kamar.

Kehilangan pemuda itu, yang sudah dapat dipastikannya tak akan dijumpainya lagi merupakan satu pukulan berat bainya. Janda muda yang masih gadis ini hampir tak punya semangat untuk hidup lagi. Ditambah pula dengan maksud Rangga yang secara halus memaksanya untuk dijadikan istri, ingin saja dia mati saat itu.

Dapat dibayangkan bagaimana terkejut, serta rasa tidak percaya tetapi juga sangat gembira ketika tahu-tahu Mahesa masuk kedalam kamarnya. Mirani seperti mendapat satu kekuatan baru. Dia melompat dari atas ranjang, langsung memeluki pemuda itu sambil terisak-isak.

“Ssst Jangan menangis!"  bisik Mahesa.  "Kalau sampai terdengar pengawal diluar sana bisa berabe..."

“Mahesa... apapun yang terjadi saya tak ingin lagi tinggal di Probolinggo ini. Bawa saya kemana kau pergi.” kata Mirani diantara sesenggukannya.

“Ah, celaka ini...” membatin murid Kunti Kendil. Lalu katanya, "Hal itu tak mungkin kita lakukan Mirani?"

"Masih banyak cara lain yang dapat kita tempuh. Apakah Rangga jadi diangkat Adipati menggantikan Mangun Aryo?"

“Ya. Dan besok malam Jumat dia harus menerima kabar bahwa saya bersedia menjadi istrinya. Upacara pesta pengangkatannya sebagai Adipati akan dilangsungkan minggu dimuka. Kau tahu... saya tak mau, tak sudi jadi istrinya. Itu sebabnya saya ingin lari saja dari sini..”

Meskipun tadi dia berkata banyak cara yang bisa ditempuh dalam menghadapi persoalan itu, namun Mahesa terpaksa mengakui adanya kesulitan.

“Mirani, soal itu tak perlu terlalu kau pikirkan!" akhirnya Mahesa berkata. "Aku harus mengambil senjata-senjata yang kutitipkan tempo hari. Apakah masih ada diatas loteng kamarmu ini..?"

Mirani mengangguk. Tak tunggu lebih lama Mahesa segera naik ke loteng. Dia merasa lega ketika melihat Keris Naga Biru yang asli serta yang tiruan dan papan kayu besi hitam berbentuk nisan itu. Ketiga benda itu segera di selipkannya dibelakang pinggang di balik baju birunya yang kesempitan. Lalu dia melompat turun kebawah.

“Mirani, aku butuh pakaian. Mungkin ada pakaian yang sesuai denganku..?"

“Ada beberapa potong pakaian bekas Mangun Aryo di lemari. Rasanya cocok untukmu...”

Mirani lalu mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari. Mahesa memilih sehelai baju lengan panjang dan celana berwarna putih lalu mengenakannya tanpa membuka pakaian birunya yang kekecilan. Melihat si pemuda berpakaian seperti itu Mirani bertanya,

“Kau  apakah akan segera pergi? Kau tak mau bermalam disini? Kau tak mau menolong kami dari tangan Rangga? Ibu saat ini sedang sakit. Dia hanya bisa sembuh kalau Rangga membatalkan niatnya mengawini saya."

Mahesa terdiam. Dia benar-benar tak bisa menjawab. “Bulan apa sekarang?" Mahesa ingat sesuatu dan bertanya.

“Bulan Sura. Kenapa kau tanyakan hal itu?" Mirani heran.

“Bulan Sura hari ke berapa?" tanya Mahesa lagi.

“Hari ini hari pertama..."

Mahesa raba pinggang pakaiannya. "Ah, surat itu sudah lenyap. Entah jatuh dimana..”

“Surat apa?" tanya Mirani.

“Surat dari guru..."

“Kau bermalam disini Mahesa? Kau tentu letih. Butuh istirahat. Perlu makan dan minum!” Mirani usap-usap pergelangan tangan pemuda itu lalu membawanya ke atas mulutnya dan menciumi jari-jari tangan Mahesa. "Bawa saya kemana kau pergi.” bisik Mirani lirih. Lalu dia berjingkat untuk dapat merangkul dan menciumi wajah si Pemuda. 

Mahesa merasakan kelembutan dan kehangatan dada gadis ini. Bahkan dia merasakan degup jantung Mirani yang keras memburu. Pemuda ini sendiri merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Nafasnya membara. Kedua tangannya balas merangkul. Hidung dan mulutnya balas mencium. Di luar hujan rintik-rintik turun. Para pengawal tertidur lelap di tempat penjagaan mereka.

“Mahesa, jangan kecewakan saya seperti malam-malam dulu." bisik Mirani. Tangannya menjalar kian kemari, membuat Mahesa menjadi beringas. Entah sadar entah tidak pemuda ini melayani apa yang diinginkan Mirani, yang sebelumnya dia sendiripun tak pernah merasakannya.

***

KETIKA orang yang diutus Rangga menemui Embah Bromo Tunggal kembali dan melaporkan hasil pertemuannya dengan dukun sakti itu, Rangga jadi termenung. Baginya bukan soal kalau si dukun tua bangka itu meniduri Sri Muria, janda Mangun Aryo. Malapetaka baru muncul kalau perempuan ini menolak keinginan sang dukun.

Sudah dapat dipastikannya kalau Sri Muria akan menolak. Jika hal ini sampai terjadi, Embah Bromo Tunggal akan marah dan membunuh Sri Muria. Jika sampai perempuan itu terbunuh dengan cara mengerikan di gedung Kadipaten, akibat buruk pasti akan menimpanya. Bukan mustahil pengangkatannya sebagai Adipati akan ditinjau kembali.

Semalaman itu Rangga tidak tidur memikirkan persoalan tersebut. Bagaimanapun juga dia harus mencari akal, menghindari keributan tanpa mengecewakan sang dukun, dan kalau dapat tanpa menciderai Sri Muria. Menjelang pagi Rangga baru bisa tertidur setelah dia mendapat satu akal yang dirasakannya paling baik.

Dia tahu pasti selama ini Embah Bromo Tunggal tidak pernah mengenal Sri Muria, tidak pernah melihat wajah perempuan itu. Hal ini akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Kalau semua rencana yang akan diaturnya berjalan lancar maka besok dimalam yang sama dia akan menerima kabar dari Mirani.

Rangga begitu yakin bahwa janda muda yang berkulit putih bersih berparas cantik itu akan menerima permintaannya untuk dijadikan istri. Dibandingkan dengan almarhum Mangun Aryo dirinya jauh lebih muda dan gagah. Apalagi sekarang dia telah pula diangkat menjadi Adipati. Mirani seharusnya bersyukur menerima pinangannya itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, selagi matahari belum terbit dan udara dingin masih terbungkus kegelapan, sebuah kereta meninggalkan gedung Kadipaten Probolinggo. Selain kusir kereta, kendaraan ini dikawal oleh lima perajurit. Kereta meluncur menuju keluar kota. Didalamnya duduk Sri Muria dan puterinya, Wilani.


14. MALAM PERJANJIAN DENGAN MBAH BROMO TUNGGAL 
MALAM JUMAT KLIWON malam perjanjian yang dikatakan Embah Bromo Tunggal. Sesuai dengan pesannya, malam ini dia akan datang untuk meniduri janda Mangun Aryo sebagai imbalan pencabutan nyawa perempuan itu. Dari luar gedung Kadipaten kelihatan seperti biasa-biasa saja. Para pengawal berada di tempat masing-masing.

Pintu depan yang menuju ke ruang tamu sengaja di buka. Diatas sebuah kursi besar Rangga duduk menunggu kedatangan Embah Bromo Tunggal dengan dada berdebar. Sampai menjelang pertengahan malam, sampai dia letih dan mengantuk menunggu, kakek bejat itu masih belum muncul. Rangga menguap beberapa kali. Mendadak dia mencium bau busuk yang amat sangat. Bau busuk yang sama pernah diciumnya ketika berada di puncak Bromo waktu mengintip Mangun Aryo.

“Pasti dia...!" kata Rangga dalam hati. Dia membuka mata lebar-lebar dan memandang keluar. Tak kelihatan sosok tubuh seorangpun. Tak sabaran dia berdiri dan melangkah ke pintu. Diluar sana serba sunyi dan gelap. Dua pengawal tampak tegak bercakap-cakap dekat pintu gerbang. Sang dukun belum kelihatan. Tapi bau busuk itu semakin menjadi-jadi.

Dengan perasaan kesal Rangga membalikkan tubuh, maksudnya hendak duduk kembali ke tempat semula. Ketika dia berbalik itulah pandangannya membentur sosok tubuh duduk di kursi yang tadi didudukinya.

“Astaga, dia sudah ada disitu!" Rangga segera mendatangi dan menjura. Orang yang duduk di kursi, yang bukan lain adalah Embah Bromo Tunggal alias Roko Nuwu tertawa mengekeh.

“Kowe pasti Rangga..!" katanya.

“Betul embah, saya Rangga. Adipati Probolinggo.."

“Ah, kowe beruntung diangkat jadi Adipati. Tapi keberuntungan itu jangan kowe telan sendiri. Harus dibagi-bagi denganku. Mengerti..?"

“Mengerti embah!" sahut Rangga. "Sesuai dengan pesan embah, semuanya sudah disiapkan. Janda almarhum Mangun Aryo yang bernama Sri Muria itu sudah menunggu dikamar. Apakah embah hendak mandi dan membersihkan diri dulu, lalu memakai wawangian..?"

Plak!

Jarak antara si dukun bejat dan Rangga terpisah lebih dari empat langkah. Tapi entah bagaimana tahu-tahu tubuhnya sudah bergerak dan tamparannya melayang ke pipi Rangga. Adipati Probolinggo yang baru ini mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhampar ke lantai!

“Manusia lancang! Berani kowe menyuruh aku mandi! Sejak lima puluh tahun terakhir ini aku telah berpantang mandi. Apakah kowe kira tubuhku bau? Sekali lagi kowe berani lancang mulut, kurobek mulut kowe!"

“Maaf embah, harap maafkan. Bukan maksud saya bertindak lancang..."

“Sekarang tunjukkan kamar perempuan itu.”

“Baik embah, silahkan mengikuti...”

Rangga lalu membawa sang dukun ke sebuah kamar yang terletak di sisi kiri bangunan. Dia membuka pintu kamar lebar-lebar. “Silahkan embah. Kalau ada sesuatu keperluan harap beritahu saya..."

Sepasang mata Embah Bromo Tunggal berkilat-kilat dan melirik ke dalam kamar. Diatas ranjang dilihatnya terbaring sesosok tubuh perempuan berwajah lonjong. Dibawah sinar lampu minyak besar yang ada dalam kamar itu jelas sekali kelihatan wajahnya yang cantik serta kulitnya yang bersih. Perempuan itu tidur menelentang. Kedua kakinya agak merenggang. Dia mengenakan pakaian tidur yang aneh dimata sang dukun.

Pakaian ini terbuat dari sejenis kain tipis sehingga keseluruhan aurat sebelah depannya terlihat dengan jelas. Bagian dada yang menggembung, pinggang yang meramping lalu perut yang membukit. Embah Bromo Tunggal menyeringai. Tubuh yang terbayang jelas di balik pakaian tipis itu ternyata masih kencang sekal, putih bersih. Si kakek busuk basahi bibirnya dengan ujung lidah berulang-ulang.

Tiba-tiba dia tertawa mengekeh dan sekali berkelebat sudah meloncat ke atas tempat tidur. Perempuan diatas ranjang yang tadi dalam keadaan setengah tertidur membuka kedua matanya lebar-lebar. Rangga tersenyum lalu menutup pintu dan kembali ke ruang depan.

Ketika melihat wajah dan keadaan tubuh Embah Bromo Tunggal, ditambah bau badannya yang membersitkan hawa busuk luar biasa, perempuan ini menjerit dan melompat dari tempat tidur. Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh.

“Jandaku cantik, eh kowe tak usah takut. Bukankah kowe sudah menungguku sejak sore tadi?” Bromo Tunggal lalu melompat mengejar perempuan itu. Sekali dia menyergap langsung merangkul dan menggerayangi tubuhnya.

Perempunan ini kembali menjerit. “Jangan sentuh. Lepaskan!"

“Ah tak usah kowe malu. Kalau tadi sudah menunggu dan bersiap-siap menyambut, kenapa sekarang menolak? Malu-malu heh...?"

Sang dukun lalu mendukung tubuh perempuan itu dan meletakkannya diatas ranjang. Sebelum si perempuan sempat melompat turun kembali, kakek ini sudah menindih tubuhnya dari atas. Dalam keadaan jijik dan juga takut luar biasa akhirnya dia jatuh pingsan.

“Eh kenapa kowe diam? Senang atau... Eh, pingsan?" Embah bromo Tunggal menggoyang-goyang tubuh yang tak bergerak itu. "Eh, benar-benar pingsan. Tak apa, tak jadi apa. Pingsan pun aku tak menolak.”  Lalu kedua tangannya merobek-robek pakaian tidur perempuan itu.


15. TANPA JUDUL
Dl RUANG TAMU Rangga duduk menunggu. Dia merasa agak lega setelah tidak mendengar lagi jeritan dari perempuan di dalam kamar. Namun pikirannya bercabang. Sampai lewat tengah malam tak ada sama sekali kabar dari Mirani. Kalau saja tidak sedang menunggui dukun keparat itu sudah sejak tadi dia mendatangi rumah janda muda itu.

Menjelang pagi akhirnya Rangga tertidur di atas kursi. Adipati ini baru terbangun dari tidurnya ketika dari arah kamar tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan perempuan disertai suara benda-benda hancur dan runtuh. Saat itu ternyata hari telah siang, matahari pagi telah naik tinggi.

Beberapa perajurit datang memasuki gedung. Rangga sendiri sudah melompat dari kursinya dan lari menuju kamar. Pada saat itulah dilihatnya Embah Bromo Tunggal yang hanya mengenakan celana pendek butut kotor keluar sambil menyeret tubuh perempuan yang sama sekali tak berpakaian. Pintu kamar tampak hancur berantakan.

“Manusia penipu! Kowe ambillah Ionte pelacur ini!"

Embah Bromo Tunggal lemparkan tubuh telanjang itu ke hadapan Rangga. Tubuh itu terhampar dilantai. Dari mulutnya keluar darah sedang lehernya kelihatan terkulai. Patah!

Paras Rangga serta merta menjadi pucat pasi!
Apakah yang telah terjadi? Sejak malam tadi selagi perempuan itu berada dalam keadaan pingsan Embah Bromo Tunggal alias Roko Nuwu telah berkali-kali melampiaskan nafsu terkutuknya. Menjelang pagi dia terbujur diatas ranjang, tertidur mengorok keletihan. 

Setelah pagi tiba dan matahari mulai naik, perempuan yang pingsan dan terbaring di sebelahnya sadarkan diri. Begitu melihat kakek muka iblis ini berada disampingnya langsung saja dia menjerit. Bromo Tunggal tersentak dari tidurnya. Melihat tubuh mulus putih yang tiada berpakaian itu terbit kembali nafsunya.

“Ha..ha dewiku, kowe sudah siuman rupanya. Mari kita lanjutkan permainan malam tadi. Sebentar siang aku akan segera pergi. Mari kita berpuas-puas dulu!"

“Tua bangka busuk!" perempuan itu tiba-tiba memaki dan mengejutkan si kakek. "Dibayar sepuluh karung uangpun aku tidak sudi melayanimu!"

Meskipun hatinya panas dimaki begitu namun dirangsang oleh nafsu Embah Bromo Tunggal masih tertawa dan berkata, "Sekarang kowe bicara begitu. Tadi malam kowe melayaniku walau diluar sadar. Mari kesini dewiku!"

“Cis! Manusia tidak tahu diri. Kalau saja Adipati sebelumnya menerangkan keadaan dirimu tak nanti aku mau datang kemari. Lebih baik aku tetap di Pakuwon. Walaupun langgananku tidak memberi banyak tapi aku lebih suka melayani mereka yang masih muda dan tidak bau sepertimu. Lekas kau keluar dari kamar ini!"

“Apa kowe bilang?!" Sekali lompat saja Bromo Tunggal sudah menjambak rambut perempuan itu hingga dia terpekik kesakitan.

"Lepaskan! Pergi...!"

Si kakek tampar pipi perempuan itu hingga mulutnya berdarah. "Kowe bilang Adipati itu menipu hingga kowe mau datang kemari. Bukankah ini, disini rumah kowe sendiri? Apa maksud kowe tetap tinggal di Pakuwon. Dimana itu Pakuwon?!"

Yang ditanya ludahkan darah dalam mulutnya kelantai. “Tua bangka busuk! Kau dengar baik-baik. Walau aku cuma seorang pelacur, tapi untuk melayani manusia sepertimu lebih baik aku mati saja! Lepaskan...!"

Paras Embah Bromo Tunggal tampak membesi. Hidungnya mengembang, rahangnya menggembung. “Apa! kowe bukannya Sri Muria. Janda Adipati Mangun Aryo?!" si kakek bertanya sementara jambakannya semakin keras.

“Edan! Aku saja tidak sudi kau tiduri. Apa lagi janda Adipati itu!"

“Keparat!" teriak Bromo Tunggal. Kaki kanannya menendang. Tempat tidur mental dan hancur berantakan. Lalu meja disamping ranjang ikut jadi korbannya. Belum puas dia pergunakan tangan kiri untuk meninju dinding kamar hingga hancur. Terakhir sekali dia menghantam ke arah pintu hingga bobol berkeping-keping.

“Jadi Rangga menipuku. Menyerahkan janda Mangun Aryo, ternyata aku disuguhi seorang pelacur!" Dengan beringas, dengan tangan kiri masih menjambak rambut, kini Bromo Tunggal pergunakan tangan kanannya untuk mencekik leher perempuan itu.

Krak!

Terdengar suara patahnya tulang leher si pelacur. Darah mengucur dari mulutnya. Tubuhnya yang telanjang menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Dukun iblis itu lalu menyeret mayat perempuan lacur itu keluar kamar, tepat pada saat empat perajurit dan Rangga mendatangi. Mayat telanjang itu dilemparkannya ke hadapan Rangga disertai bentakan,  Manusia penipu! kowe ambillah lonte pelacur ini! Empat perajurit terbelalak menyaksikan mayat perempuan itu sementara Rangga tertegak dengan muka pucat pasi.

“Celaka, dia sudah tahu rupanya. Bagaimana dia bisa tahu!" membatin Rangga. “Embah, apa yang terjadi?!"

“Adipati keparat! Kowe masih berani bertanya apa yang terjadi?!"

“Embah, kenapa Sri Muria kau bunuh?!" Rangga masih mencoba.

Si kakek menggereng. “Bangsat! Kowe kira aku tidak tahu siapa perempuan itu?! Pelacur Kowe katakan janda Mangun Aryo! Kowe sengaja membayar lonte itu untuk menipuku! Kowe akan membayar mahal Rangga! Sebelum kubunuh, lekas katakan dimana Sri Muria Kowe sembunyikan...?"

“Embah, perempuan ini betul-betul Sri Muria. Janda almarhum Mangun Aryo!"

Kini dukun jahat itu tak dapat lagi menahan kemarahannya. Didahului oleh bentakan buas dia menerkam ke arah Rangga. Kedua tangannya diulurkan kedepan, siap untuk menangkap batang leher Adipati Probolinggo itu. Rangga cepat melompat kesamping untuk selamatkan diri seraya berteriak pada empat perajurit yang ada disitu.

“Pengawal! Tangkap orang ini!"

Empat perajurit segera menyerbu. Dua diantaranya dengan golok di tangan.

Buk! Duk!

Dua perajurit di paling depan terpental kena tendangan dan jotosan. Yang pertama jatuh terduduk dan tersandar ke dinding megap-megap tak mampu berdiri. Yang satunya lagi terbungkuk-bungkuk kesakitan sambil pegangi dada. Dua perajurit lainnya sesaat jadi ragu-ragu.

Seperti diketahui Embah Bromo Tunggal alias Roko Nuwu memang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi walau dia lebih banyak mendalami ilmu hitam dan guna-guna. Kalau hanya empat perajurit ditambah Rangga, kelima lawan ini bukanlah tandingannya.

Begitu melihat dua pengawal terkapar kena hantaman lawan, Rangga segera berteriak pada dua perajurit lainnya, “Panggil semua perajurit Kadipaten! Bangsat tua ini tak boleh lolos!  Lalu Adipati Probolinggo ini cabut pedangnya. Si kakek muka setan menyeringai.

“Kowe boleh panggil semua orang di Probolinggo ini, aku tidak takut! Majulah!"

Wut!

Pedang di tangan Rangga berkelebat, membabat ke arah leher si kakek. Selama ini Bangga memang tidak tahu banyak tentang embah Bromo Tunggal, terutama mengenai kepandaian silatnya. Dia cuma mendengar kakek satu ini sebagai seorang dukun jahat. Karenanya walaupun tadi dua perajuritnya kena dirobohkan dalam gerakan pertama, namun Rangga tidak merasa jeri. Begitu si kakek mengelak tundukkan kepala, Rangga susul dengan serangan membalik ke arah pinggang!

“Bagus!" seru Embah Bromo Tunggal. Tubuhnya berkelebat.

Rangga kaget ketika melihat lawannya lenyap, hanya menebar bau busuk dan tahu-tahu satu pukulan datang menghantam dari samping.

Wut!

Rangga tebaskan padangnya ke arah pergelangan tangan yang memukul. Tetapi lebih cepat dari gerakan pedang, tangan yang hendak ditabas menyelusup kebawah. Tiga jari tangan yang diluruskan seolah berubah jadi tiga potong besi menusuk tulang-tulang iga di bawah ketiak Rangga.

Krak!

Dua tulang iga Rangga patah. Pedang terlepas dari tangannya. Adipati ini mengeluh kesakitan dan melompat ke belakang. Embah Bromo Tunggal menyeringai.

“Rangga, kalau kowe mau menunjukkan dan menyerahkan janda Mangun Aryo padaku, mungkin aku bersedia merobah kematianmu dengan hukuman yang lebih ringan. Ayo lekas kowe katakan dimana dia..?

Rangga benar-benar tidak menyangka kalau kakek yang hanya dikenalnya sebagai dukun tukang teluh itu ternyata memiliki kepandaian silat tinggi.

“Embah Bromo Tunggal, kau mungkin bisa mengalahkan atau membunuhku. Tapi jika kau berani membunuhku, kau akan berurusan dengan Kerajaan. Tokoh-tokoh silat istana akan mencarimu sampai ke ujung langit sekalipun!"

Rangga membuka mulut. Memang dengan kedudukannya kini sebagai Adipati berarti Rangga termasuk salah seorang pejabat tinggi Kerajaan. Jika terjadi apa-apa dengannya apalagi kalau sampai terbunuh seperti halnya dengan Adipati yang lama yaitu Mangun Aryo maka si pembunuh akan berurusan dengan Kerajaan. Tetapi manusia seperti Roko Nuwu atau Embah Bromo Tunggal mana mau perduli dengan hal itu. Maka enak saja kakek muka setan ini berkata.

“Siapa takut dengan tokoh-tokoh Kerajaan! Saat ini aku bukan hendak membunuh seorang Adipati, tapi seorang penipu. Apakah pantas seorang Adipati tidak menepati janji dan berdusta?!"

“Aku tidak pernah berjanji untuk memberikan janda Mangun Aryo padamu!" sahut Rangga.

Saat itu puluhan perajurit Kadipaten telah memasuki gedung. Disebelah luar puluhan lainnya mengurung gedung. Melihat dirinya dikelilingi begitu banyak musuh Embah Bromo Tunggal hanya tertawa. Dia memandang pada perajurit-perajurit itu, lalu berkata,

"Siapa yang ingin buru-buru mampus majulah!"

Tak ada satu orangpun yang bergerak. Tetapi begitu Rangga berseru lantang, "Bunuh!" maka seluruh perajurit yang ada disana laksana air bah berhamburan menyerang si kakek.

“Bagus! Bagus!" Embah Bromo Tunggal keluarkan suara bergelak. Dia melompat masuk kedalam kamar. Ketika keluar lagi di tangan kanannya tergenggam tongkat tulang sedang dilehernya telah tergantung kalung tengkorak bayi!

“Bunuh cepat!" teriak Rangga.

“Maju... Maju lebih dekat!" si kakek ikut berteriak. Dia angkat tongkat putihnya ke atas. Dari ujung tongkat terdengar suara letupan. Lalu muncul asap bergelung-gelung yang kemudian memecah menjadi tujuh bagian. Ketika Embah Bromo Tunggal menggoyangkan tongkatnya, tujuh gulungan asap itu berobah menjadi tujuh sosok jerangkong yang mengerikan.

“Bunuh mereka semua!" si kakek berikan perintah.

Tujuh jerangkong itu bergerak cepat menghadang belasan perajurit yang datang menyerbu. Setiap gerakan yang mereka buat mengeluarkan suara berkeretekan. Melihat munculnya tujuh jerangkong ini, tentu saja semua perajurit yang tadi begitu bernyali untuk menyerang, kini mundur ketakutan. Empat orang yang tidak keburu menghindar kena dipegang oleh jerangkong-jerangkong itu. Tubuh keempatnya dicengkeram. Ada yang lehernya patah. Ada yang perutnya jebol atau kepalanya remuk atau dadanya ambrol!

“Gila!" teriak Rangga. Dia menyambar golok panjang seorang perajurit lalu membacokkan senjata ini pada jerangkong yang terdekat.

Trang!

Terdengar suara berdentrang. Jerangkong itu tidak bergeming sedikitpun. Tulang-tulangnya yang putih seatos besi. Tiba-tiba jerangkong yang barusan dibacok gerakkan tangannya dan krak! Pedang di tangan Rangga patah dua! Adipati ini terlompat ke belakang saking kagetnya. Ketika dia memandang berkeliling, dia lebih kaget dan lebih takut lagi. Ternyata semua perajurit yang tadi ada disitu sudah kabur lintang pukang, meninggalkannya sendirian dikurung tujuh jerangkong! Embah Bromo Tunggal tertawa gelak-gelak.

“Embah!" Rangga tiba-tiba memanggil si kakek. "Aku akan beritahukan padamu dimana janda Mangun Aryo berada. Aku akan serahkan padamu, embah! Tapi aku mohon agar tujuh jerangkong ini kau suruh pergi!" Sambil bicara Rangga melangkah mundur sampai akhirnya punggungnya membentur dinding ruangan dan tak bisa bergerak lagi. Dari sebelah depan dan samping tujuh jerangkong terus mendatangi.

