Sendiri dalam kegelapan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Sudah beberapa bulan berlalu, tapi janji itu kadang masih teringat di pikiran ku.
Rencana tentang perjalanan, masa depan yang gelap, kesendirian, kesedihan dan keberpasrahan pada Kuasa Tuhan, buat ku sungguh menggetarkan. Adakah yang lebih menakutkan daripada ketidakpastian dalam kesendirian? Adakah yang lebih menakutkan selain perjalanan dalam kegelapan?

Sudah begitu lama aku terbiasa berpikir dengan kepastian sebagaimana yang ditanamkan dalam paradigma sains positivistik. Sehingga aku kadang terlupa dan seakan menampik fakta bahwa nyatanya pengetahuan ku memiliki batas yang tak pantas untuk terlalu dibanggakan. Apakah sebenarnya aku sedang berusaha mencari penghiburan dengan selalu berusaha percaya pada kepastian?

Kegelapan dan kesendirian ini terasa mengurungku dari ujung keujung. Sungguh aku merasa tak benar-benar tahu dengan pasti bagaimana semua ini bermula dan bagaimana akan berakhir, di mana dan kapan? Lalu mengapa janji-janji itu mempersandingkan kegelapan dan iman? Bukankah pada umumnya orang banyak menghubungkan iman dengan Pencerahan? Menurut ku, kegelapan adalah jalan yang senyatanya sedang ku tempuh. Dalam konteks ini, kegelapan mungkin adalah semacam lambang absurditas. Absurditas ini tampak dalam gagasan bahwa rasanya hidup terlalu pendek untuk ku bisa merengkuh makna semua ini dengan sempurna.

Tujuan, keinginan, penyesalan, pemahaman, kekecewaan bahkan cinta. Di antara hasrat ku untuk mendapatkan kesempurnaan dan kepastian, aku berhadapan dengan fakta betapa rentang perjalanan gelap ku hanyalah sepersekian detik dari sejarah jagat raya. Dengan kata lain, aku bagaikan setetes air di antara samudera.

Dalam kegelapan dan kesendirian ini, rasanya iman memberi ku makna untuk sejengkal langkah yang mungkin sempat ku buat bersama semesta. Lebih daripada itu, iman di perjalanan dalam kegelapan bukan di jalan yang terang menantang ku untuk merespons arti dan implikasi kegelapan itu dengan baik. Sebab aku bukanlah malaikat yang berjalan di atas rel dan rute yang pasti, aku tertantang untuk membuat rekam jejak yang indah, bukan hanya untuk ku, tapi jika mungkin bahkan untuk dunia.

Sekarang, saat ku berada di salah satu halte perjalanan ini, aku pun menduga-duga dan mencoba menyiapkan bekal untuk perjalanan berikutnya. Aku tidak tahu pasti apakah saat ini sedang pagi, siang, sore, atau telah malam. Buat ku, perjalanan dalam kegelapan juga berarti bahwa aku bisa saja tertipu oleh petunjuk waktu. Karena itu, perjalanan dalam kegelapan juga menuntut ku untuk memperlakukan setiap detik dengan harga yang pantas.

Sambil menunggu waktu untuk meninggalkan halte ini, di antara berkemas, aku mencoba mengingat apakah aku masih mempunyai lilin yang tersisa? Semoga lilin ku masih cukup untuk menerangi di setiap jalan ku selanjutnya.


source

Sendiri dalam kegelapan

Sudah beberapa bulan berlalu, tapi janji itu kadang masih teringat di pikiran ku.
Rencana tentang perjalanan, masa depan yang gelap, kesendirian, kesedihan dan keberpasrahan pada Kuasa Tuhan, buat ku sungguh menggetarkan. Adakah yang lebih menakutkan daripada ketidakpastian dalam kesendirian? Adakah yang lebih menakutkan selain perjalanan dalam kegelapan?

Sudah begitu lama aku terbiasa berpikir dengan kepastian sebagaimana yang ditanamkan dalam paradigma sains positivistik. Sehingga aku kadang terlupa dan seakan menampik fakta bahwa nyatanya pengetahuan ku memiliki batas yang tak pantas untuk terlalu dibanggakan. Apakah sebenarnya aku sedang berusaha mencari penghiburan dengan selalu berusaha percaya pada kepastian?

Kegelapan dan kesendirian ini terasa mengurungku dari ujung keujung. Sungguh aku merasa tak benar-benar tahu dengan pasti bagaimana semua ini bermula dan bagaimana akan berakhir, di mana dan kapan? Lalu mengapa janji-janji itu mempersandingkan kegelapan dan iman? Bukankah pada umumnya orang banyak menghubungkan iman dengan Pencerahan? Menurut ku, kegelapan adalah jalan yang senyatanya sedang ku tempuh. Dalam konteks ini, kegelapan mungkin adalah semacam lambang absurditas. Absurditas ini tampak dalam gagasan bahwa rasanya hidup terlalu pendek untuk ku bisa merengkuh makna semua ini dengan sempurna.

Tujuan, keinginan, penyesalan, pemahaman, kekecewaan bahkan cinta. Di antara hasrat ku untuk mendapatkan kesempurnaan dan kepastian, aku berhadapan dengan fakta betapa rentang perjalanan gelap ku hanyalah sepersekian detik dari sejarah jagat raya. Dengan kata lain, aku bagaikan setetes air di antara samudera.

Dalam kegelapan dan kesendirian ini, rasanya iman memberi ku makna untuk sejengkal langkah yang mungkin sempat ku buat bersama semesta. Lebih daripada itu, iman di perjalanan dalam kegelapan bukan di jalan yang terang menantang ku untuk merespons arti dan implikasi kegelapan itu dengan baik. Sebab aku bukanlah malaikat yang berjalan di atas rel dan rute yang pasti, aku tertantang untuk membuat rekam jejak yang indah, bukan hanya untuk ku, tapi jika mungkin bahkan untuk dunia.

Sekarang, saat ku berada di salah satu halte perjalanan ini, aku pun menduga-duga dan mencoba menyiapkan bekal untuk perjalanan berikutnya. Aku tidak tahu pasti apakah saat ini sedang pagi, siang, sore, atau telah malam. Buat ku, perjalanan dalam kegelapan juga berarti bahwa aku bisa saja tertipu oleh petunjuk waktu. Karena itu, perjalanan dalam kegelapan juga menuntut ku untuk memperlakukan setiap detik dengan harga yang pantas.

Sambil menunggu waktu untuk meninggalkan halte ini, di antara berkemas, aku mencoba mengingat apakah aku masih mempunyai lilin yang tersisa? Semoga lilin ku masih cukup untuk menerangi di setiap jalan ku selanjutnya.


source