“Ha ha ha! Kowe ketakutan Rangga? Sekalipun kowe berikan sepuluh janda padaku saat ini, tapi sudah terlambat! Pintu kubur sudah terbuka untuk kowe, tak mungkin lagi ditutup. Maut tak pernah batal! Ha ha  ha!"

“Embah... aku mohon. Aku akan berikan apa saja yang kau minta...!" jerit Rangga.

“Aku tidak meminta macam-macam. Permintaanku cuma satu! Nyawamu!" sahut si kakek.

Tujuh jerangkong semakin dekat. Salah satu dari mahluk jejadian ini tiba-tiba memukul ke depan. Rangga merunduk. Jotosan jari-jari tangan yang hanya berupa tulang-tulang putih itu menghantam tembok dinding. Tembok dengan ketebalan hampir satu jengkal itu tampak berlobang. Lelehlah nyali Rangga. Adipati ini jatuhkan diri berlutut dan meratap.

“Embah, aku mohon padamu embah. Suruh pergi jerangkong-jerangkong ini..."

“Mereka memang akan pergi Rangga..."

“Terima kasih embah, terima kasih..!" Rangga gembira sekali karena menduga si kakek bersedia mengabulkan permintaannya. Tapi sesaat kemudian kembali wajahnya pucat pasi ketika dukun sakti itu menyusuli ucapannya tadi.

“Mereka akan pergi Rangga. Pergi untuk mencabut nyawa kowe! Penipu laknat!"

Rangga menggerung sambil menyembah-nyembah. Ketika menunduk dia tidak melihat bagaimana salah satu dari jerangkong itu tiba-tiba menendangkan kaki tulangnya. Kalau tembok saja bisa bolong, maka tendangan kaki makhluk jejadian ini sudah dapat dipastikan akan menghancurkan kepala Adipati Probolinggo itu! Di luar gedung Kadipaten dimana semua perajurit berkumpul tanpa berani melakukan sesuatu terhadap si kakek yang berada dalam gedung, mendadak terjadi keributan.

“Pembunuh Jaliteng muncul!"

Semua kata ini tertuju pada seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. Sebelumnya semua perajurit Kadipaten tahu pasti apa yang harus mereka lakukan jika menemui pemuda ini. Tapi setelah mengetahui kehebatannya tak satupun berani mendekat, malah mereka menyibak memberi jalan.

“Mana Adipati kalian?!"

“Didalam!" seorang perajurit menjawab. Kawannya yang lain ikut memberi tahu,  "Adipati sedang berkelahi melawan seorang kakek bermuka seram!"

“Betul! Dengan dukun sakti dari gunung Bromo!" perajurit lainnya menimpali.

"Adipati dalam bahaya. Dukun itu tinggi sekali ilmunya. Dia menyerang dengan tujuh jerangkong jejadian!"

“Beberapa kawan kami telah mati ditangannya!"

“Juga seorang pelacur dari Pakuwon!"

Mahesa Edan kepalkan kedua tangan. Dukun sakti dari gunung Bromo! Siapa lagi kalau bukan manusia jahat yang dipanggil dengan sebutan Embah Bromo Tunggal itu?

“Anak setan itu harus mampus ditanganku!" kata Mahesa dalam hati. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompati tangga Kadipaten dan menyerbu masuk ke ruangan dalam. Tepat ketika kaki kanan salah satu dari tujuh jerangkong jejadian itu hendak menendang hancur kepala Rangga.


Selanjutnya,

Mahesa Edan Jilid 5

MAHESA EDAN Jilid 5

Karya : Bastian Tito

Mahesa Edan jilid 5
Cuplikan (Jengkel, marah dan kesakitan, Suko Inggil tumpahkan amarahnya pada Longga. Fia lepaskan satu pukulan sakti ke kepala mahluk itu. Terdengar si mahluk menjerit. Kepalanya buyar. Tapi segera pula bertaut kembali. Sepasang matanya yang besar dan merah berputar-putar ganas. Gigi-gigi dan taring-taringnya mencuat. Dia menggereng marah lalu ulurkan tangan kiri memukul kepala Suko lnggil.)


Ringkasan Jilid 4
Karena takut rahasianya akan terbuka maka Adipati Probolinggo menugaskan kepala pengawal Kadipaten untuk menangkap Mahesa hidup atau mati. Tapi tugas ini gagal. Adipati Mangun Aryo kemudian meminta bantuan seorang berkepandaian tinggi bernama Jaliteng. Orang ini bersama anak buahnya hampir saja dapat membunuh Mahesa kalau tidak tiba-tiba kakek sakti bergelar Gembel Cengeng Mata Buta muncul dan menolong murid Kunti Kendil itu.

Selain meminta bantuan Jaliteng, Mangun Aryo juga meminta pertolongan dukun sakti Embah Bromo Tunggal. Dalam perjalanan dari puncak gunung Bromo, Mangun Aryo dihadang oleh seorang lelaki berotak miring yang bukan lain adalah Randu Ampel, ayah Mahesa. Randu Ampel berhasil membalas dendam kesumatnya sejak delapan belas tahun yang silam. Mangun Aryo mati ditangannya.

Ketika Mahesa kembali ke Probolinggo untuk menyaksikan upacara penguburan Adipati sambil berusaha mencari ke keterangan siapa sebenarnya yang telah membunuh Adipati itu, di tengah jalan Wilani melihatnya. Puteri Adipati ini keluar dari kereta dan langsung menyerang Mahesa sambil berteriak agar Mahesa ditangkap.

Rangga dan Jaliteng serta puluhan perajurit segera mengurung pemuda itu. Dalam keadaan kacau balau Mahesa berhasil melarikan diri setelah mendapat bantuan dari Kemala, gadis berbaju kuning yang selalu diingat Mahesa. Pemuda ini kemudian menyembunyikan diri di rumah istri muda almarhum Mangun Aryo sambil menunggu malam tiba.

Pada malam harinya dia akan mendatangi gedung Kadipaten guna mencari keterangan yang diinginkannya. Malam harinya Mahesa memang berhasil masuk ke gedung Kadipaten. Dihadapan anak dan istri almarhum Adipati, Rangga memberi keterangan panjang lebar.

Bahwa yang membunuh Adipati adalah Randu Ampel. Dan Randu Ampel ini adalah ayah Mahesa. Lalu tentang seorang dukun sakti di puncak Bromo yang delapan belas tahun lalu dimintai bantuan oleh Mangun Aryo untuk mengguna-gunai Randu Ampel sehingga lelaki ini gila dan kehilangan jabatannya sebagai Adipati.

Dari Rangga, Mahesa juga mendapat keterangan bahwa makhluk aneh peliharaan sang dukun sakti atas permintaan Adipati akan datang untuk mencelakainya. Ketika Mahesa hendak meninggalkan gedung Kadipaten muncullah kakek berkepandaian tinggi bernama Jaliteng. Terjadi perkelahian. 

Meski Mahesa berhasil meloloskan diri dan membunuh Jaliteng namun dia sendiri menderita cidera pada pinggul dan terluka pada bagian dada sebelah dalam. Ketika dia pingsan di tengah jalan muncullah Mirani yang menyelamatkannya dan membawanya ke rumahnya. Janda muda ini berusaha mengobati Mahesa dengan minta bantuan seorang ahli pengobatan bernama Ki Tampu. 

Namun petugas-petugas Kadipaten berhasil mengetahui hal itu. Obat yang hendak diberikan pada Mahesa dicampur dengan sejenis racun. Ketika Mahesa minum obat itu sekujur tubuhnya menjadi lumpuh. Bersama Ki Tampu dia kemudian ditangkap dan dibawa ke Kotaraja untuk dijatuhi hukuman gantung.


***

1. KE KOTARAJA
ROMBONGAN yang membawa Mahesa dan Ki Tampu itu bergerak cepat sekali. Di dalam kereta yang tertutup rapat Mahesa menggeletak di lantai kayu yang keras. Untung saja akibat racun pelumpuh yang terminum olehnya membuat tubuhnya hilang rasa. Kalau tidak pasti dia akan merasakan sakit terguncang keras begitu rupa.

“Di sudut kanan Ki Tampu duduk dengan kepala diletakkan diatas lutut. Berapa lama perjalanan ke Kotaraja ini?  Mahesa bertanya pada Ki Tampu. Yang ditanya angkat kepalanya. Lalu mengacungkan lima jari tangan kanannya.

“Lima hari...” ujar Mahesa. Ki Tampu mengangguk.

Dalam hatinya Mahesa memaki. Untuk kesekian kalinya diam-diam dia coba mengerahkan tenaga dalamnya. Untuk kesekian kalinya pula dia tak berhasil.
“Apakah mereka benar-benar akan menggantung kita? Mahesa kembali bertanya.

Ki Tampu tak menjawab. Dia tak mau menjawab. Dia tahu bahwa dia dan pemuda itu pasti akan dijatuhi hukuman mati. Entah digantung entah dipancung. Kesalahan si pemuda besar sekali. Membunuh beberapa orang perajurit Kadipaten dan membunuh Jaliteng, seorang tokoh silat yang dekat dengan Adipati Probolinggo. Lalu dia sendiri menolong mengobati pemuda itu meski sudah ada pengumuman dari Kadipaten agar semua penduduk ikut membantu mencari dan menangkap Mahesa.

“Apa yang akan mereka lakukan dengan Mirani dan ibunya?"

Ki Tampu menggeleng lalu kembali rapatkan kedua lututnya dan letakkan kepalanya diatas lutut itu. Selain ingat pada ibu dan anak itu, Mahesa juga ingat akan senjata Keris Naga Biru dan papan kayu hitam pemberian gurunya. Dia tidak tahu dimana Mirani menyembunyikan benda-benda itu dan hanya bisa berharap perempuan itu menyembunyikannya dengan cermat hingga tak ada yang tahu atau dapat menemukannya.

“Ki Tampu! Apakah kau tidur?!" Mahesa memanggil.

Ahli pembuat obat itu tidak bergerak.

“Anak setan!" maki Mahesa. "Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu untuk mengobati kelumpuhanku ini?!"

Ki Tampu masih tak bergerak.

“Apa kau cuma ahli membuat obat? Tak ada cara pengobatan lain yang kau ketahui? Hai!"

Perlahan-lahan Ki Tampu angkat kepalanya dan memandang sejurus pada Mahesa. Lalu dia menggeleng.

“Kau harus tahu cara lain. Kau harus bisa!" ujar Mahesa dengan suara keras.

Lelaki itu memandang ke atap kereta. Tampaknya seperti berpikir-pikir. Perlahan-lahan dia beringsut mendekati Mahesa. Dipegangnya beberapa bagian tubuh pemuda itu. Lalu dia menggerakkan tangannya mengatakan sesuatu dalam bahasa isyarat yang tidak dimengerti Mahesa. Ki Tampu mengatakan tanpa diobati kelumpuhan itu akan sembuh setelah empat puluh hari. 

Untuk disembuhkan dengan obat dia harus tahu dulu jenis racun apa yang terminum oleh Mahesa. Setelah diketahui baru dia bisa meramu obat pemusnah racun itu. Dan dalam keadaan seperti itu tentu tak mungkin baginya untuk mencarikan obat.

Namun kata-kata Mahesa bahwa harus ada cara lain untuk mengobati terus seperti mengiang di telinga Ki Tampu. Mahesa kecewa ketika dilihatnya Ki Tampu kembali duduk kesudut kereta. Tapi tiba-tiba ahli obat ini kembali mendekati Mahesa. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, memberi isyarat pada si pemuda agar membuka mulutnya pula lebar-lebar.

Mahesa lakukan apa yang ditunjuki Ki Tampu. Begitu Mahesa membuka mulut Ki Tampu masukkan dua jari tangannya sampai menyentuh anak lidah lalu mengorek mulut pemuda itu dalam-dalam.

“Hoek...!" Mahesa keluarkan suara seperti mau muntah.

Ki Tampu kembali mengorek. Lagi dan lagi sampai Mahesa merasakan perutnya mual dan melilit naik ke atas. Lalu muntah banyak sekali. Ki Tampu berdiri. Dia merapatkan tubuh Mahesa ke dinding lalu mengangkatnya dan menegakkan tubuh ini kepala kebawah kaki ke atas. Sambil berlutut, Ki Tampu pergunakan tangan kanannya untuk menahan tubuh Mahesa agar tidak jatuh sedang jari-jari tangan kirinya kembali dipergunakan untuk mengorek mulut Mahesa hingga pemuda ini kembali terhoek-hoek dan muntah terus. 

Mahesa merasakan tubuhnya keluarkan keringat dingin sedang air mata membersit dari kedua matanya. Perut dan dadanya turun naik. Muntahannya terdiri dari sisa makanan bercampur obat yang diminumnya sore tadi serta darah! Ki Tampu menunggu sampai beberapa lama. Lalu perlahan-lahan tubuh Mahesa dibaringkannya kembali ke lantai kereta yang kini menjadi kotor oleh muntahan.

Meskipun saat itu hari belum gelap dan sore belum berganti malam namun dalam kereta cukup gelap. Sulit bagi Ki Tampu untuk memeriksa cairan muntahan Mahesa. Lama sekali dia meneliti baru dapat menarik kesan. Sebagian besar dari obat beracun yang terminum oleh si pemuda keluar bersama muntahan itu. Sebagian lainnya tak mungkin untuk dikuras lagi. Mahesa kerenyitkan kening ketika melihat Ki Tampu keluarkan sebuah pisau kecil dari saku pakaiannya.

“Hai, kau mau apa?!" tanya Mahesa.

Yang ditanya hanya lambaikan tangan. Dengan ujung pisau dia menggurat lengan Mahesa. Darah yang keluar kemudian diserapnya dengan ujung pakaian putih si pemuda. Lalu dia meneliti keadaan darah yang terserap di pakaian itu. Sesaat kemudian dia menarik nafas dalam. Parasnya tampak kecewa.

“Bagaimana..?” tanya Mahesa.

Ki Tampu geleng-gelengkan kepalanya. Dia gerakkan lagi kedua tangannya. Kali ini lama sekali. Mahesa memaki karena dia tidak mengerti apa yang diterangkan oleh ahli pengobatan itu. Yang coba dijelaskan Ki Tampu ialah bahwa sebagian besar racun berhasil dikeluarkan dari dalam perut Mahesa. 

Namun sebagian lainnya telah terserap dalam aliran darah dan tak mungkin diobati tanpa sejenis ramuan obat yang harus diminum. Namun pertolongan yang dilakukan tadi akan menyingkat kelumpuhan si pemuda dari empat puluh hari menjadi hanya sepuluh hari. Cuma karena perjalanan memakan waktu lima hari maka tak bisa diharapkan Mahesa dapat melakukan sesuatu misalnya melarikan diri dalam perjalanan sebelum mencapai Kotaraja!

“Terima kasih kau telah berusaha menolongku," kata Mahesa yang menyadari apa yang telah dilakukan Ki Tampu. 

Meskipun tidak dapat ditolong sepenuhnya namun dia merasakan ada perubahan pada dirinya. Dengan penuh harapan pemuda ini kerahkan tenaga dalamnya kembali. Ada aliran panas yang mulai menjalar. Tapi setelah dicoba sekian lama, dia hanya mampu menggerakkan jari-jari tangannya saja.

Sepanjang malam rombongan itu bergerak terus tanpa berhenti untuk berkemah atau istirahat. Posisi setiap anggota rombonganpun tidak berubah. Disebelah depan rombongan dipimpin oleh salah seorang yang mengenakan jubah biru. Namanya Tunggul Aryo. Dia adalah salah seorang hulubalang Istana yang bersama adiknya Tunggul Gede ditugaskan untuk menjemput dan mengawal Mahesa dari Probolinggo ke Kotaraja.

Berdasarkan penjelasan Rangga dan diketahui bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi maka pihak-pihak yang berkepentingan di Kotaraja tidak mau terjadi sesuatu dengan tawanan itu. Bukan mustahil Mahesa melarikan diri di tengah jalan atau rombongan dihadang oleh kawan-kawan di pemuda yang bermaksud membebaskannya. Karena itulah diperlukan orang-orang berkepandaian tinggi seperti dua orang kakak adik Tunggul itu.

Di belakang Tunggul Aryo berkuda empat perajurit Keraton, lalu empat orang perajurit Kadipaten dibawah pimpinan Kroto. Di sebelah belakang kereta tertutup dimana Mahesa dan Ki Tampu berada, empat perajurit Keraton melakukan pengawalan ditambah sepuluh perajurit dari Kadipaten. Dan paling belakang sekali adalah Tunggul Gede.

Ketika malam sampai di ujungnya dan langit di ufuk timur mulai kelihatan terang tanda sang surya akan segera terbit, rombongan sampai disebuah anak sungai berair jernih yang terletak disebelah utara Sapurejo. Tunggul Aryo mengangkat tangan memberi tanda. Rombongan berhenti. Orang berjubah biru ini perintahkan dua perajurit untuk menyelidiki keadaan sekitar anak sungai itu. Tak berapa lama kemudian mereka kembali dan memberi tahu bahwa segala sesuatunya kelihatan tenang dan aman.

“Kita istirahat disini. Beri makan dan minum semua kuda!" kata Tunggul Aryo lalu turun dari kudanya.

“Bagaimana dengan tawanan?" tanya seorang perajurit Keraton.

Sebelum Tunggul Aryo menjawab, Kroto yang menjadi pimpinan para pengawal dari Kadipaten langsung bicara.

“Tak usah perdulikan mereka. Toh sesampainya di Kotaraja mereka akan dihukum mati. Buat apa susah-susah memberi makan!”

Tunggul Aryo melirik sesaat pada Kroto, lalu pada perajurit yang tadi dia berkata, Meskipun mereka tawanan, bagaimanapun jeleknya mereka adalah manusia seperti kita. Beri mereka makan dan minum seadanya!"

“Mas Tunggul Aryo!" Kroto kembali membuka mulut. “Kenapa kau begitu memperhatikan kedua tawanan itu?"

“Aku pimpinan dalam rombongan ini Kroto. Segala sesuatunya menjadi tanggung jawabku. Termasuk keselamatan dan nyawa para tawanan selama perjalanan!"

Kroto tak tinggal diam dan menjawab. ”Aku tahu mas Aryo memang pimpinan dalam rombongan ini. Tapi sebagai pimpinan pasukan dari Kadipaten bukan berarti aku tidak punya tanggung jawab apa-apa dalam rombongan ini. Suara dan pendapatku perlu dipertimbangkan!“

Tunggul Aryo tampak berubah wajahnya. Dengan suara perlahan tetapi jelas dan tegas dia bertanya, “Apa maumu sebenarnya Kroto? Jika kau merasa mampu untuk menjadi pimpinan dalam rombongan ini, silahkan kau ambil alih tugas. Aku dan dimas Tunggul Gede akan mendahului kembali ke Kotaraja. Tanggung jawab atas kedua tawanan menjadi tanggung jawabmu!“

“Mas Aryo," Kroto buru-buru berkata, “bukan begitu maksudku!”

“Lantas?"

Saat itu Tunggul Gede datang ke tempat mereka dan menengahi pembicaraan yang mulai tegang.

“Kang mas, bagaimanapun kau tetap menjadi pimpinan dalam rombongan ini. Jika terjadi apa-apa, baik kau ada dalam rombongan ataupun tidak dalam rombongan lagi, tanggung jawab tetap ada padamu. Dan apakah Pangeran Puspo akan berdiam diri saja melihat hal ini? Kita berdua akan didampratnya!"

Tunggul Aryo angkat bahu. Lalu melangkah menuruni tebing anak sungai dan mencuci mukanya disitu. Tunggul Gede berpaling pada Kroto dan berkata dengan nada keras, “Kroto Apapun pangkatmu di Kadipaten kau tetap kroco dibanding dengan kami orang-orang Keraton! Jadi sebaiknya jangan besar mulut dan besar kepala!

Paras Kroto tampak merah. Buru-buru dia tinggalkan tempat itu. Sementara itu seorang perajurit membuka pintu kereta lalu memberikan makanan dan air pada kedua tawanan yang ada di dalam. Ki Tampu diberi kesempatan keluar dari kereta untuk pergi ke sungai. Mahesa yang tak bisa duduk ataupun berdiri hanya berbaring di pintu kereta dan memandang ke luar. Semalam suntuk berada dalam ruangan yang gelap membuat matanya silau memandang matahari pagi.

“Ah, jeleknya nasibku!" kata Mahesa dalam hati. “Kalau aku sampai dihukum mati di Kotaraja, banyak hal yang tak kesampaian dapat kulakukan dalam sisa hidup yang tinggal beberapa hari ini. Aku tidak pernah menyelesaikan dua tugas yang diperintahkan guru. Aku tidak berhasil menemui dan melihat ayahku. Dan senjata-senjata yang ada di rumah itu! Dan aku tak akan pernah menginjakkan kaki di Pesantren Nusa Barung sesuai perintah guru!"

Selagi Mahesa menyesali nasib peruntungannya yang buruk itu tiba-tiba sebuah batu kecil kembali melayang. Mahesa perhatikan arah datangnya batu sampai pandangannya membentur serumpun semak belukar yang terletak diantara dua pohon besar, sekitar dua puluh tombak dari tempat kereta berhenti. Sesosok bayangan kuning tampak mendekam dibalik semak belukar itu. Dada Mahesa berdebar.

“Kemala“ desisnya.


2. DAUN TAPAK DORO KEMALA MUNCUL LAGI
SESUNGGUHNYALAH sosok tubuh yang bersembunyi di balik semak-semak itu adalah gadis berbaju kuning Kemala. Gadis ini yang juga menjadi buronan mengetahui perihal tertangkapnya Mahesa.

Ketika pemuda itu bersama Ki Tampu diangkut ke Kotaraja, dengan menunggang seekor kuda dia mengikuti perjalanan rombongan. Sepanjang jalan sang dara selalu berpikir mencari akal bagaimana bisa menolong membebaskan Mahesa.

Dia menyadari betapa sulitnya hal itu dilakukan. Dengan mengandalkan ilmu pedangnya saja, tak mungkin dia mampu menghadapi hampir dua puluh perajurit pengawal kereta. Apalagi dalam rombongan kelihatan dua orang berpakaian biru yang pasti bukan orang-orang sembarangan.

“Mengapa gadis itu muncul disini? Apakah dia menguntit rombongan sepanjang malam? Mungkin hendak menoIongku!" begitu Mahesa berpikir, "Terlalu berani. Kalau sampai ketahuan dia bisa celaka!"

Saat itu ingin Mahesa berteriak pada Kemala agar meninggalkan tempat itu sebelum kehadirannya diketahui. Namun tentu saja hal itu tak mungkin dilakukannya. Berteriak sama saja dengan mangundang perhatian dan sang dara akan tertangkap lebih cepat.

Mahesa berusaha mencari-cari Ki Tampu. Orang inipun tak kelihatan. Bagaimana caranya memberi tahu pada Kemala agar segera pergi dari situ? Di pinggir sungai Ki Tampu sedang membersihkan muka dan bagian tubuhnya sebisa yang dilakukan. Lalu dia duduk termenung di tebing sementara para pengawal dilihatnya juga membersihkan diri di bagian lain dari sungai.

“Ah, mengapa nasibku jadi begini. Kalau aku sampai dihukum mati bagaimana anak istriku di Probolinggo..?"

Ki Tampu meratap dalam hatinya. Sambil memandang ke sungai tangannya meraba-raba tanah disampingnya. Ketika jari-jarinya membentur sejenis tanaman pendek, langsung dicabutnya. Tanaman ini hendak dilemparkannya ke tengah sungai ketika tiba-tiba dia melihat dan menyadari tanaman apa yang barusan, dicabutnya itu. Sepasang matanya ber kitat-kilat meneliti daun-daun hijau serta bunga-bunga putih kecil yang timbul disela-sela dedaunan.

“Ini daun obat!" katanya. “lni daun tapak doro! Obat paling manjur untuk menyembuhkan darah yang terkena racun!" 

Ki Tampu berdiri dan memandang berkeliling. Ternyata disepanjang tebing sungai itu penuh ditumbuhi oleh tanaman tapak doro berbunga putih. Tanpa menunggu lebih lama lagi dia segera cabuti tanaman itu sebanyak yang bisa dilakukannya. Pada saat itulah terdengar seruan Tunggul Gede agar semua orang kembali ke tempat masing-masing karena perjalanan segera akan dilanjutkan.

Ketika melihat Ki Tampu kembali ke kereta membawa banyak sekali tanaman berdaun hijau berbunga putih, Kroto serta merta menghadang di depan Pintu.

“Untuk apa tanaman-tanaman itu..?” Sentak Kroto “Siapa yang member izin kau boleh membawanya..?”

Ki Tampu yang gagu tampak jadi pucat. Kalau Kroto tahu daun itu adalah daun obat celakalah dia.

“Hai! Jawab!"  teriak Kroto.

Ki Tampu meletakkan tanaman itu dibelakang kepalanya sedang kedua matanya dipejamkan. Mahesa yang mulai mengerti apa yang dimaksudkan ahli obat itu cepat berkata,  "memang aku yang menyuruhnya mencari tanaman-tanaman dan rerumputan. Untuk alas lantai kereta yang keras. Kepala dan badanku sakit sekali tanpa kasur dan bantal!"

“Kentut busuk! Ini bukan perjalanan bersenang-senang. Kau tidak perlu bantal dan kasur...!" tukas Kroto.

“Kau betul sobat. Tapi daun-daun itu juga untuk menutupi lantai kereta yang kotor oleh muntahku, kencing dan kotoranku. Kalau tak percaya lihat sendiri ke dalam sini!"  kata Mahesa pula.

“Kau boleh bilang seribu alasan. Kau tak perlu daun-daun itu!" kata Kroto. Lalu dia membentak Ki Tampu. “Campakkan tanaman itu lekas!"

Baru saja dia membentak begitu sebuah batu kecil tiba-tiba melayang dan menghantam salah satu giginya hingga patah. Gusinya berdarah! Kroto berteriak kesakitan dan juga marah!

“Siapa yang melempar?!” teriaknya. Matanya mendelik.

“Aku tidak!" ujar Mahesa. Dia tahu siapa yang melempar.

Ki Tampu angkat tangan kanannya dan goyang-goyangkan berulang kali. Mendengar ribut-ribut di tempat itu Tunggul Aryo segera datang dan bartanya.

“Ada apa ribut-ribut disini?"

"Seseorang melemparku!" jawab Kroto seraya memandang berkeliling.

“Aku tak mengerti. Tadi kau kudengar ribut-ribut soal tanaman itu. Kini katamu ada yang melempar!"

“Memang benar. Aku tidak senang tukang obat ini membawa tanaman itu untuk alas kereta. Tapi juga benar kemudian ada yang melemparku. Lihat! Gigiku sampai patah dan mulutku berdarah!" Sahut Kroto.

“Hemm!" Tunggul Aryo menggumam. Seperti Kroto diapun memandang berkeliling. Selagi orang-orang itu melupakan Ki Tampu dan tanamannya Mahesa berbisik,  Ki Tampu, lekas naik. Bawa daun-daun itu! Ki Tampu cepat melompat naik ke dalam kereta. Seorang perajurit kemudian menutup pintu kereta dan memalangnya dari luar.

“Kroto, kau tetap disini. Aku akan menyelidiki!" berkata Tunggul Aryo. Dia mendekati adiknya dan bicara sebentar. Lalu kedua orang ini berpencar.

Tak lama kemudian terdengar seruan Tunggul Aryo dari balik semak belukar diantara dua pohon besar. “Kroto! Aku menemukan orang yang melemparmu. Kau tangkaplah sendiri!"

Kroto dan beberapa orang perajurit dan Tunggul Gede segera lari ke arah datangnya suara Tunggul Aryo. Dibalik semak belukar itu mereka melihat seorang dara jelita berbaju kuning tegak sambil mencekal pedang.

“Ah! Kau rupanya!" teriak Kroto ketika mengenali gadis itu. Dia berpaling pada Tunggul Aryo dan berkata, “Mas Aryo, gadis ini bernama Kemala! Dia buronan yang juga sedang dicari-cari. Dia muncul disini pasti untuk menolong kawannya pemuda bernama Mahesa itu!"

“Kalau begitu tunggu apa lagi. Tangkap dia!" perintah Tunggul Aryo. Kroto segera cabut goloknya dan melompat ke hadapan Kemala.

“Menyerahlah Kau tak akan kulukai!"

Sret!

Sebagai jawaban Kemala cabut pedangnya. Kroto yang belum tahu kehebatan sang dara dengan senyum mengejek berkata,  Bagus! Kau berani menantang! Jangan, salahkan kalau kulitmu yang mulus terluka oleh golokku!  Lalu Kroto menyerbu dengan satu bacokan ke arah bahu sang dara.

Sebenarnya serangan ini hanya merupakan tipuan saja. Karena Kroto bermaksud begitu lawan menangkis dia akan pukul tangan si gadis hingga pedang mental lalu baru meringkusnya. Memang Kroto memiliki ilmu silat yang cukup ampuh. Namun yang dihadapinya bukan seorang gadis yang tidak tahu apa-apa dalam ilmu silat.

Ketika melihat Kroto tiba-tiba menarik balik serangannya dan pergunakan tangan kiri untuk memukul lengan lengannya, Kemala membuat lompatan pendek ke atas. Begitu tubuhnya berada lebih tinggi dari lawan langsung dia kirimkan hantaman siku ke kepala Kroto. Perajurit Kadipaten ini mengeluh tinggi. Tubuhnya terpelanting hampir roboh kalau tidak lekas dipegang oleh Tunggul Gede. Keningnya kelihatan merah dan benjut besar.

“Gadis keparat! Kau rasakan golokku!  teriak Kroto marah. Dia renggutkan tangan kirinya dari pegangan Tunggul Gede lalu kembali menyerang Kemala. Pedang dan golok saling berkelebatan dan saling beradu.

Trang!

Perkelahian hanya berlangsung satu setengah jurus. Golok di tangan Kroto terlepas mental. Sesaat kemudian, Kemala telah menyelinap kebelakang Kroto, mencekal leher pakaiannya dan tempelkan mata pedang di leher perajurit ini hingga Kroto melotot ketakutan.

Kemala memandang pada Tunggul Aryo dan Tunggul Gede lalu berkata,  "Lepaskan pemuda dalam kereta itu. Kalau tidak akan kugorok batang lehernya!"

Tunggul Gede tersenyum sementara kakaknya tertawa mengekeh. "Gadis cantik! Aku memuji nyalimu. Cuma sayang kau salah jalan. Kau pergunakan kepandaian untuk membela orang yang bersalah pada Kerajaan!"

“Apa kesalahan pemuda itu terhadap Kerajaan?!" tanya Kemala beringas. Dia tidak yakin Mahesa mempunyai kesalahan.

“Kau tidak tahu? Baiklah kuterangkan. Dia adalah anak Randu Ampel yang telah membunuh Adipati Probolinggo...!"

“Ayahnya yang melakukan pembunuhan kenapa anaknya yang ditangkap. Apa kalian tidak berani atau tidak mampu menangkap Randu Ampel sendiri...?!"

Paras Tunggul Aryo kelihatan merah. Tapi dia tetap tersenyum. "Orang itu memang terus dicari dan tak lama lagi akan segera tertangkap. Pemuda bernama Mahesa itu juga punya kesalahan lain. Dia membunuh beberapa perajurit Kadipaten dan juga membunuh Jaliteng seorang pentolan Kadipaten yang dekat dengan Keraton..."

“Hanya karena pentolan Kadipaten dan dekat Keraton lantas kesalahan bisa ditimpakan pada pemuda itu? Gila! Pemuda itu tidak akan membunuh siapapun kalau dia tidak diserang duluan dan tidak terancam nyawanya! Mereka yang mampus itu menerima kematian karena memang minta mampus!"

“Gadis, selain cantik kau rupanya juga pandai bicara!" kata Tunggul Aryo. "Kau serahkan diri secara baik-baik. Kami tak akan menyakitimu dan mungkin bisa membantu meringankan hukumanmu kelak!"

Kemala mendengus. "Lekas kalian lepaskan pemuda itu. Kalau tidak perajurit ini akan jadi mayat!"

“Perajurit itu tak ada harganya bagi kami! Setiap detik kau boleh membunuhnya. ltu lebih gampang bagi kami untuk menangkapmu!"  kata Tunggul Aryo.

Kroto mendelik marah. Tidak disangkanya Tunggul Aryo akan berkata seperti itu. “Gila! Mas Aryo! Kau akan membiarkan gadis penjahat ini membunuhku?!"  teriak Kroto.

“Kalau perlu apa salahnya...!" jawab Tunggul Aryo yang memang tidak senang pada perajurit itu.

“Gila!" teriak Kroto lagi.

Perlahan-lahan Tunggul Aryo melangkah mendekati Kemala.

“Berhenti!" teriak Kemala.

Lelaki berjubah biru itu hanya ganda tertawa. Dia melangkah terus. Kemala tekan mata pedang ke leher Kroto. Darah kelihatan mengucur dari kulit yang tersayat. Kroto berteriak kesakitan. Tapi seperti tak acuh Tunggul Aryo terus saja melangkah.

Kroto mengeluarkan suara seperti binatang disembelih. Ketika pedang ditangan Kemala menggorok lehernya. Tubuh yang mandi darah itu kemudian didorong Kemala ke arah Tunggul Aryo. Lelaki ini kibaskan tangan kanannya. Tubuh Kroto tergelimpang ke tanah. Pada saat itu pula Tunggul Aryo berkelebat ke arah Kemala.


3. TAWANAN BERTAMBAH
KEMALA sambut kedatangan lelaki berjubah biru itu dengan sambaran kilat pedang ke arah dada.

“Ah, ilmu pedang dara ini ternyata tidak rendah,!" kata Tunggul Aryo begitu dia mendengar dan merasakan deru angin senjata lawan. Dengan sigap dia menghindar kesamping. Tapi baru saja selamat dari serangan pertama itu tahu-tahu ujung pedang Kemala kembali berkelebat dan kini mencucuk ke arah bawah dagunya!

“Hai! Benar-benar hebat!" memuji Tunggul Aryo dalam hati. Dia angkat tangan kirinya dan kebutkan ujung lengan jubah birunya.

Tring!

Terdengar suara berdentring ketika ujung lengan jubah itu menangkis ujung pedang Kemala. Tunggul Aryo terkejut sewaktu dapatkan ujung lengan jubahnya robek. Sebaliknya Kemala lebih kaget lagi. Bentrokan. pedang dengan kain membuat pedangnya melenceng kesamping sedang tangannya terasa bergetar keras!

“Masakan pedang kalah dengan lengan pakaian,  pikir Kemala. Penasaran dara ini kembali lancarkan serangan. Kali ini lebih sebat, lebih cepat dan lebih ganas!

“Kemala”  seru Tunggul Aryo.  "Permainan pedangmu tidak jelek. Tapi kau menyerang dengan dipengaruhi amarah. Akibatnya lihat. Tak satupun seranganmu mengenai sasaran!"

“Tunggulah! Sebentar lagi akan kutembus dada atau perutmu!" balas berteriak dara berbaju kuning itu.

Sementara itu di dalam kereta yang tertutup Mahesa coba menggoyang-goyangkan kepalanya. Tadi sewaktu masuk ke dalam kereta Ki Tampu langsung menjatuhkan daun-daun yang dibawanya tepat ke muka Mahesa hingga seluruh wajah pemuda ini tertutup dedaunan.

“Anak setan! Kau kira aku tempat sampah! Membuang daun-daun ini seenakmu! Apa kau buta Ki Tampu?!" teriak Mahesa.

Ki Tampu sibakkan daun-daun itu dari wajah Mahesa hingga kini kelihatan kedua matanya. Ahli obat itu kemudian menggerak-gerakkan tangan kanannya berulang kali ke arah mulutnya sendiri sedang tangan kanan menunjuk ke mulut Mahesa.

“Apa? Kau suruh aku makan daun-daun ini?!" Tanya Mahesa melotot.

Ki Tampu mengangguk berulang-ulang.

“Kau kira aku ini kambing?!"

Ki Tampu geleng-gelengkan kepalanya. Dia menepuk-nepuki sekujur tubuhnya, mengangkat-angkat kedua tangan dan kaki. Terakhir sekali dia mengacungkan jempol tangan kanannya.

“Sialan! Aku tak mengerti apa maksud orang ini!" gerutu Mahesa dalam hati.

Sebaliknya Ki Tampu juga tampak kesal. Dia lalu mencabuti daun-daun tapak doro yang masih meletak di tangkainya lalu menyumpalkan daun itu ke mulut Mahesa. Dia sendiri memasukkan beberapa lembar daun yang sama ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah.

Mula-mula Mahesa hendak memuntahkan daun-daun yang dimasukkan kedalam mulutnya itu lalu memaki. Tapi ketika dilihatnya Ki Tampu mengunyah daun yang sama, sadarlah Mahesa bahwa ahli obat itu sebenarnya tengah memberi petunjuk padanya.

“Ki Tampu!" suara Maahesa tidak begitu jelas.  "Apakah aku harus mengunyah dan makan daun-daun ini...?"

Ki Tampu tampak gembira. Dia mengangguk sambil mengacungkan lagi ibu jarinya.

“Ini daun obat...?"  tanya Mahesa lagi.

Yang ditanya kembali mengangguk.

“Kalau begitu. Lekas masukkan ke dalam mulutku. Biar kumakan semuanya. Yang penting aku bisa sembuh dari kelumpuhan celaka ini!"

Juru obat itu duduk disamping Mahesa. Setiap mulut pemuda itu dilihatnya kosong kembali dimasukkannya daun-daun tapak doro kedalamnya. Meskipun daun itu terasa agak pahit dan perutnya tiba-tiba menjadi mual namun Mahesa tidak perduli. Dikunyah dan ditelannya terus. Saat itu didengarnya suara orang berkelahi diselingi bentakan-bentakan. Mahesa berhenti mengunyah. Wajahnya menunjukkan kekawatiran.

“Ki Tampu. Dengar. Ada yang berkelahi di luar sana. Dara berbaju kuning itu. Ah, kasihan dia. Kalau sampai celaka, siapa yang bakal menolongnya...?"

Ki Tampu diam sejenak. Ikut mendengarkan suara perkelahian dan bentakan-bentakan di luar sana lalu angkat bahu. Daun-daun tapak doro yang mengandung khasiat tinggi itu kembali dijejalkannya ke dalam mulut Mahesa hingga Mahesa megap-megap mengunyah dan menelannya.

Di luar kereta Tunggul Aryo bergerak enteng kian kemari. Pedang Kemala mengejar ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan. Namun tak satupun yang mengenai sasarannya. Jangankan menembus, merobek jubah birunya sajapun tidak sanggup.

“Kemala!"  kembali Tunggul Aryo berseru. "Apa hubunganmu dengan pemuda bernama Mahesa itu?!"

"Aku tidak ada hubungan apa-apa. Jangan banyak tanya. Lihat pedang!"

Wut!

Satu sambaran ganas membabat ke pinggang. Tunggul Aryo berkelit kesamping. Senjata lawan lewat hanya seujung jari telunjuk dari pinggang pakaiannya.

“Kalau tak ada hubungan apa-apa mengapa kau berusaha menolongnya?!" tanya Tunggul Aryo lagi begitu mengelak.

“Kalian tidak ada potongan sebagai kakak dan adik. Pasti pemuda itu kekasihmu. Benar?!" Tunggul Aryo tertawa gelak-gelak.

Kemala kelihatan merah wajahnya sampai ke telinga. Dia menyerbu dengan kemarahan luar biasa. Pedangnya bersiuran kian kemari. “Kangmas Aryo! Lekas ringkus gadis itu! Kita tak punya banyak waktu untuk main-main di tempat ini...!" unggul Gede berkata dengan suara keras.

Tunggul Aryo tersenyum dan berkata, "Ah, sayang sekali adikku tak sabaran. Terpaksa aku menangkapmu saat ini Kemala!"

Lelaki berjubah biru ini melompat ke depan. Sambil melompat dia angkat tangan kanannya ke atas dan membuat gerakan berputar. Kemala melihat lengan jubah orang itu seperti terulur panjang. Dia coba memapaki dengan tebasan keras. Tapi terlambat. Ujung jubah lebih dahulu manggelung badan pedangnya. Ketika lawan membetot, gadis ini tak kuasa mempertahankan senjatanya. Pedang itu tertarik lepas dari tangannya. Kagetlah Kemala.

“Orang ini lihay sekali!"  katanya dalam hati lalu secepat kilat memutar diri untuk berkelebat ke samping, maksudnya terus melarikan diri. Namun dia masih kalah cepat dengan Tunggul Aryo. Kemala hanya mampu membuat gerakan setengah langkah ketika tiba-tiba satu tusukan mendarat di pangkal lehernya. Sang dara langsung merasakan tubuhnya lemas. Dia jatuh tersungkur di tanah. Tunggul Aryo tertawa sambil gosok-gosok ke dua telapak tangannya.

“Buka pintu kereta. Masukkan dia jadi satu dengan dua tawanan lainnya!  perintah Tunggul Aryo pada beberapa orang perajurit yang ada didekatnya.

“Kakakku, kau hendak mencampurkan tawanan perempuan ini dengan dua tawanan lelaki itu?!"  Tunggul Gede bertanya.

“Kau tak usah khawatir dimas. Pemuda itu tak perlu ditakutkan. Dia dalam keadaan lumpuh, tak mungkin akan merayapi dara ini. Tapi si tukang obat itu memang perlu dipreteli dulu!"

Ketika pintu kereta terbuka, Ki Tampu cepat melompat ke sudut kiri. Dia sadar apa yang akan terjadi kalau sampai ketahuan menyuapkan daun-daun obat itu ke dalam mulut Mahesa. Mahesa sendiri pejamkan kedua matanya, pura-pura tidur. Kumala dinaikkan ke atas kereta. Dua orang kemudian menyerat Ki Tampu ke pintu. Tunggul Aryo menotok pangkal lehernya hingga ahli obat inipun mengalami nasib sama dengan Kemala. Lumpuh oleh totokan!

Begitu pintu kereta ditutupkan dan kereta terasa mulai bergerak, Mahesa buka kembali kedua matanya. Melihat Ki Tampu yang terpuruk disudut kiri dan dara berbaju kuning yang terguling di sudut kanan belakang, Mahesa maklum kalau kedua orang ini menjadi korban totokan yang lihay.

“Kemala, tidak seharusnya kau muncul disini untuk menolongku!"

Sepasang mata Kemala berputar. Tubuhnya memang tak bisa bergerak tapi dia masih bisa bicara dan menjawab, "Oh, aku tak tahu kalau kau tidak suka ditolong!"

“Bukan tak suka ditolong. Tapi pekerjaan ini pekerjaan berbahaya. Buktinya, sekarang kaupun ikut ditawan!"

“Biarlah Hitung-hitung ikut jalan-jalan ke Kotaraja tanpa dipungut ongkos!"  jawab Kemala seenaknya.

"Hai! Tidak sangka kau pandai juga bergurau!"  ujar Mahesa.  "Biasanya kau selalu kasar dan ketus! Tapi kalau begini kau ingin bergurau, waktunya salah. Ini bukan saatnya untuk bergurau! Kau tahu apa yang menunggu aku dan tukang obat itu di Kotaraja? Tiang gantungan! Dan mereka pasti akan menyediakan satu tiang gantungan lagi. Untukmu!"

“Kalau memang sudah ditakdirkan mati digantung, Mau apa lagi!  jawab Kemala.  Aku tidak takut. Kau mungkin yang takut!"

“Gadis bandel!" maki Mahesa dalam hati. Lalu dia berkata, "Hebat sekali bicaramu Kemala. Asal saja kau bicara begitu untuk menutupi ketakutanmu sendiri. Betul?"

“Sudah Aku tak mau bicara dengan kau lagi! Dengan manusia yang bakal jadi calon bangkai..."

“Nasibmu tidak lebih bagus dariku!" tukas Mahesa jengkel.

“Mereka belum tentu benar-benar akan menggantungku...!"

“Begitu? Kau tahu kalau kau dituduh melawan Kerajaan karena berusaha menolongku...?!"

“Mereka tidak akan menggantungku. Percaya itu! Banyak pejabat-pejabat di Kotaraja yang bersifat hidung belang dan bisa kupergunakan kekuasaannya...!"

“Hemm! Tidak sangka kau seorang gadis yang mau menyerahkan kehormatan demi nyawanya!"

“Kurang ajar!"  Kemala tampak marah. "Kau kira aku ini perempuan macam apa? Kau kira aku ini berbudi pekerti tidak senonoh?! Kalau saja tidak tertotok, sudah kurobek mulutmu!"

Ki Tampu yang duduk di sudut kereta tak bergerak dan tak bersuara. Dia merasa bersyukur karena tadi berhasil membuat Mahesa menelan daun obat itu sebanyak-banyaknya. Hanya dia tidak tahu dalam waktu berapa lama pemuda itu bisa pulih kembali kekuatannya. Dan kalau daun-daun itu berhasil menyembuhkannya apakah dia sanggup melarikan diri? Lalu bagaimana pula dengan dirinya sendiri. Dan juga dara berbaju kuning yang barusan bertengkar dengan si pemuda?

Selagi merenung-renung didalam kereta yang bergerak cepat itu, Mahesa ingat dengan cerita gurunya tentang seorang perempuan bernama Wilujeng yang pernah menjadi ibu susunya. Ketika dia mencari rumah perempuan itu di Probolinggo dengan bantuan kakek penjaga makam, ternyata di rumah itu dia menemui Kemala.

“Kemala, ada satu hal yang hendak kutanyakan padamu!" Mahesa membuka mulut.

Tak ada jawaban. Mahesa mengulang pertanyaannya. Ketika gadis itu masih tak menjawab diapun berkata, "Heh, tak disangka kau sudah enak-enakan pulas diatas kereta ini!"

“Siapa yang pulas?! Hanya setan yang bisa tidur ditempat seperti ini!"  tiba-tiba terdengar suara Kemala.  Enak saja kau bicara!

Mahesa tertawa gelak-gelak. “Makanya kalau diajak bicara jangan seperti tak acuh. Aku mau tanya apa hubunganmu dengan perempuan bernama Wilujeng?"

Kalau saja saat itu tidak dalam keadaan tertotok, pertanyaan Mahesa tadi akan membuat Kemala terlonjak. Wilujeng adalah nama ibunya. Sang ibu pernah dilarikan orang nenek aneh dan lenyap lebih dari setahun. Ketika Ibunya kembali ke kota, sang ayah justru lenyap dan tak pernah diketahui lagi rimbanya. Ibunya sendiri kemudian menjadi korban keganasan mahluk-mahluk penghisap darah yang dipimpin oleh Datuk Iblis Penghisap Darah.

Bagaimana kini pemuda bernama Mahesa itu menyebut-nyebut nama ibunya. Begitu Kemala bertanya-tanya. Dia ingat kedatangan Mahesa dirumahnya tempo hari ditemani oleh orang tua penjaga makam itu. Katanya dia ingin melihat rumahnya. Kenapa?

“Apakah kau anak buah datuk Iblis Penghisap Darah?!" Tiba-tiba Kemala ajukan pertanyaan dengan nada curiga.

“Gila! Kau saksikan sendiri waktu di Bukit Akhirat bagaimana aku mati-matian menggempur manusia iblis itu! Sekarang enak saja kau menuduhku yang bukan-bukan! Edan!"

“Terus terang aku banyak curiga padamu,...!" kata Kemala.

“Kalau begitu kenapa kau menolongku waktu acara pemakaman itu. Mengapa kini kau juga berusaha membebaskanku hingga kau sendiri akhirnya jadi tawanan! Aku tak mengerti jalan pikiranmu! Tingkah lakumupun aneh! Terkadang lucu, tapi lebih banyak ketus. Sudahlah, sebaiknya tidak perlu diteruskan pembicaraan ini!" Mahesa jadi jengkel.

“Akupun tidak senang bicara denganmu!" balas Kemala. “Hanya karena kau tadi menyebut perempuan bernama Wilujeng itu maka aku perlu menyelidik. Apa sangkut pautmu dengan perempuan itu hingga kau menanyakan!"

“Aku tadi yang ingin tahu apa hubunganmu dengan perempuan itu. Malah kini kau balik bertanya!"

“Aku tak akan menjawab sebelum kau memberi tahu!" ujar Kemala.

“Sama! Akupun tak akan menjawab sebelum kau meberi tahu!" tukas Mahesa.

Kemala terdiam. Mahesa pun bungkam. Hanya Ki Tampu yang tertawa sendirian di sudut kereta. Dalam hatinya dia berkata, "Muda-mudi aneh. Ditunggu tiang gantungan masih sempat-sempatnya bertengkar."

Mahesa menggerak-gerakkan mulutnya untuk menangkap daun-daun tapak doro yang melintang menutupi mukanya, lalu mengunyah dan menelannya. Sampai matahari mulai meninggi tetap tak ada yang bicara dalam kereta itu. Suatu ketika ketiga orang tawanan itu mendadak mendengar suara kuda meringkik. Kereta dimana mereka berada berhenti."

“Apa pula yang terjadi di luar sana?"  pikir Mahesa. Dia melirik pada Kemala. Gadis ini diam-diam juga Tengah memasang telinga.


4. SANG DATUK IBLIS YANG TERGILA-GILA
SAAT ITU rombongan yang dipimpin oleh Tunggul Aryo tengah melewati jalan turun menurun di lamping sebuah bukit batu dalam kecepatan tinggi. Tanpa diduga sama sekali tiba-tiba di sebelah depan berkelebat satu bayangan putih. Sesaat kemudian di tengah jalan tampak tegak seorang berjubah putih berbadan bungkuk.

Sikapnya seperti acuh tak acuh tetapi jelas dia sengaja menghadang jalannya rombongan. Kuda yang ditunggangi Tunggul Aryo yang berada paling depan tersentak meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya ketika penunggangnya menarik dan menahan tali kekang.

Dua ekor kuda di sebelah belakang hampir saja berserempetan. Seorang perajurit yang berkuda disamping kereta terguling jatuh karena harus menghentikannya secara mendadak. Untung saja kepalanya tidak tergilas roda kereta. Seluruh rombongan kini berhenti.

Tunggul Gede yang berada di bagian belakang, dengan memacu kudanya ke depan untuk melihat apa yang terjadi. Saat dia sudah berada disamping kakaknya. Keduanya sama-sama memandang ke muka.

Di tengah jalan orang bungkuk berjubah putih itu ternyata adalah seorang kakek berkepala botak. Kepalanya yang licin berkilat-kilat tersorot sinar matahari. Kakek ini bermuka kuning. Pada jubah pakaiannya disebelah dada kelihatan gambar binatang berwarna hitam. Gambar seekor kelabang.

Di tangan kanannya dia memegang sebuah kantong kulit. Acuh tak acuh dia membuka sebuah kayu menyumbat pada salah satu bagian kantong yang berlobang. Dari lobang ini kemudian dia mengucurkan cairan berwarna merah ke dalam mulutnya. Bau busuk luar biasa serta merta menebar di tempat itu!

Tunggul Aryo merasakan kuduknya dingin. Dia berusaha menenteramkan hati. Sementara adiknya Tunggul Gede keluarkan keringat dingin meskipun dia berusaha bersikap setenang mungkin.

“Kelabang hitam!" desis Tunggul Aryo sambil menatap gambar di dada jubah kakek bungkuk yang tegak di tengah jalan, sedang meneguk darah busuk dari dalam kantong!

“Kesulitan kangmas!" bisik Tunggul Gede.

“Aku tahu. Kita harus bersikap tenang dan baik. Kau awasi kereta...!"

“Ada apa dia tiba-tiba muncul dan menghadang?" bertanya Tunggul Gede.

“Sulit diterka. Tapi sebentar lagi kita bakal tahu!" jawab Tunggul Aryo.

Si kakek bungkuk seka darah busuk yang berlelehan di bibir dan dagunya lalu menutupkan penyumbat ke dalam lobang dan batuk-batuk beberapa kali.

“Datuk Iblis! Sungguh tidak disangka kami dapat bertemu denganmu ditempat ini..!"

Belum habis Tunggul Aryo bicara, kakek bungkuk itu berseru,  "Eit!  lalu dia gerak-gerakkkan telunjuk kanannya berkata, "Tidak sangka tokoh dari Kotaraja tidak tahu peradatan! Turun dari kudamu kalau bicara dengan orang yang usianya dua kali dari usiamu!"
 
Tunggul Aryo gigit bibirnya. Dia meluncur turun dari kudanya, tegak di jalan tapi tak berani maju mendekati kakek di depan sana. Karena si kakek hanya celingak-celinguk memandang kian kemari, Tunggul Aryo jadi tak enak. Akhirnya kembali membuka mulut, "Datuk, apa yang bisa kami perbuat untukmu!"

“Benar-benar tidak tahu peradatan!" si kakek membentak. Dia bantingkan kaki kanannya ke tanah.

Tunggul Aryo merasakan tanah jalanan itu bergetar. Memandang ke depan dilihatnya tanah yang tadi dihentak kaki si kakek kini berlobang menganga dan berwarna kehitaman. Diam-diam tokoh istana ini menyumpah dalam hati. Apa lagi yang dianggap kakek itu tidak tahu peradatan.

"Bukankah dia sudah turun dari kuda dan bertanya secara baik-baik?"

“Kalau menyebut namaku jangan sepotong-sepotong! Sebut selengkapnya. Aku tidak dilahirkan sepotong-sepotong. Dan dunia persilatan kukuasai tidak sepotong-sepotong. Atau mungkin kau mau kubikin jadi beberapa potong?!"

"Ah, itu rupanya penyebab kemarahan manusia aneh ini!" pikir Tunggul Aryo. Lalu buru-buru dia berkata, “Mohon maafmu. Katakan apa yang bisa kami lakukan untukmu Datuk Iblis Penghisap Darah?"

“Nah, bagus begitu!"  Si kakek yang ternyata adalah Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah tertawa mengekeh.

Sebagai tokoh silat istana baik Tunggul aryo maupun Tunggul Gede tentu saja memiliki tingkat kepandaian tinggi. Kalau tidak tak bakal keduanya diangkat menjadi hulubalang serta dipercayakan dalam pengamanan tawanan yaitu Mahesa. Namun dibandingkan dengan sang datuk yang saat itu menghadang di tengah jalan, keduanya menyadari bahwa bukan saja dalam ilmu silat.

Tetapi hal lain seperti tenaga dalam dan kesaktian mereka masih berada paling tidak tiga tingkat dibawah si kakek. Selama ini antara mereka memang tak pernah terdapat silang sengketa. Pada umumnya para tokoh silat istana selalu berhati-hati dan menjaga jarak dengan orang-orang rimba persilatan seperti Datuk Iblis ini.

“Kulihat kalian bergerak cepat. Tentu ada apa-apanya! Bisa kalian menerangkan padaku mengapa?"

Tunggul Gede merasa tak enak. Kakaknya menjawab sambil tersenyum. "Matamu sungguh tajam. Kami bergerak cepat semata-mata hanya ingin lekas-lekas sampai di Kotaraja!"

“Begitu?" ujar Datuk Iblis seraya mendongak dan usap-usap dagunya.  "Kau tidak berdusta?"

“Sebagai orang dalam istana mana kami berani berdusta!"  sahut Tunggul Aryo.

Datuk lblis Penghisap Darah manggut-manggut. Dengar,  katanya sesaat kemudian  Aku tengah mencari seorang gadis berpakaian kuning. Aku kehilangan jejaknya malam tadi. Tapi aku yakin dia pergi ke jurusan yang sama dengan kalian. Kalian melihatnya? Kami sengaja tidak menempuh jalan umum. Karenanya tak pernah berpapasan dengan siapapun. Juga tidak dengan orang yang kau tanyakan itu  jawab Tunggul Aryo.

“Hemmm...!"  sang datuk bergumam. Parasnya menunjukkan rasa kurang percaya. Dia memandang ke arah kereta lalu bertanya,  Apa isi kereta itu...?!"

Dua kakak beradik Aryo dan Gede merasakan dada mereka berdenyut. Jika mereka berdusta lalu kakek jahat kepandaian tinggi itu melakukan pemeriksaan, bentrokan pasti tidak dapat dihindarkan.

“Kereta itu kosong. Tadinya untuk dimuati barang-barang dari Bugis. Tapi perahu yang ditunggu tidak muncul di Probolinggo!"  jawab Tunggul Aryo.

“Jadi kalian berangkat dari Probolinggo?"

“Betul. Katakanlah apa yang dapat kami bantu Datuk Iblis Penghisap Darah!" Untuk pertama kalinya Tunggul Gede berbicara.

Karena tak menjawab maka Tunggul Aryo memberanikan diri bertanya.  Kalau kau bisa menerangkan nama atau siapa adanya gadis berbaju kuning itu, mungkin kami bisa bantu menyelidik. Sang datuk tertawa.  "Bicaramu penuh basa basi. Jika kau benar-benar tidak melihat gadis berbaju kuning itu mana mungkin kalian bisa membantu. Tapi ingat, dilain waktu jika kuketahui kalian bicara dusta, kalian tak akan lari jauh dariku!"

Selesai berkata begitu Datuk Iblis alias Lembu Surah berkelebat pergi. Tunggul Aryo dan Tunggul Gede merasa lega. Setelah menunggu sesaat Tunggul Aryo memberi tanda dan rombongan kembali meneruskan perjalanan.

"Bagaimana sampai Datuk Iblis muncul ditempat itu. Siapa gadis baju kuning yang tengah dicarinya?"

Dalam (jilid dua) diceritakan bahwa setelah Mahesa menyelamatkan Kemala dari tangan dari Tiga Datuk Kembar Bukit Akhirat tahu-tahu muncullah Datuk Iblis Penghisap Darah yang ternyata adalah kepala dari gerombolan makhluk-mahluk seram penghisap darah. Melihat kecantikan Kemala langsung kakek ini ingin melampiaskan nafsu terkutuknya. 

Karena ingin menempur dan membunuh Mahesa maka Kemala ditotoknya terlebih dahulu. Namun maksud keji sang datuk tidak kesampaian karena saat itu muncul seorang kakek berjuluk Malaikat Maut Berkuda Putih yang sebelumnya memang tengah mencari-cari Datuk Iblis karena dendam lama. Menyadari keadaan tidak bakal menguntungkannya maka Datuk Iblis Ialu pergi meninggalkan Bukit Akhirat.

Namun sejak itu pula dia tidak pernah melupakan dara berbaju kuning itu yakni Kemala. Hampir dalam setiap kesempatan dia selalu berusaha mencari sang dara. Dia hampir berhasil menemui jejak gadis itu disatu tempat sekitar sehari perjalanan dari Probolinggo. Namun sebelum bisa mengejar lebih dekat, Kemala telah lenyap.

Dia terus menyelidik ke arah barat daya sampai akhirnya bertemu dengan rombongan Tunggul Aryo. Kalau saja sang datuk tahu bahwa dara yang dicarinya ada dalam kereta, ceritanya tentu akan jadi lain. Di dalam kereta sendiri Kemala tidak pernah mengetahui kalau dirinya baru saja terlepas dari satu bencana keji.


5. KEMATIAN SOKA MEMBAWA KECURIGAAN
PAGI HARI kedua. Hujan turun rintik-rintik. Rombongan berhenti di sebuah surau kecil yang terletak di tepi desa. Sejak dihadang oleh Datuk lblis rombongan ini bergerak terus sepanjang siang dan malam hari. Mereka minum dan makan seadanya sambil berjalan. Tak ada yang menghiraukan atau ingat memberi makan ketiga tawanan. Baru pada pagi hari itu seorang pengawal diperintahkan membuka pintu kereta. Tiga potong ubi bakar dilemparkan dekat kepala tawanan.

“Anak setan!"  maki Mahesa dalam hati. Lalu dia berseru, "Perajurit tolol! Dalam keadaan begini apa kau kira kami bisa mengambil dan makan ubi itu?!"

“Bisa atau tidak itu bukan urusanku!"  jawab si perajurit.

Mahesa menatap lekat-lekat. Dia mengenali siapa adanya perajurit itu. “Kau rupanya Soka! Pantas mulutmu busuk amat!"

Soka adalah perajurit yang pernah menendang muka Mahesa hingga mulutnya berdarah sewaktu disekap di Kadipaten. “Kau rupanya ingin kutendang sekali lagi!"  bentak Soka.

“Cobalah kalau kau mampu melakukannya!" tantang Mahesa.

Ki Tampu mengeluh dalam hati.  Pemuda tolol. Dalam keadaan tak berdaya begitu berani menantang orang. Pasti dia akan kena gebuk! Apa yang disangkakan Ki Tampu memang kejadian. Dengan geram Soka melompat ke dalam kereta. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi lalu dihenyakkan kebawah untuk menginjak muka Mahesa. 

Suatu hal yang tidak diduga Ki Tampu ataupun Kemala terjadi. Mahesa tiba-tiba kelihatan menggerakkan kedua tangannya menangkap kaki perajurit itu. Dalam posisi duduk pemuda ini kemudian membantingkan Soka ke lantai kereta. Lalu sebelum si perajurit sempat keluarkan seruan kesakitan Mahesa cekik batang lehernya.

Terdengar suara berkeretak hancurnya tulang-tulang leher Soka. Matanya mendelik, lidahnya mencelet. Selain kaget melihat kejadian itu Ki Tampu juga merasa gembira. Mahesa mampu menggerakkan bagian tubuhnya sebelah atas. Satu tanda bahwa daun tapak doro yang dimakannya benar-benar berkhasiat dan dapat menyembuhkan kelumpuhannya walaupun belum keseluruhan.

Mahesa memandang pada ahli obat itu dan kedipkan matanya. Perlahan-lahan dia beringsut menutup pintu kereta. Tak lama kemudian seseorang diluar sana mengunci dan memalang pintu kereta itu tanpa mengetahui bahwa seorang kawannya telah menemui ajal di dalam kereta.

“Ki Tampu...!" bisik Mahesa. "Daun-daun itu mujarab sekali. Kelumpuhan pada bagian tubuhku sebelah atas lenyap...!"

Ki Tampu hanya bisa kedip-kedipkan mata. Mahesa beringsut mendekatinya lalu lepaskan totokan orang ini. Begitu tubuhnya lepas dari totokan Ki Tampu langsung memeluk Mahesa. Lalu dia memberi isyarat dengan kedua tangan agar memakan lagi daun-daun tapak doro yang masih banyak bertebaran di lantai kereta.

“Jangan kawatir, akan kuhabiskan semua daun itu biar sembuh. Tapi lebih dulu aku harus menolong sobatku si baju kuning ini!" kata Mahesa. Lalu dia berguling mendekati Kemala dan lepaskan totokan di tubuh sang dara. Begitu totokannya musnah Kemala terus melompat ke arah pintu.

Mahesa cepat berseru. “Kau mau kemana?!"

“Aku akan keluar untuk menghajar orang-orang itu!"

“Anak tolol!"  bentak Mahesa.  "Lima orang macammu belum tentu dapat mengalahkan orang-orang itu. Jangan cari penyakit untuk kedua kali. Lebih baik tetap disini menunggu..?"

“Menunggu sampai di kotaraja lalu digantung?!"  tukas Kemala.

"Kemarin kau bicara besar tak takut digantung. Sekarang nyatanya keberanianmu sudah lenyap! Dengar Kemala. Jika daun-daun dalam kereta ini kuhabiskan, mungkin nanti malam atau paling lambat besok pagi kelumpuhan yang masih kuderita pada tubuhku sebelah bawah akan sembuh. Sementara itu kita tetap berpura-pura tidak berdaya. Kalau aku sembuh kita akan atur pelarian..."

“Kalau kau tidak sembuh?"

Mahesa terdiam dan berpaling pada Ki Tampu. Orang ini goyang-goyangkan tangan kanannya sementara tangan kiri menunjuk ke arah daun-daun yang tersebar di lantai dan memberi isyarat agar Mahesa segera memakannya kembali.

“Aku percaya pada juru obat ini. Aku pasti sembuh. Aku akan bantu dengan pengerahan tenaga dalam!" kata Mahesa yakin. Lalu dia pindah duduk disudut kereta sebelah dalam. 

Setelah makan dedaunan tapak doro sebanyak yang bisa dilakukannya Mahesa lalu pejamkan mata dan kerahkan tenaga dalam. Ternyata masih sulit baginya untuk mengalirkan tenaga dalam ke bagian tubuh sebatas pinggang ke bawah. Namun dia yakin dalam waktu cepat, paling tidak sebelum sampai di kotaraja dia akan mengalami kesembuhan. Menjelang senja, Tunggul Gede yang berkuda disebelah belakang memacu binatang tunggangannya mendekati kakaknya.

“Kangmas Aryo. Mungkin aku salah hitung. Tapi aku merasa pasti setelah Kroto terbunuh, anggota rombongan kita ternyata berkurang seorang lagi."

Mula-mula Tunggul Aryo segan menanggapi keterangan adiknya itu. Tetapi setelah sambil berjalan menghitung-hitung kenyataannya anggota rombongan memang berkurang seorang. Maka serta merta lelaki ini berseru memberi perintah agar rombongan berhenti.

“Salah seorang anggota rombongan hilang!" katanya kemudian memberi tahu.

Semua orang saling pandang dengan terkejut dan diam-diam coba menghitung-hitung. “Aku tak melihat Soka!"  seorang perajurit Kadipaten berkata.

“Soka lenyap!" perajurit yang lain ikut buka suara.

Tunggul Aryo memandang berkeliling sementara hari mulai gelap. Saat itu mereka berada disebelah timur hutan Dodokan. Dia mendekati adiknya dan berbisik, "Aneh, kemana perginya perajurit itu…?”

“Mungkin diam-diam kembali ke Probolinggo?" ujar si adik.

“Mustahil. Untuk apa dia kembali dan kenapa musti diam-diam?" menyahuti Tunggul Aryo.

Sementara itu di dalam kereta Mahesa, Ki Tampu dan Kemala merapatkan telinga ke dinding papan, coba mendengarkan percakapan-percakapan orang di luar sana. “Mereka mengetahui lenyapnya perajurit ini," bisik Kemala.

Mahesa mengangguk. Dengan kedua tangannya yang di aliri tenaga dalam tinggi pemuda ini memijiti paha dan kakinya. Lalu perlahan dia mencoba bangun. Meskipun bersandar ke dinding kereta namun dia sanggup berdiri. Dicobanya mengangkat kaki kanannya. Kaki itu bergerak ke atas. Dicobakannya pada kaki kiri. Kaki inipun bergerak. Ki Tampu mengacung-acungkan kedua ibu jari tangannya. Mahesa memberi isyarat.  "Aku sudah sembuh!"  katanya. "Tapi belum sepenuhnya. Kedua kaki ini masih agak berat!"

“Bagaimana kalau mereka memeriksa kereta ini. Dan menemukan mayat perajurit itu?" berbisik Kemala.

Mahesa memutar otaknya sementara dadanya terasa berdenyut sakit. Dia sadar kalau luka dalam dibagian dadanya belum sembuh, begitu juga dengan pinggulnya. Di luar kereta terdengar suara Tunggul Gede berkata,

“Tak ada gunanya merisaukan perajurit satu itu. Malam telah tiba. Apakah kita akan meneruskan perjalanan atau beristirahat di tempat ini? Bukannya aku merisaukan si kroco itu dimas,  sahut Tunggul Aryo.  Bagiku lenyapnya Soka terasa aneh. Jangan-jangan dia menyelinap masuk ke dalam kereta dan melakukan sesuatu terhadap gadis tawanan yang cantik itu!"

"Mustahil si gadis atau tawanan lainnya tidak akan berteriak. Soka tidak punya kepandaian untuk menotok jalan suara orang!" kata Tunggul Gede pula.

Setelah berpikir sejenak akhirnya Tunggul Aryo berkata, "Aku tetap curiga. Buka pintu kereta. Aku akan memeriksa sendiri!"


6. SANG DATUK IBLIS MUNCUL LAGI
SEORANG perajurit membuka gembok dan palang pintu kereta. Dimalam yang gelap itu bagian dalam kereta lebih gelap lagi. Tunggul Aryo melangkah ke depan pintu yang terbuka lebar. Di sebelah kanan depan dilihatnya terguling tubuh Ki Tampu si juru obat. Di sudut belah kiri belakang terbujur sosok tubuh gadis berbaju kuning. Lalu disudut dalam sebelah kanan, diatas tumpukan dedaunan tampak terbaring Mahesa. Tak tampak sosok tubuh ke empat, sosok tubuh Soka.

“Hai, apakah kau hendak memberi kami makan?!"  tiba-tiba terdengar suara Mahesa bertanya.

“Ya! Walaupun kami cuma tawanan, tapi kalian tak bisa berlaku semena-mena. Kami harus diberi makan!" menimpali Kemala.

“Tutup mulut kalian!" bentak Tunggul Aryo. "Aku saja dan para pengawal belum makan! Kalian sudah ribut minta makan!"

“Kau dan orang-orangmu mau makan atau tidak, perduli amat!" tukas Mahesa. Dalam keadaan belum sembuh sepenuhnya dari kelumpuhan dia berbaring demikian rupa didalam gelap, melindungi sosok tubuh Soka yang disembunyikannya dibelakangnya, ditutupi dengan daun-daun tapak doro.

“Kalau kau datang bukan untuk membawa makanan, lebih baik pergi! Melihat mukamu perutku yang lapar jadi muak!" Kemala kembali buka suara.

Tunggul Aryo mendengus marah. Sebenarnya ketiga orang dalam kereta itu diam-diam menahan kecemasan. Dari pintu kereta mungkin sulit untuk melihat sosok tubuh Soka. Tapi jika Tunggul Aryo naik keatas, tak dapat tidak dia pasti akan melihat mayat perajurit itu.

“Hai!" seru Mahesa. Kawanku tidak suka melihatmu, apa tidak malu lama-lama jual tampang disitu?!"

Geraham Tunggul Aryo bergemeletakan menahan amarah. Kalau saja dia tidak ditugaskan untuk membawa tawanan yang satu ini dalam keadaan selamat sampai di Kotaraja, sudah dari tadi-tadi diterkam dan dihajarnya.

“Bangsat!" Tunggul Aryo hanya bisa memaki lalu bantingkan pintu kereta. Perajurit yang tadi membuka pintu kembali menggembok dan memalangnya.

Tunggul Aryo berpaling pada adiknya. “Bagaimana?" tanya Tunggul Gede.

“Aneh! Bagiku tetap aneh!"

"Kau sudah periksa sendiri kangmas. Sekarang apakah kita akan berhenti dan istirahat disini atau meneruskan perjalanan?"

“Kita teruskan perjalanan. Besok menjelang pagi baru istirahat!" kata Tunggul Aryo.

“Kangmas, perjalanan kita hari ini cukup jauh. Kuda-kuda tunggangan perlu istirahat. Juga kita semua. Jangan dipaksakan...!"

Tunggul Aryo memandang berkeliling. Lalu berkata, “Tempat ini kurasa kurang aman. Selain itu aku mendapat firasat yang kurang enak. Kita berangkat!"

Pimpinan rombongan itu menepuk pinggul kudanya. Binatang ini melompat ke depan. Terpaksa semua anggota rombongan mengikuti.

***

BEGITU pintu kereta ditutup dan tak lama kemudian rombongan itu bergerak meneruskan perjalanan, tiga orang yang berada dalam kereta menarik nafas lega. Ki Tampu seka keringat yang membasahi keningnya. Mahesa bangkit lalu duduk bersila. Kemala berdiri dan melangkah mundar-mandir dalam kereta.

"Kita harus keluar dari kereta terkutuk ini dan lari!" berkata Kemala lalu dia kembali ke tempatnya disudut kiri.

Itu memang jadi pemikiranku Kemala,  sahut Mahesa. “Tapi dalam keadaanku masih lemah begini tak mungkin dilakukan. Paling tidak kita harus menunggu sampai besok pagi. Daun-daun ini mujarab sekali. Aku akan coba makan semuanya. Disamping itu dengan mengerahkan tenaga dalam kurasa akan sangat membantu kesembuhanku!"

“Tidak bisa dipastikan kau akan sembuh besok. Aku tak mau menunggu..."

“Lalu apa maumu?" tanya Mahesa.

“Aku akan melarikan diri saat ini juga. Dinding kereta ini tidak terlalu kuat. Dua atau tiga kali tendangan pasti bobol!"

"Manusia keras kepala!" ujar Mahesa jengkel. "Kau bisa menghancurkan dinding kereta ini. Kau bisa menghajar semua perajurit yang mengawal. Tapi kau tak bakal bisa dari dua lelaki berjubah biru itu. Lalu kalau kau gagal kematian Soka akan diketahui. Kita semua akan lebih celaka! Jangan mencari keselamatan yang sia-sia dan mengorbankan diri sendiri serta orang lain!"

Kemala menggerendeng.

Mahesa tak perdulikan lagi gadis itu. Dia mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Hawa panas mengalir ke bagian tubuhnya yang masih lemah. Sekitar pertengahan malam dengan tubuh keringatan dia berhenti untuk beristirahat sambil mengunyah sisa-sisa daun tapak doro yang masih segar. Setelah itu dia kembali bersila mengerahkan tenaga dalam. Kali ini dialirkan ke bagian dadanya yang masih terasa sakit walaupun mulai menyembuh. Dengan. Tubuh letih menjelang dinihari Mahesa tertidur sementara Kemala dan Ki Tampu yang tidak bisa tidur jadi merasa tidak tenteram.

“Ki Tampu!" Kemala menegur dengan suara rendah. “Menurutmu apakah dia benar bisa sembuh menjelang pagi nanti?"

Ki Tampu yang merasa yakin akan kesembuhan Mahesa mengaggukkan kepala beberapa kali. Meskipun demikian tetap saja sang dara merasa ragu. Ketika langit di ufuk timur mulai terang kemerahan dan kicau burung terdengar di pepohonan, Tunggul Aryo yang berkuda paling depan memandang berkeliling. Saat itu mereka berada di sebuah lembah sunyi yang ditumbuhi tanaman-tanaman liar berbentuk aneh. Dia mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi. Melihat tanda ini maka rombunganpun berhenti.

“Perjalanan gila!" Tunggul Gede seperti menggerutu.

Mendangar ucapan adiknya itu Tunggul Aryo datang mendekat. "Dimas, dalam perjalanan seperti ini satu hal harus kau pelajari. Jangan sekali-kali berhenti untuk istirahat dan berkemah pada malam hari. Terlalu besar bahayanya. Pada malam hari pemandangan kita terbatas. Lebih sulit untuk berjaga-jaga, sebaliknya lebih mudah bagi orang-orang yang beritikad jahat untuk menyelinap. Kau mengerti dimas?"

Tunggul Gede mengangguk. Tidak terduga tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. Menyusul ucapan, Bagiku siang atau malam sama saja...!"

Semua anggota rombongan terkejut. Tunggul Aryo dan Tunggul Gede mendongak ke atas pohon besar di depan mereka, dari arah mana suara itu datang. Pada salah satu cabang pohon tampak duduk berjuntai seorang kakek berkepala botak bermuka kuning. Pada dada pakaiannya yang berupa jubah putih terpampang gambar kelabang hitam. Saat itu dia tampak tengah meneguk cairan merah dari sebuah kantong kulit.

“Dia lagi...!  desis Tunggul Gede.

“Aku merasa tidak enak. Firasat burukku jadi kenyataan. Kenapa manusia ini muncul lagi?!"

“Jangan-jangan dia tahu!" Tunggul Gede tak meneruskan ucapannya.

Saat itu orang diatas pohon tampak melayang turun. Kedua lututnya dilipat ke dada hingga tubuhnya seperti membulat dan dalam melayang itu membuat beberapa kali putaran. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke arah Tunggul Aryo. Kedua kakinya menghantam kepala kuda yang ditunggangi hulubalang istana ini.

Prak!

Kepala kuda itu pecah. Binatang ini roboh, meringkik keras sambil berguling dan lejang-lejangkan ke empat kakinya lalu diam tak berkutik lagi.


7. LOLOS
SANG DATUK usap mulutnya lalu kembali perdengarkan suara tertawa mengekeh.
“Masih bagus hanya kudamu yang mampus Tunggul Aryo! Itu satu peringatan bagimu. Kau telah berdusta! Tunggal Aryo jadi berdebar. Pasti orang ini mengetahui bahwa dalam kereta sebenarnya terdapat gadis baju kuning yang dicarinya. Tapi dia coba berkilah dengan bertanya.

“Apa yang telah kudustakan Datuk Iblis Penghisap Darah?”

“Ha.. ha! Kau masih hendak berpura-pura. Mungkin kau akan membayar kelicikanmu itu dengan nyawa. Tapi memandang bahwa kau seorang gembong keraton, aku mau memberi ampun. Asalkan kau serahkan secara baik-baik dara berbaju kuning yang ada dalam kereta tertutup itu!”

“Ah, dia benar-benar sudah tahu kangmas!" bisik Tunggul Gede.

“Datuk lblis Penghisap Darah memang benar sehari lalu aku berdusta padamu. Harap maafkan. Tapi itu bukan untuk berbuat licik atau menipumu. Ketahuilah aku memikul tugas kerajaan yang berat. Siapapun adanya tawanan-tawanan yang ada dalam kereta itu aku harus menjaga keselamatannya sampai di kotaraja!"

“He, kau sebut tawanan-tawanan. Memangnya ada berapa orang dalam kereta itu?  tanya sang datuk sambil usap-usap dagunya yang bercelemongan darah busuk.
Tunggul Aryo sadar tak bisa berkelit lagi.

“Tiga,!" jawabnya kemudian.

“Nah... nah! Siapa-siapa mereka?"

“Gadis yang kau cari itu. Seorang tukang obat bernama Ki Tampu. Lalu seorang pemuda bernama Mahesa...!"

Datuk Iblis nampak terkejut. Lalu dia menyeringai. “Hai! Pemuda itu! Sungguh kebetulan sekali. Memang aku pun mencari-carinya. Sejak peristiwa di Bukit Akhirat jari-jari tanganku ini ingin sekali meremuk batang lehernya! Tapi itu urusan belakangan. Yang penting kau harus serahkan padaku dara berbaju kuning itu!"

“Kalau aku boleh tanya, apa keperluannya gadis itu bagimu?" tanya Tunggul Aryo.

Si kakek kepala botak tertawa. “Urusanku dengan dia adalah urusan laki-laki dan perempuan. Nah, sudah kujawab pertanyaanmu! Jangan banyak mulut lagi. Kalau aku sudah tidak sabaran kalian semua bisa kubunuh!"

“Datuk Iblis Penghisap Darah. Aku tak mungkin bisa menyerahkan gadis itu. Dia adalah tawanan kerajaan!"

“Kalau begitu bersiaplah untuk mampus!" Datuk Iblis turunkan kantong kulitnya. Tangan kanannya perlahan-lahan bergerak ke samping.

“Tunggu dulu!" seru Tunggul Aryo. "Kau boleh tidak memandang muka pada kami-kami ini. Mungkin mudah saja bagimu untuk membunuhi kami. Tapi kau harus memandang kerajaan. Apakah kau hendak bentrokan dengan penguasa keraton?"

Datuk lblis tertawa gelak-gelak.  "Kau pandai menakututi orang! Tapi itu untuk anak kecil, bukan kakek sepertiku ini. Kau benaran tidak mau menyerahkan gadis itu?!"

“Begini saja. Kami tetap membawa gadis itu sampai di Kotaraja. Setelah tugasku selesai kau boleh mengambilnya disana!"

“Tunggul Aryo... TungguI Aryo! Kau suruh aku menunggu dan mengikutimu sampai di kotaraja? Padahal aku inginkan tubuhnya saat ini. Kau benar-benar memaksa berbuat nekad!"

“Dimas, bagaimana pendapatmu?" bisik Tunggul Aryo pada adiknya.

“Kalau kita mempertahankan, berarti kita akan menghadapinya. Kita bisa celaka. Tapi kalau kita serahkan, kita bakal mengalami kesulitan dari Pangeran Puspo. Serba-salah!"

“Sudah selesaikan perundingan kalian?!" tanya Datuk Iblis dan dia maju dua langkah.

“Baiklah, kau boleh mengambil gadis itu." jawab Tunggul Aryo.  "Tapi bukan berarti kami menyerahkan begitu saja. Apapun yang terjadi kami akan mempertahankannya lebih dulu. Lebih baik mati daripada harus menyalahi tugas!"

“Hebat benar kata-katamu. Tapi hanya orang tolol yang mau bicara begitu! Mengingat kau orang istana maka aku akan berikan kematian yang cepat padamu hingga kau tak perlu menderita!"

Habis berkata begitu Datuk lblis hantamkan tangan kanannya. Sebuah benda hitam melesat ke kepala pemimpin rombongan itu. Tunggul Aryo bergidik dan berseru, "Kelabang Perenggut Jiwa!"  Dia cepat menyingkir. Tunggul Gede dan anggota rombongan lainnya juga segera berlompatan cari perlindungan. Disaat itu pula terdengar suara sesuatu yang bobol. Dinding kereta sebelah kiri tiba-tiba tampak hancur berantakan. Satu sinar merah menyilaukan dan sangat panas menderu antara Datuk Iblis dan Tunggul Aryo!

Ketika terjadi pembicaraan-pembicaraan keras diluar sana, Mahesa dan Kemala serta Ki Tampu segera mengetahui apa yang terjadi. “Datuk Iblis Penghisap Darah!" desis Kemala. "Dia yang menyebabkan kematian ibuku. Aku akan menuntut balas!"

“Lagi-lagi tolol!" tukas Mahesa. "Ingat kejadian di Bukit Akhirat? Kalau tak ada kakek berkuda putih itu kita semua sudah dibantainya. Akupun punya kepentingan terhadapnya. Tapi saat ini kita tak bisa berbuat apa-apa. Yang penting meloloskan diri..."

“Kalau begitu kita harus menyusun rencana...!" Kemala akhirnya menyadari dan menyetujui.

“Betul."  sahut Mahesa.  "Pertama kita akan bobolkan dinding kereta sebelah kanan. Tapi jangan sampai mengeIuarkan suara dan harus berusaha mendapatkan kuda. Lalu melarikan diri. Jangan lari sepanjang jalan. Tapi menyelinap memasuki hutan...!"

“Kau sendiri bagaimana?" tanya Kemala. "Tubuhmu belum kuat. Kau masih menderita kelumpuhan!"

Mahesa tersenyum. Tiba-tiba tubuhnya melejit ke atas. Hampir menyondak atap kereta. Kemala dan Ki Tampu kaget. “Tubuhku sebelah bawah juga sudah sembuh dari kelumpuhan. Berkat daun mujarab itu. Meski mungkin belum sepenuhnya. Tapi untuk bertempur beberapa belas jurus aku masih sanggup. Aku akan coba mengejutkan mereka dengan beberapa pukulan lalu menyusul melarikan diri.”

“Dalam melarikan diri kita harus berpencar. Jangan sama kesatu arah..."

“Lalu dimana kita akan mengadakan pertemuan?" Tanya Kemala.

Saat itu memang belum terpikir oleh Mahesa dimana nanti akan bertemu setelah berhasil melarikan diri. Apalagi waktunya sangat kepepet. Diluar sana terdengar Datuk Iblis sudah siap untuk membantai rombongan pengawal.

“Nanti saja kita pikirkan. Sekarang kalian berdua harus lari” akhirnya Mahesa berkata. Lalu dia kerahkan tenaga dalam dan mulai menekan dinding kereta sebelah kanan. Kemala ikut membantu sementara Ki Tampu hanya berdiri dengan tubuh gemetar. Dinding kereta terdengar berkeretekan, lalu roboh.

“Lekas lari!"  ujar Mahesa.

Kemala menarik tangan Ki Tampu. Keduanya melompat lewat dinding kereta yang menganga. Begitu turun tidak sulit bagi Kemala untuk mendapatkan dua ekor kuda karena saat itu semua anggota rombongan sudah melompat dari kuda masing-masing dan mencari perlindungan karena ngeri akan keganasan serangan Datuk Iblis. Kemala terlebih dulu membantu Ki Tampu naik ke atas kuda. Ketika dia hendak melompat ke punggung kuda yang lain, perajurit yang bertindak sebagai kusir kereta melihatnya dan segera berteriak. Tapi teriakannya tak keluar karena tendangan kaki kiri Kemala membuatnya mental, terpuruk ke dalam semak belukar di tepi jalan.

“Tawanan lolos” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pengawal yang berdiri bersama dua orang kawannya di bagian belakang kereta. Semua orang terkejut.

Saat itu Mahesa segera menendang dinding kereta sebelah kiri. Begitu bobol berantakan dia segera lepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Sinar merah panas berkiblat. Sinar ini menderu antara Tunggul Aryo dan Datuk Iblis. Sekaligus menghantam kelabang maut yang seharusnya menancap di kening Tunggul Aryo. Baik Tunggul Aryo maupun Datuk lblis sama-sama melompat mundur saking kagetnya.

“Pukulan Api Geledek Menggusur Makam!” ujar Datuk Iblis. "Pasti dilepaskan oleh pemuda keparat itu!" Memandang ke arah kereta dia melihat bayangan Mahesa lalu hantamkan satu pukulan tangan kosong yang hebat. Kereta kayu itu hancur berantakan tapi sosok tubuh Mahesa lenyap. Dia telah terlebih dahulu melompat ke arah kanan kereta dan melarikan diri setelah menyambar seekor kuda.

“Kejar!" teriak Tunggul Gede.

Saat Tunggul Aryo yang baru saja lolos dari serangan maut kelabang perenggut jiwa tegak tertegun tak habis pikir. Bagaimana ketiga tawanan itu bisa melarikan diri. Bukankah Mahesa berada dalam keadaan lumpuh sedang Ki Tampu serta dara bernama Kemala itu dalam keadaan tertotok?

Perintah yang diberikan Tunggul Gede tak ada gunanya. Ketiga tawanan itu lenyap dikerapatan pepohonan dilembah sebelah timur. Datuk Iblis yang tadinya bermaksud untuk mengejar batalkan niatnya. Jika pemuda yang berkepandaian tinggi itu mencegatnya ditempat tersembunyi dan membokongnya dengan pukulan sakti tadi, sulit baginya untuk menyelamatkan diri. Kini kemarahannya tertumpah pada Tunggul Aryo dan semua anggota rombongan.

“Tunggul Aryo keparat! Gara-gara kau gadisku itu melarikan diri!"

“Datuk! Enak saja kau bicara!" damprat Tunggul Aryo. Rasa jerinya terhadap kakek sakti ini lenyap. "Justru kau yang membuat mereka sampai melarikan diri! Kau harus bertanggung jawab atas kejadian ini!"

“Baik! Aku akan bertanggung jawab!" sahut Datuk Iblis. "Ini pertanggungan jawabku. Kau terimalah!" Lalu Sang datuk pukulkan tangan kanannya. Tiga kelabang hitam mencelat ke arah Tunggul Aryo. Tokoh istana ini cepat jatuhkan diri dan bergulingan di tanah sambil menghantam dengan tangan kiri. Selarik angin kencang menderu ke arah Datuk Iblis. Sambil ganda tertawa sang datuk mengelak.

Tunggul Aryo berhasil memukul mental seekor kelabang maut dan mengelakkan kelabang kedua. Tapi kelabang ke tiga dengan ganas menancap di dada kirinya. Pemimpin rombongan yang berkepandaian tinggi ini hanya sempat keluarkan satu jeritan tinggi lalu diam tak berkutik lagi!

“Iblis terkutuk!" teriak Tunggul Gede marah melihat kematian kakaknya. Dia memberi isyarat pada semua perajurit yang ada disekitarnya. Belasan perajurit segera menghunus senjata dan menyerbu didahului oleh Tunggul Gede.

Sesaat Datuk Iblis tercekat juga melihat serangan yang begitu banyak. Tapi dilain saat didahului oleh teriakan garang, dia meneguk darah busuk dalam kantong kemudian menyemburkannya kearah para penyerang. Bau busuk menebar. Maut bergentayangan. Delapan penyerang menjerit roboh dengan muka hancur berlumuran darah busuk dan darahnya sendiri!

Tunggul Gede hantamkan tangan kosongnya ke dada kakek muka kuning itu. Tapi begitu melihat si kakek menyembur dia cepat jatuhkan diri. Tanpa perdulikan delapan perajurit yang mati berkaparan di sekitarnya dia kirimkan tendangan ke selangkangan lawan. Datuk Iblis mengelak dengan melompat. Tunggul Gede mengejar. Tangan kirinya melesat kedepan, mengcengkeram ke arah perut.

Bret!

“Eit!" sang datuk berteriak. Dia dapatkan jubahnya sebelah perut robek besar terkena sambaran jari-jari tangan lawan. “Keparat sialan! Makan kelabangku ini!" teriak Datuk Iblis marah. Sekali tangannya bergerak lima kelabang meluncur dahsyat.

Tunggul Gede yang menyadari kalau dia tak bakal lolos dari kematian dengan nekad berjibaku. Dia sengaja menyongsong datangnya lima kelabang maut itu. Disaat yang sama dia juga dorongkan kedua tangannya. Dua rangkum angin yang mengandung tenaga dorong luar biasa menderu ke arah Datuk Iblis. Mula-mula manusia ini menganggap remeh serangan lawan yang dilihatnya sudah meregang nyawa itu.

Tetapi ketika tubuhnya terpukul hampir roboh, sang datuk cepat melompat kesamping. Tak urung dia masih kehilangan keseimbangan tubuh dan jatuh duduk. Cepat-cepat Datuk Iblis bangun kembali. Dadanya terasa nyeri. Dihadapannya Tunggul Gede tegelimpang mati dengan mata mendelik. Dua kelabang hitam menancap dimukanya. Dua lagi di perut dan satu didada.


8. LEPAS DARI MULUT BUAYA DITUNGGU MULUT HARIMAU
SETELAH berhasil meloloskan diri tujuan utama Mahesa kini adalah kembali ke Probolinggo untuk mengambil senjata-senjata mustika yang dititipkan dan disembunyikan oleh Mirani.

Dua hari kemudian, pada suatu malam, ketika dia memasuki Probolinggo dan sampai di tempat kediaman Mirani, di ruang tamu sebelah depan rumah besar itu dilihatnya berhenti sebuah kereta, ditunggui oleh seorang kusir dan dua prajurit. Mahesa mengenali kereta itu adalah bekas kereta Adipati Mangun Aryo. Kemudian di ruangan tamu yang terbuka Mahesa melihat Rangga, kepala pengawal Kadipaten duduk berhadapan dengan ibu Mirani, tengah bercakap-cakap.

Mahesa mengikatkan kudanya ke sebuah pohon di tempat yang gelap di seberang jalan, lalu mengambil jalan berputar. Setelah melompati tembok kanan halaman, dengan hati-hati dia menyelinap memasuki halaman samping dan mendekam dibawah jendela ruang tamu. Mahesa ingin mengetahui apa yang tengah dibicarakan kedua orang itu.

“Rasanya tak akan lama lagi surat keputusan dari kotaraja akan saya terima. Karenanya saya mohon niat baik saya itu dipertimbangkan. Saya menunggu kabar paling lambat malam Jumat dimuka” terdengar suara Rangga berkata.

Lalu suara ibu Mirani menjawab. “Saya tidak tahu apakah hari itu ada kabar. Hal ini akan saya bicarakan dulu dengan Mirani. Dia masih dalam duka cita. Mungkin kurang tepat waktunya diganggu dengan hal-hal menyangkut maksud baikmu itu. Lagi pula kematian Adipati belum sampai dua minggu...”

“Saya mengerti den ayu. Memang, acara perkawinannya sendiri tak akan terburu-buru. Paling cepat setelah saya diresmikan jadi Adipati. Namun demikian saya perlu kepastian sebelumnya.”

“Kalau saya boleh bertanya, mengapa kau tidak meminta Wilani saja menjadi calon istrimu. Dia lebih cantik dari puteriku. Masih gadis, sedang Mirani sudah janda.”

Di bawah jendela Mahesa kini maklum apa yang tengah dibicarakan kedua orang itu. Ternyata Rangga ingin mengambil janda Mangun Aryo yaitu Mirani untuk jadi istrinya. Lalu betulkah bekas kepala pengawal kadipaten itu akan diangkat menjadi Adipati Probolinggo?

“Soal kecantikan itu bagi saya sebenarnya soal kedua den ayu." terdengar jawaban Rangga. "Saya banyak kasihan terhadap puterimu. Mungkin kami bisa hidup lebih bahagia dari pada perkawinannya terdahulu. Dan soal Wilani, hubungan kami dekat sekali dan saya sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Lagi pula saya ingin menolong Mirani. Semua orang di Probolinggo ini menuduhnya mempunyai hubungan tertentu dengan pemuda buronan itu. Sebelum kerajaan mengambil keputusan terhadapnya, jika dia saya ambil jadi istri pasti apapun macam keputusan akan dibatalkan..”
 
Tidak selang berapa lama Rangga meninggalkan rumah besar itu. Sebelum naik ke atas kereta dia bicara dulu dengan empat perajurit yang ditugaskan mengawal di tempat itu.

Mahesa menunggu sampai menjelang tengah malam. Dia tahu setelah Rangga pergi sang ibu menemui Mirani dan keduanya bicara cukup lama di kamar Mirani. Mahesa mendengar suara Mirani mencaci maki. Lalu ibunya keluar kamar. Setelah dirasakannya segala sesuatu berada dalam keadaan aman, Mahesa mulai mengetuk jendela kamar Mirani sambil memanggil nama perempuan itu perlahan-lahan.

Mirani yang terbaring dalam keadaan kesal dan hampir menangis tersentak kaget lalu cepat-cepat turun dari ranjang. Dia melangkah mendekati jendela, memasang telinga. Dengan hampir tak percaya dia bertanya, “Mahesa ? Kau..?"

“Betul Aku Mahesa. Lekas buka jendela...!"

Jendela terbuka. Mahesa melompat masuk dan cepat menutup jendela kembali. Dia disambut dengan pelukan oleh Mirani serta isakan tangis.

“Tak kusangka kau akan kembali Mahesa. Tadinya harapanku sudah putus sama sekali..."

Mirani membenamkan kepalanya dalam-dalam ke dada pemuda itu. Mahesa menciumi kepala Mirani lalu bertanya, “Dimana kau simpan senjata-senjata tempo hari..?"

Janda muda yang masih gadis itu menunjuk ke langit-langit kamar. “Salah satu papan loteng itu tidak dipaku. Kalau digeser akan terdapat celah. Tepat pada celah sebelah kanan benda-benda itu kuletakkan."

“Bagus! Kau cukup cerdik. Aku akan segera mengambilnya,” kata Mahesa.

“Tunggu. Ada satu hal yang perlu saya ceritakan padamu.” berkata Mirani.

“Hal apa?"

“Malam tadi Rangga kepala pengawal kadipaten datang kesini. Dia menemui ibu. Katanya dia bakal diangkat jadi Adipati Probolinggo. Dan dia ingin mengambilku jadi istrinya."

“Itu aku sudah tahu. Pembicaraan antara ibumu dengan Rangga kudengar sendiri tadi. Semuanya terserah kau. Kalau kau suka kau bisa menerimanya. Bukankah dia jauh lebih muda dari Mangun Aryo. Mungkin juga jauh lebih baik..."

“Saya tidak senang mendengarkan kata-kata itu Mahesa. Siapa sudi kawin dengan lelaki itu. Saya masih belum memikirkan soal kawin."

“Kalau begitu kau bisa menolak permintaannya."

Tapi menurut ibu, permintaannya bernada setengah mengancam. Kalau ditolak mungkin dia akan memperkarakan kami dengan tuduhan membantumu."

“Kalau dia sampai mencelakaimu, aku tak akan tinggal diam."  kata Mahesa. "Sekarang aku akan mengambil barang-barang itu.."

Mahesa naik ke sanding jendela. Dari sini dia menggenjot tubuhnya dan melayang ke atas. Satu tangan berpegang pada balok kayu yang melintang di sudut kiri, satu tangan diulurkan untuk membuka papan yang tidak dipaku. Namun sebelum tangan Mahesa sempat menyentuh papan langit-langit kamar itu tiba-tiba pemuda ini menjerit keras dan tubuhnya terbanting ke bawah. Mirani dalam kagetnya mendongak ke atas. Gadis inipun menjerit ketakutan lalu roboh pingsan! Apakah yang terjadi?

Sewaktu Mahesa bergelantungan tiba-tiba entah darimana datangnya muncullah sesosok mahluk menyeramkan. Makhluk ini bertubuh besar dengan tinggi hampir menyentuh langit-langit kamar. Kepalanya tertutup rambut riap-riapan. Bermuka bengis dan gigi-gigi besar dan paling runcing. Dibawah hidungnya yang besar meranggas kumis liar, lalu dibawah dagu janggut dan berewok kasar. Sepasang matanya sebesar buah mangga, berputar-putar liar dan merah.

Makhluk tinggi besar berwajah setan ini memiliki tubuh aneh. Sosok tubuhnya dari atas kebawah yang penuh ditumbuhi bulu, selalu bergoyang-goyang seperti terbuat dari asap. Sekali dia menggerakkan tangannya maka tubuh Mahesa terpukul kebawah. Mahluk ini kemudian membungkuk mencekal leher Mahesa. Pemuda ini berusaha merontak lepaskan diri. Tapi sekujur tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan. Mahluk itu kemudian mengempit Mahesa diketiak kiri. Sekali menerjang, jendela dan sebagian dinding kamar roboh. Dilain saat tubuhnyapun lenyap.

Suara jeritan Mirani mengejutkan penghuni rumah besar itu. Ibunya segera lari mendatangi. Empat perajurit pengawal segera pula berada dalam rumah. Mereka mendobrak pintu kamar dan dapatkan Mirani terbaring pingsan di lantai kamar. Begitu siuman semua orang segera menanyai apa yang terjadi.

“Hantu... hantu raksasa.” kata Mirani. Lidahnya hampir kelu. Seseorang memberinya minum air putih. Setelah minum Mirani meneruskan keterangannya.  Hantu itu tahu-tahu ada dalam kamar ini. Besar setinggi loteng dan menyeramkan. Dia membungkuk seperti hendak menerkam saya. Lalu saya tak ingat apa-apa lagi..."

Sang ibu membawa anaknya ke dalam kamarnya sementara empat pengawal yang masih ada dalam kamar janda muda itu berdiri saling pandang. Salah seorang dari mereka berkata, "Aku belum pernah melihat hantu. Sebetulnya tak percaya aku pada yang begituan. Tapi melihat jendela dan dinding yang bobol itu, mustahil ada maling atau manusia yang bisa melakukannya tanpa mengeluarkan suara sama sekali!"

Rasa takut yang mulai merayapi keempatnya membuat perajurit-perajurit ini segera keluar dari dalam kamar. Dua diantara mereka kemudian berangkat ke kadipaten untuk melaporkan kejadian itu pada Rangga.


9. LONGGA JATUH KE TANGAN DUKUN IBLIS 
SEUMUR HIDUPNYA baru kali itu Mahesa merasakan ketakutan yang amat sangat. Dia tidak tahu mahluk apa entah manusia entah setan yang melarikannya saat itu. Didalam kepitannya dia sama sekali tak bisa menggerakkan kedua tangan atau pun kakinya. Lidahnyapun terasa kelu. Nafasnya sesak. Mahluk itu melarikannya laksana terbang.

“Mau... mau dibawa kemana aku ini...?!" tanya Mahesa.

“Ha..hu..ha..hu!" Hanya itu suara yang terdengar keluar dari mulut aneh menyeramkan itu. Hembusan nafasnya laksana bara. Dan hawa yang keluar dari mulutnya busuk sekali membuat Mahesa mau muntah. Makin lama nafasnya makin sesak. Akhirnya pemuda ini tak dapat mengusai dirinya lagi dan pingsan.

Ternyata mahluk aneh bertubuh tinggi besar tapi seperti terbuat dari asap itu melarikannya ke puncak gunung Bromo. Demikian cepatnya mahluk ini berlari hingga perjalanan yang jika ditempuh dengan berkuda akan makan waktu paling cepat dua hari dua malam, saat itu hanya dilakukan kurang dari setengah malam. Menjelang matahari terbit dia sudah sampai di puncak Bromo, langsung masuk ke dalam bangunan batu bata merah.

Di dalam bangunan batu bata merah itu, di tengah ruangan pada lantai yang beralaskan kulit binatang, duduklah manusia berusia 90 tahun bermuka iblis yang dikenal dengan panggilan Embah Bromo Tunggal. Dia menatap mahluk yang masuk mengempit tubuh Mahesa sambil usap-usap kalung tengkorak kecil. Mulutnya menyeringai. Kelihatannya dia memang sudah menunggu sejak tadi.

“Bagus Longga. Kau berhasil membawa pemuda itu. Letakkan dia didepanku...!"

Makhluk tinggi besar yang seolah terbuat dari asap itu menjura lebih dahulu, lalu letakkan tubuh Mahesa di lantai di hadapannya. Embah Bromo Tunggal manggut-manggut.

"Jadi ini dia pemuda bernama Mahesa, putera Randu Ampel itu. Ah, kulihat potongan tubuh dan susunan tulangnya bagus sekali. Jarang ada anak manusia yang sesempurna ini. Dia memiliki kemampuan menyerap ilmu apa saja secara luar biasa. Tidak bisa tidak dia bakal menjadi tokoh terbesar dimasa mendatang. Sayang... sayang kalau dia harus kugodok untuk dijadikan ramuan obat..”

Embah Bromo Tunggal ambil tongkat tulang yang digantungi aneka warna potongan kain dari pangkuannya. Dia ketok-ketokkan tongkat itu mulai dari kaki sampai ke kepala Mahesa. Luar biasa..!" katanya.  “Anak muda, sayang kowe harus mati ditempat ini. Kalau saja aku tidak ada perjanjian dengan orang lain, tak nanti aku mau membunuh kowe... Sayang..”

Si kakek lalu memandang pada mahluk peliharaannya. "Longga, menurutmu bagaimana baiknya. Kita cincang dulu baru digodok dalam belanga besar itu atau dimasukkan bulat-bulat?"

Mahluk tinggi besar yang jarang bicara itu, karena ditanya lalu menjawab. Suaranya aneh. Rendah parau dan datar. “Jangan dicincang embah. Darahnya akan banyak terbuang. Langsung saja cemplungkan ke dalam belanga itu. Pasti daging dan tulangnya akan lebih legit...”

Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh. “Kau betul. Aku setuju dengan usulmu!" lalu Embah Bromo Tunggal berdiri dan melangkah ke sebuah belanga luar biasa besarnya yang terletak di sudut ruangan. Di bawah belanga potongan-potongan kayu besar masih tampak menyala. Didalam belanga kelihatan cairan merah pekat yang mengumbar bau busuk tampak mendidih.

Embah Bromo ambil sebuah gayung bertangkai panjang yang tergantung didinding. Dengan gayung ini dia aduk-aduk cairan dalam belanga. Lalu dia meletakkan carian ini beberapa tetes diatas telapak tangannya. Dengan lidahnya dia kemudian mengecap cairan yang ada di telapak tangan.

“Hemm... segala bumbu dan ramuan sudah tepat dan lezat. Longga, belanga ini sudah siap menerima tubuh pemuda itu. Kowe bukalah pakaiannya lalu cemplongkan kesini!"

“Longga si makhluk hantu membungkuk. Pakaian yang melekat ditubuh si pemuda bukan dibukanya seperti biasa tapi dirobeknya hingga sesaat kemudian tubuh Mahesa tidak mengenakan apa-apa lagi. Ketika mahluk itu hendak mengangkat tubuh Mahesa tiba-tiba dipintu bangunan muncullah seseorang yang memanggul sebuah kantong kain. Nafasnya mengengah-engah keletihan. Wajahnya serta merta menjadi pucat ketika melihat mahluk tinggi besar bermuka setan dan si kakek bermuka hantu.

“Monyet dari mana yang kesasar ke tempatku ini?!" bentak Embah Bromo Tunggal.

“Aku aku utusan dari kadipaten..!"

“Kadipaten mana?!" sentak si kakek.

“Probolinggo. Apakah... apakah ini kediamannya Embah Bromo Tunggal...?"

Embah Bromo Tunggal melangkah tebungkuk-bungkuk dan tegak dihadapan tamu itu. “Aku Embah Bromo Tunggal. Siapa yang mengutus kowe dan ada keperluan apa?!"

“Aku aku diutus oleh Rangga, kepala pengawal kadipaten...!"

“Kenapa dia yang mengutus, bukan Mangun Aryo?"

“Adipati adipati itu sudah meninggal..."

“Meninggal? Jangan kowe berani main-main padaku!" Embah Bromo Tunggal tusukkan tongkat tulangnya ke perut orang itu hingga dia jatuh terjerongkang. Lalu sang embah injak dadanya.  "Lekas cerita yang betul!"

“Aku aku tidak berdusta. Adipati Mangun Aryo mati dibunuh orang hampir tiga minggu lalu. Itu sebabnya kepala pengawal yang kini sementara menjadi pejabat di Probolinggo menyuruh aku datang kemari. Selain memberi tahu kematian Adipati juga untuk menyampaikan satu permintaan..."

“Mangun Aryo meninggal dunia... Ah! Putus rezekiku!” kata sang embah pula. "Hei, tadi kowe bilang adipati itu mati dibunuh orang. Siapa pembunuhnya?!"

“Seorang bernama Randu Ampel embah..”

“Randu Ampel?!" kembali sang embah melengak kaget. “Bukankah manusia satu itu sudah gila dan mampus kena guna-gunaku delapan belas tahun yang silam..? Aneh  Benar-benar aneh!" Bromo Tunggal geleng-gelengkan kepala. “Sekarang katakan apa permintaan manusia bernama Rangga itu...?!"

“Beliau minta, mengingat Adipati Mangun Aryo telah meninggal, maka kiranya embah sudi membatalkan niat untuk menjadikan janda almarhum sebagai tumbal...!"

“Ini lebih aneh lagi! Bagaimana dia tahu ada perjanjian mengenai tumbal itu?!" Embah Bromo Tunggal mendelik.

Utusan Rangga jadi tambah ketakutan. Dadanya yang diinjak terasa sakit bukan main. “Aku... aku tidak tahu embah!"

Embah Bromo Tunggal memandang ke arah kejauhan. “Bisa diatur  bisa diatur!" katanya sesaat kemudian. "Tumbal itu. bisa dibatalkan, tapi dengan satu syarat. Janda Mangun Aryo itu. Heh siapa namanya?!"

“Sri Muria embah...!"

“Sri Muria harus tidur bersamaku selama satu malam. Malam Jumat Kliwon. Kalau dia menolak maka nyawanya tetap kuambil. Sampaikan itu pada Rangga!"

“Baik embah...!" Orang itu lalu mengacungkan kantong kain yang sejak tadi dibawanya.

“Apa itu?!" tanya sang embah.

“Pakaian bagus dan uang. Untuk embah. Dari Rangga!"

Embah Bromo Tunggal sambar kantong itu dengan ujung tongkatnya. Setelah memeriksa isinya diapun tertawa. Kakinya yang dari tadi menginjak dada utusan sekarang di angkat. Dia lalu berkata, “Kowe boleh pergi sekarang. Jangan lupa mengatakan pada Rangga. Malam Jumat Kliwon minggu dimuka aku akan mengunjungi Sri Muria. Dia harus sudah siap menerimaku...!"

“Akan saya katakan embah. Akan saya katakan..” jawab utusan itu. Lalu dia memutar tubuh dan setengah berlari meninggalkan puncak gunung Bromo.

Setelah orang itu pergi Embah Bromo Tunggal lemparkan kantong kain ke atas kulit binatang dilantai. Lalu dia mendekati tubuh Mahesa yang terbujur telanjang masih dalam keadaan pingsan.

“Longga, angkat tubuh ini, masukkan dalam belanga!”

Mahluk seram besar itu menggereng. Namun Sebelum dia menyentuh tubuh Mahesa diluar sana terdengar satu bentakan, “Tua bangka Roko Nuwu! Aku menagih banyak hutang padamu!”

Suara itu demikian nyaringnya hingga membuat telinga Embah Bromo Tunggal mengngiang sedang mahluk peliharaannya yaitu Longga tampak meliuk-liuk tubuhnya. Si kakek menjadi pucat wajahnya. Di usianya yang mencapai 90 tahun itu dia ingat betul, hanya ada satu orang yang tahu nama aslinya. Roko Nuwu. Dan orang itu adalah manusia yang paling ditakutinya karena perbuatannya dimasa lampau.

“Ah, bagaimana dia bisa lolos dari bawah arca itu! Tak dapat dipercaya! Jangan-jangan setannya yang gentayangan kesini!" membatin Embah Bromo Tunggal. Dia berpikir apakah akan lari saja saat itu atau mengadakan perlawanan dengan segala akibatnya.

"Longga ada disini. Aku tak perlu terlalu kawatir!” kata sang embah coba menenangkan diri. Sesaat kemudian orang yang tadi berseru nyaring, sudah berkelebat di depan pintu dan tegak disitu sambil berkacak pinggang!


10. SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI BUKU SILAT TUJUH ORANG KATAI
ORANG yang tegak di ambang pintu itu berambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi tapi kerempeng, mukanya hanya tinggal kulit pembalut tulang hingga hampir menyerupai tengkorak. Pakaiannya rombeng dan dekil. Di sela bibirnya terselip sebatang rokok kawung yang asapnya meliuk-liuk ditiup angin gunung.

Sepasang matanya yang cekung tapi tajam menatap ke arah makhluk tinnggi besar yang tegak didalam bangunan itu, lalu dia melirik pada Bromo Tunggal. Ketika dia memandang ke lantai jelas wajahnya menunjukkan rasa terkejut walau cuma sebentar.

“Pemuda itu! Kenapa dia ada disini dan tanpa pakaian?”

Embah Bromo Tunggal melihat perubahan wajah sang tamu lantas bertanya, “Kowe kenal pada pemuda ini Suko lnggil?"

“Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Kedatanganku kemari untuk menagih hutang berikut bunganya. Yakni nyawa dan darahmu...!"

Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh seraya ketuk-ketukkan tongkat tulangnya ke lantai. Serta merta ketukan itu membuat bangunan batu mata merah menjadi bergetar.

“Tak usah pamer kehebatanmu padaku. Sampai dimana isi perutmu aku sudah tahu!" kata si kakek muka tengkorak yang bernama Suko lnggil. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Pendekar Muka Tengkorak. Dialah yang dulu pernah menolong Mahesa sewaktu hampir dibunuh oleh Loh Jingga. Sebaliknya Mahesa pula yang menolongnya ketika kakek sakti ini dipendam orang dibawah arca gajah. Sebagai rasa terima kasih kakek itu kemudian memberikan sepertiga dari tenaga dalamnya pada Mahesa.

“Suko lnggil, sebetulnya aku tak punya waktu banyak menyambut kedatanganmu. Tapi sebagai sahabat lama dan sebagai orang yang tahu peradatan bagaimana caranya menerima tamu, aku akan suguhkan minuman untukmu. Kau jauh-jauh datang kemari tentu haus...!"

Embah Bromo Tunggal mengambil sebuah kaleng rombeng lalu menciduk cairan merah yang mendidih dalam belanga, memasukkannya dalam kaleng itu. Tanpa merasa kepanasan kaleng yang berisi cairan itu dibawanya lalu diangsurkannya pada Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil. “Silahkan diminum, sobatku...!

Si muka tengkorak tampak tersenyum dan sambuti kaleng rombeng yang diangsurkan. “Terima kasih! Kau memang tuan rumah yang tahu peradatan!"

Sesaat kemudian tampak si muka tengkorak ini mengangkat-angkat dan membalik-balikkan kaleng itu beberapa kali lalu berpaling pada Embah Bromo dan berkata, “Ah, kau tentunya main-main Roko Nuwu. Kaleng kosong, tak ada minuman apapun di dalamnya.”

Sang embah kerenyitkan kening.

“Eh, kau tak percaya? Lihatlah sendiri..” Suko lnggil lepaskan kaleng yang dipegangnya. Kaleng itu bukannya jatuh, tapi perlahan-lahan, seperti tergantung di udara, bergerak ke arah embah Bromo. Begitu kaleng sampai dihadapannya sang embah segera menangkap dan melihat ke dalam kaleng. Parasnya berubah heran. Tentu saja dia tidak mengerti bagaimana kaleng rombeng yang tadi jelas-jelas diisinya dengan cairan merah busuk itu kini tahu-tahu berada dalam keadaan kosong.

“Ilmu apakah yang dimiliki keparat ini?" membatin Roko Nuwu alias embah Bromo Tunggal.

Sebenarnya kaleng itu tidak kosong. Tenaga dalam yang dialirkan si muka tengkorak ke kaleng membuat isinya seperti lengket dan tidak tumpah. Roko Nuwu tidak melihat isi yang ada semata-mata hanya karena pengaruh kata-kata Suko Inggil yang disertai satu kekuatan aneh tingkat tinggi dan bukan merupakan ilmu hitam serta jarang dimiliki oleh orang lain pada masa itu.

Suko lnggil usap-usap kedua telapak tangannya. “Sobatku Roko Nuwu, mengingat kedatanganku kemari hanya mengenai soal hutang piutang maka tak perlulah kau memakai segala peradatan!"

Embah Bromo Tunggal batuk-batuk. "Aku tidak merasa punya hutang apa-apa padamu.  Si muka tengkorak." decakkan mulutnya beberapa kali.

“Tidak kusalahkan kau berkata begitu. Usia dunia semakin tua. Kaupun tambah tua, jadi tambah pikun hingga lupa apa-apa yang terjadi dimasa lalu. Tapi aku sobatmu ini masih mau memberi penjelasan. Kau dengar baik-baik Roko Nuwu. Hutangmu yang pertama. Kau harus menyerahkan padaku kitab silat yang dulu kita temui bersama. Jangan terlalu serakah untuk memilikinya sendiri. Paling tidak kau harus merobeknya, membagi dua denganku...!"

“Ha ha ha! Kau rupanya masih ingat buku butut itu. Memang halaman depannya ada judul hebat. Ilmu Silat Tujuh Orang Katai. Tapi setelah kuperiksa isinya, ternyata hanya ada tulisan cakar bebek. Mungkin sekali ada anak-anak yang iseng membuatnya...!"

“Hemmm begitu?" ujar Suko Inggil. "Mana buku itu sekarang?"

“Sudah kubuang!"

Pendekar Muka Tengkorak tertawa gelak-gelak. Aku bukan anak-anak yang mudah kau kadali Roko Nuwu. Juga aku bukan orang buta yang bisa kau tipu. Sebelum buku itu kau larikan, akupun sempat melihat isinya. Dan isi buku itu beda dengan penjelasan yang kau katakan saat ini!"

“Kalau kau tak percaya aku mau bilang apa?!” tukas embah Bromo Tunggal.

“Aku memang tak pernah percaya padamu lagi Roko Nuwu. Jika kau tak dapat mengembalikan buku itu, kau masih bisa menggantinya...!"

“Mengganti dengan apa?!" tanya sang embah.

“Sebuah matamu yang sebelah kanan, sepotong tanganmu yang sebelah kanan, lalu sepotong kakimu juga sebelah kanan!"

“Gila!” teriak Bromo Tunggal begitu mendengar kata-kata Suko lnggil itu.

Yang dimaki ganda tertawa dan melanjutkan ucapannya. “Hutangmu yang kedua Roko Nuwu. Setelah kau melarikan buku silat itu, kau kemudian menipuku dan memendamku dibawah arca gajah pada reruntuhan candi. Hampir aku mati kalau tak ada yang menolong. Untuk hutangmu ini aku tak minta banyak sebagai pelunasannya. Hanya sebelah jantungmu, sebelah paru-parumu dan sebelah hatimu!"

“Benar-benar keblinger!” teriak embah Bromo. Rahangnya menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak.  “Dengar Suko Inggil, sekalipun kau punya sepuluh kepala sepuluh tangan, sekalipun kau memiliki sejagat ilmu, jangan kira aku takut padamu. Tapi memandang persahabatan kita dimasa lalu, aku bersedia menyelesaikan urusan ini. Aku akan berikan padamu buku Ilmu silat tujuh orang katai itu. Setelah itu kau harus angkat kaki dari sini. Jika kau berani menggangguku lagi, maka tubuhmu yang sudah reot itu akan kugodok dalam ramuan obat! Kau dengar Suko?!”

“Aku dengar tapi apakah aku setuju itu lain lagi!”

“Sudah, Ini buku yang kowe cari itu. Silahkan ambil dan pergi!”

Dari sebuah celah di dinding embah Bromo Tunggal keluarkan gulungan kertas yang terdiri dari delapan lembar. Lembar pertama merupakan judul sedang tujuh lembar lainnya merupakan pelajaran ilmu silat aneh dan langka lengkap dengan gambar-gambar.
Suko Inggil tangkap gulungan kertas yang dilemparkan, memeriksanya sebentar lalu membantingkannya ke lantai.

“Palsu!" teriaknya marah dan memandang melotot pada Bromo Tunggal.

Sang embah tampak seperti keheranan lalu berkata, “Suko, tadi kowe minta buku silat itu. Setelah kuberikan kini kau tuduh palsu. Aku jadi tidak mengerti apa mau kowe sebenarnya!”

"Memang berurusan dengan manusia licik sepertimu sulit. Lebih baik mempergunakan tangan dan kaki!" Suko Inggil alias Pendekar Muka Tengkorak tampaknya sudah tak dapat menahan marah lagi. Dia melompat ke hadapan Embah Bromo Tunggal seraya lepaskan satu pukulan tangan kiri.

Yang diserang cepat berkelit sambil menggebuk dengan tongkat tulangnya. Hebat sekali sambaran tongkat ini. Selain mengeluarkan deru keras juga mengandung hawa aneh. Potongan-potongan kain yang bergantungan sepanjang tongkat berubah kaku seperti potongan besi. Suko Inggil sudah maklum kehebatan tongkat itu. Dia tak mau menangkis tapi semburkan asap rokok kawung yang ada di mulutnya. Embah Bromo Tunggal terkejut ketika merasakan semburan asap membuat tongkatnya tertahan lalu membalik menghantam ke arah kepalanya sendiri!

“Gila Kepandaian si muka tengkorak ini ternyata jauh lebih maju. Tenaga dalamnya juga lebih ampuh. Bisa berabe kalau aku terus melayani. Menyesal aku tidak buru-buru mempelajari ilmu silat tujuh orang katai itu!" Begitu Roko Nuwu alias embah Bromo Tunggal berkata dalam hati.

Beberapa tahun yang silam tingkat ilmu silat kedua orang kakek itu hampir tidak berbeda. Hanya Suko lnggil memang lebih menang tenaga dalam. Sebenarnya Embah Bromo Tunggal bisa jauh lebih lihay dari si muka tengkorak kalau dia lebih rajin berlatih. Namun sang embah lebih banyak menekuni ilmu hitam, ilmu segaia macam racun dan ilmu guna-guna hingga ilmu silat dan tenaga dalamnya tertinggal.

Menyadari kenyataan ini dan memang sejak mula dia sudah merasa jeri dukun sakti itu lalu berteriak pada mahluk peliharaannya yang sejak tadi termangu-mangu meliuk-liuk. “Longgal Bunuh orang itu!"

Mahluk bertubuh raksasa bermuka seram itu menggereng. Tangan kanannya tiba-tiba melejit ke depan dan tahu-tahu jari-jarinya yang sebesar-besar pisang dan berkuku hitam panjang sudah mencengkeram pinggang kakek muka tengkorak. Kakek ini merasa seperti pinggangnya di jepit gunting besar.

Dia pukulkan tangan kanannya menghantam tangan kiri mahluk. Tapi aneh, meski jelas dia dapat memukul, yang terpukul hanya udara kosong. Tangan mahluk itu meliuk-liuk buyar seperti asap, lalu bertaut kembali. Begitu bertaut, cengkeramannya pada pinggang Suko lnggil semakin keras. Kakek ini keluarkan keringat dingin.

Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh. “Suko lnggil, silahkan terus main-main dengan Longga. Aku tak punya waktu untuk menyaksikan kematian kowe!  Lalu dukun sakti itu melompat ke pintu.

Dalam keadaan dicengkeram begitu rupa kakek muka tengkorak masih bisa membentak, "Kau mau kabur kemana manusia busuk?!" Lalu dia hantamkan tangan kanannya. Angin deras menggebubu.

Braak!

Bagian kanan pintu bangunan hancur. Atap diatasnya runtuh. Tapi embah Bromo Tunggal sudah berkelebat pergi. Jengkel marah dan kesakitan kini Suko Inggil tumpahkan amarahnya pada Longga. Dia lepaskan satu pukuIan sakti ke kepala mahluk itu. Terdengar si mahluk menjerit. Kepalanya buyar tapi segera pula bertaut kembali. Sepasang matanya yang luar biasa besar dan merah berputar-putar ganas. Gigi-gigi dan taring-taringnya mencuat.

Dia menggereng marah lalu ulurkan tangan kiri memukul ke kepala Suko lnggil. Kakek ini tundukkan kepalanya. Tak Urung pelipisnya masih kena terserempet hingga kulit kepalanya yang tipis mengelupas dan mengucurkan darah. Si kakek mengeluh kesakitan. Ketika mulutnya terbuka rokok kawung yang dihisapnya lepas. Bagian yang berapi jatuh tepat dipergelangan tangan berbulu, mahluk iblis yang mencengkeram pinggangnya. Serta merta Longga lepaskan cengkeramannya dan menggereng kesakitan.

Apa yang terjadi ini tak lepas dari pengamatan kakek muka tengkorak. Kini dia tahu apa kelemahan mahluk raksasa ini. Begitu cengkeraman pada pinggangnya lepas, secepat kilat dia jatuhkan diri dan berguling ke arah belanga besar dibawah mana terdapat potongan-potongan kayu yang masih dikobari api.

Si kakek ambil dua batang kayu berapi sekaligus lalu melompat kehadapan makhluk raksasa itu. Longga tampak ketakutan dan mundur sambil tutupi matanya dengan tangan kiri. Suko lnggil tusukkan kayu berapi ke perut longga. Mahluk ini meraung dahsyat hingga bangunan itu bergetar. Bagian atap dekat pintu masuk ambruk. Bau sangit menebar.

Si kakek tak menunggu lebih lama. Selagi lawan kesakitan dan kelabakan dia melompat dan tusukkan kayu berapi di tangan kirinya ke muka Longga. Kembali mahluk ini meraung. Suko Inggil terus hujani tubuh dan mukanya dengan tusukan-tusukan kayu berapi. Bau sangit semakin menjadi-jadi. Secara aneh tubuh yang tadinya besar itu sedikit demi sedikit menciut, makin kecil, makin kecil lalu lenyap sama sekali. Ketika Suko lnggil memandang ke lantai, disitu dilihatnya sebuah boneka bermuka seram, terbuat dari kain, terkapar dalam keadaan terbakar!

“Gila!" rutuk si kakek. Nafasnya mengengah-engah. Seumur hidup baru kali ini dia berkelahi setengah mati seperti itu. Kalau saja dia tidak sempat melihat dan mengetahui kelemahan makhluk peliharaan Roko Nuwu itu pasti ajalnya sudah melayang sejak tadi-tadi. Perlahan–lahan dia melangkah mendekati sosok tubuh Mahesa yang masih terkapar pingsan tanpa pakaian di lantai.

Baru saja dia hendak memeriksa keadaan pemuda itu, lapat-lapat dia mendengar suara tiupan seruling. Kakek ini mendongak tercekat. Tiupan seruling itu bukan tiupan biasa. Jelas di peniupnya berada jauh, mungkin di lereng gunung. Namun suara sulingnya sempat mencucuk menggetarkan gendang-gendang telinga.

"Orang sakti dari mana lagi yang gentayangan di gunung ini!" pikir Suko lnggil. "Kawan ataukah lawan?" Kakek ini memutuskan untuk menunggu. Meskipun dia masih berada dalam bangunan batu bata merah tapi dari tempatnya berdiri dia bisa melihat hampir keseluruhan puncak gunung. Tak akan mungkin seseorang bisa membokongnya tanpa diketahui.

11. SEORANG TOKOH SILAT BARU KELAS TINGGI MUNCUL
SEDIKIT demi sedikit kelihatan sosok tubuh orang yang meniup seruling itu di tanah gunung yang menurun. Mula-mula tampak topinya yang berwama hitam bergaris kuning, tinggi dan sudah kotor butut. Lalu wajahnya yang cekung dengan kumis serta janggut tak terpelihara. Dia tidak mengenakan baju.

Dilehernya tergantung sebuah kalung perunggu bersepuh emas, bergambar burung bermahkota dengan kedua sayap terkembang. Disebelah bawah dia mengenakan celana hitam sebatas betis, dengan jalur-jalur kuning terbuat dari benang emas. Suko lnggil alias Pendekar Muka Tengkorak kerenyitkan kening ketika memperhatikan wajah orang ini. Dia Derjalan sambil meniup seruling dan dari kedua matanya mengalir turun air mata.

“Manusia aneh. Siapakah dia?" pikir Suko lnggil.

Dia memperhatikan dan menunggu dengan waspada. Sikap pendatang ini sukar diduga apakah dia seorang kawan atau musuh. Dan biasanya tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi seperti juga dia sendiri sering bersikap dan berpakaian aneh. Lima langkah dari hadapan bangunan batu bata merah yang bagian depannya runtuh itu orang tadi hentikan jalannya. Perlahan-lahan dia menurunkan tangan yang memegang suling. Tiba-tiba orang ini perdengarkan satu nyanyian.

Perjalanan ke puncak Bromo memang jauh
Pendakian ke puncak gunung memang tinggi
Tetapi tidak sejauh dan setinggi masa delapan belas tahun
Tidak sejauh dendam kesumat sakit hati
Hari ini hari pembalasan
Tangan yang berdarah harus bertanggung jawab
Kegilaan harus dibayar dengan kegilaan
Kematian harus dibayar dengan kematian

Suara nyanyian itu berakhir. Lelaki memegang seruling menatap tajam pada Suko lnggil. Kakek ini dapat merasakan keangkeran pada pandangan orang itu. Dibalik keangkeran itu dia juga melihat satu bayangan jiwa yang tidak seimbang, hampir merupakan keputus-asaan.

“Apakah kau manusianya yang bernama Embah Bromo Tunggal?!” orang itu tiba-tiba ajukan pertanyaan. Kakek muka tengkorak mengerenyit.

“Hai! Orang bertanya mengapa tidak menjawab? Apakah takut pada kematian?!”

Suko lnggil batuk-batuk beberapa kali. "Selama namanya manusia tentu takut pada kematian. Kalau kau mau tahu, aku bukan Embah Bromo Tunggal!"

“Kau berdusta!” membentak orang itu.  Di puncak gunung Bromo ini hanya ada satu bangunan. Di bangunan ini hanya ada satu penghuni. Si penghuni adalah dukun keparat yang dipanggil dengan sebutan Embah Bromo Tunggal. Dan kau berada dalam bangunan itu. Apakah kau masih hendak berdusta?!"

“Jangan salah sangka sahabat. Kalau aku boleh bertanya siapakah sanak ini kiranya..?"

“Kau pandai sekali bersandiwara. Tapi aku pasti kau tidak lupa! Delapan belas tahun yang lalu seorang bernama Mangun Aryo dari Probolinggo membayar dan mengupahmu untuk mengguna-guna seorang lelaki bernama Randu Ampel. Orang itu gila. Jabatan adipati yang hendak didapatnya jatuh ke tangan Mangun Aryo. Istrinya mati secara mengerikan.. “

“Ah, ceritamu hebat dan juga mengerikan sanak. Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak tahu menahu kisahmu itu. Tak ada sangkut paut sama sekali...”

“Pendusta besar! Terkutuk!”

“Aku bukan Embah Bromo Tunggal. Namaku Suko Inggil. Aku datang kemari justru habis menempur dukun keparat itu. Tapi dia berhasil lolos melarikan diri...”

“Aku tidak percaya. Bagaimana kau bisa membuktikan kalau kau bukannya Embah Bromo tunggal...?”

“Tentu saja sulit bagiku untuk membuktikan. Aku yakin kau tak pernah bertemu muka atau mengenal tampang dukun terkutuk itu. Siapa kau sebenarnya?!”

“Akulah Randu Ampel. Lelaki malang itu. Aku datang untuk minta darah dan nyawamu Bromo Tunggal...!”

“Aku bukan Bromo Tunggal!” teriak Suko Inggil.

“Percuma saja kau berteriak. Sampai lidahmu mencelet sekalipun aku tak akan percaya!”

“Tunggu!” seru Suko Inggil. “Didalam sana ada seorang pemuda yang tahu pasti kalau aku bukan Bromo Tunggal. Tapi pemuda itu dalam keadaan pingsan. Kalau kau mau menunggu sampai dia siuman...”

“Malaikat maut mana ada yang menunggu! Bersiaplah untuk menerima kematianmu!”

Lelaki yang memegang seruling yang ternyata adalah Randu Ampel sisipkan serulingnya di pinggang lalu dia melangkah mendekati Suko lnggil dengan kedua tangan terkembang ke samping. Tiba-tiba kedua tangan yang terkembang ini bergerak cepat seperti melesat ke arah batang leher Suko lnggil.

“Astaga!”

Kalau saja si kakek muka tengkorak tidak waspada penuh, pasti batang lehernya kena ditangkap. Suko Inggil bukan manusia sembarangan dalam dunia persilatan. Tapi baru hari itu dia melihat gerakan orang yang demikian cepatnya. Padahal jelas tadi dilihatnya lawan masih berada cukup jauh. Bagaimana tanpa melompat tiba-tiba saja kedua tangannya dapat melesat demikian rupa seolah-olah menjadi lebih panjang?!

“Tak pernah kudengar seorang tokoh lihay bernama Randu Ampel!" membatin Suko lnggil.  "Siapa manusia aneh ini sebenarnya?!"

Sebelum lawan membuat gerakan membuka serangan baru kakek muka tengkorak lepaskan tinju kiri kanan dengan kerahkan lebih dari setengah tenaga dalamnya.

Buk! Buk!

Tubuh Randu Ampel terpental empat langkah dan jatuh punggung ditanah! Pendekar Muka Tengkorak melengak kaget ketika melihat orang yang dipukul itu tiba-tiba bangkit kembali. Meski dua bagian dadanya kelihatan merah tapi pukulan keras tadi seperti tidak membawa bekas apa-apa pada tubuhnya sebelah dalam. Suko lnggil ingat benar, selama ini hampir tak ada lawan yang sanggup menerima pukulan itu tanpa menderita luka parah pada bagian tubuh sebelah dalam.

“Ah, seorang tokoh silat baru tingkat tinggi telah muncul!" kata si kakek dalam hati. Ada rasa kegembiraan dalam hatinya tapi juga rasa kawatir. Jika dia tidak dapat menghadapi orang ini apalagi sampai menemui kematian ditangannya, maka dia akan mati percuma.

“Sobat, mari kita bicara baik-baik. Aku benar-benar bukan Embah Bromo Tunggal dukun busuk yang kau cari itu. Namaku Suko lnggil. Aku bergelar Pendekar Muka Tengkorak. Mungkin aku bisa membantumu!"

Randu Ampel tidak menjawab. Pandangan matanya tambah angker. Dia cabut serulingnya dari pinggang. Di dahului oleh satu pekik keras lelaki ini menyerbu. Suling di tangan kanannya berputar seperti titiran, mengumbar angin keras dan dingin, lebih dingin dari udara di puncak gunung itu.

Suko Inggil berkelebat kian kemari menghindari serangan lawan. Sambil berkelebat dia nyalakan sebatang rokok kawung. Ketika ujung suling berkiblat ke arah mukanya dia menghembus kuat-kuat. Asap putih menggebu. Suling di tangan Randu Ampel tergulung dalam putaran asap rokok kawung dan hampir mental. Randu Ampel berseru kaget. Dengan cepat dia tangkap salah satu ujung suling dan dilain kejap ujung yang lain sudah ditusukkannya ke dada lawan!

“Hebat sekali!" memuji Suko Inggil dalam hati.  Gerakannya tidak terduga. Jurus-jurusnya berbalikkan dengan ilmu silat yang wajar. Aku benar-benar harus hati-hati!"

Suko lnggil cepat miringkan tubuhnya. Begitu tusukan suling lewat dia pergunakan tangan kanan untuk memukul senjata lawan. Dia berhasil memukul suling itu. Tetapi detik itu juga dia menjadi kaget. Suling yang hanya terbuat dari bambu itu sama sekali tidak rusak apalagi patah. Sebaliknya ketika kakek ini meneliti belakang telapak tangannya ternyata daging di bagian itu melepuh merah.

“Edan! Tenaga dalamnya tidak berada dibawahku!" ujar si kakek. Terdorong oleh rasa penasaran maka dia kini mendahului menyerang.

Maka terjadilah perkelahian yang luar biasa di puncak gunung Bromo itu. Tanah dan batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar rambas. Beberapa pohon yang terkena hantaman pukulan tangan kosong yang nyasar tumbang. Tembok bangunan di sebelah kiri ikut ambruk diterjang tendangan yang tak mengenai tubuh lawan.

Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus Suko Inggil mulai berpikir-pikir. Untuk apa dia melayani orang berkepandaian tinggi ini tetapi memiliki otak miring. Lagi pula dia tak punya silang sengketa apa-apa. Jika diteruskan salah satu dari mereka akan cidera parah, mungkin menemui kematian. 

Kalau dia yang mati, manusia bernama Randu Ampel itu tak akan pernah tahu bahwa dia benar-benar bukan Embah Bromo Tunggal. Sebaliknya jika dia berhasil membunuh Randu Ampel maka dia hanya membunuh seorang gila tak berdosa!

Memikir sampai kesitu, karenanya sejak jurus kelima puluh lima kakek muka tengkorak kerahkan seluruh kepandaiannya untuk menotok salah satu jalan darah di tubuh Randu Ampel hingga lawan kaku tak berdaya. Usahanya berhasil. Pada jurus ke lima puluh sembilan ujung jarinya menusuk pangkal leher Randu Ampel. Lelaki ini tampak tersentak. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak.

Suko lnggil merasa lega. Tapi sesaat kemudian dia jadi melengak kaget. Perut Randu Ampel tampak mencekung. Lalu menggembung. Mencekung lagi. Demikian beberapa kali seolah-olah memompa ke atas. Urat besar di lehernya tampak menggembung dan des! Terdengar suara halus seperti sumbat terlepas dari lobang. Totokan di leher Randu Ampel punah. Didahului oleh jeritan dahsyat Randu Ampel kemudian tampak menyerang Suko lnggil.

“Edan! Benar-benar gila!" Seumur hidupnya baru kali ini si muka tengkorak itu melihat ada orang yang mampu memusnahkan totokan pada jalan darah!


12. AYAH
SETELAH mengetahui tingkat kepandaian lawan yang berotak miring ini tidak berada dibawahnya, maka Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil tak berani berlaku ayal lagi. Sebagai tokoh silat kawakan yang ditakuti di delapan penjuru angin Suko lnggil tahu jelas kalau lawannya sebenarnya mempunyai satu titik kelemahan.

Titik kelemahan ini ialah kekurangan pengalaman dalam perkelahian silat tingkat tinggi. Akan tetapi kelemahan itu menjadi tidak ada artinya dan tertutup oleh beberapa kehebatan yaitu kehebatan tahan pukulan, kehebatan tenaga dalam ditambah keampuhan senjata berbentuk seruling!

Beberapa kali dia berhasil menggebuk lawan tapi manusia itu seperti tak merasakan dan merangsak terus dengan serangan-serangan berbahaya. Tinju kirinya berkelebatan tiada henti sedang seruling ditangan kanan menusuk, memukul ataupun membabat deras mengeluarkan suara menderu. Dari lubang-lubang seruling ini mencuit suara nyaring menusuk gendang-gendang telinga.

“Keparat edan! Puluhan tahun mendalami ilmu silat, puluhan tahun menekuni tenaga dalam, hari ini semuanya itu sia-sia belaka! Semuanya tidak ada arti dan tidak berguna menghadapi manusia gila ini!  Begitu Suko lnggil mengeluh dan memaki dalam hati. Lalu dia keluarkan satu pekik nyaring, tubuhnya berkelebat lenyap dan satu perubahan dalam jurus-jurus silat yang dimainkannya kelihatan dengan jelas.

Selama lima jurus tampak Randu Ampel terkurung hebat. Dia hanya berputar-putar menangkis dan mengelak. Meskipun demikian tetap saja tak satupun pukulan atau tendangan Suko lnggil yang mampu menembus pertahanannya. Kalaupun dia sampai terpukul maka itu seperti sama sekali tidak dirasakannya. Bagi Suko Inggil sendiri setiap dia berhasil memukul bagian tubuh lawan, tinju atau lengannya terasa perih seperti habis menghantam batu karang yang atos!

“Mungkin aku bukan menghadapi manusia!" sampai begitu tokoh silat hebat ini berpikir. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran dengan nafas mengengah-engah. Rasa kering pada tenggorokannya membuat dia ingat pada rokok kawungnya. Kakek ini segera ambil dan menyalakan sebatang.

Tiba-tiba dilihatnya orang dihadapannya menyeringai dan berkata, “Bagus, kalau merokok itu kesenanganmu, merokoklah puas-puas untuk terakhir kali sebelum nyawamu melayang ke neraka!"

“Sial dangkalan!" maki Suko lnggil. "Kau makan asap rokokku ini!"

Seperti diketahui Pendekar Muka Tengkorak Suko lnggil adalah tokoh silat kelas satu pada masa itu. Meskipun beberapa waktu lalu dia pernah memberikan sepertiga dari tenaga dalamnya pada Mahesa, namun sisa tenaga dalam yang masih dimilikinya boleh dikatakan jarang dicari tandingannya. Ketika dia menghembuskan asap rokok kawung itu, hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya ikut menyertai hembusan asap.

Randu Ampel dalam otaknya yang tidak waras mula-mula hanya bersikap acuh saja melihat ada asap yang bertiup ke arahnya. Namun ketika dirasakannya seperti ada dinding batu yang datang menghempas dan siap untuk menghimpitnya maka kagetlah dia. Lelaki ini menggembor keras lalu pukulkan suling ditangan kanannya dari kanan ke kiri untuk menangkis dan sekaligus membuyarkan serangan asap. Suling menderu mengeluarkan suara melengking tinggi!

Namun tiba-tiba suara lengking seruling itu berhenti. Randu Ampel merasakan benda itu mendadak saja menjadi sangat berat. Hampir terlepas dari tangannya saking beratnya. Ketika dia meneliti ternyata seluruh asap rokok kawung telah menerobos masuk ke dalam badan seruling melalui lobang-lobang yang berjumlah tujuh buah. Beberapa bagian dari seruling itu tampak retak bahkan ada yang pecah!

Melihat seruling yang sekaligus merupakan senjata andalannya itu rusak marahlah Randu Ampel. Dia melabrak maju. Tapi tadi ketika dia meneliti seruling itu meskipun cuma sesaat dia telah bertindak lengah. Dan pada saat dia maju menyerang, satu pukulan keras datang menghantam.

Buk!

"Hek!" Pukulan yang disertai tenaga dalam penuh tepat menghantam ulu hati Randu Ampel hingga orang ini mengeluarkan suara seperti orang muntah. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak, terkapar di tanah tak bergerak sedang kedua mata mendelik ke langit. Bagian perutnya yang terpukul tampak merah kehitaman.

“Manusia luar biasa!" kata Suko lnggil sambil geleng-geleng kepala. "Mati juga dia akhirnya!" Kakek ini melangkah mendekati sosok tubuh Randu Ampel sambil perhatikan bagian perut yang merah kehitaman.

"Gila Kalau orang lain perutnya pasti sudah pecah kena tinjuku tadi! Siapakah dia sebenarnya?"

Terdorong oleh rasa ingin tahu Suko Inggil membungkuk untuk meneliti dan menggeledah korbannya. Tidak terduga tiba-tiba wut! Kaki kanan orang yang disangka sudah mati itu melesat deras ke arah kepala Suko Inggil. Si kakek muka tengkorak berseru kaget. Kedudukannya saat itu tak mungkin untuk mengelak dengan melompat ke belakang atau ke atas. Satu-satunya jalan cari selamat ialah jatuhkan diri ke tanah di samping tubuh lawan.

Namun karena ragu bahwa dirinya akan betul-betul selamat, si kakek masih pergunakan tangan kiri untuk berusaha memukul betis lawan. Dengan demikian jika kaki lawan terangkat ke atas, kepala atau badannya akan selamat dari tendangan. Suko Inggil memang dapat menyelamatkan kepala dan badannya. Tetapi untuk itu dia harus membayar mahal. Dia berhasil memukul betis Randu Ampel hingga orang ini kembali terpental ke atas. Tapi tulang lengannya sendiri mengeluarkan suara.

Krak!

Patah! Kakek itu mengerenyit kasakitan dan jatuh tercelentang di tanah. Dia segera bangkit dengan tubuh terhuyung sambil tangan kanan pegangi tangan kiri. Dihadapannya dilihatnya musuh yang masih tetap mengenakan topi hitam tinggi itu juga bangkit berdiri lalu melangkah mendekati dengan suling di tangan kanan. Jelas dia membawa suling itu dengan sangat keberatan karena masih dipenuhi asap rokok kawung di sebelah dalamnya.

Dengan susah payah Randu Ampel mengangkat suling itu ke bibirnya. Begitu suling menempel di mulutnya, dia meniup. Asap rokok yang ada dalam tubuh suling menggebubu dahsyat. Jauh lebih hebat ketika asap itu ditiupkan oleh Suko lnggil. Sebabnya ialah karena asap itu kini disertai dua kekuatan tenaga dalam. Pertama sisa tenaga dalam Suko lnggil yang masih melekat pada asap, dan kedua tenaga dalam Randu Ampel sendiri.

Asap menyembur dari tujuh lobang suling. Karena lobang-lobang itu menghadap ke arah Suko Inggil, maka ketujuh jalur asap dengan sendirinya menghantam si kakek. Seumur hidupnya tak pernah Suko Inggil melihat asapnya sendiri kini menderu ganas menyerang ke arahnya. Dalam keadaan cidera begitu rupanya tak mungkin baginya untuk mengelakkan tujuh jalur asap yang datang menyerang.

Dia menghantam dengan tangan kanan. Lima jalur asap hancur musnah, tapi dirinya sendiri terbanting dengan dada mendenyut sakit sedang tangan kanan sesaat menjadi kaku hilang rasa. Dua jalur asap yang tidak dapat ditahannya menderu ke arah mukanya.

“Celakal Hancurlah kepalaku!" jerit si kakek dalam hati karena dia tahu pasti apa yang bakal dialaminya.

Tapi tidak terduga dari arah pintu bangunan batu bata merah mendadak berkiblat sinar merah, panas dan ganas! Dua jalur asap terpental buyar. Suling di tangan Randu Ampel lepas. Randu Ampel tampak kaget. Tapi dasar otaknya tidak waras dia tidak perhatikan dari mana datangnya sinar merah itu dan siapa yang telah melepaskannya.

Setelah kaget sesaat dia langsung melompati kakek muka tengkorak. Tangan kiri dan tangan kanan diulurkan ke batang leher Suko lnggil. Pendekar tua ini tak berdaya sama sekali untuk selamatkan lehernya dari cekikan yang laksana jepitan raksasa. Lidahnya terjulur dan matanya terbeliak. Sesaat lagi daging dan tulang-tulang lehernya akan hancur remuk dan nyawanya melayang.

“Dukun keparat Bromo Tunggal!" Randu Ampel tiba-tiba berkata.  "Hari ini kubalaskan kekejaman yang kau buat delapan belas tahun lalu! Aku puas! Puas. Mampuslah!"

Randu Ampel kerahkan seluruh tenaga luar dalamnya untuk mencekik. Tiba-tiba satu suara terdengar berseru keras.

“Ayah Jangan bunuh! Dia bukan Bromo Tunggal!"

Entah teriakan yang menggeledek itu, entah sebutan ayah, yang jelas Randu Ampel tampak melengak kaget, lepaskan cekikan mautnya pada leher Suko lnggil dan melompat lalu mundur beberapa langkah. Kepalanya dipalingkan. Sepasang matanya memandang lekat-lekat ke arah sosok tubuh seorang pemuda yang sama sekali tidak berpakaian dan tegak di pintu bangunan batu bata merah!

Mulut Randu Ampel tampak komat kamit. Tubuhnya bergetar. Tiba-tiba dia membalik, lalu berkelebat lenyap ke arah lereng gunung sebelah timur. Pemuda bertelanjang yang bukan lain adalah Mahesa, lari memburu seolah tak sadar kalau saat itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Namun seruan si kakek muka tengkorak menyadarkannya.

“Mahesa! Jangan kau kejar dia! Percuma saja! Manusia berilmu setinggi itu setanpun tak sanggup mengejarnya!"

Mahesa hentikan larinya. Tapi matanya tak lepas dari memandang ke arah timur, arah lenyapnya Randu Ampel, lelaki yang telah diketahuinya adalah ayahnya. Sudah demikian dekat, sudah bertemu, tapi tiba-tiba dia pergi dan lenyap!

Kedua mata pemuda itu nampak berkaca-kaca. Banyak hal yang membuat perasaannya jadi hanyut. Nasib malang ayahnya sejak delapan belas tahun lalu. Keadaan lahirnya yang menyedihkan sekarang ini. Lalu keadaan batinnya yang begitu rupa hingga mungkin seumur hidup dia tak bakal mengenali dirinya yang merupakan anak kandungnya.

“Anak muda! Kau gila atau bagaimana. Tegak bertelanjang bulat seperti ini!" Satu suara menegur.

Mahesa kaget. Menyadari keadaannya yang tanpa pakaian dia segera lari ke dalam bangunan, diikuti oleh Suko lnggil yang sebentar-sebentar mengeluh dan mengomel karena tangannya yang patah. Di dalam bangunan Mahesa dapatkan pakaiannya dalam keadaan robek disana-sini, tak mungkin dapat dipakai lagi.

“Sial, bagaimana ini jadinya?!"

“Mahesa! Kau tolong aku mengikat lengan yang patah ini!" Suko lnggil berkata seraya duduk di lantai.

“Kakek, yang kubutuhkan saat ini adalah pakaian. Mungkin kau membawa persediaan pakaian...?"

“Kau kira aku ini orang yang sedang pergi berjalan-jalan hingga perlu membawa pakaian? Geledah isi bangunan ini. Pasti ada pakaian disini. Kalau sudah kau temui kita lalu bicara. Banyak hal yang akan kutanyakan padamu!"

“Akupun punya beberapa pertanyaan!" jawab Mahesa. Dia mulai memeriksa bangunan itu. Tak sepotong pakaianpun yang didapatnya. Yang ditemuinya adalah ramuan obat-obat, benda-benda aneh yang tak diketahuinya apa gunanya, beberapa butir telur ayam yang telah membusuk, cairan-cairan busuk, tengkorak-tengkorak dan tulang-belulang.

“Keparat anak setan! Tak ada sepotong pakaianpun disini!" maki Mahesa.

“Nasibmu jelek buyung. Kau harus mendatangi desa terdekat. Tapi kurasa tak ada yang bakal mau menolongmu memberi pakaian. Baru melihat kedatanganmu yang bertelanjang bulat, semua orang akan lari ketakutan. Paling tidak mereka menganggap kau orang gila!" Si kakek muka tengkorak lalu tertawa mengekeh.

Saking kesalnya Mahesa menendang benda apa saja yang berada didekatnya. Tiba-tiba kakinya menendang sebuah kantong kain yang terletak di lantai. Dari kantong itu berpelantingan keluar mata uang perak. Terheran-heran Mahesa periksa isi kantong itu.

Selain uang perak, didalamnya juga ditemuinya sepotong pakaian dan celana yang bukan saja masih baru tetapi bagus sekali. Pakaian ini berwarna biru muda dengan hiasan-hiasan yang disulam dari benang emas. Tanpa tunggu lebih lama dia segera kenakan pakaian itu. Suko Inggil tertawa gelak-gelak.

“Apa yang lucu kek?!" tanya Mahesa heran.

“Pakaianmu itu! Kekecilan! Tangan dan kakinya menggantung. Coba kau kancingkan, pasti tidak bisa!"

“Tak jadi apa! Dari pada harus bertelanjang!" sahut Mahesa pula.

Si kakek kembali mengekeh. “Sekarang kau harus tolong aku dulu mengikat tangan keparat yang patah ini!"

Atas petunjuk si kakek Mahesa mengambil tiga potong tulang yang panjangnya masing-masing sekitar satu jengkal. Lalu dengan robekan-robekan kain bekas pakaiannya dia membalut ketiga tulang itu ke lengan kiri yang patah.

“Umurku sudah begini tua. Tulang-tulangku tak lebih dari rongsokan butut. Entah masih bisa bersambung entah tidak!" Suko lnggil geleng-geleng kepala sambil tepuk-tepuk lengan kirinya itu. Lalu dia memandang pada Mahesa dan berkata, "Anak muda, untuk kedua kalinya kau menyelamatkan jiwaku. Tapi yang sekali ini kurasa ada keanehan. Kau tadi berteriak memanggil orang itu dengan sebutan ayah! Apa benar dia ayahmu?!"

Setelah agak lama baru Mahesa menjawab dengan anggukan perlahan.

“Hemmm, agaknya ada satu kisah kehidupan yang luar biasa. Aku tak ingin mengetahui kehidupan orang lain. Tapi kalau kau mau menceritakannya mungkin akan menambah pengalamanku si tua bangka ini."

“Panjang ceritanya kek. Mengingat kau begitu baik, aku tak segan-segan menceritakannya.  Lalu Mahesa menuturkan riwayatnya sejak dari keterangan yang didapat dari gurunya tanpa menyebutkan siapa gurunya sampai dia turun gunung dimana dia mendapat lebih banyak keterangan tentang siapa ayahnya, apa yang dialami lelaki itu di masa delapan belas tahun yang silam, sampai pula pada kematian Adipati Mangun Aryo.

Suko Inggil menarik nafas dalam. “lngat ucapanku dulu anak muda? Dunia ini penuh dengan keanehan. Dan tak jarang keanehan itu berakhir pada kematian."

Mahesa ikut-ikutan menarik nafas dalam.

“Hai, ceritamu baru sepotong. Kau belum menerangkan bagaimana kau sampai ke puncak gunung ini?" Suku Inggil ajukan pertanyaan.

"Mahluk iblis peliharaan dukun keparat itu menculikku. Dalam keadaan pingsan rupanya dia membawaku kemari. Aku tak tahu apa yang kemudian terjadi di tempat ini. Si dukun keparat itu sendiri dimana sekarang?"

"Kabur!" sahut si muka tengkorak.

“Apa yang terjadi di sini ketika aku pingsan? Bagaimana kau sendiri bisa terpesat kesini kek?"

Suko lnggil menunjuk pada boneka kain bermuka seram yang tercampak di lantai. "Kau lihat boneka buruk itu Mahesa? ltulah makhluk iblis yang menculikmu!"

“Kau tentu tidak bercanda. Jelas itu boneka butut yang sebagian hangus."

Si kakek tertawa mendengar ucapan Mahesa itu. Lalu dia menerangkan. "Dengan kesaktiannya yang tinggi, tetapi jahat Roko Nuwu..."

“Tunggu, siapa itu Roko Nuwu?" memotong Mahesa.

“Nama asli si keparat yang dipanggil dengan sebutan Embah Bromo Tunggal itu..!"

Mahesa manggut-manggut. Suko lnggil meneruskan, "Dengan kesaktiannya yang luar biasa dukun keparat itu bisa menciptakan apa saja. Antara lain mahluk tinggi besar menyeramkan berbentuk asap yang menculikmu itu." Si kakek ceritakan perkelahiannya dengan Longga sampai akhirnya dia berhasil memusnahkan mahluk jejadian itu dengan api.

“Kek, sebelumnya kau tidak tahu kalau aku ada disini. Kau datang tentu bukan untuk menolongku. Tapi aku yakin kemunculanmu disini telah menolongku dari satu bencana. Tak mungkin mahluk iblis itu membawaku kemari kalau tidak mau diapa-apakan. Apalagi ketika siuman dari pingsan aku dalam keadaan tidak berpakaian..."

Si kakek menyeringai. "Aku tahu kebiasaan Roko Nuwu. Jika dia menelanjangi seseorang maka orang itu akan jadi bahan ramuan obatnya, digodok dalam cairan mendidih yang apinya tak pernah dipadamkan selama empat puluh hari empat puluh malam..."

Sepasang mata Mahesa mendelik. Suko Inggil menunjuk ke arah belanga besar yang cairan busuknya terdengar mendidih dan api terus menyala dibawahnya.

“Kesitulah kau hendak dicemplungkannya!"

Berdiri bulu-kuduk murid Kunti Kendil itu. Dari mulutnya keluar makian berulang-ulang,  "Anak setan... anak setan!"

Pendekar Muka Tengkorak tertawa geli.  "Sekarang akan kuterangkan padamu bagaimana aku bisa keluyuran ke puncak Bromo ini. Ingat keteranganku waktu kau menolongku keluar dari bawah arca gajah itu? Seorang kawan telah menipu dan menjebloskan aku ke sana. Hanya gara-gara sebuah kitab silat berisi ilmu silat tingkat tinggi yang aneh dan langka. Dan manusianya adalah si Roko Nuwu itu alias Embah Bromo Tunggal. Aku datang kemari untuk mencari dan menghukumnya. Asal saja dia mau menyerahkan kitab itu, mungkin aku mau menganggap segala urusan selesai. Tapi manusia kapiran itu justru tidak mau mencari perdamaian. Cuma sayang dia berhasil kabur. Bersama buku itu tentunya!"

"Lalu selagi kau masih disini, tiba-tiba muncul ayahku. Dia menyangka bahwa kaulah Embah Bromo Tunggal? "

Suko lnggil mengangguk lalu berdiri.

“Kau mau kemana kek?" tanya Mahesa.

“Apa kau kira enak lama-lama ditempat sialan ini? Keluarlah, seluruh bangunan bejat ini akan kuhancurkan!"

“Sebelum kau pergi, apakah kau masih punya persediaan rokok?" tanya Mahesa. "Rokokku entah jatuh dimana..”

Suko lnggil nampak merengut. Tapi dia keluarkan juga sebungkus rokok kawung dan melemparkannya ke arah Mahesa.


13. SANG DUKUN MENAGIH JANJI
SETELAH berpisah dengan Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil di puncak Bromo, Mahesa segera menuju Probolinggo. Dia sampai disana beberapa hari kemudian dan sengaja menunggu sampai malam tiba baru memasuki kota. Langsung menuju rumah Mirani, menyelinap masuk ke dalam kamar itu tanpa diketahui para pengawal yang ditempatkan Rangga.

Pertemuan ini merupakan pertemuan kedua dalam satu minggu dan benar-benar lebih tidak terduga. Mirani yang sejak munculnya mahluk aneh menyeramkan menculik Mahesa hampir setiap saat mengeram diri dalam kamar.

Kehilangan pemuda itu, yang sudah dapat dipastikannya tak akan dijumpainya lagi merupakan satu pukulan berat bainya. Janda muda yang masih gadis ini hampir tak punya semangat untuk hidup lagi. Ditambah pula dengan maksud Rangga yang secara halus memaksanya untuk dijadikan istri, ingin saja dia mati saat itu.

Dapat dibayangkan bagaimana terkejut, serta rasa tidak percaya tetapi juga sangat gembira ketika tahu-tahu Mahesa masuk kedalam kamarnya. Mirani seperti mendapat satu kekuatan baru. Dia melompat dari atas ranjang, langsung memeluki pemuda itu sambil terisak-isak.

“Ssst Jangan menangis!"  bisik Mahesa.  "Kalau sampai terdengar pengawal diluar sana bisa berabe..."

“Mahesa... apapun yang terjadi saya tak ingin lagi tinggal di Probolinggo ini. Bawa saya kemana kau pergi.” kata Mirani diantara sesenggukannya.

“Ah, celaka ini...” membatin murid Kunti Kendil. Lalu katanya, "Hal itu tak mungkin kita lakukan Mirani?"

"Masih banyak cara lain yang dapat kita tempuh. Apakah Rangga jadi diangkat Adipati menggantikan Mangun Aryo?"

“Ya. Dan besok malam Jumat dia harus menerima kabar bahwa saya bersedia menjadi istrinya. Upacara pesta pengangkatannya sebagai Adipati akan dilangsungkan minggu dimuka. Kau tahu... saya tak mau, tak sudi jadi istrinya. Itu sebabnya saya ingin lari saja dari sini..”

Meskipun tadi dia berkata banyak cara yang bisa ditempuh dalam menghadapi persoalan itu, namun Mahesa terpaksa mengakui adanya kesulitan.

“Mirani, soal itu tak perlu terlalu kau pikirkan!" akhirnya Mahesa berkata. "Aku harus mengambil senjata-senjata yang kutitipkan tempo hari. Apakah masih ada diatas loteng kamarmu ini..?"

Mirani mengangguk. Tak tunggu lebih lama Mahesa segera naik ke loteng. Dia merasa lega ketika melihat Keris Naga Biru yang asli serta yang tiruan dan papan kayu besi hitam berbentuk nisan itu. Ketiga benda itu segera di selipkannya dibelakang pinggang di balik baju birunya yang kesempitan. Lalu dia melompat turun kebawah.

“Mirani, aku butuh pakaian. Mungkin ada pakaian yang sesuai denganku..?"

“Ada beberapa potong pakaian bekas Mangun Aryo di lemari. Rasanya cocok untukmu...”

Mirani lalu mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari. Mahesa memilih sehelai baju lengan panjang dan celana berwarna putih lalu mengenakannya tanpa membuka pakaian birunya yang kekecilan. Melihat si pemuda berpakaian seperti itu Mirani bertanya,

“Kau  apakah akan segera pergi? Kau tak mau bermalam disini? Kau tak mau menolong kami dari tangan Rangga? Ibu saat ini sedang sakit. Dia hanya bisa sembuh kalau Rangga membatalkan niatnya mengawini saya."

Mahesa terdiam. Dia benar-benar tak bisa menjawab. “Bulan apa sekarang?" Mahesa ingat sesuatu dan bertanya.

“Bulan Sura. Kenapa kau tanyakan hal itu?" Mirani heran.

“Bulan Sura hari ke berapa?" tanya Mahesa lagi.

“Hari ini hari pertama..."

Mahesa raba pinggang pakaiannya. "Ah, surat itu sudah lenyap. Entah jatuh dimana..”

“Surat apa?" tanya Mirani.

“Surat dari guru..."

“Kau bermalam disini Mahesa? Kau tentu letih. Butuh istirahat. Perlu makan dan minum!” Mirani usap-usap pergelangan tangan pemuda itu lalu membawanya ke atas mulutnya dan menciumi jari-jari tangan Mahesa. "Bawa saya kemana kau pergi.” bisik Mirani lirih. Lalu dia berjingkat untuk dapat merangkul dan menciumi wajah si Pemuda. 

Mahesa merasakan kelembutan dan kehangatan dada gadis ini. Bahkan dia merasakan degup jantung Mirani yang keras memburu. Pemuda ini sendiri merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Nafasnya membara. Kedua tangannya balas merangkul. Hidung dan mulutnya balas mencium. Di luar hujan rintik-rintik turun. Para pengawal tertidur lelap di tempat penjagaan mereka.

“Mahesa, jangan kecewakan saya seperti malam-malam dulu." bisik Mirani. Tangannya menjalar kian kemari, membuat Mahesa menjadi beringas. Entah sadar entah tidak pemuda ini melayani apa yang diinginkan Mirani, yang sebelumnya dia sendiripun tak pernah merasakannya.

***

KETIKA orang yang diutus Rangga menemui Embah Bromo Tunggal kembali dan melaporkan hasil pertemuannya dengan dukun sakti itu, Rangga jadi termenung. Baginya bukan soal kalau si dukun tua bangka itu meniduri Sri Muria, janda Mangun Aryo. Malapetaka baru muncul kalau perempuan ini menolak keinginan sang dukun.

Sudah dapat dipastikannya kalau Sri Muria akan menolak. Jika hal ini sampai terjadi, Embah Bromo Tunggal akan marah dan membunuh Sri Muria. Jika sampai perempuan itu terbunuh dengan cara mengerikan di gedung Kadipaten, akibat buruk pasti akan menimpanya. Bukan mustahil pengangkatannya sebagai Adipati akan ditinjau kembali.

Semalaman itu Rangga tidak tidur memikirkan persoalan tersebut. Bagaimanapun juga dia harus mencari akal, menghindari keributan tanpa mengecewakan sang dukun, dan kalau dapat tanpa menciderai Sri Muria. Menjelang pagi Rangga baru bisa tertidur setelah dia mendapat satu akal yang dirasakannya paling baik.

Dia tahu pasti selama ini Embah Bromo Tunggal tidak pernah mengenal Sri Muria, tidak pernah melihat wajah perempuan itu. Hal ini akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Kalau semua rencana yang akan diaturnya berjalan lancar maka besok dimalam yang sama dia akan menerima kabar dari Mirani.

Rangga begitu yakin bahwa janda muda yang berkulit putih bersih berparas cantik itu akan menerima permintaannya untuk dijadikan istri. Dibandingkan dengan almarhum Mangun Aryo dirinya jauh lebih muda dan gagah. Apalagi sekarang dia telah pula diangkat menjadi Adipati. Mirani seharusnya bersyukur menerima pinangannya itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, selagi matahari belum terbit dan udara dingin masih terbungkus kegelapan, sebuah kereta meninggalkan gedung Kadipaten Probolinggo. Selain kusir kereta, kendaraan ini dikawal oleh lima perajurit. Kereta meluncur menuju keluar kota. Didalamnya duduk Sri Muria dan puterinya, Wilani.


14. MALAM PERJANJIAN DENGAN MBAH BROMO TUNGGAL 
MALAM JUMAT KLIWON malam perjanjian yang dikatakan Embah Bromo Tunggal. Sesuai dengan pesannya, malam ini dia akan datang untuk meniduri janda Mangun Aryo sebagai imbalan pencabutan nyawa perempuan itu. Dari luar gedung Kadipaten kelihatan seperti biasa-biasa saja. Para pengawal berada di tempat masing-masing.

Pintu depan yang menuju ke ruang tamu sengaja di buka. Diatas sebuah kursi besar Rangga duduk menunggu kedatangan Embah Bromo Tunggal dengan dada berdebar. Sampai menjelang pertengahan malam, sampai dia letih dan mengantuk menunggu, kakek bejat itu masih belum muncul. Rangga menguap beberapa kali. Mendadak dia mencium bau busuk yang amat sangat. Bau busuk yang sama pernah diciumnya ketika berada di puncak Bromo waktu mengintip Mangun Aryo.

“Pasti dia...!" kata Rangga dalam hati. Dia membuka mata lebar-lebar dan memandang keluar. Tak kelihatan sosok tubuh seorangpun. Tak sabaran dia berdiri dan melangkah ke pintu. Diluar sana serba sunyi dan gelap. Dua pengawal tampak tegak bercakap-cakap dekat pintu gerbang. Sang dukun belum kelihatan. Tapi bau busuk itu semakin menjadi-jadi.

Dengan perasaan kesal Rangga membalikkan tubuh, maksudnya hendak duduk kembali ke tempat semula. Ketika dia berbalik itulah pandangannya membentur sosok tubuh duduk di kursi yang tadi didudukinya.

“Astaga, dia sudah ada disitu!" Rangga segera mendatangi dan menjura. Orang yang duduk di kursi, yang bukan lain adalah Embah Bromo Tunggal alias Roko Nuwu tertawa mengekeh.

“Kowe pasti Rangga..!" katanya.

“Betul embah, saya Rangga. Adipati Probolinggo.."

“Ah, kowe beruntung diangkat jadi Adipati. Tapi keberuntungan itu jangan kowe telan sendiri. Harus dibagi-bagi denganku. Mengerti..?"

“Mengerti embah!" sahut Rangga. "Sesuai dengan pesan embah, semuanya sudah disiapkan. Janda almarhum Mangun Aryo yang bernama Sri Muria itu sudah menunggu dikamar. Apakah embah hendak mandi dan membersihkan diri dulu, lalu memakai wawangian..?"

Plak!

Jarak antara si dukun bejat dan Rangga terpisah lebih dari empat langkah. Tapi entah bagaimana tahu-tahu tubuhnya sudah bergerak dan tamparannya melayang ke pipi Rangga. Adipati Probolinggo yang baru ini mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhampar ke lantai!

“Manusia lancang! Berani kowe menyuruh aku mandi! Sejak lima puluh tahun terakhir ini aku telah berpantang mandi. Apakah kowe kira tubuhku bau? Sekali lagi kowe berani lancang mulut, kurobek mulut kowe!"

“Maaf embah, harap maafkan. Bukan maksud saya bertindak lancang..."

“Sekarang tunjukkan kamar perempuan itu.”

“Baik embah, silahkan mengikuti...”

Rangga lalu membawa sang dukun ke sebuah kamar yang terletak di sisi kiri bangunan. Dia membuka pintu kamar lebar-lebar. “Silahkan embah. Kalau ada sesuatu keperluan harap beritahu saya..."

Sepasang mata Embah Bromo Tunggal berkilat-kilat dan melirik ke dalam kamar. Diatas ranjang dilihatnya terbaring sesosok tubuh perempuan berwajah lonjong. Dibawah sinar lampu minyak besar yang ada dalam kamar itu jelas sekali kelihatan wajahnya yang cantik serta kulitnya yang bersih. Perempuan itu tidur menelentang. Kedua kakinya agak merenggang. Dia mengenakan pakaian tidur yang aneh dimata sang dukun.

Pakaian ini terbuat dari sejenis kain tipis sehingga keseluruhan aurat sebelah depannya terlihat dengan jelas. Bagian dada yang menggembung, pinggang yang meramping lalu perut yang membukit. Embah Bromo Tunggal menyeringai. Tubuh yang terbayang jelas di balik pakaian tipis itu ternyata masih kencang sekal, putih bersih. Si kakek busuk basahi bibirnya dengan ujung lidah berulang-ulang.

Tiba-tiba dia tertawa mengekeh dan sekali berkelebat sudah meloncat ke atas tempat tidur. Perempuan diatas ranjang yang tadi dalam keadaan setengah tertidur membuka kedua matanya lebar-lebar. Rangga tersenyum lalu menutup pintu dan kembali ke ruang depan.

Ketika melihat wajah dan keadaan tubuh Embah Bromo Tunggal, ditambah bau badannya yang membersitkan hawa busuk luar biasa, perempuan ini menjerit dan melompat dari tempat tidur. Embah Bromo Tunggal tertawa mengekeh.

“Jandaku cantik, eh kowe tak usah takut. Bukankah kowe sudah menungguku sejak sore tadi?” Bromo Tunggal lalu melompat mengejar perempuan itu. Sekali dia menyergap langsung merangkul dan menggerayangi tubuhnya.

Perempunan ini kembali menjerit. “Jangan sentuh. Lepaskan!"

“Ah tak usah kowe malu. Kalau tadi sudah menunggu dan bersiap-siap menyambut, kenapa sekarang menolak? Malu-malu heh...?"

Sang dukun lalu mendukung tubuh perempuan itu dan meletakkannya diatas ranjang. Sebelum si perempuan sempat melompat turun kembali, kakek ini sudah menindih tubuhnya dari atas. Dalam keadaan jijik dan juga takut luar biasa akhirnya dia jatuh pingsan.

“Eh kenapa kowe diam? Senang atau... Eh, pingsan?" Embah bromo Tunggal menggoyang-goyang tubuh yang tak bergerak itu. "Eh, benar-benar pingsan. Tak apa, tak jadi apa. Pingsan pun aku tak menolak.”  Lalu kedua tangannya merobek-robek pakaian tidur perempuan itu.


15. TANPA JUDUL
Dl RUANG TAMU Rangga duduk menunggu. Dia merasa agak lega setelah tidak mendengar lagi jeritan dari perempuan di dalam kamar. Namun pikirannya bercabang. Sampai lewat tengah malam tak ada sama sekali kabar dari Mirani. Kalau saja tidak sedang menunggui dukun keparat itu sudah sejak tadi dia mendatangi rumah janda muda itu.

Menjelang pagi akhirnya Rangga tertidur di atas kursi. Adipati ini baru terbangun dari tidurnya ketika dari arah kamar tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan perempuan disertai suara benda-benda hancur dan runtuh. Saat itu ternyata hari telah siang, matahari pagi telah naik tinggi.

Beberapa perajurit datang memasuki gedung. Rangga sendiri sudah melompat dari kursinya dan lari menuju kamar. Pada saat itulah dilihatnya Embah Bromo Tunggal yang hanya mengenakan celana pendek butut kotor keluar sambil menyeret tubuh perempuan yang sama sekali tak berpakaian. Pintu kamar tampak hancur berantakan.

“Manusia penipu! Kowe ambillah Ionte pelacur ini!"

Embah Bromo Tunggal lemparkan tubuh telanjang itu ke hadapan Rangga. Tubuh itu terhampar dilantai. Dari mulutnya keluar darah sedang lehernya kelihatan terkulai. Patah!

Paras Rangga serta merta menjadi pucat pasi!
Apakah yang telah terjadi? Sejak malam tadi selagi perempuan itu berada dalam keadaan pingsan Embah Bromo Tunggal alias Roko Nuwu telah berkali-kali melampiaskan nafsu terkutuknya. Menjelang pagi dia terbujur diatas ranjang, tertidur mengorok keletihan. 

Setelah pagi tiba dan matahari mulai naik, perempuan yang pingsan dan terbaring di sebelahnya sadarkan diri. Begitu melihat kakek muka iblis ini berada disampingnya langsung saja dia menjerit. Bromo Tunggal tersentak dari tidurnya. Melihat tubuh mulus putih yang tiada berpakaian itu terbit kembali nafsunya.

“Ha..ha dewiku, kowe sudah siuman rupanya. Mari kita lanjutkan permainan malam tadi. Sebentar siang aku akan segera pergi. Mari kita berpuas-puas dulu!"

“Tua bangka busuk!" perempuan itu tiba-tiba memaki dan mengejutkan si kakek. "Dibayar sepuluh karung uangpun aku tidak sudi melayanimu!"

Meskipun hatinya panas dimaki begitu namun dirangsang oleh nafsu Embah Bromo Tunggal masih tertawa dan berkata, "Sekarang kowe bicara begitu. Tadi malam kowe melayaniku walau diluar sadar. Mari kesini dewiku!"

“Cis! Manusia tidak tahu diri. Kalau saja Adipati sebelumnya menerangkan keadaan dirimu tak nanti aku mau datang kemari. Lebih baik aku tetap di Pakuwon. Walaupun langgananku tidak memberi banyak tapi aku lebih suka melayani mereka yang masih muda dan tidak bau sepertimu. Lekas kau keluar dari kamar ini!"

“Apa kowe bilang?!" Sekali lompat saja Bromo Tunggal sudah menjambak rambut perempuan itu hingga dia terpekik kesakitan.

"Lepaskan! Pergi...!"

Si kakek tampar pipi perempuan itu hingga mulutnya berdarah. "Kowe bilang Adipati itu menipu hingga kowe mau datang kemari. Bukankah ini, disini rumah kowe sendiri? Apa maksud kowe tetap tinggal di Pakuwon. Dimana itu Pakuwon?!"

Yang ditanya ludahkan darah dalam mulutnya kelantai. “Tua bangka busuk! Kau dengar baik-baik. Walau aku cuma seorang pelacur, tapi untuk melayani manusia sepertimu lebih baik aku mati saja! Lepaskan...!"

Paras Embah Bromo Tunggal tampak membesi. Hidungnya mengembang, rahangnya menggembung. “Apa! kowe bukannya Sri Muria. Janda Adipati Mangun Aryo?!" si kakek bertanya sementara jambakannya semakin keras.

“Edan! Aku saja tidak sudi kau tiduri. Apa lagi janda Adipati itu!"

“Keparat!" teriak Bromo Tunggal. Kaki kanannya menendang. Tempat tidur mental dan hancur berantakan. Lalu meja disamping ranjang ikut jadi korbannya. Belum puas dia pergunakan tangan kiri untuk meninju dinding kamar hingga hancur. Terakhir sekali dia menghantam ke arah pintu hingga bobol berkeping-keping.

“Jadi Rangga menipuku. Menyerahkan janda Mangun Aryo, ternyata aku disuguhi seorang pelacur!" Dengan beringas, dengan tangan kiri masih menjambak rambut, kini Bromo Tunggal pergunakan tangan kanannya untuk mencekik leher perempuan itu.

Krak!

Terdengar suara patahnya tulang leher si pelacur. Darah mengucur dari mulutnya. Tubuhnya yang telanjang menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Dukun iblis itu lalu menyeret mayat perempuan lacur itu keluar kamar, tepat pada saat empat perajurit dan Rangga mendatangi. Mayat telanjang itu dilemparkannya ke hadapan Rangga disertai bentakan,  Manusia penipu! kowe ambillah lonte pelacur ini! Empat perajurit terbelalak menyaksikan mayat perempuan itu sementara Rangga tertegak dengan muka pucat pasi.

“Celaka, dia sudah tahu rupanya. Bagaimana dia bisa tahu!" membatin Rangga. “Embah, apa yang terjadi?!"

“Adipati keparat! Kowe masih berani bertanya apa yang terjadi?!"

“Embah, kenapa Sri Muria kau bunuh?!" Rangga masih mencoba.

Si kakek menggereng. “Bangsat! Kowe kira aku tidak tahu siapa perempuan itu?! Pelacur Kowe katakan janda Mangun Aryo! Kowe sengaja membayar lonte itu untuk menipuku! Kowe akan membayar mahal Rangga! Sebelum kubunuh, lekas katakan dimana Sri Muria Kowe sembunyikan...?"

“Embah, perempuan ini betul-betul Sri Muria. Janda almarhum Mangun Aryo!"

Kini dukun jahat itu tak dapat lagi menahan kemarahannya. Didahului oleh bentakan buas dia menerkam ke arah Rangga. Kedua tangannya diulurkan kedepan, siap untuk menangkap batang leher Adipati Probolinggo itu. Rangga cepat melompat kesamping untuk selamatkan diri seraya berteriak pada empat perajurit yang ada disitu.

“Pengawal! Tangkap orang ini!"

Empat perajurit segera menyerbu. Dua diantaranya dengan golok di tangan.

Buk! Duk!

Dua perajurit di paling depan terpental kena tendangan dan jotosan. Yang pertama jatuh terduduk dan tersandar ke dinding megap-megap tak mampu berdiri. Yang satunya lagi terbungkuk-bungkuk kesakitan sambil pegangi dada. Dua perajurit lainnya sesaat jadi ragu-ragu.

Seperti diketahui Embah Bromo Tunggal alias Roko Nuwu memang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi walau dia lebih banyak mendalami ilmu hitam dan guna-guna. Kalau hanya empat perajurit ditambah Rangga, kelima lawan ini bukanlah tandingannya.

Begitu melihat dua pengawal terkapar kena hantaman lawan, Rangga segera berteriak pada dua perajurit lainnya, “Panggil semua perajurit Kadipaten! Bangsat tua ini tak boleh lolos!  Lalu Adipati Probolinggo ini cabut pedangnya. Si kakek muka setan menyeringai.

“Kowe boleh panggil semua orang di Probolinggo ini, aku tidak takut! Majulah!"

Wut!

Pedang di tangan Rangga berkelebat, membabat ke arah leher si kakek. Selama ini Bangga memang tidak tahu banyak tentang embah Bromo Tunggal, terutama mengenai kepandaian silatnya. Dia cuma mendengar kakek satu ini sebagai seorang dukun jahat. Karenanya walaupun tadi dua perajuritnya kena dirobohkan dalam gerakan pertama, namun Rangga tidak merasa jeri. Begitu si kakek mengelak tundukkan kepala, Rangga susul dengan serangan membalik ke arah pinggang!

“Bagus!" seru Embah Bromo Tunggal. Tubuhnya berkelebat.

Rangga kaget ketika melihat lawannya lenyap, hanya menebar bau busuk dan tahu-tahu satu pukulan datang menghantam dari samping.

Wut!

Rangga tebaskan padangnya ke arah pergelangan tangan yang memukul. Tetapi lebih cepat dari gerakan pedang, tangan yang hendak ditabas menyelusup kebawah. Tiga jari tangan yang diluruskan seolah berubah jadi tiga potong besi menusuk tulang-tulang iga di bawah ketiak Rangga.

Krak!

Dua tulang iga Rangga patah. Pedang terlepas dari tangannya. Adipati ini mengeluh kesakitan dan melompat ke belakang. Embah Bromo Tunggal menyeringai.

“Rangga, kalau kowe mau menunjukkan dan menyerahkan janda Mangun Aryo padaku, mungkin aku bersedia merobah kematianmu dengan hukuman yang lebih ringan. Ayo lekas kowe katakan dimana dia..?

Rangga benar-benar tidak menyangka kalau kakek yang hanya dikenalnya sebagai dukun tukang teluh itu ternyata memiliki kepandaian silat tinggi.

“Embah Bromo Tunggal, kau mungkin bisa mengalahkan atau membunuhku. Tapi jika kau berani membunuhku, kau akan berurusan dengan Kerajaan. Tokoh-tokoh silat istana akan mencarimu sampai ke ujung langit sekalipun!"

Rangga membuka mulut. Memang dengan kedudukannya kini sebagai Adipati berarti Rangga termasuk salah seorang pejabat tinggi Kerajaan. Jika terjadi apa-apa dengannya apalagi kalau sampai terbunuh seperti halnya dengan Adipati yang lama yaitu Mangun Aryo maka si pembunuh akan berurusan dengan Kerajaan. Tetapi manusia seperti Roko Nuwu atau Embah Bromo Tunggal mana mau perduli dengan hal itu. Maka enak saja kakek muka setan ini berkata.

“Siapa takut dengan tokoh-tokoh Kerajaan! Saat ini aku bukan hendak membunuh seorang Adipati, tapi seorang penipu. Apakah pantas seorang Adipati tidak menepati janji dan berdusta?!"

“Aku tidak pernah berjanji untuk memberikan janda Mangun Aryo padamu!" sahut Rangga.

Saat itu puluhan perajurit Kadipaten telah memasuki gedung. Disebelah luar puluhan lainnya mengurung gedung. Melihat dirinya dikelilingi begitu banyak musuh Embah Bromo Tunggal hanya tertawa. Dia memandang pada perajurit-perajurit itu, lalu berkata,

"Siapa yang ingin buru-buru mampus majulah!"

Tak ada satu orangpun yang bergerak. Tetapi begitu Rangga berseru lantang, "Bunuh!" maka seluruh perajurit yang ada disana laksana air bah berhamburan menyerang si kakek.

“Bagus! Bagus!" Embah Bromo Tunggal keluarkan suara bergelak. Dia melompat masuk kedalam kamar. Ketika keluar lagi di tangan kanannya tergenggam tongkat tulang sedang dilehernya telah tergantung kalung tengkorak bayi!

“Bunuh cepat!" teriak Rangga.

“Maju... Maju lebih dekat!" si kakek ikut berteriak. Dia angkat tongkat putihnya ke atas. Dari ujung tongkat terdengar suara letupan. Lalu muncul asap bergelung-gelung yang kemudian memecah menjadi tujuh bagian. Ketika Embah Bromo Tunggal menggoyangkan tongkatnya, tujuh gulungan asap itu berobah menjadi tujuh sosok jerangkong yang mengerikan.

“Bunuh mereka semua!" si kakek berikan perintah.

Tujuh jerangkong itu bergerak cepat menghadang belasan perajurit yang datang menyerbu. Setiap gerakan yang mereka buat mengeluarkan suara berkeretekan. Melihat munculnya tujuh jerangkong ini, tentu saja semua perajurit yang tadi begitu bernyali untuk menyerang, kini mundur ketakutan. Empat orang yang tidak keburu menghindar kena dipegang oleh jerangkong-jerangkong itu. Tubuh keempatnya dicengkeram. Ada yang lehernya patah. Ada yang perutnya jebol atau kepalanya remuk atau dadanya ambrol!

“Gila!" teriak Rangga. Dia menyambar golok panjang seorang perajurit lalu membacokkan senjata ini pada jerangkong yang terdekat.

Trang!

Terdengar suara berdentrang. Jerangkong itu tidak bergeming sedikitpun. Tulang-tulangnya yang putih seatos besi. Tiba-tiba jerangkong yang barusan dibacok gerakkan tangannya dan krak! Pedang di tangan Rangga patah dua! Adipati ini terlompat ke belakang saking kagetnya. Ketika dia memandang berkeliling, dia lebih kaget dan lebih takut lagi. Ternyata semua perajurit yang tadi ada disitu sudah kabur lintang pukang, meninggalkannya sendirian dikurung tujuh jerangkong! Embah Bromo Tunggal tertawa gelak-gelak.

“Embah!" Rangga tiba-tiba memanggil si kakek. "Aku akan beritahukan padamu dimana janda Mangun Aryo berada. Aku akan serahkan padamu, embah! Tapi aku mohon agar tujuh jerangkong ini kau suruh pergi!" Sambil bicara Rangga melangkah mundur sampai akhirnya punggungnya membentur dinding ruangan dan tak bisa bergerak lagi. Dari sebelah depan dan samping tujuh jerangkong terus mendatangi.

“Ha ha ha! Kowe ketakutan Rangga? Sekalipun kowe berikan sepuluh janda padaku saat ini, tapi sudah terlambat! Pintu kubur sudah terbuka untuk kowe, tak mungkin lagi ditutup. Maut tak pernah batal! Ha ha  ha!"

“Embah... aku mohon. Aku akan berikan apa saja yang kau minta...!" jerit Rangga.

“Aku tidak meminta macam-macam. Permintaanku cuma satu! Nyawamu!" sahut si kakek.

Tujuh jerangkong semakin dekat. Salah satu dari mahluk jejadian ini tiba-tiba memukul ke depan. Rangga merunduk. Jotosan jari-jari tangan yang hanya berupa tulang-tulang putih itu menghantam tembok dinding. Tembok dengan ketebalan hampir satu jengkal itu tampak berlobang. Lelehlah nyali Rangga. Adipati ini jatuhkan diri berlutut dan meratap.

“Embah, aku mohon padamu embah. Suruh pergi jerangkong-jerangkong ini..."

“Mereka memang akan pergi Rangga..."

“Terima kasih embah, terima kasih..!" Rangga gembira sekali karena menduga si kakek bersedia mengabulkan permintaannya. Tapi sesaat kemudian kembali wajahnya pucat pasi ketika dukun sakti itu menyusuli ucapannya tadi.

“Mereka akan pergi Rangga. Pergi untuk mencabut nyawa kowe! Penipu laknat!"

Rangga menggerung sambil menyembah-nyembah. Ketika menunduk dia tidak melihat bagaimana salah satu dari jerangkong itu tiba-tiba menendangkan kaki tulangnya. Kalau tembok saja bisa bolong, maka tendangan kaki makhluk jejadian ini sudah dapat dipastikan akan menghancurkan kepala Adipati Probolinggo itu! Di luar gedung Kadipaten dimana semua perajurit berkumpul tanpa berani melakukan sesuatu terhadap si kakek yang berada dalam gedung, mendadak terjadi keributan.

“Pembunuh Jaliteng muncul!"

Semua kata ini tertuju pada seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. Sebelumnya semua perajurit Kadipaten tahu pasti apa yang harus mereka lakukan jika menemui pemuda ini. Tapi setelah mengetahui kehebatannya tak satupun berani mendekat, malah mereka menyibak memberi jalan.

“Mana Adipati kalian?!"

“Didalam!" seorang perajurit menjawab. Kawannya yang lain ikut memberi tahu,  "Adipati sedang berkelahi melawan seorang kakek bermuka seram!"

“Betul! Dengan dukun sakti dari gunung Bromo!" perajurit lainnya menimpali.

"Adipati dalam bahaya. Dukun itu tinggi sekali ilmunya. Dia menyerang dengan tujuh jerangkong jejadian!"

“Beberapa kawan kami telah mati ditangannya!"

“Juga seorang pelacur dari Pakuwon!"

Mahesa Edan kepalkan kedua tangan. Dukun sakti dari gunung Bromo! Siapa lagi kalau bukan manusia jahat yang dipanggil dengan sebutan Embah Bromo Tunggal itu?

“Anak setan itu harus mampus ditanganku!" kata Mahesa dalam hati. Tanpa tunggu lebih lama dia segera melompati tangga Kadipaten dan menyerbu masuk ke ruangan dalam. Tepat ketika kaki kanan salah satu dari tujuh jerangkong jejadian itu hendak menendang hancur kepala Rangga.


Selanjutnya,